Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Jika kita mendengar kata Birokrasi maka langsung yang ada dalam pikiran
kita adalah bahwasanya kita berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit- belit, dari meja
satu ke meja lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang serba mahal (hight cost).
Pendapat yang demikian tidaklah dapat disalahkan seluruhnya, namun demikian apabila
orang-orang yang duduk dibelakang meja taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin
dalam menjalankan tugasnya, maka birokrasi akan berjalan lancar dan biaya
tinggi akan dapat dihindarkan. Untuk mengeliminasi pemikiran yang demikian,
marilah kita sejenak mencerna pendapat para ahli mengenai apa sebenarnya yang
dimaksud dengan birokrasi.
















BAB II
LANDASAN TEORI

1) Pengertian Birokrasi :
Birokrasi berasal dari kata bureau yang berarti meja atau kantor; dan kata kratia (cratein)
yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu
sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-
kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi
disebut dengan civil service. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service
atau public administration.
Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi
Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala
dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai
wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya
memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa
Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi
pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol
dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan
bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam
rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971;
Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).






2) Fungsi birokrasi menurut Tjokrowinoto menyatakan ada 4 yaitu :
1. Fungsi instrumental,yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan public dalam
kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa,pelayanan ,komoditi,atau mewujudkan situasi
tertentu.
2. Fungsi politik,yaitu member input berupa saran, informasi, visi ,dan profesionalisme untuk
mempengaruhi sosok kebijaksanaan.
3. Fungsi katalis Public Interest,yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan public dan
mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan
pemerintah
4. Fungsi Entrepreneural, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non rutin,
mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resources mix yang optimal
untuk mencapai tujuan (Feisal tamin,2002 h,5)[1]














BAB III
PEMBAHASAN TENTANG BIROKRASI.

1) Model Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial.
Model ini diperkenalkan oleh Anderson (1983). Menurutnya, negara dan birokrasi merupakan
kelanjutan dalam pola-pola tertentu yang berasal dari negara kolonial sebelumnya. Dalam hal
demikian, model ini mirip dengan konsep negara Beamstenstaat (negara pegawai) versi McVey,
yang menunjuk adanya persamaan gaya politik pemerintahan (masa Orde Baru) dengan gaya
pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya
memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal perhatiannya terhadap proses administrasi
daripada terhadap proses politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Sehingga negara
menjadi mesin birokrasi yang efisien (the state as efficient bureaucratic machine) Tetapi, berbeda
dengan McVey yang lebih menekankan gejala-gejala di permukaan, Anderson lebih menukik
dengan memberikan penjelasan teoritis tentang kontradiksi yang tajam antara negara dan bangsa.
Kontradiksi itu terjadi antara kepentingan-kepentingan negara di satu pihak dengan kepentingan-
kepentingan masyarakat yang lebih populis, partisipatoris, dan representatif pada pihak lain.
Dalam dua kutub kepentingan terbentang spektrum luas.
Pertama: kutub kepentingan negara secara penuh mensubordinasikan kepentingan-kepentingan
partisipatoris (seperti pada situasi rezim militeris atau kolonialis).
Kedua: pada kutub yang lain, keadaan ketika negara mengalami disintegrasi, dan kekuasaan
sedang bergeser kepada organisasi ekstra negara yang berbasis suka rela dan massal, seperti
halnya dalam studi revolusi.
Dalam perspektif modernisasi, model negara pasca kolonial memiliki dua varian.
Pertama: model ini seharusnya bersifat netral, mewakili kepentingan umum, dan tidak terkait
dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Karena itu, para pendukungnya, terutama
yang duduk dalam pemerintahan, adalah figur-figur modern yang memiliki keahlian tertentu,
atau dengan kata lain para teknokrat.
Kedua: ketika harapan-harapan idealistik dalam varian pertama mulai dilaksanakan, tugas utama
negara pasca kolonial dalam mendukung pembangunan nasional adalah menciptakan tertib
politik. Stabilitas suatu negara berfungsi sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa. Maka,
"modern" atau "tidak modern" suatu bangsa bukan ditentukan oleh ada tidaknya lembaga,
mekanisme, atau nilai-nilai demokrasi, melainkan pada kemampuannya menciptakan dan
memelihara stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.

2) Birokrasi Pada Masa Kemerdekaan :
Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan
yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa
perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan.
Perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang
bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke
arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal kemerdekaan,
Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan
aparatur Negara atau birokrasi.Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal
berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah.
Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu.Pertama,
bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan
NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua,
bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki
keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Selain perubahan bentuk
Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi
pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja
birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-
menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak kebijakan
atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang
sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi
yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran
masyarakat dari politik dan pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde lama, peran seorang
presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik Melihat realitas birokrasi di
Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King menyebut
birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai
birokrasi patrimonial. Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni
oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakankehidupan politik yang tidak sehat.
Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic partysystem diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999).
Sedangkan menurut William Liddle,kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2)
militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan yang tepat.

3) Birokrasi Pada Masa Orde Lama

Bi rokrasi di Indonesi a mengal ami sej arah yang cukup panj ang dan beragam,
sej ak masa kemerdekaan t ahun 1945. Pada masa awal kemerdekaan, ada
semacam kesepakat an pendapat bahwa bi rokrasi merupakan sarana politik yang
bai k untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beral asan karena hanya
birokrasilah satu-sat unya sarana yang dapat menj angkau rakyat sampai ke desa -
desa. Semangat kej uangan masih sangat kental mewarnai bi rokrasi di Indonesi a.
Para birokrat masi h menggelora semangatnya untuk berj uang demi negara dan
persatuan bangsanya, sehingga tidak j arang kelompok mayorit as mau mengal ah
terhadap minorit as demi kesat uan dan persatuan bangsa. Semangat primordial
untuk sement ara dapat dikesampi ngkan ol eh semangat nasional . Sat u -satunya
organi sasi politi k yang bersi fat primordial yang mengancam negara dan bangsa
Indonesi a adal ah Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka mel akukan
pemberontakan untuk menguasai bi rokrasi pemerintah dan sekali gus mengganti
pemerint ah yang sah. Pada perj al anan masa berikutnya, bi rokrasi di In donesia
mulai di hinggapi oleh aspi rasi primordi al yang kuat. Birokrasi Pemerint ah mul ai
menj adi incaran dari kekuatan-kekuat an politik yang ada. Part ai -part ai poli tik
mulai melirik untuk menguasai bi rokrasi pemerint ah. Bahkan pada antara t ahun
1950-1959, bi rokrasi pemerint ah berada dibawah kepemi mpinan part ai pol itik
yang menj adi mayori tas di l embaga DPR. DPR menjadi kuat, t api sebaliknya
lembaga eksekuti f di mana bi rokrasi sebagai pelaksana politi k menjadi semaki n
lemah.
Hal demiki an di akibatkan ol eh part a-part ai politi k yang berdi ri pada wakt u it u
sebagai akibat dari adanya Makl umat 3 Nopember 1945 yang memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk mendiri kan partai politik sesuai
dengan aspirasi nya. Akhi rnya partai -part ai beramai -ramai ingin menguasai
berbagai
depart emen maupun kement eri an, bahkan tidak j arang terj adi jatuh bangunnya
Kabinet pemerint ah hanya dikarenakan oleh tidak merat anya pembagian
kement eri an yang dii nginkan ol eh partai -part ai. Pada masa ini pul a birokrasi
mempunyai loyalit as ganda; sat u segi kepada part ai politi k yang di dukungnya
dan pada sisi l ai n kepada masyarakat yang dil ayani nya.
Kemudi an pada masa antara t ahun 1960-1965 birokrasi menj adi incaran
kekuatan politik yang ada. Pada saat i tu ada ti ga kekuatan poli tik yangcukup
besar yait u, nasional is, agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi
wil ayah kekuasaan at au kaplinganya pada berbagai Depart emen. Di bawah l abel
Demokrasi Terpi mpi n, ti ga kekuat an pol i tik t ersebut membangun akses ke
birokrasi pemerint ah. Keadaan sist em pol itik yang primordial membawa
pengaruh kuat t erhadap birokrasi, sehingga birokrasi pemerint ah sudah mul ai
nampak ke-pemihakannya kepada kekuat an pol itik yang ada. Lebi h t epat
dapat dikat akan bahwa birokrasi saat it u sudah t erperangkap ke dal am jaring
perangkap yang di pasang ol eh kekuat an politik Nasakom.

Hal ini dapat dilihat pada saat melet usnya peristiwa G. 30 S/PKI kekuat an
komunis t el ah masuk hampi r di seluruh departemen pemeri nt ah, sement ara
kekuatan nasi onalis dan agamahanya mendominasi sebagi an ke cil dari
depart emen-depart emen yang ada. Kemudian pada masa antara 1965 sampai
masa Orde Baru (era pemerint ahan Soeharto), birokrasi l ebih j el as
kepemi hakannya kepada kekuatan sosi al politik yang dominan; dalam hal i ni
Golkar. Sal ah satu faktor yang menent ukan kemenangan Golkar pada enam kali
pemil u (sampai 1997) adal ah karena peranan bi rokrasi
yang cukup kuat. Kesadaran politi k di masa awal kemerdekaan yang memandang
birokrasi sebagai al at pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya di pakai
pul a
pada masa tersebut. Politik floating-mass (masa mengambang) men-j adi kan
birokrasi dapat menj angkau ke seluruh wi layah pelosok desa -desa di t anah ai r
kita ini . Hal ini merupakan potensi kemenangan yang di raih Golkar unt uk
menguasai bi rokrasi, apal agi bi rokrat diperbol ehkan untuk menggunakan hak
pilihnya (menjadi peserta pemil u) yang pi lihannya t idak ada lain kecuali harus
memili h Golkar sehi ngga dengan demiki an bi rokrasi identi k dengan Golkar.
Dengan menggunakan model 3 j al ur yang dikenal dengan jal ur ABG (ABRI,
Bi rokrasi dan kel uarga Gol kar) semaki n j el as mengisyaratkan bahwa bi rokrasi
sudah t erpolitisi r oleh satu kekuat an polit ik t ert entu. Mul ai dari Presiden,
Ment eri, Gubernur dengan segal a j aj aran di bawahnya duduk di kepengurusan
Golkar menunjukkan
bet apa sulit nya membedakan ant ara pemerint ah (birokrasi) dan pol itik (Golkar).
KORPRI yang diharapkan menj adi wadah akti vit as kedinasan seluruh pegawai
negeri yang keberadaannya tidak berafili asi kepada sat u kekuatan poli tk apapun,
namun bet apa sulit nya mem-pert ahankan kenet ralannya manakal a melihat hanya
Golkarl ah sat u-sat unya kekuat an sosi al politik yang mempunyai akses ke
birokrasi sedang kekuat an poli tik yang lain hanya berada di l uar garis. Angin
reformasi mul ai bergulir sejak rezim Soehart o j atuh, dan muncul Habibi
menggantikannya. Namun kondi si bi rokrasi di Indonesia tidak jauh berubah,
karena semua t ahu bahwa naiknya Habibi (1998) mengganti kan Soeharto
adal ah didukung sepenuhnya ol eh Gol kar. Kemudi an Habibi digantikan ol eh duet
Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerint ahan termasuk
birokrasi, karena pemerint ahan Gus Dur disusun at as dasar kompromistis dari
hampir semua kekuat an polit ik yang ada sehi ngga memunculkan apa yang
kemudi an dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional atau Kabinet Gotong
Royong, di mana para ment eri yang duduk di dalamnya t erdi ri dari unsur partai
politik besar yang memperol eh suara si gnifikan dal am pemil u 1999. Dari sinil ah
kemudi an wacana tentang birokrasi menj adi marak kembali. Sal ah sat u bentuk
gerakan reformasi adal ah reformasi di bidang bi rokrasi .
Reformasi bi rokrasi sebagai bagi an dari reformasi admi nist rasi, wal aupun
menyangkut dimensi yang l uas dan kompl ek namun memiliki t ujuan yangj el as
yait u meni ngkatkan admi nist rative performance dari birokrasi
pemerint ah. Agenda kebij akan reformasi birokrasi di arahkan untuk
memperbaiki kinerj a admi nist rasi bai k secara indi vidu, kel ompok maupun
institusi agar dapat mencapai t ujuan kerj a mereka l ebih efekti f, l ebih ekonomis,
dan l ebih cepat . Jel asnya, bahwa pandangan ini l ebih spesi fik lagi dit ujukan
padapenyempurnaan struktur birokrasi dan perubahan peril aku aparatnya
menj adi conditi o si ne qua non bagi upaya peningkatan kinerj a birokasi
pemerint ah. Si agi an (1983) melihat penti ngnya arah reformasi administ rasi di
Indonesi a l ebi h dituj ukan kepada pengembangan admi nist rativeinfrastruct ure
yang meliputi pengembangan aparat bi rokrasi, st ruktur organi sasi , si stem dan
prosedur kerja. Sedangkan menurut Tjokroami djoj o (1985) ket ika menganalisi s
admi nist rasi pembangunan di Indonesi a menegaskan bahwa arah reformasi
birokrasi perlu dituj ukan ke tujuh wil ayah penyempurnaan administ rasi yait u:
penyempurnaan dal am bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan dal am
bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi
dan non-ekonomi dengan pendekatan i ntegrative (integrati ve approach); re -
ori ent asi kepegawai an negeri kearah produktivit as, prest asi dan pemecahan
masal ah; penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah;
admi nist ratif partisipati f yang mendorong kemampuan dan kegairahan
masyarakat; kebij aksanaan admi nist rati f dal am rangka menjaga stabilit as dalam
proses pembangunan; dan bersi hnya pelaksanaan administ rasi negara (good
governance). [2]











4) Birokrasi Pada Masa Orde Baru
Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih
jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu
faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena
peranan birokrasi yang cukup kuat. Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang
birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut.
Politik floating-mass (masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh
wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali
terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat.
Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.Seperti
dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi
relatif, merupakan pelaku utama transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan yang
bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa
guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah
anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai,tetapi
hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan
Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik
belum terlaksana. Misalnya, saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja
berbelit-belit danmemerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada
pungutan- pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban
dalam perbaikan.
Hal ini merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi
birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (menjadi peserta pemilu) yang pilihannya
tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi identik dengan
Golkar. Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan
keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan
politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di
kepengurusan Golkar menunjukkan betapa sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan
politik (Golkar). KORPRI yang diharapkan menjadi wadah aktivitas kedinasan seluruh pegawai negeri
yang keberadaannya tidak berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-
pertahankan kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik
yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya berada di luar garis.
Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim Soeharto jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya.
Namun kondisi birokrasi di Indonesia tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi
(1998) menggantikan Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan
oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena
pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada
sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional atau Kabinet
Gotong Royong, di mana para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar
yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah kemudian wacana tentang birokrasi
menjadi marak kembali. Salah satu bentuk gerakan reformasi adalah reformasi di bidang birokrasi.
Reformasi birokrasi sebagai bagian dari reformasi administrasi, walaupun menyangkut dimensi yang
luas dan komplek namun memiliki tujuan yang jelas yaitu meningkatkan administrative performance
dari birokrasi pemerintah. Agenda kebijakan reformasi birokrasi diarahkan untuk memperbaiki kinerja
administrasi baik secara individu, kelompok maupun institusi agar dapat mencapai tujuan kerja mereka
lebih efektif, lebih ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa pandangan ini lebih spesifik lagi
ditujukan pada penyempurnaan struktur birokrasi dan perubahan perilaku aparatnya menjadi conditio
sine qua non bagi upaya peningkatan kinerja birokasi pemerintah. Siagian (1983) melihat pentingnya
arah reformasi administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan administrative
infrastructure yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur
kerja. Sedangkan menurut Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis administrasi pembangunan di
Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah
penyempurnaan administrasi yaitu: penyempurnaan dalam bidang pembiayaan pembangunan;
penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang
ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan integrative (integrative approach); re-orientasi
kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah; penyempurnaan
administrasi untuk mendukung pembangunan daerah; administratif partisipatif yang mendorong
kemampuan dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas
dalam proses pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi negara (good governance).[3]



5) Birokrasi Era Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan
perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang
menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur,
kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak
untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap
terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan
terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di
Negara - Negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 )
mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara - Negara
yang sedang berkembang sering kali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada
masyarakat di negara maju.Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah,
dimana kondisi birokrasi di Negara - Negara berkembang saat ini sama dengan kondisi
birokrasiyang dihadapi oleh para reformis di Negara - Negara maju pada sepuluh dekade yang
lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh
kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola
perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal dari pada faktor kapabilitas, serta
birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari
lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak
Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada
masa reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi
diIndonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering
kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak - tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk
pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam
proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya
masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan - kepentingan golongan atau
partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungandari aparat yang kebetulan memperoleh
kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan
dengan melakukan tindak KKN.


6) Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi negara.
Dalam konteks (SANKRI), reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya
merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan
itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan
yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan
dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good
governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan karier) yang memiliki
integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran
eksekuti, legislatif, maupun yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan
good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia
usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga
persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan
pula perubahan perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang
efektif (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggung-
jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat
berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku
pelayan publik (public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk
melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang
mengedepankan netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri, disertai perbaikan
semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian
pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk
memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran
akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan
bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI. Selanjutnya,
diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi
negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan
pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa.
Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem peradilan dan
sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada
publik. Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan
sanksi kepada pelakunya (law enforcement). Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada
masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh
publik. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap
dan memberitakan tindak korupsi. Pengembangan budaya maIu harus disertai dengan upaya
menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling).
Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu keranka hukum nyata dan
menegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik
kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi
syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen,
didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.[4]














BAB IV
KESIMPULAN
Perilaku birokrasi yang saat ini ditampilkan oleh aparatur pemerintah hanya dapat diubah dengan
melakukan pembenahan terhadap perilaku PNS, dalam hal ini menyangkut etika dan moralnya serta
perbaikan lingkungan birokrasi Indonesia. PNS harus dapat melihat situasi saat ini sebagai masa
transisi, bukan keadaan yang permanen. Dengan tetap menjaga semangat korps PNS, maka PNS
diharapkan akan mampu melakukan terobosan dalam pelayanan masyarakat.
Selain itu, PNS harus mengambil jarak dari politik dan fokus kepada tugasnya sebagai unsur aparatur
negara, abdi negara, dan abdi masyarakat. PNS harus yakin bahwa posisinya adalah sebagai abdi
negara dan abdi masyarakat, bukan abdi dari partai politik. PNS sebagai pelayan masyarakat tidak
mungkin bersifat netral apabila tunduk kepada partai politik. Etika dan moral PNS merupakan pondasi
bagi PNS yang berkualitas. Tidak mungkin dihasilkan suatu perilaku birokrasi yang ideal sesuai
dengan tujuan dari pembentukan PNS tanpa memperhatikan masalah etika dan moral PNS. Untuk itu,
pembenahan etika dan moral perlu mendapatkan prioritas utama dalam reformasi
birokrasi. Dibutuhkan suatu kepemimpinan yang kuat dan reformasi kelembagaan agar agenda
mentalitas PNS yang ideal sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dapat terwujud. Semoga !!!
Dan terakhir. kita sebagai mahasiswa hanya mampu mengkritisi tentang apa yang terjadi di
pemerintahan RI ini, semoga pada Lembaga Birokrasi Di Indonesia bisa berbenah diri (Intropeksi) dan
sadar apa yang telah dilakukan sudah maksimal ?. Mana kala masyarakat menanti-nanti apa yang
mereka harapkan adalah hidup sejahtera dan aman.

Anda mungkin juga menyukai