BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai petani. Indonesia kaya akan berbagai spesies
tanaman pangan, rempah-rempah, maupun tanaman hias. Berbagai jenis tanaman
pangan seperti padi-padian, sayuran, buah-buahan, umbi-umbian dan sebagainya
seharusnya tersedia melimpah di Indonesia sebagai negara agraris. Namun
berbagai gangguan sering dihadapi oleh petani Indonesia sehingga dapat
menurunkan kualitas maupun kuantitas hasil pertanian di Indonesia. Salah satu
penyebab utama penurunan kualitas maupun kuantitas hasil panen adalah
gangguan hama dan penyakit tanaman (Kuswadi dan Nasution, 2010).
Salah satu upaya pengendalian hama tanaman adalah dengan penggunaan
insektisida sintetis. Sejak tahun 1942, penggunaan insektisida sintetis mengalami
peningkatan dan mendominasi cara pengendalian hama tanaman. Salah satu jenis
insektisida sintetis yang cukup dikenal adalah DDT (Dichloro Diphenyl
Trichlorothane) yaitu insektisida golongan organoklorin yang sangat ampuh untuk
membunuh berbagai serangga hama yang menyerang sayur-sayuran, palawija, dan
juga tanaman perkebunan. Insektisida jenis ini juga ampuh membasmi nyamuk
penyebab malaria. Insektisida ini harganya relatif murah sehingga banyak
digunakan secara meluas (Sudarmo, 1991).
Namun pada kenyataannya, penggunaan insektisida sintetis ini memiliki
dampak yang berbahaya bagi lingkungan maupun makhluk hidup lain selain
spesies sasaran. Sebagian besar insektisida sintetis memiliki efek yang tidak
spesifik terhadap suatu serangga tertentu saja sehingga dalam penggunaannya
juga akan mempengaruhi tanaman dan hewan yang sebenarnya bukan menjadi
targetnya. Penggunaan insektisida secara berulang juga akan menghilangkan
biodiversitas. Selain itu sebagian besar insektisida sulit didegradasi sehingga akan
akan terus berada di dalam tanah, terbawa dalam air tanah dan air permukaan
sehingga akan menyebabkan kontaminasi lingkungan yang luas. Berdasarkan sifat
2
kimianya, insektisida juga dapat masuk ke dalam organisme dan akan mengalami
bioakumulasi melalui rantai makanan sehingga akan mempengaruhi kesehatan
manusia (Deepa dkk., 2011).
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.6 tahun 1995 pasal 3 ditetapkan
bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem pengendalian hama
terpadu (PHT), dan pada pasal 19 disebutkan bahwa penggunaan pestisida dalam
rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan
alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus ditekan seminimal
mungkin.
Suatu alternatif lain yang dapat menggantikan fungsi insektisida sintetis tetapi
tidak memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan maupun makhluk hidup
lain sangat dibutuhkan. Insektisida alami dapat menjadi suatu terobosan baru
karena merupakan suatu produk alami dari hasil koevolusi dalam kurun waktu
yang lama sehingga bersifat spesifik dan mudah diterima kembali oleh alam. Sifat
dari insektisida alami umumnya tidak berbahaya bagi manusia ataupun
lingkungan karena lebih mudah terurai dibandingkan insektisida sintetis (Patty,
2011). Insektisida alami juga memiliki beberapa kelebihan lain diantaranya adalah
daya kerja yang selektif yaitu hanya efektif bekerja terhadap suatu serangga
tertentu dan serangga lain yang berdekatan kekerabatannya, sehingga serangga-
serangga lain yang berguna ataupun predator tidak ikut musnah. Insektisida alami,
meskipun menimbulkan residu dalam penggunaanya, akan tetapi residu ini cepat
terurai dan tidak beracun. Insektisida alami juga tidak menimbulkan pencemaran
air, tanah, udara, dan tanaman (Suwahyono, 2009).
Beberapa penelitian mengenai insektisida alami telah banyak dilakukan dan
dikembangkan. Madhu dkk. (2010), telah melakukan penelitian mengenai
pemanfaatan senyawa bioaktif dari ekstrak rimpang Curcuma aromatica sebagai
larvasida terhadap Culex quinquefasciatus. Siddiqi dkk (2011) juga telah
melakukan penelitian mengenai efek dari ekstrak rizhoma Curcuma longa
terhadap kematian dan kesuburan Bactrocera zonata. Svinningen dkk (2010)
meneliti tentang keefektifan rizhoma Curcuma aeruginosa dan Adhatoda vasica
sebagai insektisida terhadap laba-laba merah (Tetranychus urticae). Ketiga
3
penelitian tersebut menunjukkan bahwa Curcuma aromatica, Curcuma longa, dan
Curcuma aeruginosa berpotensi sebagai insektisida alami.
Berdasarkan pendekatan kemotaksonomi, tanaman dengan genus yang sama
akan memiliki tingkat kemiripan kandungan senyawa kimia yang cukup tinggi.
Ekstrak metabolit sekunder non atsiri Curcuma mangga Val. memiliki kandungan
senyawa berupa kurkumanggosida, (E)-labda-8(17),12-diena-15,16-dial,
kalkaratarin A, zerumin B, skopoletin, demetoksikurkumin,
bisdemetoksikurkumin, 1,7-bis(4-hidroksifenil)-1,4,6-heptatrien-3-one, kurkumin,
dan asam p-hidroksisinamik. (Abas, dkk., 2005). Hal ini tidak berbeda jauh
dengan kandungan senyawa kimia ekstrak metabolit sekunder non atsiri yang
dimiliki oleh kerabat satu genusnya, Curcuma longa yang juga mengandung
kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Li dkk., 2011). Oleh
sebab itu, pada penelitian ini digunakan bahan utama Curcuma mangga Val. yang
diharapkan juga akan memiliki potensi sebagai insektisida seperti halnya spesies
lain yang masih satu genus Curcuma seperti Curcuma longa, Curcuma
aeruginosa, dan Curcuma aromatica.
Golongan senyawa metabolit sekunder yang banyak diteliti memiliki aktivitas
insektisida adalah flavonoid. Rotenon, salah satu senyawa isoflavonoid dikenal
memiliki aktivitas insektisida yang cukup ampuh sejak 150 tahun yang lalu
(Isman, 2006). Zhou dkk., (2011) telah meneliti aktivitas insektisida senyawa
flavonoid dari tanaman padi terhadap hama wereng dan disimpulkan bahwa
senyawa flavonoid tersebut memiliki potensi sebagai insektisida alami. Ateyyat
dkk. (2012) meneliti potensi senyawa naringin, kuersetin dihidrat, dan rutin
dihidrat dalam membasmi kutu apel, Eriosoma lanigerum. Diwan dan Saxena
(2010) meneliti potensi insektisida senyawa flavonoid tanaman Tephrosia
purpuria terhadap Callosobruchus maculates. Salunke dkk. (2005) telah
melakukan penelitian mengenai potensi senyawa flavonoid ekstrak tanaman
Calotropis procera dalam mengendalikan Callosobruchus chinensis. Keempat
hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa senyawa flavonoid berpotensi
sebagai insektisida.
4
Sejauh ini penelitian mengenai Curcuma mangga Val. masih banyak berkisar
mengenai potensinya sebagai antikanker (Yuandani dkk., 2011), inhibitor virus
dengue-2 NS2B/NS3 protease (Kiat dkk., 2006), antioksidan dan antibakteri
(Policegoudra, 2007), inhibitor senyawa NO (Kaewkroek, 2009), antimikrobial
(Philip dkk., 2009), dan antialergi (Tewtrakul dan Subhadhirasakul, 2007).
Penelitian mengenai potensi Curcuma mangga Val. sebagai insektisida belum
banyak dikembangkan sehingga penelitian ini sangat perlu untuk dilakukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan antara lain:
1. Apakah terdapat perbedaan jenis dan kadar senyawa flavonoid yang
terkandung dalam masing-masing maserat Curcuma mangga Val. yang
diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut yang berbeda kepolaran?
2. Apakah maserat metabolit sekunder non atsiri Curcuma mangga Val. yang
mengandung senyawa flavonoid yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut
yang berbeda kepolaran memiliki potensi sebagai insektisida alami dan apakah
terdapat perbedaan aktivitas insektisida dari masing-masing maserat tersebut?
3. Apakah metode pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
(KLTP) dapat digunakan untuk memisahkan senyawa flavonoid yang
terkandung dalam masing-masing maserat Curcuma mangga Val. yang
diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut yang berbeda kepolaran?
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jenis dan kadar senyawa flavonoid yang terkandung dalam
masing-masing maserat metabolit sekunder non atsiri Curcuma mangga Val.
yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut yang berbeda kepolaran.
2. Menguji potensi maserat metabolit sekunder non atsiri Curcuma mangga Val.
yang mengandung senyawa flavonoid yang diperoleh dari ekstraksi dengan
pelarut yang berbeda kepolaran sebagai insektisida alami dan mengidentifikasi
perbedaan aktivitas insektisida dari masing-masing maserat tersebut.
3. Melakukan pemisahan senyawa flavonoid dari maserat metabolit sekunder
non atsiri Curcuma mangga Val. yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut
yang berbeda kepolaran dengan metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif.
5
1.3 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai kandungan senyawa flavonoid dalam
maserat metabolit sekunder non atsiri Curcuma mangga Val. yang diperoleh
dari ekstraksi dengan pelarut yang berbeda kepolaran.
2. Memberikan informasi mengenai potensi maserat metabolit sekunder non
atsiri Curcuma mangga Val. yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut
yang berbeda kepolaran sebagai insektisida alami.
3. Memberikan informasi mengenai cara pemisahan senyawa flavonoid yang
terkandung dalam maserat metabolit sekunder non atsiri Curcuma mangga
Val. yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut yang berbeda kepolaran.