Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk pemantauan rutin suatu limbah. Suatu senyawa kimia dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat. Suatu senyawa kimia disebut bersifat racun kronis jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu panjang (karena kontak yang berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit) (Pradipta 2007). Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki tubuh, yaitu melalui paru-paru (pernafasan), mulut, dan kulit. Melalui ketiga rute tersebut, senyawa yang bersifat racun dapat masuk ke aliran darah, dan kemudian terbawa ke jaringan tubuh lainnya. Yang menjadi perhatian utama dalam toksisitas adalah kuantitas/dosis senyawa tersebut. Sebagian besar senyawa yang berada dalam bentuk murninya memiliki sifat racun (toksik). Sebagai contohnya adalah senyawa oksigen yang berada pada tekanan parsial 2 atm adalah bersifat toksik. Konsentrasi oksigen yang terlalu tinggi dapat merusak sel (Pradipta 2007). LC50 (Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam (Dhahiyat dan Djuangsih 1997 diacu dalam Rossiana 2006) sampai waktu hidup hewan uji. Berdasarkan kepada lamanya, metode penambahan larutan uji dan maksud serta tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut (Rosianna 2006) : Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term bioassay), jangka menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati jangka panjang (long term bioassay). Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statik (static bioassay), pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow trough bioassay). Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan organisme uji. Untuk mengetahui nilai LC-50 digunakan uji static. Ada dua tahapan dalam penelitian (Rossiana 2006), yaitu: Uji Pendahuluan. Untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50%. Uji Lanjutan. Setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan konsentrasi akut berdasarkan seri logaritma konsentrasi yang dimodifikasi oleh Rochini dkk (1982) diacu dalam Rossiana (2006). Adapun kriteria toksisitas suatu perairan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada lingkungan perairan Tingkat Racun Nilai (LC50) (ppm) Racun Tinggi < 1 Racun Sedang >1 dan <100 Racun Rendah >100 Sumber: Wagner dkk (1993) dalam Rossiana (2006)
PEMBUATAN SIMPLISIA DAN STANDARISASI MUTU SIMPLISIA RIMPANG TEMULAWAK ( Curcuma xanthorriza Rhizoma ) dengan PENGERINGAN SINAR MATAHARI NAUNGAN KAIN HITAM dan PENYIMPANAN TERBUKA TUJUAN 1. Mengetahui teknik pasca panen dari rimpang temulawak 2. Mengetahui pengaruh pengeringan sinar matahari dengan naungan kain hitam dan penyimpanan terbuka terhadap mutu dari simplisia temulawak. DASAR TEORI Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka simplisia harus memenuhi persyaratan minimal, dan untuk dapat memenuhi syarat minimal itu, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain adalah: 1. Bahan baku simplisia 2. Proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia 3. Cara pengepakan dan penyimpanan simplisia Pemilihan sumber tanaman obat sebagai bahan baku simplisia nabati merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada mutu simplisia, termasuk di dalamnya pemilihan bibit (untuk tumbuhan hasil budidaya) dan pengolahan maupun jenis tahan tempat tumbuh tanaman obat. Pembuatan simplisia secara umum dapat menggunakan cara-cara sebagai berikut: 1. Pengeringan 2. Fermentasi 3. Proses khusus (penyulingan, pengentalan eksudat dll) 4. Dengan bantuan air (misalnya pada pembuatan pati) Adapun tahapan tahapan pembuatan simplisia secara garis besar adalah: 1. Pengumpulan bahan baku Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada: Bagian tanaman yang digunakan Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen Waktu panen Lingkungan tempat tumbuh 2. Sortasi basah Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak serta pengotor-pengotor lainnya harus dibuang 3. Pencucian Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengali 4. Perajangan Beberapa jenis bahna simplisia tertentu ada yang memerlukan proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. 5. Pengeringan Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu lama 6. Sortasi kering Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. 7. Pengepakan dan penyimpanan Simplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutunya karena faktor luar dan dalam, antara lain cahaya, oksigen, reaksi kimia intern, dehidrasi, penyerapan air, pengotoran, serangga dan kapang Klasifikasi tanaman Curcuma xanthorriza Roxb. Sinonim : Curcuma zerumbet majus Rumph. Klasifikasi Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Curcuma Jenis : Curcuma xanthorriza Roxb. Kandungan kimia tanaman Kandungan kimia yang terdapat dalam temulawak antara lain; amilum, lemak, tannin, kurkuminoid (zat warna kuning) dan minyak atsiri (Gunawan dkk, 1988). Minyak atsiri 5% (dengan komponen utama 1-cycloisoprene myrcene 85%). Kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin dan demetoksikurkumin (sudarsono dkk, 1996) Kurkumin adalah kristal berwarna kuning gelap, tidak larut dalam air, larut dalam alkohol. Dalam larutan basa, kurkumin menghasilkan larutan yang berwarna merah kecokaltan yang apabila ditambahkan larutan asm akan berubah warna menjadi kuning ( Sudarsono dkk, 1996) Bentuk kristal kurkumin, adalah batang atau prisma, dengan titik leleh 183-185oC. Kurkumin sukar larut dalam air, hexana, dan petroleum eter; agak larut daklam benzena, kloroform, dan eter, tetapi larut dalam alkohol, aseton dan asam asetat glasial( Srinivisan, 1953; Stahl, 1985) Kurkumin mempunyai kelarutan yang rendah, tidak stabil dalm larutan, tidak stabil pada pH dan cahaya sehingga sukar untuk dibuat dalam bentuk sediaan (Tonnesen dan Karisen, 1997). Kurkumin stabil pada dibawah pH 6,5. Kurkumin akan terdegradasi di bawah pH 6,5, hal ini disebabkan adanya gugus metilen aktif. Produk degradasi kurkumin dalam lingkungan alkali (pH 7-10) akan menghasilkan asm ferulat dan feruloil metan. Akibat degradasi ini, terjadi perubahan warna larutanya yaitu pada pH 1-7 larutan berwarna kuning, sedang pada pH 7,5- 9,1 larutan berwarna merah jingga. Deskripsi Simplisia. Rimpang temulawak adalah rimpang Curcuma xanthorriza Roxb. Kadar minyak atsiri tidak kurang dari 6% v/b . Pemerian. Bau aromatik, rasa tajam dan pahit. Makroskopik. Keping tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah sampai 6 cm, tebal 2 mm sampai 5 mm; permukaan luar berkerut, warna coklat kuning sampai coklat; bidang irisan berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks; korteks sempit, tebal 3 mm sampai 4 mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga sampai coklat jingga terang Parameter standar simplisia Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat atau sebagai bahan baku harus memenuhi standar mutu. Sebagai parameter standar yang digunakan adalah persyaratan yang tercantum dalma monografi resmi terbitan Departemen Kesehatan RI seperti Materia Medika Indonesia. Penetapan kadar air Prinsip metode uji ini adalah pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi, atau gravimetri. Susut Pengeringan Susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur105 o C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer atau lingkungan udara terbuka. Tujuan mengetahui susut pengeringan adalah memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan Penetapan kadar Minyak atsiri Penetapan kadar minyak atsiri ini dengan cara destilasi Stahl. Pada metode ini, simplisia yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidh. Bahan tersebut mengapung diatas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan metode panas langsung, mantel uap, pipa uap melingkar tertutup, atau dengan memakai pipa uap melingkar terbuka atau berlubang. Ciri khas dari metode ini adlah kontak langsung antara bahan dengan air mendidih (Ketaren, 1987). Penyulingan ini dilakukan pada tanaman yang dikeringkan dan tidak dirusak oleh pendidihan ( Claus dan Tyler, 1970). Rimpang temulawak mengandung minyak atsiri (7-30%) yang terdiri dari xanthorrhizol, - antlatone, borneol, iso-borneol, bisacumol, bisacurol, bisacurone, bisacurone epoxide, camphene, camphor, d-camphore, cineol, 1,8-cineol, curzurene, curzerenone,-curcume, ar- curcumene, curlone, cymene, -elemene, -elemene, turmerone, ar-turmerone, -turmerone, -turmerone, isofurano-germacrene, phellandrene, cycloisoprene, isoprenemyrcene, myrcene, p-toluyl-methyl-carbinol, (R)-()xanthorrizhol, -pinen, linalool,-terpineol, limonene, -farnesene, germacrone, -sesquiphellandrne, bisacurone A,B, 1-cyclo- isaoprenemyrcene, sinamaldehid ( anonim, 1979; Wagner dkk, 1984) Kadar Zat Aktif KLT Densitometri Ada 4 teknik kromatografi yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan atau bisa juga dilakukan dengan gabungan dari empat teknik tersebut. Keempat teknik Kromatografi tersebut yaitu kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi gas cair, dan kromatografi cair kinerja tinggi ( Harborne, 1987) Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, Kromatografi lapis tipis adalah yang paling cocok untuk analisis obat di Laboratorium farmasi karena hanya memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif singkat, jumlah cuplikan yang diperlukan sedikit, selain itu kebutuhan ruang minimum serta paenanganannya sederhana ( Stahl, 1985) KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan menggunakan densitometer sebagaai alat pelacakbila cara penotolanya dilakukan secara kuantitatif. Prinsip kerja dari densitometer adalah adanya pelacakan pada panjang gelombang maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Scanning atau pelacakan densitometer ada dua metode yaitu dengan cara memanjang dan sistem zig-zag. Pada umumnya lebih banyak digunakan metode zig-zag karena pengukuranya lebih merata serta ketelitian pengukuran lebih terjamin dibanding pengamatan secara lurus atau memanjang (Soemarno, 2001) Untuk keperluan standarisai sampel yang mengandung kurkumin, dibutuhkan metode analitik yang cocok untuk memisahkan kurkuminoid dari bahn-bahan lain yang terdapat dalam tumbuhan, antara lain dapat dikerjakan dengan KLT dan KCKT, tetapi sulit diterapkan dalam sampel biologi. Analisa kurkumin yang yang telah berhasil dilakukan antara lain dengan cara Kromatografi kolom yang dibantu dengan spektrofotometri ( Srinivasan,k 1953); KLT (Sudibyo, 1996), ataupun KCKT ( Tonnesen dan Karlsen, 1983) I. Alat dan Bahan Pembuatan Simplisia Bahan : Rimpang temulawak sebanyak 2 kg, didapat Alat : Pisau, Telenan, Pengiris mekanik, Bak Cuci, Alas pengering, Kain Hitam, Alat penumbuk Susut Pengeringan Bahan : Serbuk temulawak 10 gram Alat : Cawan petri, kertas saring, timbangan, batu kapur tohor, tempat eksikator, Pemanas (tara) Penetapan kadar Minyak Atsiri Bahan : Serpihan Rimpang temulawak 50 mg, aquadest.. Alat ; Destilasi stahl, flakon Penetapan Kadar air Bahan : Serbuk temulawak 10,06gr, toluene 200 ml Alat : Destilasi toluen Penetapan kadar zat aktif Bahan : Serbuk temulawak 1 gram, etanol 95% 5ml, kurkumin standart, Silika gel 60 F 254, kloroform : metanol : asam formiat ( 95 : 5 : 0,5), Alat : Tabung reaksi, kertas saring, corong, flakon, gelas ukur, chamber, densitometer II. Cara Kerja Sistematika Kerja Hari ke Tanggal Jenis kegiatan 0 28 September 2006 Sortasi basah , pencucian, pengubahan bentuk, pengeringan 4 2 Oktober 2006 Sortasi keirng, pengepakan, penyimpanan 49 16 November 2006 Penggerusan simplisai temualwak 56 23 November 2006 Penetapan kadar air, susut pengeringan, maserasi serbuk 70 7 desember 2006 Penetapan kadar minyak atsiri, susut pengeringan, penetapan kadar zat aktif (KLT-densitometri) Pembuatan Simplisia Penimbangan Curcuma xanthorriza rhizome Sortasi basah Pencucian Simplisia Perajangan Simplisia dengan tebal 3mm-4mm Simplisia dikeringkan dibawah sinar matahari dan ditutup kain hitam Simplisia dibolak-balik, hingga kering merata Sortasi Kering Sinplisia ditempatkan di nampan, dan disimpan di tempa terbuka Penulisan Etiket Simplisia diserbuk dan dihancurkan Uji kualitas simplisia Susut Pengeringan Panaskan cawan petri kosong Masukkan dalam desikator Ditimbang sebagai bobot awal Simplisia 10 gram dimasukkan dalam cawan petri, lalu ratakan Petri + simplisia ditmbang lagi *Masukkan dalam tara (pemanas) selama 1 jam Tutup dibuka untuk menghilangkan uap panas Cawan petri + simplisia dimasukkan kembali dalam desikator Cawan petri + simplisia ditimbang lagi Ulangi langkah dari * dua kali tapi dengan waktu 30 menit Penetapan Kadar Minyak Atsiri Ditimbang 50 mg serbuk kasar temulawak Dimasukkan ke dalam labu Ditambahkan air secukupnya hingga serbuk terendam Dipanaskan dengan destilasi selama 2 jam Dihitung volume dan kadar minyak atsiri Penetapan Kadar air Serbuk temulawak 10,06 gr dimasukkan dalam labu Ditambah 200 toluen murni yang talah dijenuhkan Tunggu sampai mendidih Hitung sakal air yang terkumpul Penetapan Kadar Zat aktif Ditimbang 1 gram serbuk temulawak Maserasi dalam 5 ml etanol Dgojog selama 30 menit Masukkan dalm flakon Ditambah etanol ad 5 ml Larutan/maserat diuapkan sampai 1 ml Ditotolkan di KLT 3 l Orientasi Kuva Baku Kurkumin Randemen ekstrak menurut MMI = 3,5 % Kadar Kurkumin ekstrak etanolik tanpa terpurifikasi = 1,55% Jadi dalam 1 gram temulawak terdapat 3,5% x 1000mg = 35 mg sari ekatrak Dalam 1 gram temulawak terdapat 1,55% x 35 mg = 0,54 mg kurkumin ekstrak etanolik diaddkan sampai 1 ml => kadar kurkumin 0,54mg/ml = 0,54 g/l Jadi dengan pengambilan 1l kadar kurkumin = 0,54 g/l Stok kadar kurkumin standar adalah 1 g/l Jadi rentang kadar kurva baku adalah 0,5 g/l 1 g/l 2g/l 4 g/l Volume penotolan adalah 0,5 l 1 l 2l 4 l Volume penotolan sampel adalah 3 l III. HASIL PERCOBAAN Pembuatan Simplisia 1. Sortasi basah Berat awal : 2 kg Jenis pencemar : tanah, debu, akar 2. Pencucian Berat awal : 2kg Berat setelah dicuci : 2,1 kg Masalah yang dihadapi : - 3. Perajangan Jenis alat : mekanik Tebal : 3mm-4mm 4. Pengeringan Jenis : Sinar matahari di tutup kain hitam Lama pengeringan : 4 hari 5. Pengepakan Tidak dikemas, ditempatkan di nampan 6. Penyimpanan Jenis : Penyimpanan terbuka 7. Randemen simplisia Bobot basah bahan : 2,1 kg Bobot kering simplisia : 0,45 kg Perhitungan randemen ; 0,45/2,1 x 100% = 21,428% 8. Susut Pengeringan Susut Pengeringan I Berat sampel temulawak = 10 gram Bobot petri kosong = 85,32 gram Pemansan oven = 105 o C Menit ke Berat petri kosong + serbuk temulawak
95,34g
94,23g
94,20g
94,17g Susut pengeringan selama 60 menit 10- (94,23 85,32) gram x 100% = 10,9 % Susut pengeringan selama 90 menit 10- (94,20 85,32) gram x 100% = 11,2 % Susut pengeringan selama 120 menit 10- (94,17 85,32) gram x 100% = 11,5 % Susut Pengeringan II Berat sampel temulawak = 10 gram Bobot petri kosong = 84,66 gram Pemansan oven = 105 o C Menit ke Berat petri kosong + serbuk temulawak
94, 59g
93,35g
93,35g
93,34g Susut pengeringan selama 60 menit 10- (93,35 85,32) gram x 100% = 13,1 % Susut pengeringan selama 90 menit 10- (93,35 85,32) gram x 100% = 13,1 % Susut pengeringan selama 120 menit 10- (93,35 85,32) gram x 100% = 13,2 % Rata-rata susut pengeringan selama 60 menit = 10,9 + 13,1 = 12 % Rata-rata susut pengeringan selama 90 menit = 11,5 + 13,1 = 12,5% Rata-rata susut pengeringan selama 120 menit = 11,5 + 13,2 = 12,35 % 9. Penetapan Kadar Minyak Atsiri Berat serbuk kasar = 50 mg Volume minyak atsiri = 0,5 ml Kadar minyak atsiri = 0,5ml/ 50 mg = 1 % b/v Warna minyak atsiri = bening agak kuning muda Bau minyak atsiri = khas, getir Penetapan Kadar air Toluen 200 ml ditambah 10 ml air, aquadest diambil tersisa 9,6 ml, jadi masih ada 0,4 ml air yang tertinggal di toluen Berat serbuk : 10,06 gram Volume toluene : 200ml Volume air dlm serbuk temulawak = Volume air yang menetes Volume air dlm toluena = 1,0 ml 0,4 ml = 0,6 ml Kadar air = 0,6 ml/ 10,0 gr x 100 % = 6 % v/b Penetapan Kadar Zat aktif Penetapan kadar zat aktif secara KLT-Densitometri Fase diam : Silika gel 60 F 254 Fase gerak : Kloroform : Metanol : asam formiat Kadar kurkumin standar : 1 g/l Penotolan untuk kurva baku satandar kurkumin ; 0,5l 1l 2l 4l Penotolan sampel ekstrak etanolik temulawak sampel adalah ; 3l Hasil KLT no Rf Sinar tampak UV 254 UV 366 1 2,3 / 8 = 0,28 Kuning
2 3,4 / 8 = 0,42 Kuning
3 5,3 / 8 = 0,66 Kuning
Data Kurva Baku Konsentrasi kurkumin ( g/l) Luas area 0,5 1, 10014 x 10 4
1 2,07481 x 10 4
2 5, 46830 x 10 4
4 6, 71978 x 10 4
Persamaan Kurva baku :a = 0,8055 ; b = 1,6187 ; r = 0,930 Y = bx + a <=> y = 1,6187x + 0,8055 Luas area sampel kurkumin = 40,69958 x 104 Jadi konsentrasi kurkumin Y = 1,6187x + 0,8055 40,69958 = 1,6187x + 0,8055 x = 24, 645 g/l Volume pengambilan 3l = > 24,645 g/l Jadi dalam 1l konsentrasi kurkumin = > 24,645 g/l = 8,215 g/l = 8,125 mg/ ml = 0,8125 g/100ml = 0,8125 % b/v IV. Pembahasan Pada praktikum ini bertujuan untuk mempelajari teknik pasca panen pada simplisia rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza rhizhome). Penanganan pasaca panen ini akan berpengaruh terhadap mutu simplisia yang akan dibuat bahan baku obat. Untuk mengetahui pengaruh pasca panen tanaman obat terhadap mutu dan kandungan simplisia, dapat dilakukan uji kontrol kualitas simplisia. Uji-uji yang dilakukan dalam praktikum ini meliputi uji kadar minyak atsiri, susut pengeringan, kadar zat aktif dan uji kadr air. Uji ini dapat ditindaklanjuti sebagai standarisasi simplisia untuk bahan obat. Penanganan pasca panen tumbuhan obat pada intinya adalah membuat simplisia yang baik, benar dan memenuhi syarat. Untuk itu perlu penanganan yang teliti pada setiap tahap teknologi pasca panen. Tahap-tahap tersebut meliputi sortasi basah, pencucian, pengubahan bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, dan penyimpanan Pada sortasi basah, Rimpang temulawak harus dipisahkan dari Pencemar-pencemar lain seperti gulma, rumput, tanah, kerikil, bagian rimpang yang rusak dan bahn tanaman lain atau jenis rimpang lain. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal. Pada sortasi basah ini juga dipisahkan rimpang dari akar dan batang dari tanaman temulawak. Setelah didapatkan rimpang yang utuh dan bebas dari pencemar, rimpang tersebut ditimbang untuk mengetahui berat basahnya.. Berat awal didapatkan sebesar 2,1 kg. Tahap selanjutnya adalah pencucian. Pencucian dilakukan di air yang mengalir yaitu dari sumur dan ledeng. Pencucian menggunakan air sumur perlu memperhatikan pencemar yang mungkin timbul akibat mikroba. Beberapa bakteri pencemar air yang perlu diketahui adalah Pseudomonas, Proteus, Micrococus, Streptococcus, Bacillus, Enterobacter, dan Escheria coli. Dari hasil penelitian yang diklakukan oleh Frazier (1978) dilaporkan bahwa untuk pencucian sayuran yang dilakukan sebanyak satu kali akan menurunkan jumlah mikroba sebanak 25%. Namun pencucian yang dilakukan sebanyak tiga kali akan menurunkan mikroba sebanyak 58%. Pada rimpang dalam keadaan basah mungkin masih terbapat pencemar mikroba. Namun setelah pengeringan nanti pencermar tersebut akan berkurang secara drastis, akibat sedikitnya kandungan air. Pencucian menggunakan fasilitas air air PAM (ledeng) sering tercemar dengan kapur khlor. Jika airnya mengandung kapur klor, akan menyebabkan suasana basa, sehingga kemungkinkan, kandungan kurkumin dalam rimpang dapat terdegradasi menjadi asam ferulat dan feruloil metan. Tahap pengubahan bentuk dilakukan dengan merajang rimpang secara melintang dengan tebal kira-kira 3mm-4mm. Tujuan perajangan ini adalah untuk memeperluas permukaan bahan baku, sehingga waktu pengeringan cepat kering. Irisan yang terlalu tipis dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia seperti temulawak dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk mencegah berkurangnya kadar minyak atsiri. Dengan perajangan, akan terbentuk simplisia temulawak yang mempunyai bentuk yang teratur, mudah dikemas dan mudah disimpan Pada proses pengeringan, rimpang temulawak yang telah dicuci, dijemur di bawah sinar matahari secara tidak langsung atau ditutup dengan kain hitam. Secara umum , pengeringan bertujuan untuk mencegah kerusakan kandungan zat aktif yang ada dalm tanaman sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Kerusakan tersebut akibat peruraian zat aktif secar enzimatis seperti hidroliss, oksidasi dan polimerisasi, sehingga randemenya akan turun. Pengeringan simplisia harus dilakukan secepatnya sebab aktivitas enzim akan naik naik dengan adanya air dalam simplisia, apalagi air tersebut dari sisa pencucian. Dengan pengeringan, kadar air yang terdapat dalam simplisia akan berkurang sampai pada titik tertentu yang menyebabkan enzim-enzim menjadi tidak aktif. Selain itu, dalam keadaan kering, dapt mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri. Kapang sudah dapat berkembang dengan baik pada simplisia dengan kadar air sekitar 18%. Kadar air 10% sudah cukup untuk meperpanjang waktu simpan simplisia(Hutapea, 1992). Selain itu pengeringan memudahkan pada tahap selanjutnya ( ringkas, mudah dikemas, dan mudah disimpan) Penutupan dengan kain hitam bertuuan untukmenghindari penguapan yang terlalu cepat yang dapt berakibat menurunkan mutu minyak atsiri di dalam rimpang temulawak. Penjemuran secara tidak langsung ini bertujuan untuk menghindari kontak langsung dengan pancaran sinar ultra violet. Simplisia ini ditempatkan pada rak besi yang tebuka bagian sisi kanan, kiri, dan bawah, agar aliran atau sirkulasi udara bagus. Selama penjemuran, simplisia terkadang dibalik-balik , agar pengeringanya rata dan tidak terjadi face hardening, mengingat ketebalan irisan temulawak sebesar 3mm-4mm. Pembolak-balikan simplisia selama pengeringa juga untuk menghindari tumbuhnya jamur. Mengingat simplisia dijemur dengan naungan kain hitam maka, kecepatan penguapan air dari simplisia terlalu lambat, jadi harus sering dibalik agar simplisia tidak ditumbuhi jamur. Tumbuhnya jamur pada proses pengeringan dapat mempengaruhi komposisi dari zat aktif maupun minyak atsiri. Menurut teori, pengeringan simplisia sampai kadar airnya kurang dari 10%, namun dalam praktikum ini tidak dapat ditentukan secara pasti apakah kadar air simplisia kurang dari 10%. Proses pengeringan dihentikan bila simplisia sudah kaku dan bila dipatahkan akan muncul suara. Hal ini dikarenakan titik kekeringan yang tepat biasanya dapat ditentukan dari kerapuhan dan mudah patahnya bagian tanaman yang dikeringkan (Claus, 1970) Pengeringan irisan temulawak ini berlangsung selama 4 hari, dengan pemanasan sinar matahari pada siang hari dan tanpa tejadinya hujan. Pengeringan sinar matahari dengan naungan kain hitam, relatif berlangsung lebih lama karena sirkulasi udar kurang bagus, sehingga transfer uap air keluar dari rimpang menjadi lebih lambat, jadi kecepatan pengeringan lebih lambat. Pengeringan dengan matahari mempunyai kelebihan yaitu murah, tetapi mempunyai banyak kekurangan yaitu suhu dan kelembapan yang tidak dapat dikontrol, perlu area penjemuran yang luas, mudah terkontaminasi, simplisia mudah hilang, misalnya diterbangkan angin, dimakan hewan atau mungkin mudah dicuri. Setelah pengeringan, dilakukan sortasi kering. Sortasi kering ini dengan memilah-milah simplisia yang mempunyai penampilan yang bagus, bentuk dan ukuran simplisia yang memenuhi syarat. Mengingat simplisia dijemur di lingkungan luar, maka perlu diperhatikan adnaya pencemar. Pencemar tersebut diantaranya adalah simplisia lain yang diterbangkan angin dan masuk dalam wadah simplisia temulawak.Serangga yang suka hinggap di simplisia, kotoran hewan dan jenis sampah-sampah lain. Setelah itu ditimbang berat bersih dari simplisia yaitu 0,45 kg. Rimpang dengan bobot basah mempunyai berat basah sebesar 2,1 kg, tetapi setelah diolah menjadi simplisia kering yang memenuhi persyaratan bentuk dan penampilan, didapatkan hasil sebesar 0,45kg. Jadi randemen sebesar 21,48% Tahap selanjutnya adalah pengepakan dan penyimpanan. Simplisia yang telah kering, harus segera dikemas dan disimpan. Simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah agar tidak saling bercampur antar simplisia satu dengan yang lain. Simplisia temulawak ditempatkan dalam wadah nampan dan disimpan dalam keadaan terbuka. Simplisia disimpan dalam suhu kamar yaitu pada suhu antara 15 o -30 o C. Kelembapan tidak diatur. Penyimpanan simplisia temualwak ditempatkan dalam almari tertutup. Hal ini mempunyai keuntungan yaiu mencegah angin masuk, Serangga sukar masuk dan simplisia tidak terkena sinar matahariyang berlebihan, namun sirkulasi udaranya kurang lancar. Penyimpanan simplisia secara terbuka, kurang begitu melindungi simplisia, karena simplisia kontak langsung dengan udara luar, sehingga kurang terjaganya kelembapan, keutuhan zat aktif dan bentuknya. Dalam penyimpanannya simplisia tersebut harus diberi etiket. Etiket tersebut minimal harus memuat nama simplisia, berat kering, berat basah, tanggal pembuatan, lama pengeringan , jenis pengeringan, dan nama pembuat simplisia. Setelah pembuatan simplisia selesai, maka simplisia tersebut di uji kualitasnya, apakah memenuhi syarat apa tidak. Uji-uji yang dilakukan pada praktikum ini diantaranya adalah susut pengeringan, penetapan kadar minyak atsiri, penetapan kadar air, dan penetapan kadar zat aktif. Uji kualitas simplisia setelah penyimpanan terbuka selam 45 hari. 1. Susut pengeringan Pada uji susut pengeringan, dilakukan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur105 o C selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit atau sampai berat konstan. Pada suhu 105 o C ini, air akan menguap, dan senyawa-senyawa yang mempunyai titik didih yang lebih rendah dari air akan ikut menguap juga. Susut pengeringan dinyatakan sebagai nilai prosen terhadap bobot awal. Pada praktikum ini uji susut pengeringan tidak sampai pada berat konstan karena keterbatasan waktu. Pada menit ke 60 susut pengeringan sebesar 12%. Pada menit ke 90 susut pengeringan sebesar 12,15%, dan pada menit ke 120 susut pengeringan sebesar 12,35%. Dengan begitu, semakin lama pengeringan, semakin besar nilai susut pengeringannya. Tetapi selisih kenaikan susut pengeringan amatlah sedikit yaitu sekitar 0,15% 0,2%. Tujuan mengetahui susut pengeringan adalah memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Pada proses pengeringan selama 30 menitnya, simplisia temulawak ini akan kehilangan senyawanya sekitar 12%. Untuk 30 menit berikutnya , simplisia akan kehilangan senyawa dengan kenaikan (selisih) sebesar 0,15% 0,2%. Pada simplisia temulawak ini mengandung minyak menguap, jadi susut pengeringan ini tidak bisa dikatakan identik dengan kadar air, karena berat simplisia yang berkurang bukan hanya disebabkan kehilangan air, namun juga ada zat lain seperti minyak atsiri. Sedangkan kurkumin dalam bentuk kristal mempunyai titik lebur sebesar 183-185 o C. Jadi pada suhu 105 o C, kristal kurkumin ini tidak ikut menguap. Jadi pada susut pengeringan ini simplisia temulawak ini akan kehilangan senyawa sebesar 12, 16% selama proses pengeringan. Senyawa yang hilang (menguap) paling banyak adalah minyak menguap dan air 2. Penetapan Kadar Air Menetapan kadar air pada simplisia kering temulawak digunakan destilasi toluen. Seperti yang diketahui, simplisia ini sebelumnya mengalami proses pengeringan sehingga banyak kadar air yang menguap. Sedangkan air yang masih tersisa dalm simplisia sangat sedikit, dan air tersebut berada di dalam sel. Sehingga perlu destilasi toluen untuk mengeluarkan air dari dalam sel. Dengan pemansan, air akan keluar dari sel, ketika keluar, air tidak dapat bercampur dengan toluen, sehingga air memisah dan dapat diukur volumenya. Tujuan dari penetapan kadar air ini, untuk mengetahui kadar air dalam simplisia kering temulawak. Kadar air yang diperbolehkan dalam simplisia untuk menghambat pertumbuhan jamur dan aktivitas enzim adalah kurang dari 10%,. Pada proses pengeringan belum diketahui secara pasti apakah kadar air sudah kurang dari 10%. Walaupun simplisia dinyatakan sudah kering pada pengeringan matahari, namun simplisia temulawak yang disimpan dalam keadaan terbuka kemungkinan dapat menyerapa air dari lingkungan sekitar, apalagi bila disimpan dalam jangka waktu yang lama. Maka dari itu diperlukan penetapan kadar air. Hasil dari praktikum ini, didapatkan bahwa kadar air dari simplisia temulawak sebesar 6% . Hal ini sesuai dengan persyaratan yaitu kurang dari 10%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa ruang penyimpanan mempunyai tingkat kelembapan yang rendah, jadi, walau simplisia disimpan dalam keadaan terbuka, simplisia akan sedikt menyerap kelembapan lingkungan. Dari hasil kadar ini menunjukkan bahwa proses pengeringan sinar matahari naungan kain hitam ( selama 4 hari), berjalan optimal III. Penetapan kadar minyak atsiri Simplisia sebelum ditetapkan kadar minyak atsiri, dipotong-potong kecil terlebih dahulu. Proses perajangan ini berfungsi agar kelenjar minyak dapat terbuka secara sempurna. Seperti yang kita ketahui bahwa minyak atsiri dalam kelenjar tanaman dikelilingioleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh kantong minyak atau rambut glandular, sehingga apabila simplisia dibiarkan utuh, proses ekstraksi minyak atsiri berjalan lambat dan tidak efektif. Dengan ukuran yang lebih kecil, difusi yang terjadi berkurang, sehingga pada penyulingan, laju penguapan minyak atsiri dari simplisia menjadi cukup cepat dan efisien, karena tidak banyak uap yang lolos. Tetapi pemotongan simplisia juga mempunyai kelemahan yaitu randemen minyak atsiri akan berkurang, karena penguapan dan komposisi bahan akan berubah (Guenther, 1987). Jadi simplisia dipotong kecil-kecil dan kasar, jangan sampai halus sekali. Karena semakin halus, randemen minyak atsiri akan berkurang. Penetapan kadar minyak atsiri ini menggunakan destilasi Stahl (penyulingan dengan air). Pada metode ini, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Simplisia tersebut terendam dalam air. Air dipanaskan dengan metode pemanasan yang biasa dilakukan yaitu pemanasan langsung. Ciri khas metode ini adlah kontak langsung antara bahan dengan air mendidih (Ketaren, 1987). Rimpang temulawak ditetapkan kadar minyak atsiri menggunakan destilasi stahl karena alasan sebagai berikut ;Simplisia tersebut dalam keadaan kering, simplisia tersebut tidak rusak oleh pendidihan, simplisia tersebut mudah tercelup karena bobot jenisnya tinggi, dan simplisia tersebut mudah bergerak bebas dalam air mendidih. Metode ini mempunyai kelemahan yaitu ekstraksi tidak dapat berlangsung sempurna walaupun bahan dirajang, selain itu ada beberapa ester yang terhidrolisis, senyawa aldehid mengalami polimerisasi akibat pengaruh air mendidih (Samhoedi, 1976) Dari hasil praktikum, didapatkan kadar minyak atsiri sebesar 1 %b/v. Menurut Materia Medika Indonesia III , rimpang temulawak mengandung paling sedikit 6% minyak atsiri. Kadar minyak atsiri yang didapatkan dari hasil percobaan, sangat kecil bila dibandingkan dengan kadar di MMI. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 1. minyak atsiri banyak yang hilang pada proses pengeringan. Secara teoritis, kehilangan minyak atsiri selama pengeringan lebih besar daripada pengaruh faktor lainnya. Hal ini terjadi karena pada proses pengeringan, air dalam rimpang basah akan berdifusi sambil mengangkut minyak atsiri dan kemudian menguap. Penguapan minyak atsiri melalui dinding jaringan tanaman tidak dapat berjalan secara langsung, karena minyak atsiri tersebut terlebih dahulu harus diangkut ke permukaan bahan melalui proses hidrodifusi dengan bantuan air sebagai medium pembawa. Selama proses pengeringan sebagian besar membran sel akan pecah dan cairan sel akan keluar masuk dari sel satu ke sel yang lainya membentuk susunan campuran zat yang baru. Selain itu, selama proses pengeringan akan terjadi proses oksidasi, renifikasi, dan reaksi kimia lainnya. 2. Minyak atsiri akan dioksidasi karena adanya panas. Peneringan dengan ditutup dengan kain hitam, panas yang ditimbulkan akan lebih tinggi, karena kain hitam kan menyerap sinar matahri dan mengubahnya menjadi panas. 3. Proses peruraian enzimatis dapat menyebabkan penurunan randemen. Reaksi enzimatis tersebut dapat menguraikan kandungan zat aktif bagian tanaman yang dikeringkan termasuk minyak atsiri. 4. Proses oksidasi oleh udara yang dapat merusak minyak atsiri. Proses oksidasi oleh udara ini sangat mungkin terjadi karena simplisia temulawak dikeringkan di lingkungan luar dan disimpan dalam keadaan terbuka, Sehingga simplisia kontak langsung denga udara bebas, dan dapat dimungkainkan terjadinya proses oksidasi minyak atsiri. Penyimpanan simplisia yang relatif lama ( 45 hari ), dan dalam keadaan terbuka menyebabkan banyaknya minyak atsiri yang hilang selama penyimpanan. Pengeringan sinar matahari yang dinaungi kain hitam, setidaknya dapat mengurangi resiko kehilangan minyak atsiri lebih banyak lagi. Dengan naungan kain hitam, sinar uv yang sampai ke simplisia berkurang karena sinar tersebut diserap oleh kain hitam. Sinar UV dapat merusak minyak atsri yang terkandung dalam rimpang. Sinar uv kemungkinan akan mengkatalisis reaksi oksidasi, polimerisasi dan resinifikasi, yang akhirnya akan menyebabkan berkurangnya randemen minyak atsiri. Selain dari segi penanganan pasca panen, kadar minyak atsiri juga ditentukan pada waktu panen rimpang temulawak. Simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen saat pagi hari. Dengan demikian, untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisika senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari. 4. Penetapan kadar zat aktif Pada penetapan kadar minyak atsiri ini adalah dengan Kromatografi Lapis Tipis- Densitometer. Kelebihan metode ini adalah ; menghasilkan pemisahan kurkumin yang cukup baik dari analognya, sensitivitasnya yang cukup baik, mudah dalam pengerjaanya, dapat mengukur sampel yang abnyak dalam satu lempeng dan waktu elusi lebih singkat. Kekurangan metode KLT-densitometer ini adalah repeatability jelek, tidak cocok untuk sampel dengan kadar lebih kecil dari mikrogram, dan kesalahan manusia yang cukup besar dalam pengambilan sampel. Sebelum dipisahkan pada kromatografi lapis tipis, simplisia temulawak diekstraksi terlebih dahulu. Sebelum diekstraksi, simplisia temulawak diserbuk terlebih dahulu. Dalm ekstraksi ini diguanakna serbuk temulawak, dikarenakan serbuk mempunyai ukuran partikel yang kecil sehingga diharapkan akan lebih banyak kurkuminoid yang tersari. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, semakin besar ukuran partikel bahan awal akan semakin tebal lapisan batas, akibatnya akan semakin panjang jarak yang harus ditempuh oleh cairan penyari untuk mencapai zat aktif. Sehingga proses penyarian tidak efektif. Meskipun demikian, serbuk tidak boleh terlalu halus karena, jika dinding sel pecah, zat-zat yang tidak larut akan keluar (anonim, 1986) Setelah simplisia dalam bentuk serbuk, diambil 1 gram serbuk dan dimaserasi dengan etanol 95%. Hal itu dikarenakan kurkumin sukar larut dalam air, hexana, dan petroleum eter; agak larut daklam benzena, kloroform, dan eter, tetapi larut dalam alkohol, aseton dan asam asetat glasial( Srinivisan, 1953; Stahl, 1985). Kurkumin bersifat semipolar sehingga lebih terlarut dalam alkohol yaitu etanol . Diguanakan etanol 95% karena denga kadar alkohol yang relatif tinggi akan menyari kurkumin secara sempurna. Proses maserasi dilakukan selama 30 menit, sambil digojog. Menggunakan metode maserasi karena metode maserasi lebih sederhana dari metode lain. Metode maserasi relatif lebih mudah pengerjaanya, lebih murah, tidak perlu peralatan yang rumit, dan tidak perlu area yang rumit. Selain itu, bahan yang akan disari yaitu rimpang temulawak dengan kandungan senyawa kurkuminoidnya yang tinggi sehingga cukup dengan maserasi pun senyawa dapat keluar dengan mudahnya. Setelah dimaserasi selama 30 menit, sari di addkan 5ml dengan etanol, lalu dipekatkan sampai 1ml agar seragam dengan kelompok lain. Ekstrak pekat etanolik, lalu ditotolkan pada plate KLT dengan fase diam silika gel 60 F 254, dengan fase gerak kloroform : metanol : asam formiat ( 95:5:0,5). Karena tujuan sebenarnya adalah untuk menentukan kadar kurkumin dalam simplisia yang diberi perlakuan pengeringan dan penyimpanan tertentu, maka dibutuhkan kurva baku yang terdiri dari konsentrasi kurkumin standart dengan rentang kadar tertentu. Untuk menentukan rentang kadar kurva baku yang akan dibuat, maka harus memperhatikan randemen standart dalam rimpang temulawak dan kadar kurkumin yang bisanya terdapat dalam ekstrak etanolik. Karena dalam pengerjaan ekstraksi kurkumin tanpa pemurnian maka, kadar kurkumin yang dimaksudkan adalah kadar pada ekstrak etanolik tanpa purifikasi. Randemen ekstrak etanolik menurut MMI edisi III adalah sebesar 3,5%b/v. Sedangkan kadar kurkumin dalam ekstrak etanolik tanpa terpurifikasi menurut penelitian-penelitian sebelumnya adalah sebesar 1,55%. Jadi setelah dihitung, setiap penotolan 1l terdapat 0,54 g kurkumin. Dari data perhitungan itulah dapat digunakan batas-batas perkiraan konsentrasi kurkumin standar yang akan dibuat kurva baku, agar konsentrasi sampel tidak mengalami ekstrapolasi atau tidak jauh melesat dari konsentrasi kurva baku. Dari perhitungan diatas maka dapat ditentukan bahwa konsentrasi kurva baku kira-kira lebih tinggi dari 0,54g/l. Jadi rentang kadar yang digunakan dalam kurva baku adalah 0,5g/l 1g/l 2g/l 4g/l. Karena kadar stok standar kurkumin adalah 1g/l, maka penotolan pada KLT sebesar 0,5l 1l 2l 4l. Setelah plate KLT dielusi maka akan muncul tiga bercak dengan daya pemisahan yang bagus. Bercak tersebut dalam sinar tampak akan berwarna kuning. Bercak pertama yaitu dengan intensitas warna kuning yang paling rendah (Rf = 0,287), dalam pustaka disebut dengan bisdesmetoksikurkumin. Bercak kedua yaitu dengan intensitas warna kuning lebuh tinggi ( Rf = 0,42 ), dalam pustaka disebut dengan senyawa desmetoksikurkumin. Sedangkan bercak ketiga dengan ketebalan bercak yang paling tinggi dan intensitas warna kuning paling tinggi (Rf = 0,66). Senyawa pada Rf inilah yang disebut dengan kurkumin. Pada bercak yang nomor 3 inilah yang akan dihitung kadarnya dengan densitometer. Dari hasil densitometer densitas bercak dapat digambarkan sebagai luas area. Dengan perbandingan antara konsentrasi dan luas area didapatkan persamaan y = 1,6187x + 0,8055. Sedangkaan luas area sampel adalah 40,69958 x 104. Jadi kadar kurkumin pada simplisia temulawak yang dikeringkan sinar matahari dengan naungan kain hitam dan penyimpanan terbuka adalah 8,125 mg/ ml. Kadar kurkumin dalam sampel tersebut sangatlah tinggi, bahkan ekstrapolasi terhadap kurva baku. Bila dibandingkan dengan standar, tingginya kadar kurkumin, cenderung tidak dipengaruhi oleh faktor penanganan pasca panen, khususnya faktor pengeringan dan penyimpanan. Hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor internal dari rimpang temulawak itu sendiri, yaitu diantaranya: 1. Tempat tumbuh dari tanaman temulawak sangat mempengaruhi keberadaan dan kadar senyawa aktif kurkumin, misalnya; temulawak di daerah Imogiri menghasilkan kandungan kurkumin sebesar 0,625%, sedangkan di daerah samigaluh dan bagelan sebesar 0,37% (Murniwaty, 2003) 2. Identitas jenis, Jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasikan sampai informasi geneti sebagai faktor internal untuk validasi jenis 3. Periode pemanenan rimpang temulawak. Waktu panen rimpang sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Waktu panen rimpang yang menghasilkan kadar kurkumin tinggi adalah pada musim kering. 4. Senyawa kurkumin terbentuk secara maksimal di dalam rimpang pada umur tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Contohnya, simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen saat pagi hari. Dengan demikian, untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisika senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas sinar matahari. I. Kesimpulan 1. Penanganan pasca panen rimpang temu lawak meliputi; Sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan 2. Pengeringan simplisia temulawak dengan sinar matahari dan ditutup kain hitam 3. Penyimpanan simplisia temulawak dengan penyimpanan terbuka sealma 45 hari 4. Prosentase susut pengeringan dari simplisia adalah 12, 16% 5. Kadar air dari simplisia temulawak adalah 6% 6. Kadar minyak atsiri dari simplisia adalah 1 % 7. Kadar zat aktif (Kurkumin) dari simplisia temulawak adalah 8,125 mg/ml ___________________________________________________ * Dokumentasi Laporan Praktikum Teknonolgi Pasca Panen
TAHAPAN PEMBUATAN SIMPLISIA
Tahapan Pembuatan simplisia :
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami perubahan apapun dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang dikeringkan.
^Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian tanaman saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat tumbuh. Jika penanganan ataupun pengolahan simplisia tidak benar maka mutu produk yang dihasilkan kurang berkhasiat atau kemungkinan dapat menimbulkan toksik apabila dikonsumsi.
^Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan asing yang tidak berguna atau berbahaya dalam pembuatan simplisia Penyortiran segera dilakukan setelah bahan selesai dipanen, bahan yang mati, tumbuh lumut ataupun tumbuh jamur segera dipisahkan yang dimungkinkan mencemari bahan hasil panen.
^Pencucian
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi mikroba-mikroba yang menempel pada bahan. Pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam simplisia. Pencucian harus menggunakan air bersih, seperti air dari mata air, sumur atau PAM.
^Pengubahan bentuk
Pengubahan bentuk dilakukan bertujuan untuk memperluas permukaan sehingga lebih cepat kering tanpa pemanasan yang berlebih. Pengubahan bentuk dilakukan dengan menggunakan pisau tajam yang terbuat dari bahan steinles.
^Pengeringan
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan (cepat), dan luas permukaan bahan. suhu pengeringan bergantung pada simplisia dan cara pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan antara suhu 30o-90o C.
Pengeringan dilakukan untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu bahan dengan menggunakan sinar matahari. Cara ini sederhana dan hanya memerlukan lantai jemur. Simplisia yang akan dijemur disebar secara merata dan pada saat tertentu dibalik agar panas merata. Cara penjemuran semacam ini selain murah juga praktis, namun juga ada kelemahan yaitu suhu dan kelembaban tidak dapat terkontrol, memerlukan area penjemuran yang luas, saat pengeringan tergantung cuaca, mudah terkontaminasi dan waktu pengeringan yang lama. Dengan menurunkan kadar air dapat mencegah tumbuhnya kapang dan menurunkan reaksi enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya penurunan mutu atau pengrusakan simplisia. Secara umum kadar air simplisia tanaman obat maksimal 10%.
Pengeringan dapat memberikan keuntungan antara lain memperpanjang masa simpan, mengurangi penurunan mutu sebelum diolah lebih lanjut, memudahkan dalam pengangkutan, menimbulkan aroma khas pada bahan serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
^Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi adalah untuk memisahkan benda asing, seperti bagian-bagian yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal.
^Pengemasan dan Penyimpanan
Setelah bersih, simplisia dikemas dengan menggunakan bahan yang tidak berracun/tidak bereaksi dengan bahan yang disimpan. Pada kemasan diberi dicantumkan nama bahan dan bagian tanaman yang digunakan. Tujuan pengepakan dan penyimpanan adalah untuk melindungi agar simplisia tidak rusak atau berubah mutunya karena beberapa faktor, baik dari dalam maupun dari luar. Simplisia disimpan di tempat yang kering, tidak lembab, dan terhindar dari sinar matahari langsung.
Kromatografi Lapis Tipis 1. Kromatografi Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair) dan fase gerak (cair atau gas) (Patnaik 2004). Teknik pemisahan ini memanfaatkan interaksi komponen dengan fase diam dan fase gerak serta sifat fisik dan sifat kimia komponen. Berdasarkan fase gerak dan fase diam yang digunakan, kromatografi dibedakan menjadi liquid-solid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan fase gerak berwujud cair), gas-solid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan fase gerak berwujud gas), liquid-liquid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud cair dan fase gerak berwujud cair), dan gas-liquid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan fase gerak berwujud gas) (Harvey 2000). Berdasarkan interaksi komponen dengan fase diam dan fase gerak, kromatografi dibedakan menjadi kromatografi adsorpsi (kromatografi dengan teknik penyerapan komponen oleh adsorben tertentu), kromatografi partisi (kromatografi dengan partisi terjadi antara fase gerak dan fase diam), kromatografi pertukaran ion (kromatografi yang dapat memisahkan senyawa dengan afinitas ion yang berbeda dengan resin penukar ion), dan kromatografi permeasi atau filtrasi (kromatografi berdasarkan perbedaan bobot molekul) (Skoog et al 2002). Berdasarkan bentuk ruang penyangganya, kromatografi dibedakan menjadi kromatografi planar (kromatografi dengan fase diam terletak pada permukaan datar) yang meliputi kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis serta kromatografi kolom (kromatografi dengan fase diam tertahan pada sebuah kolom) yang meliputi kromatografi manual, high performance liquid chromatography, dan kromatografi gas (Harvey 2000). Percobaan ini hanya melakukan aplikasi kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Prinsip dari kedua aplikasi tersebut adalah dengan meneteskan sampel pada kertas di garis startnya berulang-ulang. Setelah kering, kertas dimasukkan dalam pelarut jenuh dan dibiarkan bergerak menuju garis finish. Kromatografi lapis tipis menggunakan lempeng tipis/ plastik yang dilapisi adsorben sebagai penyangga. Kromatografi kertas menggunakan kertas sebagai penyangga (Rouessac 2007). 2. Kromatografi Lapis Tipis TLC (Thin Layer Chromatography) yang biasa disebut Kromatografi lapis tipis (KLT) bersama-sama dengan kromatografi kertas (KKr) dengan berbagai macam variasinya pada umumnya dirujuk sebagai kromatografi planar. Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Settle,1997). Kromatografi lapis tipis merupakan teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam proses pemurnian dan identifikasi senyawa kimia pada tanaman obat. Prinsip KLT adalah pemisahan komponen berdasarkan distribusinya pada fase diam dan fase gerak. Komponen yang memiliki interaksi lebih besar terhadap fase diam akan tertahan lebih lama. Sebaliknya, komponen yang memiliki interaksi lebih besar terhadap fase gerak akan bergerak lebih cepat. Fase diam yang umum digunakan pada KLT adalah silika gel, alumina, kieselguhr, dan selulosa (Adnan 1997). Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Mulya,1995). Dibandingkan dengan HPLC dan GC, TLC mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: 1. KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak. 2. Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan 2 dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat dilakukan pada TLC. 3. Proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan daat dihentikan kapan saja. 4. Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi. Penjerap/Fase diam Penjerap yang paling sering digunakan pada TLC adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada TLC adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa penjerap TLC serupa dengan penjerap yang digunakan pada HPTLC. Kebanyakan penjerap dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Beberapa prosedur kromatografi, terutama pemisahan yang menggunkan larutan pengembang anhidrat, mensyaratkan adanya kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12 % b/b. Lempeng silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon steroid (Adomovic,1997) Fase Gerak pada KLT Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak : 1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif. 2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. 3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan. 4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam (Kaelay,2002). Aplikasi (Penotolan) sampel Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 l. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai macam jumlah sampel telah disarankan untuk digunakan dan diringkas pada tabel dibawah ini. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 l. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 l maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan. Pengembangan a) Konvensional dan KLT-kinerja tinggi Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending), yang mana ujung bawah lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan reprodusibilitas kromatografi yang baik, wadah fase gerak (chamber) harus dijenuhkan dengan uap fase gerak. Jarak pengembangan fasegerak biasanya kurang lebih 10-15 cm; akan tetapi beberapa ahli kromatografi memilih mengembangkan lempeng pada jarak 15 20 cm. Untuk lempeng KLT-kinerja tinggi (HPTLC), yang mempunyai ukuran partikel lebih kecil, maka pengembangan lempeng dilakukan ada jarak antara 3- 6 cm. b) Pengembangan 2 dimensi KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda. c) Pengembangan Kontinyu Pengembangan kontinyu (pengembangan terus menerus) dilakukan dengan cara mengalirkan fase gerak secara terus-menerus pada lempeng KLT melalui suatu wadah (biasanya alas tangki) melalui suatu lapisan dan dibuang dengan cara tertentu pada ujung lapisan. d) Pengembangan gradient Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan komposisi fase gerak yang berbeda-beda. Lempeng yang berisi analit dapat dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak tertentu lalu komponen fase gerak selanjutnya ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam bejana dan diaduk sampai homogen. Tujuan utama sistem ini adalah untuk mengubah polaritas fase gerak. Meskipun demikian untuk memperoleh komposisi fase gerak yang reprodusibel sangatlah sulit sehingga teknik kromatografi ini kurang begitu polpuler (Adomovic,1997). Deteksi Deteksi hasil pemisahan dengan KLT pada kromatogram (spot) dilakukan di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm atau penyemprotan dengan reagen tertentu seperti anisaldehida dan vanilin dalam asam sulfat. Pembentukan warna optimum pada spot bergantung pada suhu dan waktu tertentu. Suhu dan waktu optimum yang dapat digunakan untuk memunculkan warna dari spot setelah penyemprotan reagen adalah 105-110C selama 5-10 menit (Tripathi et al. 2006). Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi maka bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak : a) Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak. b) Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang panjang gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresesnsi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam. Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah dilakukan pengembangan. c) Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-kecoklatan. d) Memaparkan lempeng dengan uapa iodium dalam chamber tertutup. e) Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatat (recorder) (Mulya,1995). DAFTAR PUSTAKA Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Ed ke-1. Yogyakarta: Andi. Adamovics, J.A., 1997, Chromatographic Analysis of Pharmaceuticals, 2nd Edition, Marcel Dekker, New York. Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York: McGraw-Hill Comp. Kealey, D and Haines, P.J., 2002, Instant Notes: Analytical Chemistry, BIOS Scientific Publishers Limited, New York. Mulya, M., dan Suherman, 1995, Analisis Instrumen, Airlangga University Press, Surabaya. Patnaik Pradyot. 2004. Deans Analytical Chemistry Handbook. Second Edition. New York: McGraw-Hill Comp. Rouessac Francis, Annick Rouessac. 2007. Chemical Analysis: Modern Instrumentation Methods and Techniques. Second Edition. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd. Settle, F (Editor), 1997, Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry, Prentice Hall PTR, New Jersey, USA. Tripathi et al. 2006. Quantitative determination of phyllanthin and hypophyllanthin in phyllanthus species by high peRformance thin layer chromatography. Phytochemical Analysis17: 394-397.
LD50 Definisi & Batasan LD50 adalah dosis tertentu yang dinyatakan dalam miligram berat bahan uji per kilogram berat badan (BB) hewan uji yang menghasilkan 50% respon kematian pada populasi hewan uji dalam jangka waktu tertentu. Batasan LD 50 berdasarkan PP-RI No.74/2001 adalah : Category LD50 (mg/kg) Category
Extremely Toxic 15,000 Relatively Harmless
UJI TOKSISITAS DENGAN METODE BSLT BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebanyakan obat dapat diukur aktivitasnya secara cepat dan teliti dengan metode kimiawi atau fisika, dengan menggunakan alat modern, misalnya dengan spektrofotometer ultraviolet/infrared, dan polarograf. Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk sediaan tak murni atau campuran dari beberapa zat aktif, metode ini tidak dapat dilakukan. Obat-obat ini diukur dengan metode biologis, yaitu dengan bio-assay, dimana aktifitas ditentukan oleh organisme hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat tersebut dengan efek suatu standar internasional. Suatu metode yang menggunakan udang laut Artemia salina Leach diajukan sebagai suatu Bio-assay sederhana untuk penelitian produk alamiah adalah Brine Shimp Lethality Test. Metode ini menggunakan hewan uji Artemia salina Leach yang merupakan udang-udangan primitif, sederhana dan efektif dalam ilmu biologi dan toksikologi. Prosedur penentuan LC50 dalam /ml dari ekstrak dilakukan dalam medium air asin. Besarnya aktifitas dari ekstrak ditunjukkan sebagai toksisitas terhadap larva udang. Pengujian Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ini dimaksudkan untuk menguji efek toksik dan sitotoksik yang terdapat pada suatu senyawa kimia. I.2 Maksud Percobaan Maksud percobaan ini adalah untuk mengetahui dan memahami uji toksisitas dari suatu senyawa bahan alam dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) terhadap larva udang (Artemia salina). I.3 Tujuan Percobaan Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan LC 50 dari ekstrak n-heksan daun beruwas laut terhadap larva udang (Artemia salina) dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). I.4 Prinsip Percobaan Penentuan LC 50 dari ekstrak n-heksan daun beruwas laut dengan menggunakan metode BSLT ( Brine Shrine Lethality Test ) dengan melihat banyaknya jumlah larva udang yang mati setelah didiamkan selama 1 x 24 jam ditempat yang tertutup dan mendapat sinar lampu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Teori Umum Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek terapeutis obat berhubungan erat dengan efek toksisnya (Tjay, 2002). Toksikologi merupakan ilmu yang lebih tua dari Farmakologi. Disiplin iini mempelajari sifat- sifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan llingkungan. Sedikitnya 50.000 zat kimia kini digunakan oleh manusia dan karena tidak dapat dihindarkan, maka kita harus sadar tentang bahayanya (Ganiswarna, 1995). Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek toksik. Pada umumnya, hebatnya reaksi toksis berhubungan langusng dengan tingginya dosis, bila dosis diturunkan, efek toksis dapat dikurangi pula (Tjay, 2002). Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelcus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Sekarang dikenal banyak faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat racun, namun dosis tepat merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek farmakoterapeutik (Ganiswarna, 1995). Sintesis zat kimia yang diperkirakan berjumlah 1000 per tahun, menyebabkan toksikologi tidak hanya meliputi sifat-sifat racun, tetapi lebih penting lagi mempelajari keamanan setiap zat kimia yang dapat masuk ke dalam tubuh. Zat-zat kimia itu disebut xenobiotik (xeno = asing). Setiap zat kimia baru harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara luas (Ganiswarna, 1995). Salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik adalah dengan uji toksisitas terhadap larva udang dari Artemia Salina Leach (Brine Shrimp Lethality Test). Metode ini sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak perlu kondisi aseptis) dan dapat dipercaya (Meyer, 1982). Cara pengujian toksisitas terhadap larva udang (BST) adalah dengan menetaskan telur udang pada media air laut alami atau air laut buatan (ALB) (lampiran 4). Air laut alami atau ALB diambil secukupnya proposional dengan jumlah telur, dibiarkan hingga telur menetas menjadi larva. Sementara itu dibuat sederetan larutan pada beberapa konsentrasi, untuk ekstrak dibuat konsentrasi 10,0 ; 100 dan 100 x 10 g/mL dan isolat atau fraksi dengan konsentrasi 10,0 ; 50,0 ; 100 dan 250 g/mL, juga dibuat blankonya. Selanjutnya larutan-larutan tersebut ditaruh dalam vial-vial hingga kering, kemudian larva udang yang telah berumur 48 jam dimasukkan ke dalam masing-masing vial dan ditambah air laut alami atau ALB hingga volume 5,0 mL. Setelah 24 jam dicatat jumlah larva udang yang hidup dan yang mati. Hasil kematian larva udang kemudian dihitung dengan analisis probit dan diperoleh hasil akhir yang dinyatakan sebagai harga medianlethal concentration (LC50) (Http://www library@lib.unair.ac.id; library@unair.ac.id) Lebih dari itu uji larva udang ini juga digunakan untuk praskrining terhadap senyawa senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor. Hasil uji toksisitas ini dapat diketahui dari jumlah kematian anak udang Artemia salina Leach, karena pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam tumbuhan tertentu dari dosis yang telah ditentukan. Metode ini dilakukan dengan menentukan besarnya LC50 selama 24 jam. Data tersebut dianalisis dengan komputer, menggunakan Probit Analysis untuk menentukan harga LC50. Bila masing-masing ekstrak yang diuji kurang dari 1000 g/ml maka dianggap menunjukkan aktivitas biologik (Anderson, 1991). Artemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga jenuh garam. Secara alamiah salinitas danau dimana mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6 % telur artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas, hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk kedalam danau dimusim penghujan. Sedangkan apabila kadar garam lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan normal (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ). Kista tertua artemia pernah ditemukan oleh suatu perusahan pemboran yang bekerja disekitar Danau "Salt Great". Kista tersebut diduga berusia sekitar lebih dari 10000 tahun (berdasarkan metoda "carbon dating"). Setelah diuji, ternyata kista-kista tersebut masih bisa menetas walaupun usianya telah lebih dari 10000 tahun (Http://www.o- fish.com/pakanikan/artemia.php ) Siklus hidup Siklus hidup Artemia silina bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setalah 15-20 jam pada suhu 25C kista akan menetasa menjadi embrio. Dalam waktu bebrapa jam embrio ini masih akan menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudiaan berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam mereka akan ganti kulit dan akan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainny. Pada dasarnya mereka tidak akan pedulih (tidak pemilih) jenis pakan yang dikomsumsinya selama bahan tersebut diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit selama 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli.
Gambar siklus hidup Artemia silina Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii atau kista sebanyak 300 ekor(butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakana sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ). Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu 18 hingga 40C. Sedangkan tempertur optimal untuk penetasan kista dan pertubuhan adalah 25-30C. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya mati (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ). Variabel lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan cepat. Sehingga suplai Artemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terus berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat, artemia akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ). Dekapsulisasi dapat meningkatkan peresentase keberhasilan sampai dengan 10%. Penetasan dapat dilakukan pada semua jenis wadah.. Untuk mempermudah "pemanenan" penetasan bisa dilakukan dalam akuarium berbentuk prisma terbalik, atau berdasarkan prinsip "kamar gelap dan terang". Pemanenan paling mudah dilakukan dengan cara di siphon (Http://www.o- fish.com/pakanikan/artemia.php ). Dekapsulisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista artemia yang "keras" (korion). Proses ini setidaknya akan mempermudah "bayi" artemia untuk keluar dari "sarang"nya. Dan kalaupun tidak berhasil "menetas", kista yang telah didekapsulisasi masih bisa diberikan kepada ikan/burayak dengan aman, karena korionnya sudah hilang, sehingga akan dapat dicerna dengan mudah. Disamping itu proses ini juga sekaligus merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan seperti bakteri, jamur, dan lain-lain (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ) Ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi diantaranya : (Mustchler, 1991) 1. Efek toksis akut, yang langsung berhubungan dengan pengambilan zat toksik. 2. Efek toksik kronik, yang pada umumnya zat dalam jumlah sedikit diterima tubuh dalam jangka waktu yang lama sehingga akan terakumulasi mencapai konsentrasi toksik dan dengan demikian menyebabkan terjadinya gejala keracunan. Efek samping toksik bergantung pada dosis dan spesifik bagi obat. Sepanjang diberikan dosis yang cukup tinggi, efek samping toksik terjadi pada setiap orang (Mustchler, 1991). Kanker merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular. Kuran dari dapat disembuhkan hanya dengan pembedahan atau radiasi lokal, sisanya memerlukan kemoterapi sistemik selama sakitnya. Sebagian kecil (kira-kira 10%) menderita neoplasma khusus, kemoterapi dapat menyembuhkan atau memberikan remisi yang lama(Mycek, 2001). Kemoterapi kanker merusak dan mematikan sel sehingga menghentikan perkembangan tumor. Umumnya, serangan bersifat langsung terhadap tempat-tempat terjadinya metabolisme sel dalam replikasi sel, misalnya tersedianya prekursor urine dan pirimidin untuk proses sintesis RNA dan DNA (Mycek, 2001). Toksikologi sangat luas cakupannya. Ia menangani penelitian toksisitas bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain (Lu, 1995) 1. Di bidang kedokteran untuk tujuan diagnostik, pencegahan dan terapeutik. 2. Dalam industri makanan sebagai zat tambahan langsung maupun tidak langsung. 3. Dalam pertanian sebagai peptisida, zat pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan dan zat tambahan makanan hewan. 4. Dalam industri kimia sebagai pelarut. II.2 Uraian Bahan 1. Air Suling (Ditjen POM,1979) Nama resmi : Aqua destillata Sinonim : Air suling, aquadest RM/BM : H 2 O / 18,02 Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa. Penyimpanan : Dalam wadah tertrutup baik. Kegunaan : Sebagai pelarut 2. Ekstrak ragi (Ditjen POM, 1979) Nama resmi : Ekstrak ragi Sinonim : Sari ragi Pemerian : Kuning kemerahan sampai coklat, bau khas tidak busuk Kelarutan : Larut dalam air, membentuk larutan kuning sampai coklat, bereaksi asam lemah Penyimpanan : Dalam wadah tertrutup baik. Kegunaan : Sebagai sumber makanan Artemia salina 3. n-heksan (Ditjen POM, 1995) Nama resmi : N-HEKSANA Sinonim : N-heksan RM/BM : C 6 H 14 / 86,18 Pemerian : Cairan jernih , mudah menguap berbau seperti eter lemah atau bau seperti potreleum. Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol mutlak, dapat campur dengan eter, dengan klorofor, benzena, dan sebagian besar minyak lemak dan minyak atsiri. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat Kegunaan : Sebagai pelarut ekstrak II.3 Uraian Tanaman II.3.1 Klasifikasi (http://www.plantamor.com/index.php?plant=2197) Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Urticales Famili : Goodeniaceae Genus : Scaevola Spesies : Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb II.3.2 Morfologi Scaevola taccada dijumpai dari Madagaskar ke arah timur ke Asia Tenggara, seluruh Malesia, daerah tropis Australia, Kepulauan Pasifik dan Hawaii. Jenis ini telah dibudidayakan dan tumbuh meliar di tenggara Amerika Serikat. emak tegak atau pohon kecil dengan ranting menggalah. Daun berseling, sebagian besar berkumpul di ujung dahan, menyudip sampai membundar telur sungsang. Perbungaan aksiler, percabangan jarang. Bunga tidak beraroma, putih sampai kuning muda. Buah pelok berdaging, putih saat matang, berbiji 2. II.3.3 Kandungan Kimia dan Kegunaan Kandungan Kimia : Daun dewa mengandung zat saponin, minyak atsiri, flavonoid, dan tanin. Efek farmakologis didapatkan dari seluruh tanaman. Kegunaan : Di seluruh Asia Tenggara dan Australia, cairan daun atau cairan buah yang matang yang telah diencerkan dari Scaevola taccada digunakan untuk menjernihkan mata buram dan menyembuhkan infeksi mata. Di Malaysia, daun yang pahit dapat dimakan untuk menyembuhkan gangguan pencernaan, dan tapal daunnya untuk sakit kepala. Di Indonesia, akarnya dimanfaatkan sebagai anti keracunan makan ikan atau kepiting. Di Filipina, rebusan akar dipakai untuk beri-beri dan untuk infeksi siphilis dan untuk disentri. Di Thailand, akar dan daunnya digunakan penyakit kulit. Di Finschafen (Papua Nugini), daun mudanya dikunyah dan direbus untuk teh atau jus dari daun yang telah dipanaskan dicampur dengan air untuk menyembuhkan batuk. Air dari daun dapat dipakai langsung untuk pegal- pegal. Daun mudanya juga dikunyah untuk meredakan batuk di pulau New Hanover, dan untuk mengobati tuberkulosis di pulau Karkar. Setelah lapisan epidermalnya dihilangkan, daun dapat dikunyah untuk mengobati malaria. Begitu pula di beberapa pulau di utara Nugini, daun digunakan untuk mengobati batuk atau flu. Di Irlandia Baru dan Milne Bay, ekstrak dari daun digunakan sebagai alat kontrasepsi wanita jangka panjang. Pemanfaatan yang lain meliputi menyembuhkan sakit telinga di pulau Manus, dan asma dan tuberkulosis di pulau Karkar. Di Australia utara jus yang diperas dari batang muda dan buah matang diusapkan langsung pada bekas gigitan atau sengatan. Di Samoa, daunnya digunakan untuk menyembuhkan penyakit kulit, bengkak-bengkak, sakit gajah, bengkak pada kantung kemaluan, flu dan salah cerna, akarnya dikenal baik untuk terapi kanker; pepagannya untuk abses, gangguan saat mensturasi dan patah tulang; batangnya untuk gangguan rongga perut. Di Western Highlands (Papua Nugini) jus dari batang Scaevola oppositifolia R.Br. dipakai untuk radang telinga. Di daerah lain di Nugini, air dari batang untuk membasuh mata lelah dan luka, dan dalam keadaan panas untuk bisul. II.4 Uraian Hewan Coba (Bougis, 1995) II.4.1 Klasifikasi Artemia salina Kingdom : Animalia Phyllum : Arthropoda Class : Crustacea Ordo : Arostracia Familia : Artemiidae Genus : Artemia Species : Artemia salina II.4.2 Karakteristik Artemia salina 1. Siklus Hidup Artemia salina Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15-20 jam pada suhu 25C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli. 2. Syarat penetasan Artemia salina Kista artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila sarat-sarat yang diperlukannya dapat dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah: a. Salinitas antara 20-30 ppt (parts per thousand) atau 1-2 sendok teh garam per liter air tawar. Untuk buffer bisa ditambahkan magnesium sulfat (20 % konsentrasi) atau 1/2 sendok teh per liter air. b. Suhu air 26 - 28 C. c. Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk merangsang proses. d. Aerasi yang cukup; untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm e. pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan soda kue untuk menaikkan pH. f. Kepadatan sekitar 2 gram per liter. g. Sebelumnya dapat dilakukan proses dekapsulisasi untuk melunakan cangkang. BAB III Metode Kerja III.1 Alat Yang Digunakan Alat-alat yang dugunakan pada percobaan ini adalah (Anonim, 2012): 1. Aerator 2. Batang pengaduk 3. Corong 4. Gelas ukur 10 ml 5. Mikropipet 6. Neraca analitik 7. Pipet skala 1 ml 8. Pipet tetes 9. Seperangkat alat penetasan telur 10. Timbangan kasar 11. Termometer 12. Vial III.2 Bahan Yang Digunakan Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah (Anonim, 2012): 1. Air laut 2. Air suling 3. Aluminium foil 4. Ekstrak n-heksan daun beruas laut 5. Ekstrak ragi 6. Kertas saring 7. N-heksan 8. Telur udang Artemia salina Leach III.3 Hewan Coba Hewan coba yang digunakan pada percobaan ini adalah larva udang (Artemia salina) Leach. III.4 Cara Kerja III.4.1 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Coba Hewan uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah larva udang (Artemia salina leach). Larva udang dipelihara dalam wadah dibawah sinar lampu dengan bantuan aerator untuk kebutuhan oksigen. III.4.2 Penyiapan Bahan 1. Pembuatan ekstrak Daun beruwas laut a. Pengolahan sampel 1. Ditimbang sampel uji sebanyak 500 mg 2. Dipotong potong potong kecil sampel uji 3. Dicuci dengan air 4. Disortasi basah sampel dengan cara memisahkan kotoran kotoran yang melekat pada akar penawar 5. Dikeringkan sampel uji 6. Disortasi kering 7. Sampel uji siap dimaserasi b. Ekstraksi sampel Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan potongan-potongan daun beruwas laut sebanyak 500 mg ke dalam bejana maserasi (toples), kemudia ditambah 250 ml metanol, ditutup dan dibiarkan selama 3 hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, sambil berulang ulang diaduk. Setelah 3 hari, disaring ke dalam bejana penampung, kemudian ampas daun beruwas laut diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi sehingga diperoleh sari 100 ml. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. c. Penguapan ekstrak 1. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan cara diangin anginkan dibawah kipas angin 2. Diperoleh ekstrak kental atau padat 2. Pembuatan ekstrak n-heksan a. Ditimbang ekstrak padat n-heksan daun beruwas laut sebanyak 100 mg b. Ditambahkan 10 ml air laut c. Dihomogenkan d. Diencerkan menjadi empat macam konsentrasi yaitu 0,1, 1, 10, dan 100 ppm 3. Pembuatan suspensi ragi a. Disiapkan alat dan bahan b. Ditimbang ragi 3 mg c. Ditambahkan dengan 5 ml air laut lalu diaduk lagi hingga homogen d. Disimpan ragi tersebut pada vial dan siap digunakan III.4.2 Perlakuan 1. Dilarutkan sampel uji yang telah ditimbang 2. Sampel dipipet kedalam vial masing-masing 0,1 , 1 , 10 , dan 100 mikroliter menggunakan mikropipet 3. Diuapkan pelarutnya kemudian ditambah 5 ml air laut. 4. Dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina Leach kedalam vial yang berisi sampel uji. 5. Dicukupkan volumenya sampai 10 ml dengan air laut. 6. Ditambahkan 1 tetes suspensi ekstrak ragi kedalam tiap vial sebagai sumber makanan. 7. Disimpan vial-vial uji ditempat yang cukup mendapat sinar lampu. 8. Dilakukan pengamatan setelah 24 jam terhadap jumlah larva yang mati. BAB IV HASIL PRAKTIKUM IV.1 Data Pengamatan
[ ] Sampel Replikasi Larva yg mati VI.2 Perhitungan % Kematian [0,1] = = 23,33% [1] = = 53,33% [10] = = 70% [100] = = 86,67% Ket : X = Log konsentrasi Y = Probit Persamaan garis y = a + bx
= = = 4,96
= = = 0,59 y = 4,96 + 0,59x 5 = 4,96 + 0,59x x = x = 0,07
x = log LC 50
LC 50 = Antilog 0,07 = 1,17 y = a + bx y = 4,96 + 0,59x y 1 = 4,96 + 0,59 (-1) = 4,37 y 2 =4,96 + 0,59 (0) = 4,96 y 3 = 4,96 + 0,59 (1) = 5,55 y 4 = 4,96 + 0,59 (2) = 6,14
SE log LC 50
SE LC 50 = LC 50 x ln 10 x SE log LC 50
= 1,17 x 2,3 x 0,28 = 0,57 Jadi LC 50 = 1,17 0,57 g/ml BAB V PEMBAHASAN Biossay adalah suatu pengujian tentang toksisitas pada suatu produk dalam rangka pencarian produk alam yang potensial yang biasanya menggunakan makhluk hidup sebagai sampel. Kebanyakan obat dapat diukur aktivitasnya secara cepat dan teliti dengan metode kimiawi atau fisika, dengan menggunakan alat modern, misalnya dengan spektrofotometer ultraviolet/ infrared. Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk sediaan tak murni atau campuran dari beberapa zat aktif, metode ini tidak dapat dilakukan. Obat-obat ini diukur dengan metode biologis, yaitu dengan bio-assay, dimana aktivitas ditentukan oleh organisme hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat tersebut dengan efek suatu standar internasional. Toksisitas adalah efek beracun dari suatu senyawa atau bahan obat pada organ target. Umumnya suatu senyawa kimia mempunyai potensi terhadap timbulnya gangguan atau kematian jika diberikan pada organisme hidup, untuk dilakukan pengujian untuk mengetahui tingkat keamanan dan keberbahayaan suatu zat yang diuji atau lebih dikenal dengan istilah uji toksisitas. Zat toksis umumnya berasal dari alam maupun bahan sintetik. Bahan-bahan yang dapat bersifat toksis antara lain zat tambahan misalnya pewarna, pemanis bumbu penyedap dll, dan zat pencemar pada makanan (pestisida, logam-logam terutama logam berat serta pencemaran lingkungan. Ada 3 jenis metode pengujian Biossay untuk mengetahui toksisitas suatu bahan alam yaitu Simple Brench-Top Bioassay (Metode BSLT Brine Shrimp Lethality Test, Lemna Minor Bioassay dan Crown-Gall Potato Disc Bioassay) serta Pengujian pada sel telur babi. a. Metode BSLT Brine Shrimp Lethality Test adalah suatu metode guna menentukan toksisitas suatu senyawa bahan alam dengan cepat, murah dan cukup akurat untuk penapisan ekstrak bahan aktif dengan menggunakan hewan uji Artemia salina Leach yang berumur 48 jam. Metode ini juga digunaka untuk mendeteksi keberadaan senyawa toksik dalam proses isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik dengan menentukan harga LC 50 dari senyawa aktif. Metode BST dapat digunakan dari berbagai sistem uji seperti morfin, karsinogenik dan ketoksikan dari hewan dan tumbuhan laut serta senyawa racun dari tumbuhan darat. b. Lemna minor Biossay terutama digunakan sebagai uji pendahuluan terhadap bahan yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan pengujian ini dapat diamati bahwa anti tumor alami juga dapat menghambat pertumbuhan lemna, walaupun korelasinya dengan antitumor lainnya kurang baik. Oleh karedna itu pengujian ini lebih diarahkan untuk mencari herbisida dan stimulant pertumbuhan baru. c. Crown-gall potato Biossaay merupakan metode pengujian toksisitas yang relatif cepat pengerjaannya, tidak mahal, tidak memerlukan hewan percobaan serta menunjukan korelasi yang baik dengan uji anti tumor lainnya. Crown-Gall merupakan suatu penyakit neoplastik pada tumbuhan yang disebabkan bakteri gram negatif Agrobacterium tumefaciens yang selanjutnya menyebabkan pertumbuhan jaringan tumor secara otonom dan tidak dipengaruhi oleh mekanisme kontrol normal. Efek toksik yang terjadi sangat bervariasi dalam sifat, organ, sasaran maupun mekanisme kerjanya. Efek toksisitas dapat bersifat ;
Principal Component Analysis (PCA)/Proyeksi Eigen Posted on January 2, 2013 Sejarah PCA PCA adalah teknik statistik yang sudah digunakan secara luas baik dalam hal pengenalan wajah maupun pengenalan pola dari sebuah gambar. Metode Principal Component Analysis (PCA) dibuat pertama kali oleh para ahli statistik dan ditemukan oleh Karl Pearson pada tahun l90l yang memakainya pada bidang biologi. Kemudian tidak ada perkembangan baru pada teknik ini, dan. perkembangannya baru mulai pesat pada akhir tahun l930 dan awal 1940. Setelah itu perkembangannya berkurang sebentar sampai komputer telah berhasil didesain sehingga dapat mengaplikasikan teknik ini pada masalah-masalah yang masuk akal. Pada tahun 1947 teori ini muncul lagi dan cukup independen sebagai teori probabilitas yang ditemukan oleh Karhunen, dan kemudian dikembangkan oleh Loeve pada tahun l963, sehingga teori ini juga dinamakan Karhunen-Loeve transform pada bidang ilmu telekomunikasi. Teknik PCA PCA adalah sebuah transformasi linier yang biasa digunakan pada kompresi data. PCA adalah sebuah teknik statistika yang berguna pada bidang pengenalan, klasifikasi dan kompresi data citra. PCA juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk menarik fitur- fitur dari data pada sebuah skala berdimensi tinggi. Dengan cara mentransformasikan citra ke dalam eigenfaces secara linier, proyeksikan citra ke dalam bentuk skala berdimensi n, yang menampakkan properti dari sampel yang paling jelas sepanjang koordinat. PCA memproyeksikan citra ke dalam subspace, dan menghitung variasi dari citra tersebut. Dengan kata lain, PCA adalah transformasi linear untuk menentukan sistem koordinat yang baru dari dataset. Teknik PCA dapat mengurangi dimensi dari dataset tanpa tidak menghilangkan informasi penting dari dataset. UJI RESISTENSI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroorganisme yang berada di sekitar kita bermacam-macam ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan bagi makhluk hidup, khususnya pada manusia. Mikroorganisme misalnya bakteri ada yang bersifat patogen dan non patogen. Bakteri patogen adalah bakteri yang dapat menyebabkan penyakit tertentu, sedangkan bakteri non patogen adalah bakteri yang tidak menyebabkan penyakit. Adanya bakteri patogen membuat peneliti mulai mengembangkan pengetahuan mengenai resistensi suatu bakteri dan menemukan zat antimikrobia yang kemudian memudahkan manusia untuk mengendalikan pertumbuhan suatu bakteri. Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Chaidir, 1994). Tiap-tiap antibiotik memiliki efektivitas yang berbeda-beda terhadap mikroorganisme (bakteri). Beberapa antibiotik dapat bekerja dengan baik pada bakteri gram negatif dan beberapa antibiotik lainnya ada yang lebih efektif pada bakteri gram positif. Cara mmengetahui efektivitas suatu antibiotik dengan mengetahui tingkat resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat dilakukan dengan uji Kirby-Bauer. Prinsip dasarnya adalah dengan meletakkan disk yang telah mengandung antibiotik dengan konsentrasi dan kadar tertentu pada media agar yang telah ditanam bakteri uji. Zona hambat/ bening yang dihasilkan disekitar disk inilah yang digunakan sebagai dasar penentuan tingkat resistensi.tingkat resisntensi bakteri dibedakan menjadi 3 yakni: sensitif, intermediet, dan resisten. Bakteri bersifat sensitif adalah jika terbentuk zona bening pada saat diuji Kirby-Bauer, resisten adalah jika tidak terbentuk zona bening pada saat diuji Kirby-Bauer, sedangkan intermediet adalah jika terbentuk zona bening pada saat diuji Kirby-Bauer dengan diameter yang kecil. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengetahui resistensi bakteri terhadap antibiotik (ampisilin) dan mengetahui efektifitas antibiotik tersebut, maka dilakukan percobaan uji resistensi pada bakteri (sampel air selokan) Fakultas MIPA, Universitas Negeri Surabaya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas, dapat ditarik rumusan masalah yaitu: a. Bagaimanakah cara menguji tingkat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotik tertentu? b. Bagaimanakah efektivitas antibiotik (Ampisilin) terhadap bakteri gram negatif berbentuk monococcus dari sampel air selokan? 1.3 Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah : a. Mengetahui cara menguji tingkat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotik tertentu. b. Mengetahui efektivitas suatu antibiotik terhadap bakteri uji. 1.4 Manfaat Manfaat dari praktikum uji resistensi ini adalah : a. Dapat memberikan pengetahuan cara menguji resistensi suatu bakteri. b. Dapat memberikan pengetahuan mengenai sifat antibiotik yang memiliki efektivitas berbeda-beda terhadap suatu jenis bakteri. c. Dapat memberikan pengetahuan bahwa konsentrasi antibiotik mempengaruhi besar kecilnya zona hambat yang dihasilkan. BAB II KAJIAN PUSTAKA Mikroorganisme dapat ditemukan hampir di setiap lingkungan, termasuk lingkungan- lingkungan dimana tidak ada kehidupan lain yang dapat bertahan hidup. Mikroorganisme mampu bertahan hidup di berbagai kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Mereka juga mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan yang sangat ekstrim. Jenis-jenis mikroorganisme yang ditemukan di suatu lingkungan mempunyai pertumbuhan yang berbeda-beda pula. Pertumbuhan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimiawi. Selayaknya mahluk hidup, mikroorganisme juga membutuhkan zat-zat tertentu untuk tumbuh dan juga memberikan respon terhadap zat-zat yang merusak mereka. Bahan- bahan kimia baik organik maupun anorganik bersifat racun bagi mikroorganisme. Bahan- bahan ini dapat menghambat atau mematikan mikroba yang bersifat patogen dan merugikan manusia. Senyawa yang dapat menghambat mikroba disebut senyawa antiseptik, sedangkan senyawa yang bisa mematikan mikroba disebut senayawa desinfektan. Salah satu senyawa antiseptik yang dapat menghambat pertumbuhan salah satu jenis mikroba misalnya bakteri adalah antibiotik. Antibiotik atau dikenal juga sebagai obat anti bakteri merupakan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Alexander Fleming pada tahun 1927 menemukan antibiotika yang pertama yaitu penisilin. Pada tahun 1940, antibiotika dapat dikatakan merubah dunia pengobatan serta mengurangi angka kesakitan & kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi secara dramatis (Ganiswarna, 1995). Pengertian dari antibiotika pada awalnya merujuk pada senyawa yang dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit pada hewan & manusia. Saat ini beberapa jenis antibiotika merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan dari mikororganisme) tetapi juga dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Secara teknis, zat yang dapat membunuh bakteri baik berupa senyawa sintetis atau alami disebut dengan zat antimikroba, akan tetapi banyak orang yang menyebutnya dengan antibiotika. Antibiotika mempunyai manfaat yang sangat banyak, penggunaan antibiotika secara berlebihan juga dapat memicu terjadinya resistensi antibiotika (Wasitaningrum, 2009). Resistensi antibiotika ialah kemampuan dari bakteri atau mikroorganisme lain untuk menahan efek antibiotika. Resistensi antibiotika terjadi ketika bakteri dapat merubah diri sedemikian rupa hingga dapat mengurangi efektifitas dari suatu obat, bahan kimia ataupun zat lain yang sebelumnya dimaksudkan untuk menyembuhkan atau mencegah penyakit infeksi sehingga mengakibatkan bakeri tersebut tetap dapat bertahan hidup. Bakteri dapat membentuk ketahanan khusus terhadap suatu jenis antibiotika tertentu, sehingga membahayakan orang yang terkena penyakit tersebut. Kesalahpahaman yang sering terjadi di masyarakat yaitu adanya anggapan bahwa yang resisten terhadap obat tertentu ialah tubuh seseorang, padahal sebenarnya bakteri yang ada di dalam tubuh itulah yang menjadi resisten terhadap pengobatan, bukan tubuhnya (Stainier, et al., 1986). Cara pengujian resistensi mikroba terhadap suatu jenis antibiotik dapat dilakukan dengan uji resistensi. Teknik ini menggunakan zat kimia untuk mengurangi dan membunuh mikroorganisme, terutama mikroba yang patogen. Metode yang biasa dipakai adalah metode Metode Kirby-Bauer yang merupakan cara untuk menentukan sensitifitas antibiotik untuk bakteri. Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter zona hambat terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada metode Kirby-Bauer adalah: a. Ketebalan media agar Dapat mempengaruhi penyebaran dan difusi antibiotik yang digunakan. b. Umur bakteri Bakteri yang berumur tua (fase stationer) tidak efektif untuk diuji karena mendekati kematian dan tidak terjadi pertumbuhan lagi sehingga yang dipakai bekteri berumur sedang (fase eksponential) karena aktivitas metabolitnya tinggi, pertumbuhan cepat sehingga lebih peka terhadapa daya kerja obat dan hasilnya lebih akurat. c. Waktu inkubasi Waktu yang cukup supaya bakteri dapat berkembang biak dengan optimal dan cepat. Waktunya minimal 16 jam. d. pH, temperature Bakteri memiliki pH dan temperature optimal untuk tumbuh yang berbeda-beda sehingga sebaiknya dilakukan saat pH dan temperature yang optimal. e. Konsentrasi antibiotik Semakin besar konsentrasinya semakin besar diameter hambatannya.. f. Jenis antibiotik setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap antibiotiknya, tergantung sifat antibiotik tersebut (berspektrum luas/berspektrum sempit). Bakteri dapat membentuk ketahanan khusus terhadap suatu jenis antibiotika tertentu, sehingga membahayakan orang yang terkena penyakit tersebut. Kesalahpahaman yang sering terjadi di masyarakat yaitu adanya anggapan bahwa yang resisten terhadap obat tertentu ialah tubuh seseorang, padahal sebenarnya bakteri yang ada di dalam tubuh itulah yang menjadi resisten terhadap pengobatan, bukan tubuhnya (Sinaga, 2005). Setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap antibiotiknya, tergantung sifat antibiotik tersebut (berspektrum luas/berspektrum sempit). Ampicillin merupakan salah satu antibiotik yang termasuk golongan penisilin semi-sintetik yang berasal dari inti penisilin yaitu asam 6-amino penisilat (6-APA) dan merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat bakterisid. Secara klinis, ampicillin efektif terhadap bakteri gram-positif seperti S. pneumonia, enterokokus dan stafilokokus yang tidak menghasilkan penisilinase, sedangkan pada bakteri gram-negatif, diantaranya gonokokus, H. influenza, beberapa jenis E.coli, Shigella, Salmonella dan P. mirabilis. Seperti golongan penicillin lainnya, ampicillin bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel yaitu dengan menyerang peptidoglikan dan mampu melakukan penetrasi pada bakteri gram positif dan gram negatif. Keberadaan gugus amino pada Ampicillin membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri (Brander, et al., 1991). Ampisilin termasuk antibiotik yang bersifat bakterisidal dan memiliki mekanisme kerja yang secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja ampicilin antara lain: 1. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat transpeptidasi sintesis peptidoglikan pada aksi enzim transpeptidase bakteri. Transpeptidase merupakan enzim yang bekerja dalam proses cross-linking dari rantai peptida dalam membentuk senyawa peptidoglikan yang terjadi pada tahap akhir pembentukan dinding sel (Essack, 2001; Chamber, 2004). Proses Cross linking tersebut digunakan dalam integritas struktur dinding sel bakteri. 2. Perlekatan obat pada protein spesifik pengikat penisilin atau Penicillin-Binding Protein (PBP) yang berlaku sebagai reseptor obat pada bakteri. 3. Aktivasi enzim autolitik pada dinding sel akibat perlekatan obat pada PBP. Aktivasi tersebut menyebabkan lisis dinding sel bakteri (Jawetz, 1997; Dzen et. al., 2003). BAB III METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Praktikan melaksanakan praktikum uji resitensi bakteri pada hari kamis tanggal 4 april 2013. Praktikan melaksanakan praktikum tersebut di Laboratorium Mikrobiologi Dasar, Gedung C9, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya. 3.2 ALAT DAN BAHAN A. Alat Cawan petri 2 buah Kertas hisap (paper disc) 12 buah B. Bahan Media taoge agar Media taoge cair Bakteri uji 2 ml Antibiotik amphicillin 500 mg 3.3 PROSEDUR KERJA a. Dilakukan peremajaan/ sub culture bakteri uji yang akan digunakan pada media taoge cair. b. Diinkubasi pada suhu 28-30C selama 24 jam. c. Diambil 1 ml kultur bakteri, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril (dilakukan secara duplo). d. Media taoge agar dituangkan ke dalam cawan petri, kemudian dihomogenkan. e. Membuat paper disc dari kertas hisap berbentuk lingkaran dengan diameter kurang dari 1 cm, kemudian direndam dalam antibiotik dengan konsentrasi 50 mg/ml, 25 mg/ml, dan 5 mg/ml (tiap konsentrasi 3-4 paper disc). f. Kertas hisap yang telah direndam diletakkan pada media Taoge Agar yang telah ditanami bakteri uji (langkah no.4), diberi tanda pada bagian luar cawan supaya tidak tertukar. g. Diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 28-30C. h. Diamati zona hambat/zona bening yang terbentuk, kemudian diukur diameternya. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Tabel 4.1. Pengamatan Uji Resistensi Pada Cawan Petri Identifikasi Uji Resistensi Cawan A Uji Resistensi Cawan B Gambar 25 mg/ml 50 mg/ml 5 mg/ml
25 mg/ml 50 mg/ml 5 mg/ml
Mikroorganisme Bakteri (sampel air selokan depan gedung C3- FMIPA) Bakteri (sampel air selokan depan gedung C3- FMIPA) Morfologi Karakteristik optik: Opaque Bentuk: punctiform Elevasi: raised Bentuk tepian: entire Karakteristik optik: Opaque Bentuk: punctiform Elevasi: raised Bentuk tepian: entire Bentuk sel Coccus (bulat) Coccus (bulat) Susunan sel Monococcus Monococcus Gram positif (+) atau negatif (-) Negatif (-) Negatif (-) Diameter zona hambat Konsentrasi 50 mg/mL: 1,6 cm Konsentrasi 25 mg/mL: 1,3 cm Konsentrasi 5 mg/mL: 1,1 cm Konsentrasi 50 mg/mL: 1,5 cm Konsentrasi 25 mg/mL: 1,2 cm Konsentrasi 5 mg/mL: 1,1cm Keterangan: diameter paper disk = 0,5 cm Hasil yang kami dapatkan dari uji resistensi berupa reaksi dari bakteri terhadap antibiotik, sensitif atau resisten, dapat dilihat dari zona inhibitor yang terbentuk. Terdapat perbedaan besar zona hambat/ zona bening yang terbentuk sebagai respon terhadap perbedaan pengenceran antibiotik. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa besarnya pengenceran berbanding lurus dengan besarnya zona hambat/zona yang terbentuk. Semakin besar pengenceran (50 mg/ml) maka semakin besar diameter zona hambat/ zona bening yang terbentuk. 4.2 Pembahasan Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan uji sensitifitas mikroba terhadap antibiotik dengan metode Kirby-Bauer dan menentukan mikroba uji termasuk sensitif atau resisten terhadap antibiotik yang diujikan. Pada percobaan ini kadar antibiotik ditentukan dengan metode Kirby-Bauer, yaitu pengukuran sensitifitas antibiotik dengan metode paper disk yang berisi agen antimikroba pada media yang telah ditanami mikroba dan akan berdifusi pada media agar. Daerah jernih disekitar paper disk merupakan hambatan mikroba oleh antibiotik pada permukaan agar. Metode Kirby-Bauer merupakan cara untuk menentukan sensitifitas antibiotik untuk bakteri. Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter zona hambat terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya. Dalam percobaan uji resistensi ini, antibiotik yang digunakan adalah ampicillin 500 gram yang didapatkan zona hambat/zona bening. Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri sensitif terhadap antibiotik ampicilin 500 gram, dapat dilihat dengan adanya zona jernih/zona hambat yang mengindikasikan bahwa bakteri sensitif terhadap antibiotik ampicilin. Ampicillin bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel yaitu dengan menyerang peptidoglikan dan mampu melakukan penetrasi pada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri. Percobaan yang dilakukan telah sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari antibiotika maka akan semakin besar zona jernih yang terbentuk (Dwidjoseputro., 2003). Ampisilin termasuk antibiotik yang bersifat bakterisidal dan memiliki mekanisme kerja yang secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja antibiotik tersebut antara lain: 1. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat transpeptidasi sintesis peptidoglikan pada aksi enzim transpeptidase bakteri. Transpeptidase merupakan enzim yang bekerja dalam proses cross-linking dari rantai peptida dalam membentuk senyawa peptidoglikan yang terjadi pada tahap akhir pembentukan dinding sel (Essack, 2001; Chamber, 2004). Proses Cross linking tersebut digunakan dalam integritas struktur dinding sel bakteri. 2. Perlekatan obat pada protein spesifik pengikat penisilin atau Penicillin-Binding Protein (PBP) yang berlaku sebagai reseptor obat pada bakteri. 3. Aktivasi enzim autolitik pada dinding sel akibat perlekatan obat pada PBP. Aktivasi tersebut menyebabkan lisis dinding sel bakteri (Jawetz, 1997; Dzen et. al., 2003). Perbedaan luas/lebar diameter zona hambat pada cawan A dengan cawan B disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurang halusnya dalam proses penggerusan antibiotik, konsentrasi antibiotik yang diserap oleh paper disk pada cawan A berbeda dengan paper disk pada cawan B karena larutan antibiotik pada tiap konsentrasi kurang homogen, volume spet yang disediakan tidak sesuai dengan volume yang dibutuhkan serta adanya media Taoge Agar (TA) yang menggumpal ketika di tuangkan pada cawan petri. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Bakteri memiliki tingkat resistensi yang berbeda-beda terhadap antibiotik yang diberikan tergantung dari sifat/karakteristik bakteri uji serta jenis dan konsentrasi antibiotik. Bakteri bersifat sensitif apabila menghasilkan zona hambat/zona bening ketika diuji dengan antibiotik. Antibiotik semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri apabila semakin luas/lebar zona hambat yang terbentuk yang terjadi akibat semakin tinggi konsentrasi antibiotik yang digunakan. 5.2. Saran Agar zona hambat yang dihasilkan membentuk struktur yang bulat sempurna (diameter tiap sisinya sama atau hampir sama) supaya mudah diamati praktikan harus berhati-hati ketika meletakkan paper disc (yang telah dicelupkan ke larutan antibiotik) dalam suspensi bakteri pada cawan petri. Pemilihan kertas yang digunakan sebagai disc harus dipilih jenis kertas yang dapat menyerap sempurna larutan antibiotik, misalnya kertas saring. DAFTAR PUSTAKA Brander, G.C., Pugh, D.M., Bywater, R.J. and Jenkins, W.L. 1991. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics, 5 th ed. The English Language Book Society, Bailliere Tindal, London. Chaidir J, Munaf S. 1994. Obat antimikroba. In : Munaf S, eds. Farmakologi Unsri. Jakarta : EGC. Chambers, H. F. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. 8th ed. Jakarta: Salemba Medika. Dwijaseputro. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas Brawijaya. Djambatan : Malang.Hadioetomo, Ratna Siri. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia PustakaUtama : Jakarta Dzen, Sjoekoer M; Roekistiningsih; Santoso, Sanarto; Winarsih, Sri; Sumarno; Islam, Samsul, A.S. Noorhamdani; Murwani, Sri; Santosaningsih, Dewi. 2003. Bakteri Bentuk Batang. Bakteriologi Medik. Malang: Bayumedia. Pp 189 Essack, S.Y., 2001. The Development of Beta-Lactam Antibiotics in Response to the Evolution of-Lactamases. Pharmaceutical Research. 18(10): 1391-99. Fleming, Alexander (1980). On the antibacterial action of cultures of a penicillium, with special reference to their use in the isolation of B. influenza.. Clin Infect Dis 2 (1):129-39. Jawet, Melnik dan Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Jawet E. 1998. Prinsip kerja obat antimikroba. In : Katzung B, eds. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta : EGC. Wasitaningrum, I. D. A., 2009. Uji Resistensi Bakteri Staphylococcus Aureus dan Escherichia Coli Dari Isolat Susu Sapi Segar Terhadap Beberapa Antibiotik. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.