Anda di halaman 1dari 45

1

CASE REPORT I
SEORANG LAKI-LAKI 77 TAHUN DENGAN CHRONI C KI DNEY DI SEASE,
HEMATURIA, ASCI TES DAN HIPERTENSI






Oleh:
Adha Nurjanah, S.Ked
J500090096


Pembimbing:
dr. Asna Rosida, Sp.PD



KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
2

CASE REPORT I
SEORANG LAKI-LAKI 77 TAHUN DENGAN CHRONI C KI DNEY
DI SEASE, HEMATURIA, HI PERTENSI DAN ASCI TES

Yang diajukan Oleh :
Adha Nurjanah
J500 090 096

Tugas ini dibuat untuk memenuhi persyaratan Program Profesi Dokter
Pada hari , tanggal 2014

Pembimbing :
dr. Asna Rosida, Sp.PD (...........................)



Dipresentasikan dihadapan :
dr. Asna Rosida, Sp.PD (...........................)



Kabag. Profesi Dokter
dr. Dona Dewi Nirlawati (...........................)









KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
3

BAB I
LAPORAN KASUS

I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 77 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Madusari, Siman
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk RS : 30 Maret 2014
Tanggal Pemeriksaan : 31 Maret 2014

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis yang dilakukan
pada tanggal 31 Maret 2014.

1. Keluhan Utama
Buang air kecil berwarna merah.

2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD pada tanggal 30 Maret 2014 dengan keluhan
buang air kecil warna merah, terasa nyeri di perut bagian bawah dan alat
kelaminnya ketika mau BAK tetapi nyeri berkurang saat dikemihkan dan
alirannya putus-putus tidak lancar. Keluhan ini dirasakan sejak 2 bulan yang
lalu SMRS. Pasien juga mengeluhkan lemas, perut sebah dan membesar,
terasa sesak saat bernafas, boyok bagian kanan dan kiri terasa pegel dan
kakinya membengkak sejak 5 bulan yang lalu. Pasien mengeluh nafsu makan
menurun, mual (-), muntah (-), demam (-), BAB dalam batas normal. Pasien
4

mengaku memiliki riwayat penyakit ginjal sejak 4 tahun yang lalu dan
menjalani cuci darah rutin seminggu dua kali.
Pasien merasa ada benjolan keras di perut bagian bawah, yang terasa
nyeri jika dipegang sejak 2 tahun yang lalu. Pasien mengeluh sering muncul
benjolan di bagian selangkangan saat pasien mengejan karena kesulitan
dalam BAK tetapi benjolan bisa masuk sendiri. Keluhan ini dirasakan pasien
sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan, tidak bisa dipasang selang
pipis pada alat kelaminnya saat masuk rumah sakit. Pasien dipindahkan ke
ruang RPI pada tanggal 31 Maret 2014.

3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat kencing manis : disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
c. Riwayat alergi obat & makanan : disangkal
d. Riwayat sakit ginjal : diakui
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat sakit jantung : disangkal
g. Riwayat opname : diakui
h. Riwayat operasi : disangkal

4. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat makan tidak teratur : disangkal
c. Riwayat minum kopi : diakui
d. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
e. Riwayat konsumsi obat bebas : diakui

5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
5

d. Riwayat sakit darah tinggi : disangkal
e. Riwayat sakit jantung : disangkal
f. Riwayat sakit ginjal : disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 30 Maret 2014.
Keadaan Umum
Pasien tampak lemah, compos mentis E4V5M6
Tanda Vital
Tensi Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
Frekuensi nafas : 18 x/menit, tipe thorakoabdominal
Suhu : 36 C per axiler
Kulit
Ikterik (-), petechiae (-), acne (-), turgor kulit menurun (-), hiperpigmentasi (-),
bekas garukan (-), kulit kering(-), kulit hiperemis (-)
Kepala
Bentuk mesocephal, rambut hitam keputihan, mudah rontok (-), luka (-)
Wajah
Simetris, eritema (-), ruam muka (-)
Mata
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-),
pupil isokor dengan diameter < 3 mm/ < 3 mm, reflek cahaya (+/+) normal,
oedem palpebra (-/-)
Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran (-)
Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),
fungsi pembau baik, foetor ex nasal (-)
Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), lidah tifoid (-),
6

papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-)
Leher
JVP R0 cm, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-).

Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), spider nevie (-),gyneco
mastia (-), pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar (-).
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi :Iktus kordis kuat angkat, teraba di 1 cm medial SIC V linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung
kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
kiri bawah : SIC V medial linea midclavicularis sinistra
kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
pinggang jantung: SIC II-III parasternalis sinistra
Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, regular, bising (-),
gallop (-).
Pulmo
Inspeksi :
Statis : normochest, simetris kanan-kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi (-)
Dinamis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-),
pergerakan paru simetris
Palpasi :
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak
ada yang tertinggal
Dinamis : pengembangan paru simetris, tidak ada yang
7

tertinggal
Fremitus : fremitus raba simetris kanan dan kiri
Perkusi :
Kanan : Sonor hingga SIC III
Kiri : Sonor
Auskultasi :
Kanan : Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara
tambahan wheezing (-), ronchi (-), krepitasi (-)
Kiri : Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara
tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-),
krepitasi (-)
Kesan : pemeriksaan thoraks dalam batas normal

Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, distended (+),
venektasi (-), sikatrik bekas operasi (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpan (+), pekak alih (+), undulasi (+), nyeri ketok
kostovertebra (-/-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, defans muskular (-),
nyeri tekan suprapubik (+) dan teraba massa keras sebesar telur
ayam kampung, permukaan rata, immobile.
Kesan : pemeriksaan abdomen didapatkan dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada, distended, pekak alih (+), undulasi (+), nyeri tekan
suprapubik (+) dan teraba massa keras sebesar telur ayam kampung,
permukaan rata, immobile.

Ekstremitas :
Superior dekstra : oedem (-), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritem
palmaris (-), luka (-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat(-
), jari tabuh (-), nyeri tekan (-), nyeri gerak (-), deformitas (-)
8

Superior sinistra : oedem (-), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritema
palmaris (-), luka (-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat(-),
jari tabuh (-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-), deformitas (-)
Inferior dekstra : oedem (+) pitting, luka (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-),
sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritema palmaris (-),
ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat (-), jari tabuh (-),
deformitas (-)
Inferior sinistra : oedem (+) pitting, luka (-),hiperemis (-), nyeri tekan (-),
sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritema palmaris (-),
ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat (-), jari tabuh (-),
deformitas (-).
Kesan : oedem pitting (+/+) pada ekstremitas inferior dextra et sinistra

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan EKG 30 Maret 2014
1. Frekuensi: 75-100 x/menit
2. Ritme: Ireguler
3. Jenis irama: sinus
4. Zona transisi: normal (v4-v5)
5. Aksis: normal
6. Morfologi gelombang :gelombang P selalu diikuti gelombang QRS dan T,
interval PR 0,16 detik, gelombang QRS 0,08 detik


9

B. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap tanggal 30 Maret 2014
Keterangan Nilai Satuan Nilai
Rujukan
Hematologi Rutin
Hb 4,8 g/dl 11-16
Hct 13,6 % 37-50
WBC 8,0 10
3
/l 4,0-10
PLT 240 10
3
/l 100-300
RBC 1,43 10
6
/l 3,5-5,5
Indeks eritrosit
MCV 94,9 Fl 82-95
MCH 33,6 Pg 27-31
MCHC 35,4 g/dl 32-36
RDW 17,8 % 11,5-14,5
MPV 8,3 Fl 7,2-11,1
PDW 15,0 % 15-17
Hitung Jenis
Limfosit 9 % 20-40
Kimia klinik
GDS 190 Mg/dl <140
HBs Ag (RPHA) Negative Negative
Ureum 199,4 mg/dl 10-50
Kreatinin 14,51 mg/dl 0,7-1,4
Asam urat 3,8 Mg/dL 3,4-7
SGPT 21,5 u/l 0-40
SGOT 51,5 u/l 0-38
Bil. Total 0,45 mg/dl 0,2-1,2
Bil. Direct 0,27 mg/dl 0-0,35
Albumin 3,5 g/dl 3,5-5,5
10

Globulin 2,5 g/dl 2-3,9
Kolesterol total 130 mg/dl 140-200
HDL-D 20 mg/dl 35-150
LDL-D 83 mg/dl 0-190
Trigliserid 134 mg/dl 36-165
Elektrolit
Na 131,1 mmol/L 135-148
K 4,93 mmol/L 3,5-5,3
Cl 103,6 mmol/L 98-107
Ca 11,11 mg/dl 8,1-10,4
Mg 2,9 mg/dl 1,9-2,5

Pemeriksaan USG Urologi
o Hidronefrosis sedang bilateral
o Tumor buli
o BPH ringan Volume 48cc
o Ascites


11

IV. RESUME / DAFTAR MASALAH
A. Anamnesis
1. BAK warna merah sejak 2 hari
2. Nyeri di perut bagian bawah dan alat kelaminnya ketika mau BAK tetapi
nyeri berkurang saat dikemihkan dan alirannya putus-putus tidak lancar.
3. Lemas, nafsu makan menurun
4. Perut sebah dan membesar
5. Sesak nafas
6. Kaki membengkak.
7. Riwayat penyakit ginjal sejak 4 tahun yang lalu dan menjalani cuci darah
rutin seminggu dua kali.
8. Benjolan keras di perut bagian bawah, nyeri jika dipegang.
9. Benjolan di bagian selangkangan saat pasien mengejan karena kesulitan
dalam BAK tetapi benjolan bisa masuk sendiri.
10. Tidak bisa dipasang selang pipis pada alat kelaminnya saat masuk rumah
sakit.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Vital sign
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
Frekuensi nafas : 18 x/menit, tipe thorakoabdominal
Suhu : 36 C per axiler
2. Kepala : konjungtiva anemis (+/+)
3. Thorax : dalam batas normal
4. Abdomen : distended (+), tes undulasi (+), tes pekak alih (+),
supra pubik nyeri tekan (+) dan teraba massa keras
sebesar telur ayam kampung, permukaan rata,
immobile.
5. Ekstremitas : oedem pitting ekstremitas inferior (+/+)

12

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan darah lengkap tanggal 30 Maret 2014
Parameter Hasil Rujukan
o Hb : 4,8 gr/dL ( 11 16 gr/dL)
o RBC : 1,43 x 10
6
(3.50-5.50)
o Limfosit : 0,7 x 10
3
/L ( 0,8 4,0 10/L)
o Granulosit : 76,6 % ( 50.0-70.0)
o Hematokrit : 13,6 % ( 37-54 %)
Pemeriksaan kimia darah tanggal 30 Maret 2014
o ALP : 755 U/L (98-279 U/L)
o GamaGT : 301,9 mg/dl ( 10 - 54 mg/dl)
o TP : 4,8 g/dl ( 6,6-8,3 g/dl)
o ALB : 2,9 g/dl ( 3,5-5,5 g/dl )
o Glob : 1,9 g/dl ( 2-3,9 g/dl )
o UREA : 199,4 mg/dl (10- 50mg/dl)
o CREAT : 14,51 mg/dl ( 0,7-1,4 mg/dl)
Pemeriksaan USG di RSUD Soedono Madiun (27 Maret 2014)
o Hidronefrosis sedang bilateral
o Tumor buli
o BPH ringan Volume 48cc
o Ascites

V. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA
1. CKD stage V
2. Hematuria
3. Ascites
4. Hidronefrosis bilateral
5. Tumor buli
6. BPH
7. Hernia Reponible
13

VI. POMR (PROBLEM ORI ENTED MEDI CAL RECORD)
Daftar masalah Problem
Assessment P. Diagnosis P. Terapi
P.
Monitoring
1. BAK warna
merah sejak 2
hari
-Lemas, nafsu
makan
menurun
-Perut sebah
dan membesar
-Abd:
distended (+),
Tes undulasi
(+), tes pekak
alih (+)
-Sesak nafas
-Kaki bengkak.
-Riwayat
penyakit ginjal
sejak 4 th yang
lalu dan
menjalani cuci
darah rutin
seminggu dua
kali
-ureum 199,4
mg/dl
-creatinin
14,51 mg/dl
-LFG: 3,02
-CKD stg V
-Hematuria
-Anoreksia
-Ascites
-Oedem
ekstremitas
inferior
CKD stg V -RFT
-UL
-USG Urologi
- Inf PZ+nabic 1
fl 7tpm
-Inj. Ceftriaxone
2x1gr
-Inj. Kalnex
3x1amp
-Inj.Vit K
2x1amp
-Inj. Ranitidin
2x1amp
- Diet rendah
protein tinggi
-Balance Cairan
- Hemodialisa
terjadwal

- Darah
Lengkap
- RFT
-UL
-Klinis
14

(ml/menit/1,73
m
2
)
-USG: Ascites
2. Lemas,sesak
nafas,
Conjunctiva
anemis (+/+)
Hb :4,8
MCV: 94,9 : 85 FL ( 82-100 FL)
MCH: 33,6
MCHC : 35,4 : 35,9 g/dL (32-36 g/dL)
Anemia
normokromi
k
normositer
Anemia
karena
penyakit
kronik
-Blood smear
-Benzidin test
-SITIBC

-PRC 2 kolf
-Sulfas ferosus
2x300mg

-Klinis
-DL
3. TD 150/80
mmHg (+/+)
Hipertensi

Hipertensi
stage I
Vital sign

-Captopril
3x12,5mg
-Amlodipin
1x10mg
-Diet rendah
garam
- vital sign

4. BAK warna
merah selama 4
hari
-nyeri di perut
bagian bawah
terutama saat
mau BAK dan
berkurang saat
dikemihkan
-nyeri tekan
supra pubik
dan teraba
massa keras
sebesar telur
Disuria
Massa di
supra pubic
Hematuria

- susp Ca
Buli
-USG Urologi
- Biopsi
- Inj Kalnex 3x1
amp
-Inj. Vit K 2x1
amp
-Konsul ahli
Bedah
-Vital sign
-Darah
Lengkap
-Klinis
15

ayam
kampung,
permukaan
rata, immobile
-USG: Tumor
Buli
5. - Nyeri saat
akan BAK
tetapi nyeri
berkurang saat
dikemihkan
dan alirannya
putus-putus
tidak lancar.
-USG: BPH
Disuria
Intermitensi
BPH -USG Urologi

-konsul ahli
bedah
klinis
6. Boyok kanan
kiri sering
pegel
-USG:
Hidronefrosis
bilateral
Hidronefros
is bilateral
USG Urologi Konsul ahli
bedah
klinis
7. Benjolan di
bagian
selangkangan
saat pasien
mengejan
karena
kesulitan dalam
BAK tetapi
benjolan bisa
masuk sendiri.
Benjolan
keluar
masuk
Hernia
Reponible
Thumb test,
Finger test
Konsul ahli
bedah
klinis
16

VII. FOLLOW UP
Tanggal Subjek Vital sign Terapi
30 Maret 2014 Lemas(+), BAK
nyeri, sulit dan
warna merah,
perut terasa
sebah,membesar,
sesak nafas, kaki
bengkak.
Keadaan
umum: lemah,
CM E4V5M6
TD: 140/70
RR:30x/m
N: 96x/menit
S: 36,2
0
C
CA (+/+)
Hb 4,8
Urea 199,4
Creat 14,51
-Inf Pz+nabic 1
fl 7tpm
- Ranitidin
2x1amp
- Kalnex 2x1
amp
- Inj Vit K
2x1amp
-Inj.Ceftriaxone
2x1gr
31 Maret 2014 Lemas(+), sesak
nafas berkurang,
perut sebah,
BAK warna
merah, BAB
warna hitam.
Keadaan
umum:
sedang, CM
TD: 150/80
N: 88x/menit
S: 36
o
C
RR:18x/menit
CA (+/+)

-Inf.Pz 20 tpm
-Tranfusi PRC 2
kolf
-Inj.Ceftriaxone
2 x 1amp
-Inj.Ranitidin
3x1amp
-Inj.Ketorolac
3x1amp
-Inj.Kalnex
3x1amp
-SF 2x1
-Pindah RPI
1 April 2014 Lemas(+), sesak
nafas berkurang,
perut sebah,
BAK warna
merah, BAB
Keadaan
umum:
sedang, CM
TD: 160/90
N: 80x/menit
-Inf.PZ 20tpm
-Inj.Ranitidin
2x1amp
-Inj.Kalnex
3x1ammp
17

warna hitam. S: 36,5
o
C
RR:22x/menit
CA (+/+)
Hb 7,3
-Inj.Ceftriaxone
2 x 1amp
- Inj Vit K
2x1amp
- Amlodipin
1x10mg
- Captopril
3x12,5mg
-HD terjadwal






















18

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENYAKIT GINJAL KRONIK (CHRONI C KI DNEY DI SEASE)
A. Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit
ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m, seperti pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 1. Batasan penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m, tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.

B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun,
dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan
populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.
Penyakit ginjal kronik lebih sering ditemukan pada usia lanjut
disebabakan penurunan laju filtrasi glomerulus. Setelah usia 30 tahun, nilai
19

LFG menurun dengan kecepatan sekitar 1 ml/menit/tahun. Pada proses
penuaan, jumlah nefron berkurang dan berkurangnya kemampuan untuk
menggantikan sel-sel yang mengalami kerusakan. Penurunan faal ginjal ini
bisa sampai 50% pada usia mencapai 60 tahun. Di RSUP.H.Adam Malik
Medan, penderita GGK terbanyak pada kelompok umur 45-59 tahun
(43,1%). Di RSU St. Elisabeth Medan, penderita gagal ginjal kronik
terbanyak pada kelompok umur >45 tahun (69,8%). Di RSUP.H.Adam
Malik Medan, penderita gagal ginjal kronik terbanyak pada kelompok umur
49-57 tahun (23,4%). Di RS.Pirngadi, penderita gagal ginjal kronik
terbanyak pada kelompok umur >45tahun (64,4%).
Penyakit ginjal kronik lebih sering dijumpai pada pria daripada wanita
dikarenakan hormone estrogen yang dimiliki oleh wanita bersifat anti
oksidan. Kasus gagal ginjal kronik di RS.Dr. Moh.Hoesin Palembang tahun
2002 sebanyak 179 orang. Dari jumlah tersebut63,68% merupakan pasien
pria.

C. Etiologi
Etiologi atau penyebab CKD sangat bervariasi, diantaranya adalah
hipertensi, glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi dan infeksi, obat-
obatan dan lain dengan sebagainya. Insidensi dari masing-masing penyebab
CKD adalah sebagai berikut:
Tabel. Penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65 %
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
(Sudoyo et al, 2009)


20

D. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factors seperti transforming growth factor
(TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%,
pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
21

pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi
saluran cerna. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 stadium
yaitu :
a. Stadium I
Stadium pertama dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama
stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal (10-20 mg per
1000ml), dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin
hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada
ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan
mengadakan test LFG yang teliti.
b. Stadium II
Satadium kedua perkembangan ini disebut insufisiensi ginjal, dimana
lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25%
dari normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas
batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda,
tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar
kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderitamisalnya mengalami
stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria
diakibatkan oleh kegagalan pemekatan mulai timbul. Gejala-gejala ini
timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau
minuman yang tiba-tiba.
c. Stadium III
Stadium ketiga atau stadium akhir gagal ginjal kronik disebut gagal
ginjal stadium akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul
22

apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar
200.000 nefron yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari keadaan
normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau
kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap LFG
yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena
ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis dengan plasma pada
berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi
oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula
menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-
gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan
meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis.

E. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan
neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.
1. Hematologik
a. Anemia
Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal
kronik:
1) Kehilangan Darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko
kehilangan darah oleh karena terjadinya disfungsi
platelet.Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini
23

adalah dari dialisis, terutama hemodialisis yang juga
menyebabkan defisiensi besi.Pasien-pasien hemodialisis dapat
kehilangan 3-5 gr besi per tahun.Normalnya, kehilangan besi 1-2
mg per hari, sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis
10-20 kali lebih banyak.
2) Pemendekan masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien
hemodialisis.
3) Defisiensi Eritropoetin
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada
pasien-pasien penyakit ginjal kronik.Para peneliti mengatakan
bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak
sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit
ginjalnya, sehingga produksi eritropoetin tidak serendah sesuai
dengan derajat anemianya.Defisiensi eritropoetin relatif pada
penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi
glomerulus.
4) Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal
kronik, kemungkinan karena malnutrisi. Kadar transferin pada
penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal,
menghilangkan kapasitas sistem transport besi. keadaan ini yang
mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi
dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
5) Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum
yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan
pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan tingginya
serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di
sirkulasi seperti interleukin berhubungan dengan respon yang
24

buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal
ginjal terminal.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Patogenesis
mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan
dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.Amonia
inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan
usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik.Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium
pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi
dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium
25

terminal.Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak
untuk segera dilakukan dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil,dilusi, insomnia,
dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.Kelainan
mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK.Kelainan mental ringan
atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks.Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

F. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi apenyakit ginjal kronik, perjalanan penyakit termasuk semua
faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik
(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium)
mempunyai spektrum klinik dan luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan
menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi
dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk
faal ginjal.

26


a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah
cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
b. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,
endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk faal ginjal (LFG).
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu:
a. Diagnosis etiologi penyakit ginjal kronik
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos
abdomen, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi
retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography
(MCU).
b. Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG).

G. Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.





27


Tabel. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Derajatnya
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m
2
) Rencana tatalaksana
1 90 - terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 - menghambat pemburukan fungsi ginjal
3 30-59 - evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 - persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 - terapi pengganti ginjal

1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet rendah protein, tinggi kalori
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari. Rata-rata
kebutuhan protein sehari pada penderita GGK adalah 20-40gram.
Fungsi dari diet rendah protein akan memperbaiki keluhan mual,
menurunkan BUN,menghambat progresivitas penurunan faal ginjal.
Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari. Diet tinggi kalori
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi yang akan memperbaiki gejala.
b. Kebutuhan cairan dan garam
Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine. Yaitu
produksi urine 24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung
evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-120mEq (920-2760mg).
Diet normal mengandung rata-rata 150mEq. Penimbangan berat
28

badan, pemantauan produksi urin serta pencatatan keseimbangan
cairan akan membantu pengelolaan keseimbangan cairan dan garam.
c. Kebutuhan elektrolit, mineral, dan asam basa
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
Gangguan keseimbangan elektrolit yang utama adalah
hiperkalemia dan asidosis. Pencegahan meliputi:
1) Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang ,jeruk,tomat) serta
sayuran berlebih
2) Menghindari pemakaian diuretika K-sparring
Pengobatan hiperkalemia:
- Glukonas calsium iv (10-20ml 10% Ca glukonate)
- Glukosa intravena (25-50ml glukosa 50%)
- Insulin-Dextrose iv dengan dosis actrapid tiap10 gram glukosa
- Natrium bikarbonat intravena (25-100ml 8,4% NaHCO
3
)
- Meningkatkan eksresi kalium : furosemid, k-exchange resin,
dialisis
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan
drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO
3
hanya
diberika pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak berat
diberikan secara per oral.

2. Terapi simptomatik
a) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik menyebabkan keluhan mual, lemah, air
hunger dan drowsiness, sehingga harus dikoreksi karena
meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan
mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.
Terapi alkali (sodium bicarbonat) atau NaHCO
3
harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20
29

mEq/L atau pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak berat
diberikan secara per oral.
b) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak.
c) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simptomatik.
d) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
e) Pencegahan pengobatan osteodistrofi renal (ODR)
Termasuk dalam tindakan ini adalah:
1) Pengendalian hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat, yaitu 600-800mg/hari
b. Pemberian pengikat fosfat. Kalsium karbonat 500-3000 mg
bersama makan dengan keuntungan menambah asupan
kalsium dan juga koreksi hipokalsemia.
2) Suplemen vitamin D3 aktif
1,25 dihidroksi vitamin D3 (kalsitriol) hanya diberikan jika P
normal. Batas pemberian jika Ca x P< 65. Dosis yang diberikan
adalah 0,25 mikrogram/hari.
3) Paratiroidektomi
Dilakukan jika proses ODR berlanjut

30



f) Hipertensi
Pembatasan cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah
<130/80mmHg. ACE-I dan ARB diharapkan akan menghambat
progresivitas PGK.
g) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum
bikarbonat 20 mEq/L.


H. Komplikasi
PGK mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Tabel 5. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LFG Komplikasi
1


2



3


Kerusakan ginjal
dengan LFG normal

Kerusakan ginjal
dengan penurunan
LFG ringan

Penurunan LFG
sedang

90


60-89



30-59



-

Tekanan darah mulai


Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
31




4





5



Penurunan LFG berat





Gagal ginjal



15-29





< 15
Hipertensi
Hiperhomosistenemia

Malnutrisi
Asidosis Metabolik
Cenderung
hiperkalemia
DislipIdemia

Gagal jantung
Uremia


II. ASITES PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK (CHRONI C
KI DNEY DI SEASE)
Pada keadaan normal, terdapat cairan di rongga peritoneum yang pada
umumnya jarang melebihi 200cc. Pembentukan cairan peritoneal merupakan
proses dinamis, akibat suatu keseimbangan yang tetap antara produksi dan
absorbsi. Keadaan ini dipengaruhi adanya tekanan osmotik dan tekanan
hidrostatik yang sangat berperan dalam pengendalian aliran cairan antara jaringan
kapiler peritoneal dan rongga peritoneum. Keseimbangan yang dinamik tersebut
dipertahankan antara plasma dan rongga peritoneal. Kurang lebih 40%-80%
cairan peritoneal, diganti oleh cairan yang berasal dari plasma setiap harinya.
Sehingga secara terus menerus akan terjadi sirkulasi cairan. Adanya keadaan
yang mempengaruhi keseimbangan tersebut akan menyebabkan terkumpulnya
cairan yang melebihi normal pada rongga peritoneum.

A. Pengertiann Ascites pada CKD
Ascites merupakan problem yang penting dan sering terjadi pada
penderita CKD dengan HD kronik. Pertama kali dilaporkan tahun 1970 oleh
Clinque dan Letteri sebagai ascites yang refrakter atau menetap yang
berhubungan dengan komplikasi jangka panjang penderita CKD dengan HD
kronik. Ascites ini, bila ternyata dalam evaluasi tidak ada penyakit atau
penyebab spesifik yang mendasari maka disebut sebagai asites nefrogenik.
32

Penelitian lain menyebutnya sebagai Idiopathic Dialysis Ascites (IDA).
Beberapa penyakit yang sering mendasari terjadinya ascites pada penderita
CKD dengan Hd kronik yaitu:
- Kelainan hepar
- Gagal jantung kongestif
- Peritonitis
- Tuberkulosis peritoneum
- Perikarditis konstriktiva
- Hiperparatiroid
Tabel. Penyebab asites pada penderita GGK dengan HD kronik


B. Insidensi
Insiden ascites nefrogenik ini tidak diketahui, tetapi berkembangnya
ascites nefrogenik ini dihubungkan dengan prognosis yang jelek. Clinque dan
33

Letteri tahun 1970 melaporkan insiden ascites 0,7%-26%. Penelitian Wang F,
dkk di Chicago, mendapatkan 8 penderita ascites dari 60 penderita GGT
dengan HD kronik selama 4 tahun. Gabriel dkk, selama 7 tahun penelitian
mendapatkan 6 penderita asites dari 197 penderita GGT dengan HD kronik.
Satu tahun berkembangnya ascites 1/3 penderita meninggal. Angka harapan
hidup penderita antara 7,0-10,7 bulan. Empat puluh empat persen meninggal
setelah 15 bulan dan 1/3 berkembang kakeksia.

C. Patogenesis
Secara garis besar pembentukan ascites dipengaruhi oleh beberapa faktor
lokal maupun sistemik. Adapun faktor lokal yang berperan adalah aliran darah
sinusoid dan sistem kapiler pembuluh darah usus. Sedangkan faktor sistemik
adalah faktor yang bertanggung jawab pada sistem kardiovaskular dan ginjal
dan menyebabkan retensi natrium dan air. Adapun yang termasuk dalam faktor
sistemik adalah perubahan hemodinamik sistemik, perubahan pada ginjal
sebagai akibat dari aktivasi neurohormonal dan faktor lain yang belum
diketahui.
Sedangkan untuk menjelaskan keterlibatan faktor sistemik dalam
pembentukan asites ada beberapa teori yaitu: teori klasik mengemukakan
bahwa retensi natrium di ginjal terjadi akibat sekunder terjadinya kekurangan
efektif plasma. Teori overflow mengemukakan bahwa pada tahap awal telah
terjadi retensi natrium di ginjal yang mengakibatkan kelebihan cairan
(overflow). Teori lymph inbalance mengemukakan bahwa terjadinya asites
adalah karena ketidakseimbangan antara pembentukan dan absorbsi cairan
limfe. Teori vasodilatasi perifer merupakan teori asites yang baru dimana
vasodilatasi perifer merupakan faktor utama untuk terjadinya retensi natrium
dan air akibat aktivasi renin-angiotensin-aldosteron, anti diuretik horman dan
sistem saraf simpatis. Patogenesi asites pada penderita CKD dengan HD
sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti.

34

Hal penting yang menyokong terbentuknya ascites penderita GGT dengan
HD:
1. Kelebihan cairan jangka panjang yang disertai dengan kongesti hepar
sehingga akan meningkatkan tekanan hidrostatik hepatika.
2. Perubahan permeabilitas membran peritoneum
3. Kerusakan resorbsi kelenjar limfe peritoneum
4. Keadaan: hipoalbuminemia, hiperparatiroid sekunder, gagal jantung
kongestif, perikarditis konstriktif, pankreatitis, sirosis hepatis dengan
hipertensi portal

D. Penatalaksanaan
Penataksanaan khusus penderita asites pada GGK dengan HD belum ada,
oleh karena patogenesis asites pada GGT dengan HD kronik sampai sekarang
belum diketahui pasti. Terapi yang sampai sekarang sering digunakan adalah
hemodialisis intensif, reinfuse cairan asites lewat kateter peritoneovenous,
suntikan steroid intraperitoneal, tetrasiklin, dialisis peritoneal mendiri
bersinambungan, pintas peritoneum vena dan transplantasi ginjal. Dari
bebebrapa terapi yang digunakan hanya transplantasi ginjal yang dianggap
efektif.

III. HIPERTENSI
A. Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari atau
sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari atau sama
dengan 90 mmHg dalam 2 kali pengukuran dengan jarak pemeriksaan minimal
10 menit (Bawazier, 2008).

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih
berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII, 2003
Klasifikasi Tekanan
Darah
Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
35

Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stadium 1 140-159 90-99
Hipertensi stadium 2 160 100

Prehipertensi tidak termasuk dalam kategori patologis. Istilah ini
digunakan untuk pasien dengan faktor risiko tinggi kolesterol sehingga baik
pasien atau dokter menjadi waspada akan risiko ini dan dapat melakukan
pencegahan. Pemberian obat-obat antihipertensi pada kasus prehipertensi
tidak dibenarkan kecuali pada pasien yang juga menderita diabetes melitus
atau kelainan ginjal dan gagal menurunkan tekanan darahnya sampai pada
130/80 mmHg dengan modifikasi gaya hidup (Bawazier, 2008).

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah menurut WHO/ISH
Klasifikasi Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Normotensi <140 <90
Hipertensi ringan 140-180 90-105
Hipertensi perbatasan 140-160 90-95
Hipertensi sedang dan berat >180 >105
Hipertensi sitolik terisolasi >140 <90
Hipertensi sistolik perbatasan 140-160 <90

Hipertensi sistolik terisolasi adalah hipertensi dengan tekanan sistolik
sama atau lebih dari 160 mmHg, tetapi tekanan diastoliknya kurang dari 90
mmHg. Keadaan ini berbahaya dan memiliki peranan sama dengan
hipertensi diastolik, sehingga harus diterapi (Mansjoer, Triyanti, Savitri,
Wardhani and Setiowulan, 2001).

B. Etiologi dan klasifikasi hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibedakan menjadi dua, yaitu:
36

1. Hipertensi Essensial
Hipertensi essensial atau hipertensi primer atau idiopatik adalah
hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus
merupakan hipertensi essensial. Penyebab multi faktorial meliputi faktor
genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap
natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain lain. Sedangkan yang
merupakan faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stres
emosi, obesitas, dan lain-lain (Gunawan, Setiabudi, Nafrialdi and
Elysabeth, 2008).
2. Hipertensi Sekunder
Insidensi hipertensi sekunder mencapai 5-10% dari seluruh kasus
hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat
penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf
pusat, obat-obatan dan lain-lain (Gunawan et al, 2008).
Hipertensi renal dapat berupa hipertensi renovaskular, misalnya
pada stenosis arteri renalis, vaskulitis intrarenal, dan hipertensi akibat lesi
parenkim ginjal seperti pada glomerulonefritis, pielonefritis, penyakit
ginjal polikistik, nefropati diabetik dan lain-lain (Gunawan et al, 2008).
Hipertensi endokrin antara lain akibat kelainan korteks adrenal,
tumor medulla adrenal, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, dan lain-
lain. Beberapa obat seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
simpatomimetik amin (efedrin, fenilpropanolamin, amfetamin), kokain,
siklosporin dan eritropoetin, juga dapat menyebabkan hipertensi
(Gunawan et al, 2008).

C. Faktor Resiko Hipertensi
10

1. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Riwayat Keluarga
37

d. Genetik
e. Ras
2. Faktor yang dapat dimodifikasi
a. Merokok
b. Konsumsi garam/asin berlebihan
c. Konsumsi makanan berlemak
d. Alkohol
e. Obesitas
f. DM
g. Olahraga
h. Stress

D. Kerusakan Organ Target
10

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah
a. Jantung seperti LVH, agina atau infark miokard dan gagal jantung
b. Otak seperti stroke, atau transcient ishcemic attack
c. Penyakit ginjal kronik, penyakit arteri perifer, retinopati

E. Patogenesis
Hipertensi merupakan penyimpangan dari pengendalian fisiologik
normal tekanan darah. Tingkat tekanan darah merupakan suatu sifat komplek
yang ditentukan oleh interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan, dan
demografi yang memengaruhi dua variabel hemodinamik, yaitu curah jantung
dan resistensi perifer total. Faktor lingkungan seperti stress, kegemukan,
merokok, aktivitas fisik kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah yang besar
dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi. Hipertensi dapat terjadi
melalui mekanisme sebagai berikut:


38




























Gambar . Mekanisme terjadinya hipertensi

F. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Non Farmakologis
Volume
Plasma dan
ECF
HIPERTENSI
Retensi
garam dan air
Ekskresi natrium
kurang memadai
Defek dalam
pertumbuhan dan struktur
otot polos pembuluh
Vasokonstriksi
Fungsional
Defek dalam
homeostasis natrium
ginjal
Faktor lingkungan
Pengaruh Genetik
Curah jantung
(autoregulasi)
Ketebalan dinding
pembuluh
Reaktivasi
vaskular
Hormon
natriuretik
Resistensi
Perifer total
39

a. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis
b. Olahraga dan aktifitas fisik
c. Perubahan pola makan
d. Menghilangkan stres
2. Farmakologis
a. Diuretik
Termasuk dalam golongan ini adalah diuretik tiazid (hidroklorotiazid,
kortalidon, indapamid, bendroflumetiazid, metolazon, xipamid),
diuretik kuat (furosemid, torsemid, bumetanid, as.etakrinat), diuretik
hemat kalium (amilorid, spironolakton, triamteren).
b. Agen Penghambat Beta Adrenergik (-Blocker)
Asebutol, atenolol, bisoprolol, metoprolol merupakan agen
penghambat beta yang bersifat kardioselektif. Agen penghambat beta
yang nonselektif meliputi alprenolol, karteolol, nadolol, oksprenolol,
pindolol, propanolol, timolol, karvedilol, labetalol.
c. Penghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme)
Golongan ini termasuk captopril, enalapril, ramipril, lisinopril dan
perindopril.
d. Agen Penghambat Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor
Blocker)
Golongan ini meliputi losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan,
candesartan.
e. Agen Penghambat Saluran kalsium (Kalsium Blocker)
Yang termasuk dalam golongan ini adalah nifedipin, nicardipine dan
amilodipine, verapamil dan diltiazem.
f. Antagonis Adrenoreseptor Alfa (-Blocker)
Golongan ini termasuk prazosin, terazosin dan doxazosin.
g. Obat-obat dengan Aksi Simpatolitik Sentral
Yang termasuk dalam golongan ini adalah metildopa, klonidin,
guanabenz, dan guanfacine.

40


h. Dilator Arteriolar
Golongan ini terdiri dari hidralazin, minoksidil, diazoxide dan
nitroprusside.
i. Penghambat Simpatetik Perifer
Golongan obat ini meliputi reserpin, guanetidin, dan guanadrel.

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih
obatantihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan.
Penambahanobat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian
obat tunggaldengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah.
Menurut European Society of Hypertension 2003, kombinasi dua obat
untukhipertensi ini dapat dilihat pada gambar dimana kombinasi obat
yangdihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.


Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah :
a. Target tekanan darah <140/90 mmHg, untuk individu berisiko
tinggi (DM, gagal ginjal proteinuria) <130/80 mmHg
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
c. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.




41


Algoritma Tatalaksana Hipertensi





























Modifikasi Gaya Hidup
Bila mencapai target (<140/90)
DM dan CKD (<130/80)
Pilihan obat awal
Tanpa indikasi khusus
Dg indikasi khusus
HT st.1 terutama
thiazide. Boleh :
ACE inh, ARB,
bloker, CCB, atau
kombinasi
HT st. II : 2
kombinasi obat (
biasanya thiazide
dan ACE inh atau
ARB bloker atau
CCB
Obat2an utk
indikasi khusus,
Gunakan OAH lain
(diuretic, ACE inh,
ARB, bloker atau
CCB yg dperlukan
Tidak mencapai target
Optimalkan dosis atau tambah obat lain. Boleh dikonsulkan spesialis
HT
42

BAB III
PEMBAHASAN


Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap,berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Klasifikasi penyakit ginjal kronik dibuat atas dasar LFG yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl))
Pada Tn. S usia 72 tahun, berat badan 60 kg, kreatin 15,32 mg/dl sehingga
didapatkan perhitungan LFG = (140-77)x 50/(72x14,51), hasilnya
3,02ml/menit/1,73m. Menurut klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar derajat
penyakit :derajat 1 kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90 ml/mnt/1,73m,
derajat 2 kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89 ml/mnt/1,73m, derajat 3
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59 ml/mnt/1,73m, derajat 4 kerusakan
ginjal dengan LFG berat 15- 29 ml/mnt/1,73m, derajat 5 Gagal ginjal < 15
ml/mnt/1,73m atau dialisis, maka Tn.S termasuk dalam penyakit ginjal kronik
derajat 5 atau termasuk gagal ginjal.
CKD bisa disebabkan oleh banyak hal diantaranya glomerulonefritis,
Diabetes Melitus, obstruksi dan infeksi, hipertensi dan sebab lain. Dikelompokkan
dalam sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal dan penyebab lain yang tidak diketahui. Pada
Tn. S penyebabnya tidak pasti karena tidak ada riwayat penyakit hipertensi, DM
atau glomerulonefritis yang spesifik tetapi dari riwayat yang didapatkan sering
konsumsi obat-obatan yang dijual bebas di warung. Dari hasil USG dan klinis yang
menyatakan adanya nyeri di perut bagian bawah, teraba benjolan keras, BAK tidak
lancar, putus-putus dan berwarna merah, Tn.S juga menderita Hidronefrosis, tumor
buli, dan BPH yang baru diketahui akhir-akhir ini. Mengenai waktu munculnya tidak
diketahui dengan pasti, tetapi keadaan ini bisa sebagai penyebab terjadinya CKD
43

melalui mekanisme obstruksi di saluran urinari bawah seperti BPH (pembesaran
kelenjar prostat) dan tumor buli sehingga menyebabkan refluk urin ke ginjal
sehingga menimbulkan hidronefrosis atau terakumulasinya cairan urin di dalam
ginjal dan mengakibatkan atrofi ginjal kemudian menyebabkan menurunya fungsi
ginjal sehingga terjadi gangguan pada produksi ginjal, dimana dalam jangka waktu
lama keadaan ini bisa merusak ginjal dan menyebabkan terjadinya CKD. Hematuria
yang terjadi bisa berasal dari kebocoran ginjal dan adanya massa di buli-buli yang
bisa mengarah ke keganasan.
Lemas yang dirasakan Tn. S terjadi karena kurangnya intake makanan dan
anemia (Hb 4,8 gr/dl). Anemia yang terjadi pada Tn. S disebabkan oleh defisiensi
eritropoetin. Pada pasien penyakit ginjal kronik, sel-sel peritubular yang
menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan
progresivitas penyakit ginjalnya, sehingga produksi eritropoetin tidak serendah
sesuai dengan derajat anemianya.

Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal
kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus, penyebab lainnya
karena Homeostasis besi terganggu pada penyakit ginjal kronik, kemungkinan
karena malnutrisi. Kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau
sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi. keadaan
ini yang mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag
dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik. Anemia pada inflamasi juga ditandai
dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan
pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan tingginya serum feritin.
Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin
berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada
pasien-pasien gagal ginjal terminal.
Tn.S mengeluhkan perut membesar dan terasa sebah. Dari pemeriksaan fisik
juga didapatkan tes undulasi (+) dan tes pekak alih (+). Keadaan ini dapat
mengindikasikan terjadinya ascites nefrogenik pada Tn.S. Ascites nefrogenik adalah
ascites yang refrakter atau menetap yang berhubungan dengan komplikasi jangka
panjang penderita CKD dengan HD kronik, dimana dalam evaluasi tidak ditemukan
penyakit atau penyebab spesifik yang mendasari. Terjadiunya ascites dapat
44

disebabkan oleh beberapa keadaan seperti kelebihan cairan jangka panjang yang
disertai dengan kongesti hepar sehingga akan meningkatkan tekanan hidrostatik
hepatika, perubahan permeabilitas membran peritoneum, kerusakan resorbsi kelenjar
limfe peritoneum dan keadaan: hipoalbuminemia, hiperparatiroid sekunder, gagal
jantung kongestif, perikarditis konstriktif, pangkreatitis, sirosis hepatis dangan
hipertensi portal. Tn.S juga mengeluhkan sesak nafas sejak perutnya membesar.
Keadaan ini bisa disebabkan oleh desakan paru akibat adanya ascites di rongga
perut, karena dari pemeriksaan fisik thorax tidak menunjukkan adanya akumulasi
cairan berlebih di paru-paru, tercatat dari pemeriksaan auskultasi paru didapatkan
suara dasar vesikuler tanpa suara tambahan seperti ronkhi, wheazing dan dari
pemeriksaan perkusi didapatkan sonor pada seluruh lapang paru.
Tn. S pada hari ke 2 sampai dengan hari ke 3 MRS mengalami hipertensi.
Keadaan ini bisa disebabkan oleh penyakit ginjal kronik, oleh karena peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron yang menimbulkan terjadinya retensi
cairan dan garam, aktivasi saraf simpatis, dan vasokontriksi sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah. Retensi cairan dan garam yang berlebih juga dapat
menyebabkan terjadinya oedem di beberapa tempat, salah satunya di ekstremitas
bawah seperti yang dialami oleh Tn.S. Oedem merupakan keadaan dimana
terkumpulnya cairan di jaringan interstitial lebih dari jumlah yang biasa atau di
dalam berbagai rongga tubuh yang mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran
cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstitial.
Sebagian besar keluhan yang dirasakan Tn. S merupakan akibat dari penyakit
gagal ginjal kronik stadium 5 yang di deritanya, jika penyakit ginjal kronik stadium
5 tidak segera di tangani maka akan menyebabkan komplikasi yang lebih banyak
dan prognosis yang buruk bagi pasien dibandingkan dengan pasien yang rutin
melakukan pengobatan. Oleh kerena itu pasien yang menderita penyakit ginjal
kronik stadium 5 harus rutin dalam melakukan pengobatan untuk mengurangi
timbulnya komplikasi dan meningkatkan harapan hidup pasien.



45

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


1. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3
Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
2. Hermawan, Guntur. 2006. Chronic Renal Failure. In : Arifin et al (ed). Bed Side
Teaching. FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta
3. Ingrum, Maya W. 2001. Profil Cairan Asites Pada Penderita Gagal Ginjal
Termiinal Dengan Hemodialisis Kronik. Tesis. Semarang: UNDIP.
4. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi
3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
5. Pranawa, Yogiantoro, M., Irwanadi, C., Santoso, J., Mardiana, N., Thaha, M.,
Widodo, Soewanto. 2007 Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Penyakit
Dalam. Surabaya. Airlangga University Press. Pp 221-29.
6. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta,
2007.
7. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.
8. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2006. 581-584.
9. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
10. Yogiantoro, M., Pranawa., Irwanadi, C., et al. 2007 .Hipertensi dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press.
Pp 210-7.

Anda mungkin juga menyukai