Anda di halaman 1dari 42

Lethal Concentration-50 (LC50 )

Lethal Concentration-50 (LC50)


Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat
toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar dan digunakan juga untuk pemantauan rutin
suatu limbah. Suatu senyawa kimia dikatakan bersifat racun akut jika senyawa tersebut
dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat. Suatu senyawa kimia disebut
bersifat racun kronis jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam jangka
waktu panjang (karena kontak yang berulang-ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit)
(Pradipta 2007).
Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki tubuh, yaitu melalui
paru-paru (pernafasan), mulut, dan kulit. Melalui ketiga rute tersebut, senyawa yang bersifat
racun dapat masuk ke aliran darah, dan kemudian terbawa ke jaringan tubuh lainnya.
Yang menjadi perhatian utama dalam toksisitas adalah kuantitas/dosis senyawa tersebut.
Sebagian besar senyawa yang berada dalam bentuk murninya memiliki sifat racun (toksik).
Sebagai contohnya adalah senyawa oksigen yang berada pada tekanan parsial 2 atm adalah
bersifat toksik. Konsentrasi oksigen yang terlalu tinggi dapat merusak sel (Pradipta 2007).
LC50 (Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian
sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada
suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam (Dhahiyat dan
Djuangsih 1997 diacu dalam Rossiana 2006) sampai waktu hidup hewan uji.
Berdasarkan kepada lamanya, metode penambahan larutan uji dan maksud serta
tujuannya maka uji toksisitas diklasifikasikan sebagai berikut (Rosianna 2006) :
Klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek (short term bioassay), jangka
menengah (intermediate bioassay) dan uji hayati jangka panjang (long term bioassay).
Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati
statik (static bioassay), pergantian larutan (renewal biossay), mengalir (flow trough
bioassay). Klasifikasi menurut maksud dan tujuan penelitian adalah pemantauan kualitas air
limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan
pertumbuhan organisme uji.
Untuk mengetahui nilai LC-50 digunakan uji static. Ada dua tahapan dalam penelitian
(Rossiana 2006), yaitu:
Uji Pendahuluan. Untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu konsentrasi yang dapat
menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50%.
Uji Lanjutan. Setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan konsentrasi akut
berdasarkan seri logaritma konsentrasi yang dimodifikasi oleh Rochini dkk (1982) diacu
dalam Rossiana (2006). Adapun kriteria toksisitas suatu perairan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam pada lingkungan perairan
Tingkat Racun Nilai (LC50) (ppm)
Racun Tinggi < 1
Racun Sedang >1 dan <100
Racun Rendah >100
Sumber: Wagner dkk (1993) dalam Rossiana (2006)

PEMBUATAN SIMPLISIA DAN
STANDARISASI MUTU SIMPLISIA
RIMPANG TEMULAWAK ( Curcuma
xanthorriza Rhizoma ) dengan
PENGERINGAN SINAR MATAHARI
NAUNGAN KAIN HITAM dan
PENYIMPANAN TERBUKA
TUJUAN
1. Mengetahui teknik pasca panen dari rimpang temulawak
2. Mengetahui pengaruh pengeringan sinar matahari dengan naungan kain hitam dan
penyimpanan terbuka terhadap mutu dari simplisia temulawak.
DASAR TEORI
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang
dikeringkan.
Untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaannya, maka
simplisia harus memenuhi persyaratan minimal, dan untuk dapat memenuhi syarat minimal
itu, ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain adalah:
1. Bahan baku simplisia
2. Proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia
3. Cara pengepakan dan penyimpanan simplisia
Pemilihan sumber tanaman obat sebagai bahan baku simplisia nabati merupakan salah satu
faktor yang sangat berpengaruh pada mutu simplisia, termasuk di dalamnya pemilihan bibit
(untuk tumbuhan hasil budidaya) dan pengolahan maupun jenis tahan tempat tumbuh
tanaman obat.
Pembuatan simplisia secara umum dapat menggunakan cara-cara sebagai berikut:
1. Pengeringan
2. Fermentasi
3. Proses khusus (penyulingan, pengentalan eksudat dll)
4. Dengan bantuan air (misalnya pada pembuatan pati)
Adapun tahapan tahapan pembuatan simplisia secara garis besar adalah:
1. Pengumpulan bahan baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain tergantung pada:
Bagian tanaman yang digunakan
Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen
Waktu panen
Lingkungan tempat tumbuh
2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya
dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat,
bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak serta
pengotor-pengotor lainnya harus dibuang
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada
bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengali
4. Perajangan
Beberapa jenis bahna simplisia tertentu ada yang memerlukan proses perajangan. Perajangan
bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan
penggilingan.
5. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga
dapat disimpan dalam waktu lama
6. Sortasi kering
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing dan pengotor-pengotor lain yang masih
ada dan tertinggal pada simplisia kering.
7. Pengepakan dan penyimpanan
Simplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutunya karena faktor luar dan dalam, antara
lain cahaya, oksigen, reaksi kimia intern, dehidrasi, penyerapan air, pengotoran, serangga dan
kapang
Klasifikasi tanaman
Curcuma xanthorriza Roxb.
Sinonim : Curcuma zerumbet majus Rumph.
Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Jenis : Curcuma xanthorriza Roxb.
Kandungan kimia tanaman
Kandungan kimia yang terdapat dalam temulawak antara lain; amilum, lemak, tannin,
kurkuminoid (zat warna kuning) dan minyak atsiri (Gunawan dkk, 1988). Minyak atsiri 5%
(dengan komponen utama 1-cycloisoprene myrcene 85%). Kurkuminoid yang terdiri dari
kurkumin dan demetoksikurkumin (sudarsono dkk, 1996)
Kurkumin adalah kristal berwarna kuning gelap, tidak larut dalam air, larut dalam alkohol.
Dalam larutan basa, kurkumin menghasilkan larutan yang berwarna merah kecokaltan yang
apabila ditambahkan larutan asm akan berubah warna menjadi kuning ( Sudarsono dkk,
1996)
Bentuk kristal kurkumin, adalah batang atau prisma, dengan titik leleh 183-185oC. Kurkumin
sukar larut dalam air, hexana, dan petroleum eter; agak larut daklam benzena, kloroform, dan
eter, tetapi larut dalam alkohol, aseton dan asam asetat glasial( Srinivisan, 1953; Stahl, 1985)
Kurkumin mempunyai kelarutan yang rendah, tidak stabil dalm larutan, tidak stabil pada pH
dan cahaya sehingga sukar untuk dibuat dalam bentuk sediaan (Tonnesen dan Karisen, 1997).
Kurkumin stabil pada dibawah pH 6,5. Kurkumin akan terdegradasi di bawah pH 6,5, hal ini
disebabkan adanya gugus metilen aktif. Produk degradasi kurkumin dalam lingkungan alkali
(pH 7-10) akan menghasilkan asm ferulat dan feruloil metan. Akibat degradasi ini, terjadi
perubahan warna larutanya yaitu pada pH 1-7 larutan berwarna kuning, sedang pada pH 7,5-
9,1 larutan berwarna merah jingga.
Deskripsi Simplisia.
Rimpang temulawak adalah rimpang Curcuma xanthorriza Roxb. Kadar minyak atsiri tidak
kurang dari 6% v/b .
Pemerian. Bau aromatik, rasa tajam dan pahit.
Makroskopik. Keping tipis, bentuk bundar atau jorong, ringan, keras, rapuh, garis tengah
sampai 6 cm, tebal 2 mm sampai 5 mm; permukaan luar berkerut, warna coklat kuning
sampai coklat; bidang irisan berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan,
tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks;
korteks sempit, tebal 3 mm sampai 4 mm. Bekas patahan berdebu, warna kuning jingga
sampai coklat jingga terang
Parameter standar simplisia
Standarisasi simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk
obat atau sebagai bahan baku harus memenuhi standar mutu. Sebagai parameter standar yang
digunakan adalah persyaratan yang tercantum dalma monografi resmi terbitan Departemen
Kesehatan RI seperti Materia Medika Indonesia.
Penetapan kadar air
Prinsip metode uji ini adalah pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan,
dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi, atau gravimetri.
Susut Pengeringan
Susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur105
o
C
selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal
khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap dan sisa pelarut organik menguap)
identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer atau lingkungan
udara terbuka.
Tujuan mengetahui susut pengeringan adalah memberikan batasan maksimal (rentang)
tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan
Penetapan kadar Minyak atsiri
Penetapan kadar minyak atsiri ini dengan cara destilasi Stahl. Pada metode ini, simplisia yang
akan disuling kontak langsung dengan air mendidh. Bahan tersebut mengapung diatas air atau
terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air
dipanaskan dengan metode panas langsung, mantel uap, pipa uap melingkar tertutup, atau
dengan memakai pipa uap melingkar terbuka atau berlubang. Ciri khas dari metode ini adlah
kontak langsung antara bahan dengan air mendidih (Ketaren, 1987). Penyulingan ini
dilakukan pada tanaman yang dikeringkan dan tidak dirusak oleh pendidihan ( Claus dan
Tyler, 1970).
Rimpang temulawak mengandung minyak atsiri (7-30%) yang terdiri dari xanthorrhizol, -
antlatone, borneol, iso-borneol, bisacumol, bisacurol, bisacurone, bisacurone epoxide,
camphene, camphor, d-camphore, cineol, 1,8-cineol, curzurene, curzerenone,-curcume, ar-
curcumene, curlone, cymene, -elemene, -elemene, turmerone, ar-turmerone, -turmerone,
-turmerone, isofurano-germacrene, phellandrene, cycloisoprene, isoprenemyrcene,
myrcene, p-toluyl-methyl-carbinol, (R)-()xanthorrizhol, -pinen, linalool,-terpineol,
limonene, -farnesene, germacrone, -sesquiphellandrne, bisacurone A,B, 1-cyclo-
isaoprenemyrcene, sinamaldehid ( anonim, 1979; Wagner dkk, 1984)
Kadar Zat Aktif
KLT Densitometri
Ada 4 teknik kromatografi yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian kandungan
tumbuhan atau bisa juga dilakukan dengan gabungan dari empat teknik tersebut. Keempat
teknik Kromatografi tersebut yaitu kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi
gas cair, dan kromatografi cair kinerja tinggi ( Harborne, 1987)
Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, Kromatografi lapis tipis adalah yang paling
cocok untuk analisis obat di Laboratorium farmasi karena hanya memerlukan investasi yang
kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif singkat, jumlah cuplikan yang diperlukan
sedikit, selain itu kebutuhan ruang minimum serta paenanganannya sederhana ( Stahl, 1985)
KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan menggunakan
densitometer sebagaai alat pelacakbila cara penotolanya dilakukan secara kuantitatif. Prinsip
kerja dari densitometer adalah adanya pelacakan pada panjang gelombang maksimal yang
telah ditetapkan sebelumnya. Scanning atau pelacakan densitometer ada dua metode yaitu
dengan cara memanjang dan sistem zig-zag. Pada umumnya lebih banyak digunakan metode
zig-zag karena pengukuranya lebih merata serta ketelitian pengukuran lebih terjamin
dibanding pengamatan secara lurus atau memanjang (Soemarno, 2001)
Untuk keperluan standarisai sampel yang mengandung kurkumin, dibutuhkan metode analitik
yang cocok untuk memisahkan kurkuminoid dari bahn-bahan lain yang terdapat dalam
tumbuhan, antara lain dapat dikerjakan dengan KLT dan KCKT, tetapi sulit diterapkan dalam
sampel biologi. Analisa kurkumin yang yang telah berhasil dilakukan antara lain dengan cara
Kromatografi kolom yang dibantu dengan spektrofotometri ( Srinivasan,k 1953); KLT
(Sudibyo, 1996), ataupun KCKT ( Tonnesen dan Karlsen, 1983)
I. Alat dan Bahan
Pembuatan Simplisia
Bahan : Rimpang temulawak sebanyak 2 kg, didapat
Alat : Pisau, Telenan, Pengiris mekanik, Bak Cuci, Alas pengering, Kain Hitam, Alat
penumbuk
Susut Pengeringan
Bahan : Serbuk temulawak 10 gram
Alat : Cawan petri, kertas saring, timbangan, batu kapur tohor, tempat eksikator, Pemanas
(tara)
Penetapan kadar Minyak Atsiri
Bahan : Serpihan Rimpang temulawak 50 mg, aquadest..
Alat ; Destilasi stahl, flakon
Penetapan Kadar air
Bahan : Serbuk temulawak 10,06gr, toluene 200 ml
Alat : Destilasi toluen
Penetapan kadar zat aktif
Bahan : Serbuk temulawak 1 gram, etanol 95% 5ml, kurkumin standart, Silika gel 60 F 254,
kloroform : metanol : asam formiat ( 95 : 5 : 0,5),
Alat : Tabung reaksi, kertas saring, corong, flakon, gelas ukur, chamber, densitometer
II. Cara Kerja
Sistematika Kerja
Hari
ke
Tanggal Jenis kegiatan
0
28 September
2006
Sortasi basah , pencucian, pengubahan bentuk, pengeringan
4 2 Oktober 2006 Sortasi keirng, pengepakan, penyimpanan
49
16 November
2006
Penggerusan simplisai temualwak
56
23 November
2006
Penetapan kadar air, susut pengeringan, maserasi serbuk
70 7 desember 2006
Penetapan kadar minyak atsiri, susut pengeringan, penetapan kadar zat
aktif (KLT-densitometri)
Pembuatan Simplisia
Penimbangan Curcuma xanthorriza rhizome
Sortasi basah
Pencucian Simplisia
Perajangan Simplisia dengan tebal 3mm-4mm
Simplisia dikeringkan dibawah sinar matahari dan ditutup kain hitam
Simplisia dibolak-balik, hingga kering merata
Sortasi Kering
Sinplisia ditempatkan di nampan, dan disimpan di tempa terbuka
Penulisan Etiket
Simplisia diserbuk dan dihancurkan
Uji kualitas simplisia
Susut Pengeringan
Panaskan cawan petri kosong
Masukkan dalam desikator
Ditimbang sebagai bobot awal
Simplisia 10 gram dimasukkan dalam cawan petri, lalu ratakan
Petri + simplisia ditmbang lagi
*Masukkan dalam tara (pemanas) selama 1 jam
Tutup dibuka untuk menghilangkan uap panas
Cawan petri + simplisia dimasukkan kembali dalam desikator
Cawan petri + simplisia ditimbang lagi
Ulangi langkah dari * dua kali tapi dengan waktu 30 menit
Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Ditimbang 50 mg serbuk kasar temulawak
Dimasukkan ke dalam labu
Ditambahkan air secukupnya hingga serbuk terendam
Dipanaskan dengan destilasi selama 2 jam
Dihitung volume dan kadar minyak atsiri
Penetapan Kadar air
Serbuk temulawak 10,06 gr dimasukkan dalam labu
Ditambah 200 toluen murni yang talah dijenuhkan
Tunggu sampai mendidih
Hitung sakal air yang terkumpul
Penetapan Kadar Zat aktif
Ditimbang 1 gram serbuk temulawak
Maserasi dalam 5 ml etanol
Dgojog selama 30 menit
Masukkan dalm flakon
Ditambah etanol ad 5 ml
Larutan/maserat diuapkan sampai 1 ml
Ditotolkan di KLT 3 l
Orientasi Kuva Baku Kurkumin
Randemen ekstrak menurut MMI = 3,5 %
Kadar Kurkumin ekstrak etanolik tanpa terpurifikasi = 1,55%
Jadi dalam 1 gram temulawak terdapat
3,5% x 1000mg = 35 mg sari ekatrak
Dalam 1 gram temulawak terdapat
1,55% x 35 mg = 0,54 mg kurkumin
ekstrak etanolik diaddkan sampai 1 ml => kadar kurkumin 0,54mg/ml = 0,54 g/l
Jadi dengan pengambilan 1l kadar kurkumin = 0,54 g/l
Stok kadar kurkumin standar adalah 1 g/l
Jadi rentang kadar kurva baku adalah 0,5 g/l 1 g/l 2g/l 4 g/l
Volume penotolan adalah 0,5 l 1 l 2l 4 l
Volume penotolan sampel adalah 3 l
III. HASIL PERCOBAAN
Pembuatan Simplisia
1. Sortasi basah
Berat awal : 2 kg
Jenis pencemar : tanah, debu, akar
2. Pencucian
Berat awal : 2kg
Berat setelah dicuci : 2,1 kg
Masalah yang dihadapi : -
3. Perajangan
Jenis alat : mekanik
Tebal : 3mm-4mm
4. Pengeringan
Jenis : Sinar matahari di tutup kain hitam
Lama pengeringan : 4 hari
5. Pengepakan
Tidak dikemas, ditempatkan di nampan
6. Penyimpanan
Jenis : Penyimpanan terbuka
7. Randemen simplisia
Bobot basah bahan : 2,1 kg
Bobot kering simplisia : 0,45 kg
Perhitungan randemen ; 0,45/2,1 x 100% = 21,428%
8. Susut Pengeringan
Susut Pengeringan I
Berat sampel temulawak = 10 gram
Bobot petri kosong = 85,32 gram
Pemansan oven = 105
o
C
Menit ke Berat petri kosong + serbuk temulawak

95,34g

94,23g

94,20g

94,17g
Susut pengeringan selama 60 menit
10- (94,23 85,32) gram x 100% = 10,9 %
Susut pengeringan selama 90 menit
10- (94,20 85,32) gram x 100% = 11,2 %
Susut pengeringan selama 120 menit
10- (94,17 85,32) gram x 100% = 11,5 %
Susut Pengeringan II
Berat sampel temulawak = 10 gram
Bobot petri kosong = 84,66 gram
Pemansan oven = 105
o
C
Menit ke Berat petri kosong + serbuk temulawak

94, 59g

93,35g

93,35g

93,34g
Susut pengeringan selama 60 menit
10- (93,35 85,32) gram x 100% = 13,1 %
Susut pengeringan selama 90 menit
10- (93,35 85,32) gram x 100% = 13,1 %
Susut pengeringan selama 120 menit
10- (93,35 85,32) gram x 100% = 13,2 %
Rata-rata susut pengeringan selama 60 menit = 10,9 + 13,1 = 12 %
Rata-rata susut pengeringan selama 90 menit = 11,5 + 13,1 = 12,5%
Rata-rata susut pengeringan selama 120 menit = 11,5 + 13,2 = 12,35 %
9. Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Berat serbuk kasar = 50 mg
Volume minyak atsiri = 0,5 ml
Kadar minyak atsiri = 0,5ml/ 50 mg = 1 % b/v
Warna minyak atsiri = bening agak kuning muda
Bau minyak atsiri = khas, getir
Penetapan Kadar air
Toluen 200 ml ditambah 10 ml air, aquadest diambil tersisa 9,6 ml, jadi masih ada 0,4 ml air
yang tertinggal di toluen
Berat serbuk : 10,06 gram
Volume toluene : 200ml
Volume air dlm serbuk temulawak = Volume air yang menetes Volume air dlm toluena
= 1,0 ml 0,4 ml
= 0,6 ml
Kadar air = 0,6 ml/ 10,0 gr x 100 % = 6 % v/b
Penetapan Kadar Zat aktif
Penetapan kadar zat aktif secara KLT-Densitometri
Fase diam : Silika gel 60 F 254
Fase gerak : Kloroform : Metanol : asam formiat
Kadar kurkumin standar : 1 g/l
Penotolan untuk kurva baku satandar kurkumin ; 0,5l 1l 2l 4l
Penotolan sampel ekstrak etanolik temulawak sampel adalah ; 3l
Hasil KLT
no Rf Sinar tampak UV 254 UV 366
1 2,3 / 8 = 0,28 Kuning

2 3,4 / 8 = 0,42 Kuning

3 5,3 / 8 = 0,66 Kuning

Data Kurva Baku
Konsentrasi kurkumin ( g/l) Luas area
0,5 1, 10014 x 10
4

1 2,07481 x 10
4

2 5, 46830 x 10
4

4 6, 71978 x 10
4

Persamaan Kurva baku :a = 0,8055 ; b = 1,6187 ; r = 0,930
Y = bx + a <=> y = 1,6187x + 0,8055
Luas area sampel kurkumin = 40,69958 x 104
Jadi konsentrasi kurkumin
Y = 1,6187x + 0,8055
40,69958 = 1,6187x + 0,8055
x = 24, 645 g/l
Volume pengambilan 3l = > 24,645 g/l
Jadi dalam 1l konsentrasi kurkumin = > 24,645 g/l = 8,215 g/l
= 8,125 mg/ ml
= 0,8125 g/100ml
= 0,8125 % b/v
IV. Pembahasan
Pada praktikum ini bertujuan untuk mempelajari teknik pasca panen pada simplisia rimpang
Temulawak (Curcuma xanthorriza rhizhome). Penanganan pasaca panen ini akan
berpengaruh terhadap mutu simplisia yang akan dibuat bahan baku obat. Untuk mengetahui
pengaruh pasca panen tanaman obat terhadap mutu dan kandungan simplisia, dapat dilakukan
uji kontrol kualitas simplisia. Uji-uji yang dilakukan dalam praktikum ini meliputi uji kadar
minyak atsiri, susut pengeringan, kadar zat aktif dan uji kadr air. Uji ini dapat ditindaklanjuti
sebagai standarisasi simplisia untuk bahan obat.
Penanganan pasca panen tumbuhan obat pada intinya adalah membuat simplisia yang baik,
benar dan memenuhi syarat. Untuk itu perlu penanganan yang teliti pada setiap tahap
teknologi pasca panen. Tahap-tahap tersebut meliputi sortasi basah, pencucian, pengubahan
bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, dan penyimpanan
Pada sortasi basah, Rimpang temulawak harus dipisahkan dari Pencemar-pencemar lain
seperti gulma, rumput, tanah, kerikil, bagian rimpang yang rusak dan bahn tanaman lain atau
jenis rimpang lain. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi,
oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah
mikroba awal. Pada sortasi basah ini juga dipisahkan rimpang dari akar dan batang dari
tanaman temulawak. Setelah didapatkan rimpang yang utuh dan bebas dari pencemar,
rimpang tersebut ditimbang untuk mengetahui berat basahnya.. Berat awal didapatkan sebesar
2,1 kg.
Tahap selanjutnya adalah pencucian. Pencucian dilakukan di air yang mengalir yaitu dari
sumur dan ledeng. Pencucian menggunakan air sumur perlu memperhatikan pencemar yang
mungkin timbul akibat mikroba. Beberapa bakteri pencemar air yang perlu diketahui adalah
Pseudomonas, Proteus, Micrococus, Streptococcus, Bacillus, Enterobacter, dan Escheria coli.
Dari hasil penelitian yang diklakukan oleh Frazier (1978) dilaporkan bahwa untuk pencucian
sayuran yang dilakukan sebanyak satu kali akan menurunkan jumlah mikroba sebanak 25%.
Namun pencucian yang dilakukan sebanyak tiga kali akan menurunkan mikroba sebanyak
58%. Pada rimpang dalam keadaan basah mungkin masih terbapat pencemar mikroba.
Namun setelah pengeringan nanti pencermar tersebut akan berkurang secara drastis, akibat
sedikitnya kandungan air. Pencucian menggunakan fasilitas air air PAM (ledeng) sering
tercemar dengan kapur khlor. Jika airnya mengandung kapur klor, akan menyebabkan
suasana basa, sehingga kemungkinkan, kandungan kurkumin dalam rimpang dapat
terdegradasi menjadi asam ferulat dan feruloil metan.
Tahap pengubahan bentuk dilakukan dengan merajang rimpang secara melintang dengan
tebal kira-kira 3mm-4mm. Tujuan perajangan ini adalah untuk memeperluas permukaan
bahan baku, sehingga waktu pengeringan cepat kering. Irisan yang terlalu tipis dapat
menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga
mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia
seperti temulawak dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk mencegah berkurangnya
kadar minyak atsiri. Dengan perajangan, akan terbentuk simplisia temulawak yang
mempunyai bentuk yang teratur, mudah dikemas dan mudah disimpan
Pada proses pengeringan, rimpang temulawak yang telah dicuci, dijemur di bawah sinar
matahari secara tidak langsung atau ditutup dengan kain hitam. Secara umum , pengeringan
bertujuan untuk mencegah kerusakan kandungan zat aktif yang ada dalm tanaman sehingga
dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Kerusakan tersebut akibat peruraian zat aktif
secar enzimatis seperti hidroliss, oksidasi dan polimerisasi, sehingga randemenya akan turun.
Pengeringan simplisia harus dilakukan secepatnya sebab aktivitas enzim akan naik naik
dengan adanya air dalam simplisia, apalagi air tersebut dari sisa pencucian. Dengan
pengeringan, kadar air yang terdapat dalam simplisia akan berkurang sampai pada titik
tertentu yang menyebabkan enzim-enzim menjadi tidak aktif. Selain itu, dalam keadaan
kering, dapt mencegah tumbuhnya jamur dan bakteri. Kapang sudah dapat berkembang
dengan baik pada simplisia dengan kadar air sekitar 18%. Kadar air 10% sudah cukup untuk
meperpanjang waktu simpan simplisia(Hutapea, 1992). Selain itu pengeringan memudahkan
pada tahap selanjutnya ( ringkas, mudah dikemas, dan mudah disimpan) Penutupan dengan
kain hitam bertuuan untukmenghindari penguapan yang terlalu cepat yang dapt berakibat
menurunkan mutu minyak atsiri di dalam rimpang temulawak.
Penjemuran secara tidak langsung ini bertujuan untuk menghindari kontak langsung dengan
pancaran sinar ultra violet. Simplisia ini ditempatkan pada rak besi yang tebuka bagian sisi
kanan, kiri, dan bawah, agar aliran atau sirkulasi udara bagus. Selama penjemuran, simplisia
terkadang dibalik-balik , agar pengeringanya rata dan tidak terjadi face hardening, mengingat
ketebalan irisan temulawak sebesar 3mm-4mm. Pembolak-balikan simplisia selama
pengeringa juga untuk menghindari tumbuhnya jamur. Mengingat simplisia dijemur dengan
naungan kain hitam maka, kecepatan penguapan air dari simplisia terlalu lambat, jadi harus
sering dibalik agar simplisia tidak ditumbuhi jamur. Tumbuhnya jamur pada proses
pengeringan dapat mempengaruhi komposisi dari zat aktif maupun minyak atsiri.
Menurut teori, pengeringan simplisia sampai kadar airnya kurang dari 10%, namun dalam
praktikum ini tidak dapat ditentukan secara pasti apakah kadar air simplisia kurang dari 10%.
Proses pengeringan dihentikan bila simplisia sudah kaku dan bila dipatahkan akan muncul
suara. Hal ini dikarenakan titik kekeringan yang tepat biasanya dapat ditentukan dari
kerapuhan dan mudah patahnya bagian tanaman yang dikeringkan (Claus, 1970)
Pengeringan irisan temulawak ini berlangsung selama 4 hari, dengan pemanasan sinar
matahari pada siang hari dan tanpa tejadinya hujan. Pengeringan sinar matahari dengan
naungan kain hitam, relatif berlangsung lebih lama karena sirkulasi udar kurang bagus,
sehingga transfer uap air keluar dari rimpang menjadi lebih lambat, jadi kecepatan
pengeringan lebih lambat. Pengeringan dengan matahari mempunyai kelebihan yaitu murah,
tetapi mempunyai banyak kekurangan yaitu suhu dan kelembapan yang tidak dapat dikontrol,
perlu area penjemuran yang luas, mudah terkontaminasi, simplisia mudah hilang, misalnya
diterbangkan angin, dimakan hewan atau mungkin mudah dicuri.
Setelah pengeringan, dilakukan sortasi kering. Sortasi kering ini dengan memilah-milah
simplisia yang mempunyai penampilan yang bagus, bentuk dan ukuran simplisia yang
memenuhi syarat. Mengingat simplisia dijemur di lingkungan luar, maka perlu diperhatikan
adnaya pencemar. Pencemar tersebut diantaranya adalah simplisia lain yang diterbangkan
angin dan masuk dalam wadah simplisia temulawak.Serangga yang suka hinggap di
simplisia, kotoran hewan dan jenis sampah-sampah lain. Setelah itu ditimbang berat bersih
dari simplisia yaitu 0,45 kg. Rimpang dengan bobot basah mempunyai berat basah sebesar
2,1 kg, tetapi setelah diolah menjadi simplisia kering yang memenuhi persyaratan bentuk dan
penampilan, didapatkan hasil sebesar 0,45kg. Jadi randemen sebesar 21,48%
Tahap selanjutnya adalah pengepakan dan penyimpanan. Simplisia yang telah kering, harus
segera dikemas dan disimpan. Simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah agar tidak
saling bercampur antar simplisia satu dengan yang lain. Simplisia temulawak ditempatkan
dalam wadah nampan dan disimpan dalam keadaan terbuka. Simplisia disimpan dalam suhu
kamar yaitu pada suhu antara 15
o
-30
o
C. Kelembapan tidak diatur. Penyimpanan simplisia
temualwak ditempatkan dalam almari tertutup. Hal ini mempunyai keuntungan yaiu
mencegah angin masuk, Serangga sukar masuk dan simplisia tidak terkena sinar
matahariyang berlebihan, namun sirkulasi udaranya kurang lancar. Penyimpanan simplisia
secara terbuka, kurang begitu melindungi simplisia, karena simplisia kontak langsung dengan
udara luar, sehingga kurang terjaganya kelembapan, keutuhan zat aktif dan bentuknya. Dalam
penyimpanannya simplisia tersebut harus diberi etiket. Etiket tersebut minimal harus memuat
nama simplisia, berat kering, berat basah, tanggal pembuatan, lama pengeringan , jenis
pengeringan, dan nama pembuat simplisia.
Setelah pembuatan simplisia selesai, maka simplisia tersebut di uji kualitasnya, apakah
memenuhi syarat apa tidak. Uji-uji yang dilakukan pada praktikum ini diantaranya adalah
susut pengeringan, penetapan kadar minyak atsiri, penetapan kadar air, dan penetapan kadar
zat aktif. Uji kualitas simplisia setelah penyimpanan terbuka selam 45 hari.
1. Susut pengeringan
Pada uji susut pengeringan, dilakukan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur105
o
C selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit atau sampai berat konstan. Pada
suhu 105
o
C ini, air akan menguap, dan senyawa-senyawa yang mempunyai titik didih yang
lebih rendah dari air akan ikut menguap juga. Susut pengeringan dinyatakan sebagai nilai
prosen terhadap bobot awal. Pada praktikum ini uji susut pengeringan tidak sampai pada
berat konstan karena keterbatasan waktu. Pada menit ke 60 susut pengeringan sebesar 12%.
Pada menit ke 90 susut pengeringan sebesar 12,15%, dan pada menit ke 120 susut
pengeringan sebesar 12,35%. Dengan begitu, semakin lama pengeringan, semakin besar nilai
susut pengeringannya. Tetapi selisih kenaikan susut pengeringan amatlah sedikit yaitu sekitar
0,15% 0,2%. Tujuan mengetahui susut pengeringan adalah memberikan batasan maksimal
(rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Pada proses
pengeringan selama 30 menitnya, simplisia temulawak ini akan kehilangan senyawanya
sekitar 12%. Untuk 30 menit berikutnya , simplisia akan kehilangan senyawa dengan
kenaikan (selisih) sebesar 0,15% 0,2%.
Pada simplisia temulawak ini mengandung minyak menguap, jadi susut pengeringan ini tidak
bisa dikatakan identik dengan kadar air, karena berat simplisia yang berkurang bukan hanya
disebabkan kehilangan air, namun juga ada zat lain seperti minyak atsiri. Sedangkan
kurkumin dalam bentuk kristal mempunyai titik lebur sebesar 183-185
o
C. Jadi pada suhu
105
o
C, kristal kurkumin ini tidak ikut menguap. Jadi pada susut pengeringan ini simplisia
temulawak ini akan kehilangan senyawa sebesar 12, 16% selama proses pengeringan.
Senyawa yang hilang (menguap) paling banyak adalah minyak menguap dan air
2. Penetapan Kadar Air
Menetapan kadar air pada simplisia kering temulawak digunakan destilasi toluen. Seperti
yang diketahui, simplisia ini sebelumnya mengalami proses pengeringan sehingga banyak
kadar air yang menguap. Sedangkan air yang masih tersisa dalm simplisia sangat sedikit, dan
air tersebut berada di dalam sel. Sehingga perlu destilasi toluen untuk mengeluarkan air dari
dalam sel. Dengan pemansan, air akan keluar dari sel, ketika keluar, air tidak dapat
bercampur dengan toluen, sehingga air memisah dan dapat diukur volumenya.
Tujuan dari penetapan kadar air ini, untuk mengetahui kadar air dalam simplisia kering
temulawak. Kadar air yang diperbolehkan dalam simplisia untuk menghambat pertumbuhan
jamur dan aktivitas enzim adalah kurang dari 10%,. Pada proses pengeringan belum diketahui
secara pasti apakah kadar air sudah kurang dari 10%. Walaupun simplisia dinyatakan sudah
kering pada pengeringan matahari, namun simplisia temulawak yang disimpan dalam
keadaan terbuka kemungkinan dapat menyerapa air dari lingkungan sekitar, apalagi bila
disimpan dalam jangka waktu yang lama. Maka dari itu diperlukan penetapan kadar air.
Hasil dari praktikum ini, didapatkan bahwa kadar air dari simplisia temulawak sebesar 6% .
Hal ini sesuai dengan persyaratan yaitu kurang dari 10%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa
ruang penyimpanan mempunyai tingkat kelembapan yang rendah, jadi, walau simplisia
disimpan dalam keadaan terbuka, simplisia akan sedikt menyerap kelembapan lingkungan.
Dari hasil kadar ini menunjukkan bahwa proses pengeringan sinar matahari naungan kain
hitam ( selama 4 hari), berjalan optimal
III. Penetapan kadar minyak atsiri
Simplisia sebelum ditetapkan kadar minyak atsiri, dipotong-potong kecil terlebih dahulu.
Proses perajangan ini berfungsi agar kelenjar minyak dapat terbuka secara sempurna. Seperti
yang kita ketahui bahwa minyak atsiri dalam kelenjar tanaman dikelilingioleh kelenjar
minyak, pembuluh-pembuluh kantong minyak atau rambut glandular, sehingga apabila
simplisia dibiarkan utuh, proses ekstraksi minyak atsiri berjalan lambat dan tidak efektif.
Dengan ukuran yang lebih kecil, difusi yang terjadi berkurang, sehingga pada penyulingan,
laju penguapan minyak atsiri dari simplisia menjadi cukup cepat dan efisien, karena tidak
banyak uap yang lolos. Tetapi pemotongan simplisia juga mempunyai kelemahan yaitu
randemen minyak atsiri akan berkurang, karena penguapan dan komposisi bahan akan
berubah (Guenther, 1987). Jadi simplisia dipotong kecil-kecil dan kasar, jangan sampai halus
sekali. Karena semakin halus, randemen minyak atsiri akan berkurang.
Penetapan kadar minyak atsiri ini menggunakan destilasi Stahl (penyulingan dengan air).
Pada metode ini, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Simplisia
tersebut terendam dalam air. Air dipanaskan dengan metode pemanasan yang biasa dilakukan
yaitu pemanasan langsung. Ciri khas metode ini adlah kontak langsung antara bahan dengan
air mendidih (Ketaren, 1987). Rimpang temulawak ditetapkan kadar minyak atsiri
menggunakan destilasi stahl karena alasan sebagai berikut ;Simplisia tersebut dalam keadaan
kering, simplisia tersebut tidak rusak oleh pendidihan, simplisia tersebut mudah tercelup
karena bobot jenisnya tinggi, dan simplisia tersebut mudah bergerak bebas dalam air
mendidih. Metode ini mempunyai kelemahan yaitu ekstraksi tidak dapat berlangsung
sempurna walaupun bahan dirajang, selain itu ada beberapa ester yang terhidrolisis, senyawa
aldehid mengalami polimerisasi akibat pengaruh air mendidih (Samhoedi, 1976)
Dari hasil praktikum, didapatkan kadar minyak atsiri sebesar 1 %b/v. Menurut Materia
Medika Indonesia III , rimpang temulawak mengandung paling sedikit 6% minyak atsiri.
Kadar minyak atsiri yang didapatkan dari hasil percobaan, sangat kecil bila dibandingkan
dengan kadar di MMI. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :
1. minyak atsiri banyak yang hilang pada proses pengeringan. Secara teoritis, kehilangan
minyak atsiri selama pengeringan lebih besar daripada pengaruh faktor lainnya. Hal ini
terjadi karena pada proses pengeringan, air dalam rimpang basah akan berdifusi sambil
mengangkut minyak atsiri dan kemudian menguap. Penguapan minyak atsiri melalui dinding
jaringan tanaman tidak dapat berjalan secara langsung, karena minyak atsiri tersebut
terlebih dahulu harus diangkut ke permukaan bahan melalui proses hidrodifusi dengan
bantuan air sebagai medium pembawa. Selama proses pengeringan sebagian besar
membran sel akan pecah dan cairan sel akan keluar masuk dari sel satu ke sel yang lainya
membentuk susunan campuran zat yang baru. Selain itu, selama proses pengeringan akan
terjadi proses oksidasi, renifikasi, dan reaksi kimia lainnya.
2. Minyak atsiri akan dioksidasi karena adanya panas. Peneringan dengan ditutup dengan kain
hitam, panas yang ditimbulkan akan lebih tinggi, karena kain hitam kan menyerap sinar
matahri dan mengubahnya menjadi panas.
3. Proses peruraian enzimatis dapat menyebabkan penurunan randemen. Reaksi enzimatis
tersebut dapat menguraikan kandungan zat aktif bagian tanaman yang dikeringkan termasuk
minyak atsiri.
4. Proses oksidasi oleh udara yang dapat merusak minyak atsiri. Proses oksidasi oleh udara ini
sangat mungkin terjadi karena simplisia temulawak dikeringkan di lingkungan luar dan
disimpan dalam keadaan terbuka, Sehingga simplisia kontak langsung denga udara bebas,
dan dapat dimungkainkan terjadinya proses oksidasi minyak atsiri. Penyimpanan simplisia
yang relatif lama ( 45 hari ), dan dalam keadaan terbuka menyebabkan banyaknya minyak
atsiri yang hilang selama penyimpanan.
Pengeringan sinar matahari yang dinaungi kain hitam, setidaknya dapat mengurangi resiko
kehilangan minyak atsiri lebih banyak lagi. Dengan naungan kain hitam, sinar uv yang
sampai ke simplisia berkurang karena sinar tersebut diserap oleh kain hitam. Sinar UV dapat
merusak minyak atsri yang terkandung dalam rimpang. Sinar uv kemungkinan akan
mengkatalisis reaksi oksidasi, polimerisasi dan resinifikasi, yang akhirnya akan menyebabkan
berkurangnya randemen minyak atsiri.
Selain dari segi penanganan pasca panen, kadar minyak atsiri juga ditentukan pada waktu
panen rimpang temulawak. Simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen saat
pagi hari. Dengan demikian, untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu
dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisika senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas
sinar matahari.
4. Penetapan kadar zat aktif
Pada penetapan kadar minyak atsiri ini adalah dengan Kromatografi Lapis Tipis-
Densitometer. Kelebihan metode ini adalah ; menghasilkan pemisahan kurkumin yang cukup
baik dari analognya, sensitivitasnya yang cukup baik, mudah dalam pengerjaanya, dapat
mengukur sampel yang abnyak dalam satu lempeng dan waktu elusi lebih singkat.
Kekurangan metode KLT-densitometer ini adalah repeatability jelek, tidak cocok untuk
sampel dengan kadar lebih kecil dari mikrogram, dan kesalahan manusia yang cukup besar
dalam pengambilan sampel.
Sebelum dipisahkan pada kromatografi lapis tipis, simplisia temulawak diekstraksi terlebih
dahulu. Sebelum diekstraksi, simplisia temulawak diserbuk terlebih dahulu. Dalm ekstraksi
ini diguanakna serbuk temulawak, dikarenakan serbuk mempunyai ukuran partikel yang kecil
sehingga diharapkan akan lebih banyak kurkuminoid yang tersari. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut, semakin besar ukuran partikel bahan awal akan semakin tebal lapisan batas,
akibatnya akan semakin panjang jarak yang harus ditempuh oleh cairan penyari untuk
mencapai zat aktif. Sehingga proses penyarian tidak efektif. Meskipun demikian, serbuk tidak
boleh terlalu halus karena, jika dinding sel pecah, zat-zat yang tidak larut akan keluar
(anonim, 1986)
Setelah simplisia dalam bentuk serbuk, diambil 1 gram serbuk dan dimaserasi dengan etanol
95%. Hal itu dikarenakan kurkumin sukar larut dalam air, hexana, dan petroleum eter; agak
larut daklam benzena, kloroform, dan eter, tetapi larut dalam alkohol, aseton dan asam asetat
glasial( Srinivisan, 1953; Stahl, 1985). Kurkumin bersifat semipolar sehingga lebih terlarut
dalam alkohol yaitu etanol . Diguanakan etanol 95% karena denga kadar alkohol yang relatif
tinggi akan menyari kurkumin secara sempurna. Proses maserasi dilakukan selama 30 menit,
sambil digojog. Menggunakan metode maserasi karena metode maserasi lebih sederhana dari
metode lain. Metode maserasi relatif lebih mudah pengerjaanya, lebih murah, tidak perlu
peralatan yang rumit, dan tidak perlu area yang rumit. Selain itu, bahan yang akan disari yaitu
rimpang temulawak dengan kandungan senyawa kurkuminoidnya yang tinggi sehingga cukup
dengan maserasi pun senyawa dapat keluar dengan mudahnya. Setelah dimaserasi selama 30
menit, sari di addkan 5ml dengan etanol, lalu dipekatkan sampai 1ml agar seragam dengan
kelompok lain.
Ekstrak pekat etanolik, lalu ditotolkan pada plate KLT dengan fase diam silika gel 60 F 254,
dengan fase gerak kloroform : metanol : asam formiat ( 95:5:0,5). Karena tujuan sebenarnya
adalah untuk menentukan kadar kurkumin dalam simplisia yang diberi perlakuan pengeringan
dan penyimpanan tertentu, maka dibutuhkan kurva baku yang terdiri dari konsentrasi
kurkumin standart dengan rentang kadar tertentu.
Untuk menentukan rentang kadar kurva baku yang akan dibuat, maka harus memperhatikan
randemen standart dalam rimpang temulawak dan kadar kurkumin yang bisanya terdapat
dalam ekstrak etanolik. Karena dalam pengerjaan ekstraksi kurkumin tanpa pemurnian maka,
kadar kurkumin yang dimaksudkan adalah kadar pada ekstrak etanolik tanpa purifikasi.
Randemen ekstrak etanolik menurut MMI edisi III adalah sebesar 3,5%b/v. Sedangkan kadar
kurkumin dalam ekstrak etanolik tanpa terpurifikasi menurut penelitian-penelitian
sebelumnya adalah sebesar 1,55%. Jadi setelah dihitung, setiap penotolan 1l terdapat 0,54
g kurkumin. Dari data perhitungan itulah dapat digunakan batas-batas perkiraan konsentrasi
kurkumin standar yang akan dibuat kurva baku, agar konsentrasi sampel tidak mengalami
ekstrapolasi atau tidak jauh melesat dari konsentrasi kurva baku. Dari perhitungan diatas
maka dapat ditentukan bahwa konsentrasi kurva baku kira-kira lebih tinggi dari 0,54g/l.
Jadi rentang kadar yang digunakan dalam kurva baku adalah 0,5g/l 1g/l 2g/l
4g/l. Karena kadar stok standar kurkumin adalah 1g/l, maka penotolan pada KLT
sebesar 0,5l 1l 2l 4l.
Setelah plate KLT dielusi maka akan muncul tiga bercak dengan daya pemisahan yang bagus.
Bercak tersebut dalam sinar tampak akan berwarna kuning. Bercak pertama yaitu dengan
intensitas warna kuning yang paling rendah (Rf = 0,287), dalam pustaka disebut dengan
bisdesmetoksikurkumin. Bercak kedua yaitu dengan intensitas warna kuning lebuh tinggi ( Rf
= 0,42 ), dalam pustaka disebut dengan senyawa desmetoksikurkumin. Sedangkan bercak
ketiga dengan ketebalan bercak yang paling tinggi dan intensitas warna kuning paling tinggi
(Rf = 0,66). Senyawa pada Rf inilah yang disebut dengan kurkumin. Pada bercak yang nomor
3 inilah yang akan dihitung kadarnya dengan densitometer.
Dari hasil densitometer densitas bercak dapat digambarkan sebagai luas area. Dengan
perbandingan antara konsentrasi dan luas area didapatkan persamaan y = 1,6187x + 0,8055.
Sedangkaan luas area sampel adalah 40,69958 x 104. Jadi kadar kurkumin pada simplisia
temulawak yang dikeringkan sinar matahari dengan naungan kain hitam dan penyimpanan
terbuka adalah 8,125 mg/ ml. Kadar kurkumin dalam sampel tersebut sangatlah tinggi,
bahkan ekstrapolasi terhadap kurva baku. Bila dibandingkan dengan standar, tingginya kadar
kurkumin, cenderung tidak dipengaruhi oleh faktor penanganan pasca panen, khususnya
faktor pengeringan dan penyimpanan. Hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor internal dari
rimpang temulawak itu sendiri, yaitu diantaranya:
1. Tempat tumbuh dari tanaman temulawak sangat mempengaruhi keberadaan dan kadar
senyawa aktif kurkumin, misalnya; temulawak di daerah Imogiri menghasilkan kandungan
kurkumin sebesar 0,625%, sedangkan di daerah samigaluh dan bagelan sebesar 0,37%
(Murniwaty, 2003)
2. Identitas jenis, Jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasikan sampai
informasi geneti sebagai faktor internal untuk validasi jenis
3. Periode pemanenan rimpang temulawak. Waktu panen rimpang sangat erat hubungannya
dengan pembentukan senyawa aktif yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat
bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Waktu
panen rimpang yang menghasilkan kadar kurkumin tinggi adalah pada musim kering.
4. Senyawa kurkumin terbentuk secara maksimal di dalam rimpang pada umur tertentu. Di
samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu diperhatikan pula saat panen
dalam sehari. Contohnya, simplisia yang mengandung minyak atsiri lebih baik dipanen saat
pagi hari. Dengan demikian, untuk menentukan waktu panen dalam sehari perlu
dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisika senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas
sinar matahari.
I. Kesimpulan
1. Penanganan pasca panen rimpang temu lawak meliputi; Sortasi basah, pencucian,
perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan
2. Pengeringan simplisia temulawak dengan sinar matahari dan ditutup kain hitam
3. Penyimpanan simplisia temulawak dengan penyimpanan terbuka sealma 45 hari
4. Prosentase susut pengeringan dari simplisia adalah 12, 16%
5. Kadar air dari simplisia temulawak adalah 6%
6. Kadar minyak atsiri dari simplisia adalah 1 %
7. Kadar zat aktif (Kurkumin) dari simplisia temulawak adalah 8,125 mg/ml
___________________________________________________
* Dokumentasi Laporan Praktikum Teknonolgi Pasca Panen

TAHAPAN PEMBUATAN SIMPLISIA

Tahapan Pembuatan simplisia :

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
perubahan apapun dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang dikeringkan.

^Pengumpulan bahan baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia tergantung pada bagian tanaman yang digunakan,
umur tanaman atau bagian tanaman saat panen, waktu panen, dan lingkungan tempat tumbuh.
Jika penanganan ataupun pengolahan simplisia tidak benar maka mutu produk yang
dihasilkan kurang berkhasiat atau kemungkinan dapat menimbulkan toksik apabila
dikonsumsi.

^Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan bahan-bahan asing yang tidak berguna atau
berbahaya dalam pembuatan simplisia Penyortiran segera dilakukan setelah bahan selesai
dipanen, bahan yang mati, tumbuh lumut ataupun tumbuh jamur segera dipisahkan yang
dimungkinkan mencemari bahan hasil panen.

^Pencucian

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi mikroba-mikroba yang
menempel pada bahan. Pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin
untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam simplisia. Pencucian
harus menggunakan air bersih, seperti air dari mata air, sumur atau PAM.

^Pengubahan bentuk

Pengubahan bentuk dilakukan bertujuan untuk memperluas permukaan sehingga lebih cepat
kering tanpa pemanasan yang berlebih. Pengubahan bentuk dilakukan dengan menggunakan
pisau tajam yang terbuat dari bahan steinles.

^Pengeringan

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara,
waktu pengeringan (cepat), dan luas permukaan bahan. suhu pengeringan bergantung pada
simplisia dan cara pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan antara suhu 30o-90o C.

Pengeringan dilakukan untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu bahan dengan
menggunakan sinar matahari. Cara ini sederhana dan hanya memerlukan lantai jemur.
Simplisia yang akan dijemur disebar secara merata dan pada saat tertentu dibalik agar panas
merata. Cara penjemuran semacam ini selain murah juga praktis, namun juga ada kelemahan
yaitu suhu dan kelembaban tidak dapat terkontrol, memerlukan area penjemuran yang luas,
saat pengeringan tergantung cuaca, mudah terkontaminasi dan waktu pengeringan yang lama.
Dengan menurunkan kadar air dapat mencegah tumbuhnya kapang dan menurunkan reaksi
enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya penurunan mutu atau pengrusakan simplisia.
Secara umum kadar air simplisia tanaman obat maksimal 10%.

Pengeringan dapat memberikan keuntungan antara lain memperpanjang masa simpan,
mengurangi penurunan mutu sebelum diolah lebih lanjut, memudahkan dalam pengangkutan,
menimbulkan aroma khas pada bahan serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.

^Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi
adalah untuk memisahkan benda asing, seperti bagian-bagian yang tidak diinginkan dan
pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal.

^Pengemasan dan Penyimpanan

Setelah bersih, simplisia dikemas dengan menggunakan bahan yang tidak berracun/tidak
bereaksi dengan bahan yang disimpan. Pada kemasan diberi dicantumkan nama bahan dan
bagian tanaman yang digunakan. Tujuan pengepakan dan penyimpanan adalah untuk
melindungi agar simplisia tidak rusak atau berubah mutunya karena beberapa faktor, baik
dari dalam maupun dari luar. Simplisia disimpan di tempat yang kering, tidak lembab, dan
terhindar dari sinar matahari langsung.


Kromatografi Lapis Tipis
1. Kromatografi
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan distribusi dari
komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair)
dan fase gerak (cair atau gas) (Patnaik 2004). Teknik pemisahan ini memanfaatkan interaksi
komponen dengan fase diam dan fase gerak serta sifat fisik dan sifat kimia komponen.
Berdasarkan fase gerak dan fase diam yang digunakan, kromatografi dibedakan
menjadi liquid-solid chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan
fase gerak berwujud cair), gas-solid chromatography (kromatografi dengan fase diam
berwujud padat dan fase gerak berwujud gas), liquid-liquid chromatography (kromatografi
dengan fase diam berwujud cair dan fase gerak berwujud cair), dan gas-liquid
chromatography (kromatografi dengan fase diam berwujud padat dan fase gerak berwujud
gas) (Harvey 2000).
Berdasarkan interaksi komponen dengan fase diam dan fase gerak, kromatografi dibedakan
menjadi kromatografi adsorpsi (kromatografi dengan teknik penyerapan komponen oleh
adsorben tertentu), kromatografi partisi (kromatografi dengan partisi terjadi antara fase gerak
dan fase diam), kromatografi pertukaran ion (kromatografi yang dapat memisahkan senyawa
dengan afinitas ion yang berbeda dengan resin penukar ion), dan kromatografi permeasi atau
filtrasi (kromatografi berdasarkan perbedaan bobot molekul) (Skoog et al 2002). Berdasarkan
bentuk ruang penyangganya, kromatografi dibedakan menjadi kromatografi planar
(kromatografi dengan fase diam terletak pada permukaan datar) yang meliputi kromatografi
kertas dan kromatografi lapis tipis serta kromatografi kolom (kromatografi dengan fase diam
tertahan pada sebuah kolom) yang meliputi kromatografi manual, high performance liquid
chromatography, dan kromatografi gas (Harvey 2000). Percobaan ini hanya melakukan
aplikasi kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Prinsip dari kedua aplikasi tersebut
adalah dengan meneteskan sampel pada kertas di garis startnya berulang-ulang. Setelah
kering, kertas dimasukkan dalam pelarut jenuh dan dibiarkan bergerak menuju garis finish.
Kromatografi lapis tipis menggunakan lempeng tipis/ plastik yang dilapisi adsorben sebagai
penyangga. Kromatografi kertas menggunakan kertas sebagai penyangga (Rouessac 2007).
2. Kromatografi Lapis Tipis
TLC (Thin Layer Chromatography) yang biasa disebut Kromatografi lapis tipis (KLT)
bersama-sama dengan kromatografi kertas (KKr) dengan berbagai macam variasinya pada
umumnya dirujuk sebagai kromatografi planar. Kromatografi lapis tipis (KLT)
dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. pada kromatografi lapis tipis,
fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang
didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Meskipun demikian,
kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom
(Settle,1997).
Kromatografi lapis tipis merupakan teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam proses
pemurnian dan identifikasi senyawa kimia pada tanaman obat. Prinsip KLT adalah pemisahan
komponen berdasarkan distribusinya pada fase diam dan fase gerak. Komponen yang
memiliki interaksi lebih besar terhadap fase diam akan tertahan lebih lama. Sebaliknya,
komponen yang memiliki interaksi lebih besar terhadap fase gerak akan bergerak lebih cepat.
Fase diam yang umum digunakan pada KLT adalah silika gel, alumina, kieselguhr, dan
selulosa (Adnan 1997).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan
dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi
lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir
semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Mulya,1995).
Dibandingkan dengan HPLC dan GC, TLC mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:
1. KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak.
2. Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan 2 dimensi,
pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat dilakukan pada TLC.
3. Proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan daat dihentikan kapan saja.
4. Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi.
Penjerap/Fase diam
Penjerap yang paling sering digunakan pada TLC adalah silika dan serbuk selulosa,
sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme perpindahan solut dari fase diam ke
fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada TLC adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis
yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin
penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa
penjerap TLC serupa dengan penjerap yang digunakan pada HPTLC. Kebanyakan penjerap
dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Beberapa prosedur kromatografi,
terutama pemisahan yang menggunkan larutan pengembang anhidrat, mensyaratkan adanya
kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12 % b/b.
Lempeng silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara
membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase
terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon steroid (Adomovic,1997)
Fase Gerak pada KLT
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba
karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran
2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa
petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :
1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan
teknik yang sensitif.
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara
0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas
fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan
nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam
pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai
fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu.
Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan
solut-solut yang bersifat basa dan asam (Kaelay,2002).
Aplikasi (Penotolan) sampel
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan
sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur
kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan
resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih
daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 l.
Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak
ganda. Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai macam jumlah sampel telah disarankan
untuk digunakan dan diringkas pada tabel dibawah ini.
Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 l.
Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 l maka penotolan harus
dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan.
Pengembangan
a) Konvensional dan KLT-kinerja tinggi
Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending), yang mana
ujung bawah lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan
reprodusibilitas kromatografi yang baik, wadah fase gerak (chamber) harus dijenuhkan
dengan uap fase gerak. Jarak pengembangan fasegerak biasanya kurang lebih 10-15 cm; akan
tetapi beberapa ahli kromatografi memilih mengembangkan lempeng pada jarak 15 20 cm.
Untuk lempeng KLT-kinerja tinggi (HPTLC), yang mempunyai ukuran partikel lebih kecil,
maka pengembangan lempeng dilakukan ada jarak antara 3- 6 cm.
b) Pengembangan 2 dimensi
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika
komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya
nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase
gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu
sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat
polaritas yang berbeda.
c) Pengembangan Kontinyu
Pengembangan kontinyu (pengembangan terus menerus) dilakukan dengan cara mengalirkan
fase gerak secara terus-menerus pada lempeng KLT melalui suatu wadah (biasanya alas
tangki) melalui suatu lapisan dan dibuang dengan cara tertentu pada ujung lapisan.
d) Pengembangan gradient
Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan komposisi fase gerak yang berbeda-beda.
Lempeng yang berisi analit dapat dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang berisi fase
gerak tertentu lalu komponen fase gerak selanjutnya ditambahkan sedikit demi sedikit ke
dalam bejana dan diaduk sampai homogen. Tujuan utama sistem ini adalah untuk mengubah
polaritas fase gerak. Meskipun demikian untuk memperoleh komposisi fase gerak yang
reprodusibel sangatlah sulit sehingga teknik kromatografi ini kurang begitu polpuler
(Adomovic,1997).
Deteksi
Deteksi hasil pemisahan dengan KLT pada kromatogram (spot) dilakukan di bawah sinar UV
pada panjang gelombang 254 dan 366 nm atau penyemprotan dengan reagen tertentu seperti
anisaldehida dan vanilin dalam asam sulfat. Pembentukan warna optimum pada spot
bergantung pada suhu dan waktu tertentu. Suhu dan waktu optimum yang dapat digunakan
untuk memunculkan warna dari spot setelah penyemprotan reagen adalah 105-110C selama
5-10 menit (Tripathi et al. 2006).
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk
penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa
digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara
penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk
menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet.
Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi maka bercak
akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan
diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang
latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk
mendeteksi bercak :
a) Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara
kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak
menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat
reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak.
b) Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang panjang gelombang
emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang
berfluoresesnsi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam. Lempeng yang
diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa
fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar
fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah
dilakukan pengembangan.
c) Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan
untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai
kecoklat-kecoklatan.
d) Memaparkan lempeng dengan uapa iodium dalam chamber tertutup.
e) Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen
yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika
disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar
akan dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatat (recorder) (Mulya,1995).
DAFTAR PUSTAKA
Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Ed ke-1. Yogyakarta:
Andi.
Adamovics, J.A., 1997, Chromatographic Analysis of Pharmaceuticals, 2nd Edition, Marcel
Dekker, New York.
Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York: McGraw-Hill Comp.
Kealey, D and Haines, P.J., 2002, Instant Notes: Analytical Chemistry, BIOS Scientific
Publishers Limited, New York.
Mulya, M., dan Suherman, 1995, Analisis Instrumen, Airlangga University Press, Surabaya.
Patnaik Pradyot. 2004. Deans Analytical Chemistry Handbook. Second Edition. New York:
McGraw-Hill Comp.
Rouessac Francis, Annick Rouessac. 2007. Chemical Analysis: Modern Instrumentation
Methods and Techniques. Second Edition. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd.
Settle, F (Editor), 1997, Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry,
Prentice Hall PTR, New Jersey, USA.
Tripathi et al. 2006. Quantitative determination of phyllanthin and hypophyllanthin in
phyllanthus species by high peRformance thin layer chromatography. Phytochemical
Analysis17: 394-397.

LD50 Definisi & Batasan
LD50 adalah dosis tertentu yang dinyatakan dalam miligram berat bahan uji per kilogram
berat badan (BB) hewan uji yang menghasilkan 50% respon kematian pada populasi hewan
uji dalam jangka waktu tertentu.
Batasan LD 50 berdasarkan PP-RI No.74/2001 adalah :
Category LD50 (mg/kg) Category

Extremely Toxic 15,000 Relatively Harmless

UJI TOKSISITAS DENGAN METODE
BSLT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kebanyakan obat dapat diukur aktivitasnya secara cepat dan teliti dengan metode kimiawi
atau fisika, dengan menggunakan alat modern, misalnya dengan spektrofotometer
ultraviolet/infrared, dan polarograf.
Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk sediaan tak murni atau
campuran dari beberapa zat aktif, metode ini tidak dapat dilakukan. Obat-obat ini diukur
dengan metode biologis, yaitu dengan bio-assay, dimana aktifitas ditentukan oleh organisme
hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat tersebut dengan efek suatu standar
internasional.
Suatu metode yang menggunakan udang laut Artemia salina Leach diajukan sebagai suatu
Bio-assay sederhana untuk penelitian produk alamiah adalah Brine Shimp Lethality Test.
Metode ini menggunakan hewan uji Artemia salina Leach yang merupakan udang-udangan
primitif, sederhana dan efektif dalam ilmu biologi dan toksikologi. Prosedur penentuan LC50
dalam /ml dari ekstrak dilakukan dalam medium air asin. Besarnya aktifitas dari ekstrak
ditunjukkan sebagai toksisitas terhadap larva udang.
Pengujian Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ini dimaksudkan untuk menguji efek toksik
dan sitotoksik yang terdapat pada suatu senyawa kimia.
I.2 Maksud Percobaan
Maksud percobaan ini adalah untuk mengetahui dan memahami uji toksisitas dari suatu
senyawa bahan alam dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) terhadap larva
udang (Artemia salina).
I.3 Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan LC
50
dari ekstrak n-heksan daun beruwas laut
terhadap larva udang (Artemia salina) dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).
I.4 Prinsip Percobaan
Penentuan LC
50
dari ekstrak n-heksan daun beruwas laut dengan menggunakan metode
BSLT ( Brine Shrine Lethality Test ) dengan melihat banyaknya jumlah larva udang yang
mati setelah didiamkan selama 1 x 24 jam ditempat yang tertutup dan mendapat sinar lampu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan sebetulnya
termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek terapeutis obat berhubungan
erat dengan efek toksisnya (Tjay, 2002).
Toksikologi merupakan ilmu yang lebih tua dari Farmakologi. Disiplin iini mempelajari sifat-
sifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan llingkungan. Sedikitnya 50.000 zat kimia
kini digunakan oleh manusia dan karena tidak dapat dihindarkan, maka kita harus sadar
tentang bahayanya (Ganiswarna, 1995).
Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek toksik. Pada umumnya,
hebatnya reaksi toksis berhubungan langusng dengan tingginya dosis, bila dosis diturunkan,
efek toksis dapat dikurangi pula (Tjay, 2002).
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis
dan cara pemberian. Paracelcus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian
toksikologis dengan mengatakan bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah
racun (dosis sola facit venenum). Sekarang dikenal banyak faktor yang menentukan apakah
suatu zat kimia bersifat racun, namun dosis tepat merupakan faktor utama yang terpenting.
Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama
sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk
zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek
farmakoterapeutik (Ganiswarna, 1995).
Sintesis zat kimia yang diperkirakan berjumlah 1000 per tahun, menyebabkan toksikologi
tidak hanya meliputi sifat-sifat racun, tetapi lebih penting lagi mempelajari keamanan setiap
zat kimia yang dapat masuk ke dalam tubuh. Zat-zat kimia itu disebut xenobiotik (xeno =
asing). Setiap zat kimia baru harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan
penggunaannya secara luas (Ganiswarna, 1995).
Salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik adalah dengan uji
toksisitas terhadap larva udang dari Artemia Salina Leach (Brine Shrimp Lethality Test).
Metode ini sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung di
dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah (tidak perlu kondisi aseptis) dan dapat
dipercaya (Meyer, 1982).
Cara pengujian toksisitas terhadap larva udang (BST) adalah dengan menetaskan telur udang
pada media air laut alami atau air laut buatan (ALB) (lampiran 4). Air laut alami atau ALB
diambil secukupnya proposional dengan jumlah telur, dibiarkan hingga telur menetas menjadi
larva. Sementara itu dibuat sederetan larutan pada beberapa konsentrasi, untuk ekstrak dibuat
konsentrasi 10,0 ; 100 dan 100 x 10 g/mL dan isolat atau fraksi dengan konsentrasi 10,0 ;
50,0 ; 100 dan 250 g/mL, juga dibuat blankonya. Selanjutnya larutan-larutan tersebut
ditaruh dalam vial-vial hingga kering, kemudian larva udang yang telah berumur 48 jam
dimasukkan ke dalam masing-masing vial dan ditambah air laut alami atau ALB hingga
volume 5,0 mL. Setelah 24 jam dicatat jumlah larva udang yang hidup dan yang mati. Hasil
kematian larva udang kemudian dihitung dengan analisis probit dan diperoleh hasil akhir
yang dinyatakan sebagai harga medianlethal concentration (LC50) (Http://www
library@lib.unair.ac.id; library@unair.ac.id)
Lebih dari itu uji larva udang ini juga digunakan untuk praskrining terhadap senyawa
senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor. Hasil uji toksisitas ini dapat diketahui
dari jumlah kematian anak udang Artemia salina Leach, karena pengaruh ekstrak atau
senyawa bahan alam tumbuhan tertentu dari dosis yang telah ditentukan. Metode ini
dilakukan dengan menentukan besarnya LC50 selama 24 jam. Data tersebut dianalisis dengan
komputer, menggunakan Probit Analysis untuk menentukan harga LC50. Bila masing-masing
ekstrak yang diuji kurang dari 1000 g/ml maka dianggap menunjukkan aktivitas biologik
(Anderson, 1991).
Artemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda. Mereka berkerabat
dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia (kutu air). Artemia hidup di
danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang
salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga jenuh garam. Secara alamiah
salinitas danau dimana mereka hidup sangat bervariasi, tergantung pada jumlah hujan dan
penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6 % telur artemia akan tenggelam
sehingga telur tidak bisa menetas, hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk
kedalam danau dimusim penghujan. Sedangkan apabila kadar garam lebih dari 25% telur
akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan normal
(Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ).
Kista tertua artemia pernah ditemukan oleh suatu perusahan pemboran yang bekerja disekitar
Danau "Salt Great". Kista tersebut diduga berusia sekitar lebih dari 10000 tahun (berdasarkan
metoda "carbon dating"). Setelah diuji, ternyata kista-kista tersebut masih bisa menetas
walaupun usianya telah lebih dari 10000 tahun (Http://www.o-
fish.com/pakanikan/artemia.php )
Siklus hidup
Siklus hidup Artemia silina bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setalah 15-20
jam pada suhu 25C kista akan menetasa menjadi embrio. Dalam waktu bebrapa jam embrio
ini masih akan menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan
perkembangannya kemudiaan berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas.
Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning
telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan dan anusnya belum
terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam mereka akan ganti kulit dan akan memasuki
tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan mikro alga,
bakteri, dan detritus organik lainny. Pada dasarnya mereka tidak akan pedulih (tidak pemilih)
jenis pakan yang dikomsumsinya selama bahan tersebut diair dengan ukuran yang sesuai.
Naupli akan berganti kulit selama 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari.
Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang
tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya
mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli.

Gambar siklus hidup Artemia silina
Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa
mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari)
mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi super ideal,
Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii atau kista sebanyak 300
ekor(butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah menjadi sangat
salin dan bahan pakana sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan
malam hari (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ).
Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu 18 hingga 40C. Sedangkan
tempertur optimal untuk penetasan kista dan pertubuhan adalah 25-30C. Meskipun demikian
hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas
antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya
mati (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ).
Variabel lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan
selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh
Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat
menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk
keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan
Artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah
jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi
mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak
dengan cepat. Sehingga suplai Artemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terus berlanjut
secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air banyak mengandung bahan
organik, atau apabila salintas meningkat, artemia akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel
kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan memproduksi hemoglobin sehingga
tampak berwarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai
memproduksi kista (Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php ).
Dekapsulisasi dapat meningkatkan peresentase keberhasilan sampai dengan 10%. Penetasan
dapat dilakukan pada semua jenis wadah.. Untuk mempermudah "pemanenan" penetasan bisa
dilakukan dalam akuarium berbentuk prisma terbalik, atau berdasarkan prinsip "kamar gelap
dan terang". Pemanenan paling mudah dilakukan dengan cara di siphon (Http://www.o-
fish.com/pakanikan/artemia.php ).
Dekapsulisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista artemia
yang "keras" (korion). Proses ini setidaknya akan mempermudah "bayi" artemia untuk keluar
dari "sarang"nya. Dan kalaupun tidak berhasil "menetas", kista yang telah didekapsulisasi
masih bisa diberikan kepada ikan/burayak dengan aman, karena korionnya sudah hilang,
sehingga akan dapat dicerna dengan mudah. Disamping itu proses ini juga sekaligus
merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan seperti bakteri, jamur, dan lain-lain
(Http://www.o-fish.com/pakanikan/artemia.php )
Ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi diantaranya : (Mustchler,
1991)
1. Efek toksis akut, yang langsung berhubungan dengan pengambilan zat toksik.
2. Efek toksik kronik, yang pada umumnya zat dalam jumlah sedikit diterima tubuh dalam
jangka waktu yang lama sehingga akan terakumulasi mencapai konsentrasi toksik dan dengan
demikian menyebabkan terjadinya gejala keracunan.
Efek samping toksik bergantung pada dosis dan spesifik bagi obat. Sepanjang diberikan dosis
yang cukup tinggi, efek samping toksik terjadi pada setiap orang (Mustchler, 1991).
Kanker merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular. Kuran dari
dapat disembuhkan hanya dengan pembedahan atau radiasi lokal, sisanya memerlukan
kemoterapi sistemik selama sakitnya. Sebagian kecil (kira-kira 10%) menderita neoplasma
khusus, kemoterapi dapat menyembuhkan atau memberikan remisi yang lama(Mycek, 2001).
Kemoterapi kanker merusak dan mematikan sel sehingga menghentikan perkembangan
tumor. Umumnya, serangan bersifat langsung terhadap tempat-tempat terjadinya metabolisme
sel dalam replikasi sel, misalnya tersedianya prekursor urine dan pirimidin untuk proses
sintesis RNA dan DNA (Mycek, 2001).
Toksikologi sangat luas cakupannya. Ia menangani penelitian toksisitas bahan-bahan kimia
yang digunakan antara lain (Lu, 1995)
1. Di bidang kedokteran untuk tujuan diagnostik, pencegahan dan terapeutik.
2. Dalam industri makanan sebagai zat tambahan langsung maupun tidak langsung.
3. Dalam pertanian sebagai peptisida, zat pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan dan zat
tambahan makanan hewan.
4. Dalam industri kimia sebagai pelarut.
II.2 Uraian Bahan
1. Air Suling (Ditjen POM,1979)
Nama resmi : Aqua destillata
Sinonim : Air suling, aquadest
RM/BM : H
2
O / 18,02
Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertrutup baik.
Kegunaan : Sebagai pelarut
2. Ekstrak ragi (Ditjen POM, 1979)
Nama resmi : Ekstrak ragi
Sinonim : Sari ragi
Pemerian : Kuning kemerahan sampai coklat, bau khas tidak busuk
Kelarutan : Larut dalam air, membentuk larutan kuning sampai coklat, bereaksi
asam lemah
Penyimpanan : Dalam wadah tertrutup baik.
Kegunaan : Sebagai sumber makanan Artemia salina
3. n-heksan (Ditjen POM, 1995)
Nama resmi : N-HEKSANA
Sinonim : N-heksan
RM/BM : C
6
H
14
/ 86,18
Pemerian : Cairan jernih , mudah menguap berbau seperti eter lemah atau bau
seperti potreleum.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol mutlak, dapat
campur dengan eter, dengan klorofor, benzena, dan sebagian besar minyak lemak dan
minyak atsiri.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pelarut ekstrak
II.3 Uraian Tanaman
II.3.1 Klasifikasi (http://www.plantamor.com/index.php?plant=2197)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famili : Goodeniaceae
Genus : Scaevola
Spesies : Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb
II.3.2 Morfologi
Scaevola taccada dijumpai dari Madagaskar ke arah timur ke Asia Tenggara, seluruh Malesia,
daerah tropis Australia, Kepulauan Pasifik dan Hawaii. Jenis ini telah dibudidayakan dan
tumbuh meliar di tenggara Amerika Serikat. emak tegak atau pohon kecil dengan ranting
menggalah. Daun berseling, sebagian besar berkumpul di ujung dahan, menyudip sampai
membundar telur sungsang. Perbungaan aksiler, percabangan jarang. Bunga tidak beraroma,
putih sampai kuning muda. Buah pelok berdaging, putih saat matang, berbiji 2.
II.3.3 Kandungan Kimia dan Kegunaan
Kandungan Kimia : Daun dewa mengandung zat saponin, minyak atsiri, flavonoid, dan
tanin. Efek farmakologis didapatkan dari seluruh tanaman.
Kegunaan : Di seluruh Asia Tenggara dan Australia, cairan daun atau cairan buah
yang matang yang telah diencerkan dari Scaevola taccada digunakan untuk menjernihkan
mata buram dan menyembuhkan infeksi mata. Di Malaysia, daun yang pahit dapat dimakan
untuk menyembuhkan gangguan pencernaan, dan tapal daunnya untuk sakit kepala. Di
Indonesia, akarnya dimanfaatkan sebagai anti keracunan makan ikan atau kepiting. Di
Filipina, rebusan akar dipakai untuk beri-beri dan untuk infeksi siphilis dan untuk disentri. Di
Thailand, akar dan daunnya digunakan penyakit kulit. Di Finschafen (Papua Nugini), daun
mudanya dikunyah dan direbus untuk teh atau jus dari daun yang telah dipanaskan dicampur
dengan air untuk menyembuhkan batuk. Air dari daun dapat dipakai langsung untuk pegal-
pegal. Daun mudanya juga dikunyah untuk meredakan batuk di pulau New Hanover, dan
untuk mengobati tuberkulosis di pulau Karkar. Setelah lapisan epidermalnya dihilangkan,
daun dapat dikunyah untuk mengobati malaria. Begitu pula di beberapa pulau di utara
Nugini, daun digunakan untuk mengobati batuk atau flu. Di Irlandia Baru dan Milne Bay,
ekstrak dari daun digunakan sebagai alat kontrasepsi wanita jangka panjang. Pemanfaatan
yang lain meliputi menyembuhkan sakit telinga di pulau Manus, dan asma dan tuberkulosis di
pulau Karkar. Di Australia utara jus yang diperas dari batang muda dan buah matang
diusapkan langsung pada bekas gigitan atau sengatan. Di Samoa, daunnya digunakan untuk
menyembuhkan penyakit kulit, bengkak-bengkak, sakit gajah, bengkak pada kantung
kemaluan, flu dan salah cerna, akarnya dikenal baik untuk terapi kanker; pepagannya untuk
abses, gangguan saat mensturasi dan patah tulang; batangnya untuk gangguan rongga perut.
Di Western Highlands (Papua Nugini) jus dari batang Scaevola oppositifolia R.Br. dipakai
untuk radang telinga. Di daerah lain di Nugini, air dari batang untuk membasuh mata lelah
dan luka, dan dalam keadaan panas untuk bisul.
II.4 Uraian Hewan Coba (Bougis, 1995)
II.4.1 Klasifikasi Artemia salina
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustacea
Ordo : Arostracia
Familia : Artemiidae
Genus : Artemia
Species : Artemia salina
II.4.2 Karakteristik Artemia salina
1. Siklus Hidup Artemia salina
Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15-20 jam
pada suhu 25C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini
masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan
perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas.
Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning
telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum
terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki
tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro
alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak
pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia diair dengan ukuran
yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam
waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada
kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi
demikian biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli.
2. Syarat penetasan Artemia salina
Kista artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila sarat-sarat yang diperlukannya dapat
dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah:
a. Salinitas antara 20-30 ppt (parts per thousand) atau 1-2 sendok teh garam per liter air
tawar. Untuk buffer bisa ditambahkan magnesium sulfat (20 % konsentrasi) atau 1/2 sendok
teh per liter air.
b. Suhu air 26 - 28 C.
c. Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk merangsang proses.
d. Aerasi yang cukup; untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm
e. pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan soda kue untuk
menaikkan pH.
f. Kepadatan sekitar 2 gram per liter.
g. Sebelumnya dapat dilakukan proses dekapsulisasi untuk melunakan cangkang.
BAB III
Metode Kerja
III.1 Alat Yang Digunakan
Alat-alat yang dugunakan pada percobaan ini adalah (Anonim, 2012):
1. Aerator
2. Batang pengaduk
3. Corong
4. Gelas ukur 10 ml
5. Mikropipet
6. Neraca analitik
7. Pipet skala 1 ml
8. Pipet tetes
9. Seperangkat alat penetasan telur
10. Timbangan kasar
11. Termometer
12. Vial
III.2 Bahan Yang Digunakan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah (Anonim, 2012):
1. Air laut
2. Air suling
3. Aluminium foil
4. Ekstrak n-heksan daun beruas laut
5. Ekstrak ragi
6. Kertas saring
7. N-heksan
8. Telur udang Artemia salina Leach
III.3 Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan pada percobaan ini adalah larva udang (Artemia salina) Leach.
III.4 Cara Kerja
III.4.1 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Coba
Hewan uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah larva udang (Artemia salina leach).
Larva udang dipelihara dalam wadah dibawah sinar lampu dengan bantuan aerator untuk
kebutuhan oksigen.
III.4.2 Penyiapan Bahan
1. Pembuatan ekstrak Daun beruwas laut
a. Pengolahan sampel
1. Ditimbang sampel uji sebanyak 500 mg
2. Dipotong potong potong kecil sampel uji
3. Dicuci dengan air
4. Disortasi basah sampel dengan cara memisahkan kotoran kotoran yang melekat
pada akar penawar
5. Dikeringkan sampel uji
6. Disortasi kering
7. Sampel uji siap dimaserasi
b. Ekstraksi sampel
Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan potongan-potongan daun beruwas laut
sebanyak 500 mg ke dalam bejana maserasi (toples), kemudia ditambah 250 ml metanol,
ditutup dan dibiarkan selama 3 hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, sambil
berulang ulang diaduk. Setelah 3 hari, disaring ke dalam bejana penampung, kemudian
ampas daun beruwas laut diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk
kemudian disaring lagi sehingga diperoleh sari 100 ml. Sari yang diperoleh ditutup dan
disimpan pada tempat yang terlindung cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk
dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.
c. Penguapan ekstrak
1. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan cara diangin anginkan dibawah kipas
angin
2. Diperoleh ekstrak kental atau padat
2. Pembuatan ekstrak n-heksan
a. Ditimbang ekstrak padat n-heksan daun beruwas laut sebanyak 100 mg
b. Ditambahkan 10 ml air laut
c. Dihomogenkan
d. Diencerkan menjadi empat macam konsentrasi yaitu 0,1, 1, 10, dan 100 ppm
3. Pembuatan suspensi ragi
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Ditimbang ragi 3 mg
c. Ditambahkan dengan 5 ml air laut lalu diaduk lagi hingga homogen
d. Disimpan ragi tersebut pada vial dan siap digunakan
III.4.2 Perlakuan
1. Dilarutkan sampel uji yang telah ditimbang
2. Sampel dipipet kedalam vial masing-masing 0,1 , 1 , 10 , dan 100 mikroliter
menggunakan mikropipet
3. Diuapkan pelarutnya kemudian ditambah 5 ml air laut.
4. Dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina Leach kedalam vial yang berisi sampel uji.
5. Dicukupkan volumenya sampai 10 ml dengan air laut.
6. Ditambahkan 1 tetes suspensi ekstrak ragi kedalam tiap vial sebagai sumber makanan.
7. Disimpan vial-vial uji ditempat yang cukup mendapat sinar lampu.
8. Dilakukan pengamatan setelah 24 jam terhadap jumlah larva yang mati.
BAB IV
HASIL PRAKTIKUM
IV.1 Data Pengamatan

[ ] Sampel Replikasi Larva yg mati
VI.2 Perhitungan
% Kematian
[0,1] = = 23,33%
[1] = = 53,33%
[10] = = 70%
[100] = = 86,67%
Ket : X = Log konsentrasi
Y = Probit
Persamaan garis
y = a + bx

=
=
= 4,96

=
=
= 0,59
y = 4,96 + 0,59x
5 = 4,96 + 0,59x
x =
x = 0,07

x = log LC
50

LC
50
= Antilog 0,07
= 1,17
y = a + bx
y = 4,96 + 0,59x
y
1
= 4,96 + 0,59 (-1) = 4,37
y
2
=4,96 + 0,59 (0) = 4,96
y
3
= 4,96 + 0,59 (1) = 5,55
y
4
= 4,96 + 0,59 (2) = 6,14



SE log LC
50




SE LC
50
= LC
50
x ln 10 x SE log LC
50

= 1,17 x 2,3 x 0,28
= 0,57
Jadi LC
50
= 1,17 0,57 g/ml
BAB V
PEMBAHASAN
Biossay adalah suatu pengujian tentang toksisitas pada suatu produk dalam rangka pencarian
produk alam yang potensial yang biasanya menggunakan makhluk hidup sebagai sampel.
Kebanyakan obat dapat diukur aktivitasnya secara cepat dan teliti dengan metode kimiawi
atau fisika, dengan menggunakan alat modern, misalnya dengan spektrofotometer ultraviolet/
infrared.
Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk sediaan tak murni atau
campuran dari beberapa zat aktif, metode ini tidak dapat dilakukan. Obat-obat ini diukur
dengan metode biologis, yaitu dengan bio-assay, dimana aktivitas ditentukan oleh organisme
hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat tersebut dengan efek suatu standar
internasional.
Toksisitas adalah efek beracun dari suatu senyawa atau bahan obat pada organ target.
Umumnya suatu senyawa kimia mempunyai potensi terhadap timbulnya gangguan atau
kematian jika diberikan pada organisme hidup, untuk dilakukan pengujian untuk mengetahui
tingkat keamanan dan keberbahayaan suatu zat yang diuji atau lebih dikenal dengan istilah uji
toksisitas.
Zat toksis umumnya berasal dari alam maupun bahan sintetik. Bahan-bahan yang dapat
bersifat toksis antara lain zat tambahan misalnya pewarna, pemanis bumbu penyedap dll, dan
zat pencemar pada makanan (pestisida, logam-logam terutama logam berat serta pencemaran
lingkungan.
Ada 3 jenis metode pengujian Biossay untuk mengetahui toksisitas suatu bahan alam yaitu
Simple Brench-Top Bioassay (Metode BSLT Brine Shrimp Lethality Test, Lemna Minor
Bioassay dan Crown-Gall Potato Disc Bioassay) serta Pengujian pada sel telur babi.
a. Metode BSLT Brine Shrimp Lethality Test adalah suatu metode guna menentukan
toksisitas suatu senyawa bahan alam dengan cepat, murah dan cukup akurat untuk penapisan
ekstrak bahan aktif dengan menggunakan hewan uji Artemia salina Leach yang berumur 48
jam. Metode ini juga digunaka untuk mendeteksi keberadaan senyawa toksik dalam proses
isolasi senyawa dari bahan alam yang berefek sitotoksik dengan menentukan harga LC 50
dari senyawa aktif. Metode BST dapat digunakan dari berbagai sistem uji seperti morfin,
karsinogenik dan ketoksikan dari hewan dan tumbuhan laut serta senyawa racun dari
tumbuhan darat.
b. Lemna minor Biossay terutama digunakan sebagai uji pendahuluan terhadap bahan
yang dapat menghambat dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan pengujian ini
dapat diamati bahwa anti tumor alami juga dapat menghambat pertumbuhan lemna, walaupun
korelasinya dengan antitumor lainnya kurang baik. Oleh karedna itu pengujian ini lebih
diarahkan untuk mencari herbisida dan stimulant pertumbuhan baru.
c. Crown-gall potato Biossaay merupakan metode pengujian toksisitas yang relatif cepat
pengerjaannya, tidak mahal, tidak memerlukan hewan percobaan serta menunjukan
korelasi yang baik dengan uji anti tumor lainnya. Crown-Gall merupakan suatu penyakit
neoplastik pada tumbuhan yang disebabkan bakteri gram negatif Agrobacterium tumefaciens
yang selanjutnya menyebabkan pertumbuhan jaringan tumor secara otonom dan tidak
dipengaruhi oleh mekanisme kontrol normal.
Efek toksik yang terjadi sangat bervariasi dalam sifat, organ, sasaran maupun mekanisme
kerjanya. Efek toksisitas dapat bersifat ;


Principal Component Analysis
(PCA)/Proyeksi Eigen
Posted on January 2, 2013
Sejarah PCA
PCA adalah teknik statistik yang sudah digunakan secara luas baik dalam hal pengenalan
wajah maupun pengenalan pola dari sebuah gambar. Metode Principal Component Analysis
(PCA) dibuat pertama kali oleh para ahli statistik dan ditemukan oleh Karl Pearson pada
tahun l90l yang memakainya pada bidang biologi. Kemudian tidak ada perkembangan baru
pada teknik ini, dan. perkembangannya baru mulai pesat pada akhir tahun l930 dan awal
1940. Setelah itu perkembangannya berkurang sebentar sampai komputer telah berhasil
didesain sehingga dapat mengaplikasikan teknik ini pada masalah-masalah yang masuk akal.
Pada tahun 1947 teori ini muncul lagi dan cukup independen sebagai teori probabilitas yang
ditemukan oleh Karhunen, dan kemudian dikembangkan oleh Loeve pada tahun l963,
sehingga teori ini juga dinamakan Karhunen-Loeve transform pada bidang ilmu
telekomunikasi.
Teknik PCA
PCA adalah sebuah transformasi linier yang biasa digunakan pada kompresi data. PCA
adalah sebuah teknik statistika yang berguna pada bidang pengenalan, klasifikasi dan
kompresi data citra. PCA juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk menarik fitur-
fitur dari data pada sebuah skala berdimensi tinggi. Dengan cara mentransformasikan citra ke
dalam eigenfaces secara linier, proyeksikan citra ke dalam bentuk skala berdimensi n, yang
menampakkan properti dari sampel yang paling jelas sepanjang koordinat. PCA
memproyeksikan citra ke dalam subspace, dan menghitung variasi dari citra tersebut. Dengan
kata lain, PCA adalah transformasi linear untuk menentukan sistem koordinat yang baru
dari dataset. Teknik PCA dapat mengurangi dimensi dari dataset tanpa tidak menghilangkan
informasi penting dari dataset.
UJI RESISTENSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikroorganisme yang berada di sekitar kita bermacam-macam ada yang menguntungkan dan
ada yang merugikan bagi makhluk hidup, khususnya pada manusia. Mikroorganisme
misalnya bakteri ada yang bersifat patogen dan non patogen. Bakteri patogen adalah bakteri
yang dapat menyebabkan penyakit tertentu, sedangkan bakteri non patogen adalah bakteri
yang tidak menyebabkan penyakit. Adanya bakteri patogen membuat peneliti mulai
mengembangkan pengetahuan mengenai resistensi suatu bakteri dan menemukan zat
antimikrobia yang kemudian memudahkan manusia untuk mengendalikan pertumbuhan suatu
bakteri.
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya
dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau
menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Chaidir, 1994). Tiap-tiap antibiotik
memiliki efektivitas yang berbeda-beda terhadap mikroorganisme (bakteri). Beberapa
antibiotik dapat bekerja dengan baik pada bakteri gram negatif dan beberapa antibiotik
lainnya ada yang lebih efektif pada bakteri gram positif.
Cara mmengetahui efektivitas suatu antibiotik dengan mengetahui tingkat resistensi bakteri
terhadap antibiotik dapat dilakukan dengan uji Kirby-Bauer. Prinsip dasarnya adalah dengan
meletakkan disk yang telah mengandung antibiotik dengan konsentrasi dan kadar tertentu
pada media agar yang telah ditanam bakteri uji. Zona hambat/ bening yang dihasilkan
disekitar disk inilah yang digunakan sebagai dasar penentuan tingkat resistensi.tingkat
resisntensi bakteri dibedakan menjadi 3 yakni: sensitif, intermediet, dan resisten. Bakteri
bersifat sensitif adalah jika terbentuk zona bening pada saat diuji Kirby-Bauer, resisten
adalah jika tidak terbentuk zona bening pada saat diuji Kirby-Bauer, sedangkan intermediet
adalah jika terbentuk zona bening pada saat diuji Kirby-Bauer dengan diameter yang kecil.
Berdasarkan hal tersebut, untuk mengetahui resistensi bakteri terhadap antibiotik (ampisilin)
dan mengetahui efektifitas antibiotik tersebut, maka dilakukan percobaan uji resistensi pada
bakteri (sampel air selokan) Fakultas MIPA, Universitas Negeri Surabaya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas, dapat ditarik rumusan masalah yaitu:
a. Bagaimanakah cara menguji tingkat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotik tertentu?
b. Bagaimanakah efektivitas antibiotik (Ampisilin) terhadap bakteri gram negatif berbentuk
monococcus dari sampel air selokan?
1.3 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
a. Mengetahui cara menguji tingkat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotik tertentu.
b. Mengetahui efektivitas suatu antibiotik terhadap bakteri uji.
1.4 Manfaat
Manfaat dari praktikum uji resistensi ini adalah :
a. Dapat memberikan pengetahuan cara menguji resistensi suatu bakteri.
b. Dapat memberikan pengetahuan mengenai sifat antibiotik yang memiliki efektivitas
berbeda-beda terhadap suatu jenis bakteri.
c. Dapat memberikan pengetahuan bahwa konsentrasi antibiotik mempengaruhi besar
kecilnya zona hambat yang dihasilkan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Mikroorganisme dapat ditemukan hampir di setiap lingkungan, termasuk lingkungan-
lingkungan dimana tidak ada kehidupan lain yang dapat bertahan hidup. Mikroorganisme
mampu bertahan hidup di berbagai kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Mereka juga
mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan yang sangat ekstrim. Jenis-jenis
mikroorganisme yang ditemukan di suatu lingkungan mempunyai pertumbuhan yang
berbeda-beda pula. Pertumbuhan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan
kimiawi. Selayaknya mahluk hidup, mikroorganisme juga membutuhkan zat-zat tertentu
untuk tumbuh dan juga memberikan respon terhadap zat-zat yang merusak mereka. Bahan-
bahan kimia baik organik maupun anorganik bersifat racun bagi mikroorganisme. Bahan-
bahan ini dapat menghambat atau mematikan mikroba yang bersifat patogen dan merugikan
manusia. Senyawa yang dapat menghambat mikroba disebut senyawa antiseptik, sedangkan
senyawa yang bisa mematikan mikroba disebut senayawa desinfektan.
Salah satu senyawa antiseptik yang dapat menghambat pertumbuhan salah satu jenis mikroba
misalnya bakteri adalah antibiotik. Antibiotik atau dikenal juga sebagai obat anti bakteri
merupakan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri. Alexander Fleming pada tahun 1927 menemukan antibiotika yang pertama yaitu
penisilin. Pada tahun 1940, antibiotika dapat dikatakan merubah dunia pengobatan serta
mengurangi angka kesakitan & kematian yang disebabkan oleh penyakit infeksi secara
dramatis (Ganiswarna, 1995).
Pengertian dari antibiotika pada awalnya merujuk pada senyawa yang dihasilkan oleh jamur
atau mikroorganisme yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit pada hewan &
manusia. Saat ini beberapa jenis antibiotika merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan dari
mikororganisme) tetapi juga dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Secara
teknis, zat yang dapat membunuh bakteri baik berupa senyawa sintetis atau alami disebut
dengan zat antimikroba, akan tetapi banyak orang yang menyebutnya dengan antibiotika.
Antibiotika mempunyai manfaat yang sangat banyak, penggunaan antibiotika secara
berlebihan juga dapat memicu terjadinya resistensi antibiotika (Wasitaningrum, 2009).
Resistensi antibiotika ialah kemampuan dari bakteri atau mikroorganisme lain untuk menahan
efek antibiotika. Resistensi antibiotika terjadi ketika bakteri dapat merubah diri sedemikian
rupa hingga dapat mengurangi efektifitas dari suatu obat, bahan kimia ataupun zat lain yang
sebelumnya dimaksudkan untuk menyembuhkan atau mencegah penyakit infeksi sehingga
mengakibatkan bakeri tersebut tetap dapat bertahan hidup. Bakteri dapat membentuk
ketahanan khusus terhadap suatu jenis antibiotika tertentu, sehingga membahayakan orang
yang terkena penyakit tersebut. Kesalahpahaman yang sering terjadi di masyarakat yaitu
adanya anggapan bahwa yang resisten terhadap obat tertentu ialah tubuh seseorang, padahal
sebenarnya bakteri yang ada di dalam tubuh itulah yang menjadi resisten terhadap
pengobatan, bukan tubuhnya (Stainier, et al., 1986).
Cara pengujian resistensi mikroba terhadap suatu jenis antibiotik dapat dilakukan dengan uji
resistensi. Teknik ini menggunakan zat kimia untuk mengurangi dan membunuh
mikroorganisme, terutama mikroba yang patogen. Metode yang biasa dipakai adalah metode
Metode Kirby-Bauer yang merupakan cara untuk menentukan sensitifitas antibiotik untuk
bakteri. Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter zona hambat
terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada metode Kirby-Bauer adalah:
a. Ketebalan media agar
Dapat mempengaruhi penyebaran dan difusi antibiotik yang digunakan.
b. Umur bakteri
Bakteri yang berumur tua (fase stationer) tidak efektif untuk diuji karena mendekati kematian
dan tidak terjadi pertumbuhan lagi sehingga yang dipakai bekteri berumur sedang (fase
eksponential) karena aktivitas metabolitnya tinggi, pertumbuhan cepat sehingga lebih peka
terhadapa daya kerja obat dan hasilnya lebih akurat.
c. Waktu inkubasi
Waktu yang cukup supaya bakteri dapat berkembang biak dengan optimal dan cepat.
Waktunya minimal 16 jam.
d. pH, temperature
Bakteri memiliki pH dan temperature optimal untuk tumbuh yang berbeda-beda sehingga
sebaiknya dilakukan saat pH dan temperature yang optimal.
e. Konsentrasi antibiotik
Semakin besar konsentrasinya semakin besar diameter hambatannya..
f. Jenis antibiotik
setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap antibiotiknya, tergantung sifat
antibiotik tersebut (berspektrum luas/berspektrum sempit).
Bakteri dapat membentuk ketahanan khusus terhadap suatu jenis antibiotika tertentu,
sehingga membahayakan orang yang terkena penyakit tersebut. Kesalahpahaman yang sering
terjadi di masyarakat yaitu adanya anggapan bahwa yang resisten terhadap obat tertentu ialah
tubuh seseorang, padahal sebenarnya bakteri yang ada di dalam tubuh itulah yang menjadi
resisten terhadap pengobatan, bukan tubuhnya (Sinaga, 2005).
Setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap antibiotiknya, tergantung sifat
antibiotik tersebut (berspektrum luas/berspektrum sempit). Ampicillin merupakan salah satu
antibiotik yang termasuk golongan penisilin semi-sintetik yang berasal dari inti penisilin
yaitu asam 6-amino penisilat (6-APA) dan merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat
bakterisid. Secara klinis, ampicillin efektif terhadap bakteri gram-positif seperti S.
pneumonia, enterokokus dan stafilokokus yang tidak menghasilkan penisilinase, sedangkan
pada bakteri gram-negatif, diantaranya gonokokus, H. influenza, beberapa jenis E.coli,
Shigella, Salmonella dan P. mirabilis. Seperti golongan penicillin lainnya, ampicillin bekerja
dengan menghambat sintesis dinding sel yaitu dengan menyerang peptidoglikan dan mampu
melakukan penetrasi pada bakteri gram positif dan gram negatif. Keberadaan gugus amino
pada Ampicillin membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada
bakteri (Brander, et al., 1991).
Ampisilin termasuk antibiotik yang bersifat bakterisidal dan memiliki mekanisme kerja yang
secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja ampicilin antara
lain:
1. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat transpeptidasi sintesis
peptidoglikan pada aksi enzim transpeptidase bakteri. Transpeptidase merupakan enzim yang
bekerja dalam proses cross-linking dari rantai peptida dalam membentuk senyawa
peptidoglikan yang terjadi pada tahap akhir pembentukan dinding sel (Essack, 2001;
Chamber, 2004). Proses Cross linking tersebut digunakan dalam integritas struktur dinding
sel bakteri.
2. Perlekatan obat pada protein spesifik pengikat penisilin atau Penicillin-Binding Protein
(PBP) yang berlaku sebagai reseptor obat pada bakteri.
3. Aktivasi enzim autolitik pada dinding sel akibat perlekatan obat pada PBP. Aktivasi
tersebut menyebabkan lisis dinding sel bakteri (Jawetz, 1997; Dzen et. al., 2003).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Praktikan melaksanakan praktikum uji resitensi bakteri pada hari kamis tanggal 4 april 2013.
Praktikan melaksanakan praktikum tersebut di Laboratorium Mikrobiologi Dasar, Gedung
C9, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Surabaya.
3.2 ALAT DAN BAHAN
A. Alat
Cawan petri 2 buah
Kertas hisap (paper disc) 12 buah
B. Bahan
Media taoge agar
Media taoge cair
Bakteri uji 2 ml
Antibiotik amphicillin 500 mg
3.3 PROSEDUR KERJA
a. Dilakukan peremajaan/ sub culture bakteri uji yang akan digunakan pada media taoge
cair.
b. Diinkubasi pada suhu 28-30C selama 24 jam.
c. Diambil 1 ml kultur bakteri, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril
(dilakukan secara duplo).
d. Media taoge agar dituangkan ke dalam cawan petri, kemudian dihomogenkan.
e. Membuat paper disc dari kertas hisap berbentuk lingkaran dengan diameter kurang
dari 1 cm, kemudian direndam dalam antibiotik dengan konsentrasi 50 mg/ml, 25 mg/ml, dan
5 mg/ml (tiap konsentrasi 3-4 paper disc).
f. Kertas hisap yang telah direndam diletakkan pada media Taoge Agar yang telah
ditanami bakteri uji (langkah no.4), diberi tanda pada bagian luar cawan supaya tidak
tertukar.
g. Diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 28-30C.
h. Diamati zona hambat/zona bening yang terbentuk, kemudian diukur diameternya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 4.1. Pengamatan Uji Resistensi Pada Cawan Petri
Identifikasi Uji Resistensi Cawan A Uji Resistensi Cawan B
Gambar
25
mg/ml
50
mg/ml
5 mg/ml

25
mg/ml
50
mg/ml
5 mg/ml

Mikroorganisme
Bakteri
(sampel air selokan depan
gedung C3- FMIPA)
Bakteri
(sampel air selokan depan
gedung C3- FMIPA)
Morfologi
Karakteristik optik: Opaque
Bentuk: punctiform
Elevasi: raised
Bentuk tepian: entire
Karakteristik optik: Opaque
Bentuk: punctiform
Elevasi: raised
Bentuk tepian: entire
Bentuk sel Coccus (bulat) Coccus (bulat)
Susunan sel Monococcus Monococcus
Gram positif (+) atau
negatif (-)
Negatif (-) Negatif (-)
Diameter zona hambat
Konsentrasi 50 mg/mL: 1,6 cm
Konsentrasi 25 mg/mL: 1,3 cm
Konsentrasi 5 mg/mL: 1,1 cm
Konsentrasi 50 mg/mL: 1,5 cm
Konsentrasi 25 mg/mL: 1,2 cm
Konsentrasi 5 mg/mL: 1,1cm
Keterangan: diameter paper disk = 0,5 cm
Hasil yang kami dapatkan dari uji resistensi berupa reaksi dari bakteri terhadap antibiotik,
sensitif atau resisten, dapat dilihat dari zona inhibitor yang terbentuk. Terdapat perbedaan
besar zona hambat/ zona bening yang terbentuk sebagai respon terhadap perbedaan
pengenceran antibiotik. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa besarnya pengenceran
berbanding lurus dengan besarnya zona hambat/zona yang terbentuk. Semakin besar
pengenceran (50 mg/ml) maka semakin besar diameter zona hambat/ zona bening yang
terbentuk.
4.2 Pembahasan
Percobaan ini bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan uji sensitifitas mikroba
terhadap antibiotik dengan metode Kirby-Bauer dan menentukan mikroba uji termasuk
sensitif atau resisten terhadap antibiotik yang diujikan.
Pada percobaan ini kadar antibiotik ditentukan dengan metode Kirby-Bauer, yaitu
pengukuran sensitifitas antibiotik dengan metode paper disk yang berisi agen antimikroba
pada media yang telah ditanami mikroba dan akan berdifusi pada media agar. Daerah jernih
disekitar paper disk merupakan hambatan mikroba oleh antibiotik pada permukaan agar.
Metode Kirby-Bauer merupakan cara untuk menentukan sensitifitas antibiotik untuk bakteri.
Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter zona hambat terbentuk.
Semakin besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya.
Dalam percobaan uji resistensi ini, antibiotik yang digunakan adalah ampicillin 500 gram
yang didapatkan zona hambat/zona bening. Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri sensitif
terhadap antibiotik ampicilin 500 gram, dapat dilihat dengan adanya zona jernih/zona hambat
yang mengindikasikan bahwa bakteri sensitif terhadap antibiotik ampicilin. Ampicillin
bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel yaitu dengan menyerang peptidoglikan dan
mampu melakukan penetrasi pada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan
keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus
membran terluar (outer membran) pada bakteri. Percobaan yang dilakukan telah sesuai
dengan teori yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari antibiotika maka akan
semakin besar zona jernih yang terbentuk (Dwidjoseputro., 2003).
Ampisilin termasuk antibiotik yang bersifat bakterisidal dan memiliki mekanisme kerja yang
secara umum menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja antibiotik
tersebut antara lain:
1. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat transpeptidasi sintesis
peptidoglikan pada aksi enzim transpeptidase bakteri. Transpeptidase merupakan enzim yang
bekerja dalam proses cross-linking dari rantai peptida dalam membentuk senyawa
peptidoglikan yang terjadi pada tahap akhir pembentukan dinding sel (Essack, 2001;
Chamber, 2004). Proses Cross linking tersebut digunakan dalam integritas struktur dinding
sel bakteri.
2. Perlekatan obat pada protein spesifik pengikat penisilin atau Penicillin-Binding Protein
(PBP) yang berlaku sebagai reseptor obat pada bakteri.
3. Aktivasi enzim autolitik pada dinding sel akibat perlekatan obat pada PBP. Aktivasi
tersebut menyebabkan lisis dinding sel bakteri (Jawetz, 1997; Dzen et. al., 2003).
Perbedaan luas/lebar diameter zona hambat pada cawan A dengan cawan B disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain kurang halusnya dalam proses penggerusan antibiotik,
konsentrasi antibiotik yang diserap oleh paper disk pada cawan A berbeda dengan paper disk
pada cawan B karena larutan antibiotik pada tiap konsentrasi kurang homogen, volume spet
yang disediakan tidak sesuai dengan volume yang dibutuhkan serta adanya media Taoge
Agar (TA) yang menggumpal ketika di tuangkan pada cawan petri.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Bakteri memiliki tingkat resistensi yang berbeda-beda terhadap antibiotik yang diberikan
tergantung dari sifat/karakteristik bakteri uji serta jenis dan konsentrasi antibiotik. Bakteri
bersifat sensitif apabila menghasilkan zona hambat/zona bening ketika diuji dengan
antibiotik. Antibiotik semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri apabila
semakin luas/lebar zona hambat yang terbentuk yang terjadi akibat semakin tinggi
konsentrasi antibiotik yang digunakan.
5.2. Saran
Agar zona hambat yang dihasilkan membentuk struktur yang bulat sempurna (diameter tiap
sisinya sama atau hampir sama) supaya mudah diamati praktikan harus berhati-hati ketika
meletakkan paper disc (yang telah dicelupkan ke larutan antibiotik) dalam suspensi bakteri
pada cawan petri. Pemilihan kertas yang digunakan sebagai disc harus dipilih jenis kertas
yang dapat menyerap sempurna larutan antibiotik, misalnya kertas saring.
DAFTAR PUSTAKA
Brander, G.C., Pugh, D.M., Bywater, R.J. and Jenkins, W.L. 1991. Veterinary Applied
Pharmacology and Therapeutics, 5
th
ed. The English Language Book Society, Bailliere
Tindal, London.
Chaidir J, Munaf S. 1994. Obat antimikroba. In : Munaf S, eds. Farmakologi Unsri. Jakarta :
EGC.
Chambers, H. F. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. 8th ed. Jakarta: Salemba Medika.
Dwijaseputro. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas Brawijaya. Djambatan :
Malang.Hadioetomo, Ratna Siri. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT
Gramedia PustakaUtama : Jakarta
Dzen, Sjoekoer M; Roekistiningsih; Santoso, Sanarto; Winarsih, Sri; Sumarno; Islam,
Samsul, A.S. Noorhamdani; Murwani, Sri; Santosaningsih, Dewi. 2003. Bakteri
Bentuk Batang. Bakteriologi Medik. Malang: Bayumedia. Pp 189
Essack, S.Y., 2001. The Development of Beta-Lactam Antibiotics in Response to the
Evolution of-Lactamases. Pharmaceutical Research. 18(10): 1391-99.
Fleming, Alexander (1980). On the antibacterial action of cultures of a penicillium, with
special reference to their use in the isolation of B. influenza.. Clin Infect Dis 2 (1):129-39.
Jawet, Melnik dan Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Jawet E. 1998. Prinsip kerja obat antimikroba. In : Katzung B, eds. Farmakologi dasar dan
klinik. Jakarta : EGC.
Wasitaningrum, I. D. A., 2009. Uji Resistensi Bakteri Staphylococcus Aureus dan
Escherichia Coli Dari Isolat Susu Sapi Segar Terhadap Beberapa Antibiotik. Skripsi. Tidak
dipublikasikan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai

  • Aljabar Boolean
    Aljabar Boolean
    Dokumen19 halaman
    Aljabar Boolean
    achmadjunaedi626
    Belum ada peringkat
  • Alkohol Fenol
    Alkohol Fenol
    Dokumen10 halaman
    Alkohol Fenol
    Denny V Anggara Jr
    Belum ada peringkat
  • 26 12 13
    26 12 13
    Dokumen21 halaman
    26 12 13
    Denny V Anggara Jr
    Belum ada peringkat
  • Tugas B.ind
    Tugas B.ind
    Dokumen2 halaman
    Tugas B.ind
    Inez Sutopo
    Belum ada peringkat
  • Proposal 2
    Proposal 2
    Dokumen8 halaman
    Proposal 2
    Denny V Anggara Jr
    Belum ada peringkat
  • Jawaban Sejarah
    Jawaban Sejarah
    Dokumen2 halaman
    Jawaban Sejarah
    Denny V Anggara Jr
    Belum ada peringkat