Anda di halaman 1dari 15

1

Malpraktik Kedokteran Dalam Kasus


Apendiktomi

Vien Stefani
102010238
Kelompok C4
16 September 2013
Mahasiswa Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
(UKRIDA)

Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya
kelalaian medis ataupun malpraktek medis tercatat meningkat dibandingkan dengan tahun-
tahun sebelumnya. Seirama dengan itu, tercatat jumlah kasus pengaduan dugaan pelanggaran
etik kedokteran yang diajukan ke MKEK juga meningkat. MKEK IDI Wilayah DKI yang
pada tahun-tahun sebelum 1999 hanya melayani 7-13 kasus per-tahun, melayani 15-25 kasus
per-tahun pada tahun 2000 hingga 2004.
1
Di Jakarta sendiri setiap tahun terdapat beberapa
kasus diajukan ke pengadilan. Jumlah tuntutan ganti rugi berkisar antara puluhan juga rupiah
hingga 100 milyar rupiah. Bahkan akhir-akhir ini juga terdapat beberapa kasus pidana
kelalaian yang mengakibatkan kematian yang menyangkut dokter atau petugas rumah sakit
lain sebagai terdakwa. Di negara-negara maju kejadian kelalaian medik terjadi dengan
kekerapan yang tinggi. Di Inggris dilaporkan bahwa setiap hari terjadi kelalaian medis.
1

Banyaknya kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga melakukan kelalaian
medik apabila dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan sebagai upaya
menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun di sisi lain, penuntutan
tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif.
Selain itu, besarnya tuntutan ganti rugi yang semakin hari kian meningkat juga
merupakan salah satu hal yang harus diperhitungkan, baik oleh para praktisi kedokteran
maupun oleh penyelenggara negara. Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian
2

immateriel akan cenderung mengakibatkan semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan
kedokteran berbiaya tinggi. Demikian pula gugatan ganti rugi melalui sidang pengadilan
akan meningkatkan legal cost, akibat adanya biaya proses persidangan, pengacara dan
succes fee. Oleh karena itu World Medical Association menganjurkan kepada para Ikatan
Dokter Nasional untuk mencari jalan inovatif dalam menyelesaikan tuntutan ganti rugi,
seperti lebih memilih penyelesaian melalui arbitrase daripada melalui pengadilan.
1

Isi
Malpraktik Medis
Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai "professional misconduct
or unreasonable lack of skill" atau "failure of one rendering professional services to exercise
that degree of skill and learning commonly apllied under all the circumstances in the
community by the average prudent reputable member of the profession with the result of
injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon
them" (bahasa mudahnya: lalai).
2
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik
dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada perbuatan jahat
tertentu, tindakan kelalaian (negligees), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidak-kompetenan
yang tidak beralasan.
2
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, penipuan/
kecurangan, "penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal,
euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan
iptekdok yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya,
sengaja melanggar standar, dll.
1
Selain itu malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian. Sementara itu
ketidak-kompetenan dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu kelalaian.
Dengan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpulan adanya malpraktik
bukan dilihat dari hasil tindakan medis pada pasien melainkan harus ditinjau dari bagaimana
proses tindakan medis tersebut dilaksanakan.
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan, yaitu :
1
3


1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter.
2. Hasil dan suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.
3. Hasil dari suatu kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan.
Pengertian dan Syarat Kelalaian Medik
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain
yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat
bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan
perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau
cedera bagi orang lain.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut
World Medical Association (1992), yaitu: "medical malpractice involves the physician's
failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of
skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to
the patient".
2
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi
mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. "An
injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not
the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability".
2
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan
nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti
melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi
prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
4

baginya.
1
Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes,
slips, and lapses) yang akan diuraikan dibawah, namun pada kelalaian harus memenuhi
keempat unsur kelalaian dalam hukum,khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak
selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara
langsung menimbulkan dampak buruk.
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini, yaitu :
3
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu
yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan /
kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan "proximate cause".
Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-empat
unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan
tersebut dinilai tidak cukup bukti.

Dasar Hukum
4

Pasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kurang hati-hatiannya.
Pasal 1367 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-
barang yang berada di bawah pengawasannya.
Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang
hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si
5


,grt fl
korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak
menuntut suatu ganti rugi,yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua
belah pihak, serta menurut keadaan.
Pasal 1371 KUH Perdata: Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan
sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain
penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai
menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.
Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :
Pasal 359 KUHP : barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan
paling lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP : (1) barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya
(kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul
penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu
tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima
ratus rupiah.

Pembuktian adanya Kewajiban dan Pelanggarannya
Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara
tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari
hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban
profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan
berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum
merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi
layanan maupun bagi penerima layanan: atau dengan demikian untuk mencapai safety yang
optimum.
4
Dalam kaitannya dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan
kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis tertentu, atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang
tertentu.
6

Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki suatu
kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan
kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat
kompetensi tersebut bukanlah tingkat terendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam
kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan kompetensi yang rata-rata (reasonable
competence) dalam populasi dokter.
Selanjutnya untuk dapat melakukan praktek medis, dokter tersebut harus memiliki
kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan dalam bentuk ijin
praktek. Kewenangan formil diperoleh dengan menerima "surat penugasan" (atau
memperoleh ijin mengikuti pendidikan spesialisasi, atau yang serupa), sedangkan
kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktek.
4
Seseorang yang memiliki kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di suatu
sarana kesehatan yang sesuai dengan surat penugasannya di bawah supervise pimpinan
sarana kesehatan tersebut, atau bekerja sambil belajar di institusi pendidikan spesialisasi di
bawah supervise pendidiknya.
Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar.
Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku
IDI.
4
Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu
sebagaimana diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut. Sementara itu
dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan minimal (SPM), haruslah
kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi),
pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan minimal
umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein),
namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau
disediakan (das sollen)
4
. Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan.
Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan
yang "normal" (pada clean case) sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat
diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Banyak hal harus diperhitungkan disini,
seperti bagaimana keadaan umum pasien dan faktor-faktor lain yang "memberatkannya";
adakah situasi kedaruratan tertentu, adakah keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi,
adakah keterbatasan waktu, dan lain-lain.



7

Pembelaan Adanya Penyimpangan Kewajiban
Pembelaan dengan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban pada pihak dokter hampir
tidak mungkin dilakukan, oleh karena pada umumnya hubungan profesional antara dokter
dengan pasien telah terbentuk.
4
Sangat jarang kelalaian medis terjadi karena adanya
hubungan dokter pasien, seperti pada upaya pertolongan yang dilakukan dokter pada gawat
darurat medik yang tidak pada sarana kesehatan. Dengan demikian pembelaan harus
ditujukan kepada upaya pembuktian tidak adanya pelanggaran kewajiban yang dilakukan
dokter.
Pada awalnya tentu saja dibuktikan terlebih dahulu adanya kompetensi dan
kewenangan medik pada dokter pada peristiwa tersebut, demikian pula kompetensi dan
kewenangan institusi kesehatan tempat terjadinya peristiwa.
Berikutnya ditujukkan bahwa tidak terdapat pelanggaran dokter terhadap kewajiban
dokter mengikuti pasal-pasal dalam KUHP, UU Kesehatan dan peraturan perundang-
undangan lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Demikian pula pasal-pasal dalam
sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI, kecuali yang berkaitan dengan
standar prosedur / standar pelayanan minimal.
4
Selanjutnya diidentifikasi semua data tentang peristiwa, sehingga "peer group" dapat
menyusun standar prosedur dan standar pelayanan minimal yang dapat diberlakukan pada
situasi dan kondisi yang identik dengan kasus yang dipertanyakan. Dalam hal ini, berbagai
keterbatasan yang bersifat lokal dan "common practice" dapat menyimpangi standar yang
bersifat nasional, sepanjang penyimpangan tersebut masih dapat diterima ditinjau dari
falsafah dan prinsip pelayanan medik serta state-of-the-art kedokteran.
Pembelaan harus dapat menunjukkan bahwa tidak ada penyimpangan standar profesi
dan atau standar prosedur operasional, atau kalaupun ada penyimpangan dapat dibuktikan
bahwa penyimpangan tersebut masih dapat dibenarkan atau dimaafkan karena adanya faktor-
faktor pembenar atau pemaaf (keterbatasan sumber daya, pendeknya waktu atau tingkat
keparahan dan sifat perjalanan penyakit pasien).

Peranan Rekam Medik
Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik, membuat
keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi
yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki arti dalam pembelaannya
apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis yang baik adalah rekam medis yang
memuat semua informasi yang dibutuhkan, baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran
8

dokter, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan,
informed consent, dll informasi lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari yang disusun
secara berurutan kronologis. Sebuah adagium mengatakan "good record good defence, bad
record bad defence, and no record no defence".
1
Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1) bahwa
kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat pengetahuan dan ke
rampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh rata-rata dokter pada situasi-kondisi
yang sama (reasonable competence), (2) bahwa tindakan dokter adalah masih layak, dan
didukung oleh alasan penalaran yang benar (reasonable care), (3) bahwa dokter harus
memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik / terapi yang ia lakukan (reasonable
communication), dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang baik.
1
Perkara Pidana
Kelalaian medik juga dapat dimasukkan ke dalam domain pidana, yaitu dengan
memanfaatkan pasal 359 - 361 KUHP, yang mengancam seseorang dengan pidana apabila
melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan seseorang lain luka, luka berat atau mati.
4

Ancaman pidana yang lebih berat diberikan kepada orang yang melakukannya dalam rangka
melakukan pekerjaan / pencahariannya. Bahkan orang tersebut dapat dicabut haknya dalam
melakukan aktivitasnya tersebut.
Pada dasarnya pembelaan kelalaian medik dilakukan dengan cara pembuktian yang
sama, baik di lingkungan peradilan perdata (ganti rugi) maupun di lingkungan peradilan
pidana. Perbedaannya hanyalah siapa yang dibebani pembuktian dan seberapa tinggi tingkat
kepastian yang dibutuhkan untuk membuat putusan. Pada peradilan pidana, beban
pembuktian diletakkan pada jaksa penuntut umum dan terdakwa terbebani untuk
membuktikan sebaliknya, sedangkan pada peradilan perdata beban pembuktian terletak pada
penggugat (KUH Perdata). Metode pembuktian terbalik (UUPK) hanya berlaku di sidang
pengadilan, sedangkan penuntut umum atau penggugat wajib mengajukan perkara dengan
suatu tingkat dugaan yang cukup. Tingkat kepastian yang harus dicapai pada peradilan
perdata cukup dengan preponderance of evidence (bukti yang lebih kuat yang menang, cukup
dengan 51 banding 49); seclangkan pada peradi an pidana harus mencapai kepastian yang
mendekati sempurna yaitu beyond reasonable doubt (kurang-lebih mendekati 95 % atau
lebih).
4
Berbagai tindakan medik lain (bukan kelalaian medik) juga dapat diancam dengan
pidana, seperti berpraktek tanpa kompetensi dan/atau kewenangan, aborsi, menyelenggarakan
9

reproduksi buatan tidak sesuai peraturan, melakukan tindakan medik tanpa persetujuan,
membuat keterangan palsu, euthanasia, membantu pasien bunuh diri, dan lain-lain.
Pembelaan atas gugatan atau dakwaan yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa di atas
harus dilakukan dengan membuktikan bahwa gugatan atau dakwaan tidak benar atau
membuktikan bahwa yang telah dilakukan adalah sebaliknya. Dakwaan bahwa dokter telah
berpraktek tanpa kompetensi dan/atau kewenangan harus dibantah dengan menunjukkan
bukti-bukti tertulis (formal) bahwa dokter telah memiliki kewenangan profesional untuk
melakukan prakteknya. Dakwaan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa informed
consent harus dibantah dengan memberikan bukti bahwa dokter telah memberikan informasi
yang adekuat, memberi waktu yang cukup kepada pasien untuk membuat keputusan, dan
pasien telah memberikan persetujuannya secara tertulis. Pengajuan saksi ahli yang
menguatkan pembelaan juga dapat dilakukan apabila diperlukan, terutama dalam rangka
pembuktian tidak adanya pelanggaran kewajiban, kerugian dan hubungan sebab-akibat antara
tindakan lalai tersebut dengan timbulnya kerugian.
Pembelaan juga dapat dilakukan dengan menunjukkan bahwa penyimpangan atas suatu
standar yang diadukan memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf, umumnya berkaitan
dengan adanya keadaan darurat, keterbatasan sumber daya (liveware, hardware, software),
atau keterbatasan waktu oleh karena berbagai faktor.
1

Upaya Pencegahan Malpraktik
Pelayanan medik merupakan suatu sistem pelayanan yang kompleks dan ketat sehingga
mudah terjadi kecelakaan terutama di UGD, ICU, kamar bedah, dan kamar bersalin. Oleh
karena itu, pelayanan disini harus ekstra hati-hati. Setiap tindakan medik mengandung risiko
karena itu harus dilakukan tindakan pencegahan dan berupaya mengurangi risikonya hingga
tingkat yang dapat diterima (acceptable). Berikut ini beberapa pedoman agar terhindar dari
tuntutan malpraktik:
5
1. Senantiasa berpedoman pada standar pelayanan medik dan standar prosedur
operasional.
2. Bekerjalah secara profesional, berlandaskan etik dan moral yang tinggi.
3. Ikuti peraturan perundangan yang berlaku, terutama tentang kesehatan dan
praktik kedokteran.
4. Jalin komunikasi yang harmonis dengan pasien dan keluarganya dan jangan
pelit informasi baik tentang diagnosis, pencegahan dan terapi.
10

5. Tingkatkan rasa kebersamaan, keakraban dan kekeluargaan sesama sejawat dan
tingkatkan kerjasama tim medik demi kepentingan pasien.
6. Jangan berhenti belajar, selalu tingkatkan ilmu dan keterampilan dalam bidang
yang ditekuni.

Penanganan Dugaan Malpraktik

Skema 1. Penanganan dugaan malpraktik
5


Informed Consent
Informed Consent adalah suatu persetujuan/ kesepakatan/ perizinan sepihak (dari
penderita) setelah mendapat informasi (dari dokter/ perawat) perihal penyakitnya serta
tindakan (di medik diagnostik/ terapi/ rehabilitasi) yang akan dilakukan terhadapnya,
termasuk resiko akibat tindakan tersebut yang mungkin dapat terjadi.
6
Agar informasi secara
jelas diterima pasien, dokter harus menggunakan bahasa yang dimengerti, istilah medis
disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan bila perlu digunakan video tape atau gambar
anatomi. ( Sebagai syarat terjadinya suatu transaksi medis (sebelum terjadi transaksi medis))

Pengaduan
MKDKI
(Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)
Malpraktik
Etik
MKEK
Bebas Tuntutan lisan,
tertulis
Tindakan
Administratif
1. gaji/pangkat (tunda kenaikan, atau penurunan)
2. Cabut SIP sementara/selama-lamanya
3. Hukuman kepegawaian
Disiplin
Kedokteran
Bebas
Hukuman Disiplin
1. Teguran tertulis
2.Pencabutan STR
3. Pencabutan SIP
4. Wajib Pendidikan
Malpraktik Medik
(Pidana)
Penegak
Hukum
(Penyidik)
Pengadilan
bebas
Pidana
(penjara
denda)
11

ASPEK ETIKA
Yaitu keharusan dokter/ perawat untuk menghormati (hak azasi) kemandirian penderita
dalam menetapkan pilihan jenis tindakan medik yang akan dilakukan terhadapnya.
6
ASPEK HUKUM PERDATA
6

Terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum perikatan yang diatur
dalam buku III KUHP.
Syarat-syaratnya perikatan :
Kecakapan/ kematangan membuat perikatan
Suatu hal yang telah tertentu
Suatu sebab yang halal
ASPEK HUKUM PIDANA
6

Penderita mempunyai hak penuh atas dirinya
Apa yang diperbuat atas dirinya (tindakan medis) harus sepengetahuan
dan mendapat persetujuannya
Tanpa persetujuan/ sepengetahuan penderita tindakan dokter/ perawat dapat
dikategorikan penipuan (pidana), atau tindak pidana penganiayaan (pasal 351 KUHP). Tiga
syarat dapat dibebaskan dari tuntutan pidana :
6
1. Penderita beri persetujuan
2. Tindakan medis berdasar indikasi medik dan tujuannya konkret (jelas)
3. Tindakan medis sesuai dengan ilmu kedokteran (profesiona -protap)
Informed consent tidak berarti dokter/ perawat bebas dari tuduhan malpraktek medis
6
1. Informasi kepada penderita memang menjadi kewajiban dokter/ perawat bila
dokter/ perawat lalai/ sembrono dalam melakukan tindakan medis hingga
berakibat penderita cacat atau meninggal tetap dapat dituntut melakukan
malpraktek
2. Untuk hasil diagnosis dan terapi harus dokter sendiri
Yang dikesampingkan atas hak informasi
Penderita yang menjalani pengobatan dengan plasebo (alasan khusus)
Penderita yang labil emosi misal, lemah jantung (informasi di sampingkan
kepada keluarga)
Penderita penyakit jiwa
Penderita anak-anak (belum dewasa)

12

Hal-hal apa saja yang diinformasikan
6
Diagnosis hasil pemeriksaan (klinis, lab, radiologi, dll)
Alternatif terapi : Kekurangan & kelebihan masing-masing model terapi
(konservatif, operasi dll. )
Dokter memberikan penjelasan yang mencakup tentang :
Pembiayaan
Rincian tiap tindakan terapi
Frekuensi keberhasilan/ kegagalan
Resiko langsung & tidak langsung
Rasa yang tidak enak yang mungkin terjadi (berat berapa lama)
Keuntungan terapi (jangan berlebihan)
Prognosis
Yang berhak menerima informasi
6
Penderita sendiri bila telah dewasa (21 tahun)
Wali, bila belum dewasa atau tidak sadar/ gila
Yang wajib memberikan informasi
6
Dokter yang menangani langsung
Dokter lain atas permintaan dokter yang menangani (bila bukan tindakan bedah)
secara tertulis
Dokter yang menangani tindakan (bila invasif/ operatif)
Perawat senior (bila masalah perawatan) atau atas persetujuan dokter yang
menangani

Komplikasi Post Appendiktomi
Pada akhir operasi, bakteri dan mikroorganisme lain mengkontaminasi seluruh luka
operasi, tapi hanya sedikit pasien yang secara klinis menimbulkan infeksi (Fry 2003). Infeksi
tidak berkembang pada kebanyakan pasien karena pertahanan tubuhnya yang efektif untuk
menghilangkan organisme yang mengkontaminasi luka operasi. Infeksi potensial terjadi
tergantung pada beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah :
7
Jumlah bakteri yang memasuki luka
Tipe dan virulensi bakteri
Pertahanan tubuh host
Faktor eksternal, seperti : berada di rumah sakit beberapa hari sebelum
pembedahahn dan operasi yang berlangsung lebih dari 4 jam.
13

Selain itu juga dipengaruhi faktor lain yaitu :
7
1. Operating suite, yaitu tidak adanya batas yang jelas antara ruang untuk operasi dan
ruang untuk mempersiapkan pasien atau untuk pemulihan dan juga pakaian yang
digunakan hampir tidak ada bedanya.
2. Operating room, ruangan yang digunakan untuk operasi harus dijaga sterilitasnya.
3. Tim operasi, yaitu harus ada orang yang merawat pasien dari sebelum, saat dan
setelah operasi. Operator, asisten dan instrumen harus menjaga sterilitas karena
berhubungan langsung dengan daerah lapang operasi. Orang-orang yang tidak
ikut sebagai tim operasi harus menjauhi daerah lapang operasi dan menjauhi daerah
alat karena mereka tidak steril dan pasien bisa terinfeksi nantinya.
Faktor pasien :
7
1. Status nutrisi yang buruk
2. Dapat menjadi atau tidak dapat menjadi faktor yang mengkontribusi. Sayangnya
beberapa penelitian tidak dilakukan pada negara berkembang dimana malnutrisi berat
lebih banyak terjadi.
3. Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol
4. Merokok
5. Kegemukan
6. Meningkatkan resiko pada lapisan lemak abdomen subkutan yang lebih dari 3 cm (1,5
inch). Resiko meningkat dikarenakan dibutuhkan incisi yang lebih luas, sirkulasi yang
berkurang pada jaringan lemak atau kesulitan teknik operasi saat melewati lapisan
lemak
7. Infeksi koeksisten pada tempat lain di tubuh
8. Dapat meningkatkan resiko penyebaran infeksi melalui aliran darah
9. Kolonisasi dengan mikroorganisme
10. Perubahan respon imun ( HIV/ AIDS dan pengguna kortikosteroid jangka panjang)
11. Lamanya perawatan sebelum operasi
Faktor Operasi
7
1. Pencukuran sebelum operasi
2. Persiapan kulit sebelum operasi
3. Lamanya operasi
4. Profilaksis antimikroba
5. Ventilasi ruang operasi
6. Pembersihan atatu sterilisasi instrumen
14

7. Material asing pada tempat pembedahan
8. Drain
9. Teknik pembedahan
10. Hemostasis yang buruk
11. Kegagalan untuk menutupi dead space
12. Trauma jaringan
Faktor mikrobiologi
1. Sekresi toksin
2. Hambatan pembersihan (contoh ; karena pembentukan kapsul)
Pasien merasakan beberapa gejala yang dirasakan saat terjadi infeksi pada luka operasi :
1. Nyeri
2. Hipotermi atau hipertermi
3. Tekanan darah rendah
4. Palpitasi
5. Keluar cairan dari luka operasi, bisa berupa darah ataupun nanah (bisa berwarna dan
berbau)
6. Bengkak (pasien merasa nyeri, sekitar daerah yang membengkak terasa hangat dan
berwarna merah)

Kesimpulan
Pada skenario 8 tidak dapatnya disimpulkan sebagai suatu tindakan malpraktik karena
kurangnya data yang diberikan. Dokter tersebut dapat dianggap malpraktik jika ia melakukan
kelalaian seperti tidak dilakukannya informed consent sebelum dilakukan tindakan bedah,
tidak menjelaskan secara terperinci komplikasi-komplikasi yang akan mungkin timbul
kepada pasien, lalai dalam mempersiapkan/ mengawasi kelengkapan yang berkaitan pada saat
operasi dilakukan. Jika hal-hal tersebut sudah dilakukan oleh dokter bedah dalam skenario,
maka dokter tersebut tidak bisa dituntut sebagai dokter yang melakukan tindakan malpraktik.
Komplikasi-komplikasi yang timbul tersebut kemungkinan terjadi karena faktor internal
dalam diri pasien sendiri seperti status nutrisi yang buruk, merokok, kegemukan, perubahan
respon imun (HIV/ AIDS dan pengguna kortikosteroid jangka panjang).


15

Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta :
Pustaka Dwipar; 2007.h. 87-111.
2. Etika Kedokteran Indonesia. [online]. 2008. [13 September 2013]. Diunduh dari:
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/
3. Rizaldy Pinzon. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia
kedokteran 163:Vol 36;2009;208.
4. Bagian kedokteran forensik. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran.
Hukum perdata yang berkaitan dengan profesi dokter. FKUI. Jakarta:1994;51
5. Hanifah J, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2009. H. 99.
6. Penerangan informed consent dalam pelayanan kesihatan [online]. 2009. [13
September 2013]. Di unduh dari:
http://eprints.undip.ac.id/1133/1/A_1_Informed_Consent_Journal__RS.pdf
7. Schwartz SI. Intisari prinsip-prinsip ilmu bedah. Edisi ke-6. Jakarta : EGC; 2005. 437-
9.

Anda mungkin juga menyukai