Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
LAPORAN MAGANG
Oleh
INDAH PURNAMASARI WULANTI
0606133826
Depok
2009
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM DIPLOMA 3
BIDANG ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
LAPORAN MAGANG
Oleh
INDAH PURNAMASARI WULANTI
0606133826
Depok
2009
i
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
28 Mei 2009
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
NAMA :
TANGGAL :
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul FAKTUR
PPN. Tulisan ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi
Diploma III pada Jurusan Administrasi Perpajakan, di Fakultas Ilmu Sosial dan
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dengan
tujuan menyempurnakan karya tulis ini sangat diharapkan dan akan diterima
dengan senang hati. Dalam menyusun tugas akhir ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin
1. Bapak Drs. Moh. Riduansyah, M.Si., selaku Ketua Program Diploma III
2. Bapak Drs. Adang Hendrawan, M.Si., selaku Sekretaris Program Diploma III
3. Ibu Dr. Haula Rosdiana, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
4. Mas Arie Widodo, MSM., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
iv
5. Segenap Dosen Diploma III Jurusan Administrasi Perpajakan, FISIP UI yang
6. Kedua Orang Tua dan Saudara tercinta yang senantiasa mendoakan dan
7. Segenap Pimpinan dan Karyawan Kantor Konsultan Pajak Surya yang telah
8. Feli dan Anin, teman yang telah membantu mendapatkan tempat magang.
Ismi, Afandri, Afra, Andreko, Irfan, Askab, dll), yang turut mendoakan dan
10. Risya Ayu Ichmawati, sahabat penulis yang juga memotivasi penulis.
11. Teman-teman satu angkatan Jurusan Perpajakan 2006 (Indah Puspita, Genida,
Yudi, Pamela, Ega, Rizqina, dkk), terima kasih atas kerja samanya.
Semoga segala bantuan dan bimbingan dari semua pihak di atas dapat
akan datang. Dengan tersusunnya karya tulis ini, harapan penulis semoga berguna
bagi para pembaca khususnya dan masyarakat umumnya. Dan semoga kegiatan
penulisan karya tulis ini juga bernilai ibadah di sisi Allah swt.
Penulis
v
DAFTAR ISI
halaman
LEMBAR JUDUL.............................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN........................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN............................................................ iii
KATA PENGANTAR........................................................................................ iv
DAFTAR ISI....................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL............................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan....................................................... 1
B. Kerangka Teori............................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan.......................................................................... 15
D. Sistematika Penulisan................................................................... 16
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan................................................................................. 49
B. Saran....................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vi
DAFTAR GAMBAR
halaman
vii
DAFTAR TABEL
halaman
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Barang Mewah
Barang Mewah
ix
BAB I
PENDAHULUAN
diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tentu tidak terlepas dari persoalan
’menakutkan’. Salah satu hal yang dapat membuat senewen para pengusaha
Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang akan dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena seperti yang telah ditetapkan oleh
Namun, hingga kini masih banyak di antara pengusaha kena pajak yang
material. Hal ini dapat sedikit dimaklumi karena memang faktanya peraturan
1
para PKP. Ditambah dengan kesibukkan PKP dalam melakukan aktivitas
ketidakpahaman tersebut. 1
variatif dari kalangan PKP tersebut. Ada yang bertanya tentang jenis-jenis
bagaimana mengisinya, apa saja kriteria Faktur Pajak cacat, bagaimana bila
Faktur Pajak hilang dan jumlahnya ternyata material padahal PKP tersebut
Akan tetapi, dalam tataran tertentu berbagai pertanyaan yang timbul tersebut
masih dapat dikatakan wajar, khususnya bagi Wajib Pajak Badan yang baru
dokumen yang hampir dapat dipastikan selalu ada karena dalam undang-
undang PPN yang berlaku hingga saat ini menganut sistem faktur. Dan hal ini
didasarkan pula pada fakta bahwa bisnis yang dijalankan pada umumnya pasti
berkaitan dengan penyediaan, penjualan, ekspor atau impor barang dan atau
jasa. Dalam hal ini, barang dan jasa yang umumnya dijadikan lahan bisnis
tersebut merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mana atas
1
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi
03/2004, hlm. 6.
2
Tim ITR, “Episode Faktur Pajak”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 04/2004, hlm.
1.
2
penjualan, ekspor dan atau impornya merupakan objek pengenaan dan
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah. Dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak adalah dokumen
yang sakral, karena ketentuan mengenai Faktur Pajak memang diatur sangat
ketat. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerbitan Faktur Pajak ini adalah
keakuratan informasi yang ada dalam Faktur Pajak itu sendiri, baik dari segi
material (jumlah) dan juga informasi yang bersifat nonmaterial yang secara
Faktur Pajak, karena tak pelak kesalahan dalam menerbitkan Faktur Pajak
dapat berakibat pada tidak diakuinya Pajak Masukan yang ada dalam Faktur
Pajak. Selain itu juga, dalam pemeriksaan pajak seringkali pemeriksa pajak
mengoreksi Pajak Masukan yang telah dibayar oleh pengusaha hanya karena
hal yang sifatnya remeh-temeh. Contohnya PKP yang lupa mencoret kolom
pembeli. 4
3
jumlahnya tidak sedikit. Bahkan, pada beberapa kasus, kadang mengakibatkan
kebangkrutan.
Satu hal yang pasti adalah kita memiliki kewajiban khususnya bagi para
pengusaha kena pajak maupun calon PKP untuk mencari pemahaman dan
jalur yang benar yang dapat menuntun kita dalam menjalankan kewajiban
dari kewajiban PPN. Dan hal-hal lain yang menjadi grey area pun tidak boleh
dijadikan penghalang. 5
Berpijak pada hal itulah, dalam karya tulis ini penulis mencoba untuk
masih tidak jelas itu. Hal ini akan memberikan manfaat tersendiri berupa
yang masih bersifat grey area itu, jika tidak siap dengan konsekuensinya.
B. Kerangka Teori
Beberapa teori terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam karya
5
Tim ITR, “Episode Faktur Pajak”, loc.cit.
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi Pajak, 14 April 2009.
4
swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun
pemerintahan.
3. Kemudian, Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, guru besar dalam Hukum
mengenai definisi pajak yaitu, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas
adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk
investment.
5
B.2. Penggolongan Pajak
siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban
atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak
yang bersangkutan:
(direct tax) dan pajak tidak langsung (indirect tax). Ada dua pendekatan
yang dikenal dalam membedakan jenis pajak ini, yaitu pendekatan secara
(the tax burden can not be shifted) kepada pihak lain. Contohnya Pajak
6
pajak langsung. Contohnya Pajak Penghasilan di Indonesia terutang
sekali dalam satu tahun. Sebaliknya jika pemungutan sutau pajak tidak
Barang Kena Pajak atau penggunaan Jasa Kena Pajak harus membayar
PPN.
yaitu:
sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal 5M,
7
mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menghitung sendiri
dan benar. 7
fiskus. Dalam sistem ini fiskuslah yang aktif sejak dari mencari Wajib
3. Withholding Tax
Dalam sistem ini, pihak ketiga mendapat tugas dan kepercayaan dari
ke Kas Negara dalam jangka waktu tertentu dan dapat menjadi kredit
sistem Withholding Tax ini, dimana PKP yang menjual BKP atau
7
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit, 2005, hlm. 108.
8
Ibid, hlm. 109.
9
Ibid, hlm. 110.
8
memberikan layanan JKP wajib untuk memungut PPN kepada penerima
yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif
Tarif pajak tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah
jumlahnya. Misalnya tarif Bea Materai. Jumlah Bea Materai atas kuitansi
walaupun uang yang diterima junlahnya lebih besar, jumlah Bea Materai
10
Ibid, hlm. 118
9
2. Tarif Pajak Proporsional
Tarif pajak proporsional atau yang juga dikenal dengan single rate
samping PPN.
supaya Pajak Masukan (input tax) atas perolehan BKP dan JKP yang
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi Objek
10
Penghasilan, saat ini tarif yang ditetapkan adalah mulai dari 5%, 15%,
Tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang apabila Objek Pajaknya
makin tinggi, maka makin rendah pajaknya. Tarif ini pernah berlaku
untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli
waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil. Namun tarif
disebabkan sudah banyak pihak yang melupakan atau tidak peduli lagi
Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, legal karakter yang menjadi ciri khas
Pengertian PPN ditinjau dari sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak
Apabila penjual atau pengusaha jasa tidak memungut PPN dari pembeli
11
pengusaha jasa. Demikian pula apabila pembeli atau penerima jasa sudah
membayar PPN kepada penjual atau pengusaha jasa, namun ternyata PPN
pajak. Kondisi subjek pajak tidak relevan. Sebagai contoh, jika perusahaan
X ingin membeli barang yang merupakan Barang Kena Pajak maka tidak
peduli apakah saat itu PT. X sedang dalam keadaan baik atau buruk dari
segi keuangan, akan tetap dikenakan PPN sebesar 10% dari harga jual
BKP tersebut.
pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi BKP atau JKP.
Hal ini berarti PPN dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi BKP
pengenaan pajak berganda (non kumulasi). Inilah ciri PPN yang tidak
Pajak Pertambahan Nilai yang multi stage levy namun bersifat non
12
dikenakan berulang-ulang pada setiap mata rantai jalur distribusi, akan
dengan cara mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual
penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan barang atau jasa, dengan
PPN yang dibayar kepada penjual atau pengusaha lain atas perolehan
13
6. PPN Indonesia menganut Tarif Tunggal (Single Rate)
tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling
pengawasan.
dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean
(ConsumptionType VAT)
14
Dalam bahasa indirect subtraction method, Pajak Masukan (input tax) atas
tax) sehingga barang modal dikenakan PPN hanya satu kali. Dalam tipe
indikasi bahwa PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis. Sifat ini
C. Tujuan Penulisan
Faktur Pajak Standar dan bagaimana Faktur Pajak dikatakan cacat, serta sanksi
apa yang akan diterima PKP atas Faktur Pajak cacat tersebut.
klien KKP Surya apakah telah memenuhi persyaratan atau terdapat kesalahan
15
D. Sistematika Penulisan
tulis ini, maka penulis menyusunnya menjadi 4 (empat) bab dan beberapa subbab.
BAB I : Pendahuluan
Pajak Standar
BAB IV : Penutup
16
BAB II
Dibangun di atas areal tanah dengan luas sekitar 200 m2, sejak tahun 1963
sampai sekarang Kantor Konsultan Pajak Surya dan Rekan dapat menjalankan
Bangunan kantor yang terdiri atas tiga lantai ini terletak di Jalan Pangeran
Jayakarta No. 143 C Jakarta Pusat. Dengan lokasi yang cukup strategis karena
letaknya yang tidak jauh dengan pusat kegiatan usaha, seperti pasar pagi Mangga
menjadikan KKP Surya mudah dalam meraih dan melayani klien karena aksesnya
yang terjangkau.
diberi nama sesuai nama pendirinya yaitu Bapak Surya (alm) dengan izin
sertifikasi konsultan pajak tentunya. Sepeninggal beliau pada tahun 1996, KKP
Surya tetap berdiri dengan pengalihan izin praktik melalui surat kuasa kepada
Bapak Richard Syarief Halim, tepatnya pada tanggal 15 Februari 1996 dengan
konsultan pajak.
17
Saat ini dalam pelaksanaan tugas harian, terdapat empat orang supervisor
yaitu: Bapak Lam Sunjaya Dharma, Yahya Sulaiman, Armen Yenos dan Rizi
Azila. Dan mulai dari berdirinya sampai sekarang KKP Surya memiliki jumlah
perdagangan, industri dan real estate hingga orang pribadi atau perorangan telah
Visi:
Menjadi perusahaan konsultan pajak yang terbaik dengan tim konsultan yang
Misi:
klien.
Struktur organisasi dalam Kantor Konsultan Pajak Surya ini secara garis besar
masih cukup sederhana, hal tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:
18
GAMBAR II.1
STRUKTUR ORGANISASI
PIMPINAN
Bpk. Syarief
Halim
19
D. Produk KKP Surya
jasa konsultasi perpajakan, maka produk-produk yang terdapat dalam KKP Surya
berupa service seputar masalah perpajakan baik orang pribadi maupun badan,
yaitu:
1. Konsultasi mengenai berbagai jenis pajak seperti, Pajak Penghasilan (PPh) 21,
perpajakan lain pada umumnya. Termasuk dalam hal ini, klien dapat
seperti, bagaimana tata cara yang baik dan benar dalam membuat Faktur Pajak
apa saja yang kiranya akan timbul dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan
4. Membantu mengecek kebenaran surat yang diterima oleh klien dari Kantor
Pajak, seperti Surat Tagihan Pajak (STP) PPh 21, dan lain sebagainya.
5. Membantu klien dalam hal keberatan atau banding. Mulai dari pembuatan
banding.
20
E. Organisasi dan Manajemen KKP Surya
Secara umum kegiatan dalam KKP ini terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi Internal
bertugas untuk menghitung pajak-pajak klien yang rutin seperti, PPh 21 dan
25, PPN masukan dan keluaran baik bulanan maupun tahunan, membuat
faktur pajak standar, membuat Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dihitung,
fungsi eksternal seperti membayar dan melaporkan pajak klien. Hal itu
dikarenakan terbatasnya jumlah pegawai yang berada dalam KKP Surya ini.
policy beberapa waktu lalu, hampir seluruh klien mengikuti program tersebut
sehingga membuat seluruh karyawan di sana harus bekerja extra alias lembur
2. Fungsi Eksternal
Tugas karyawan atau pegawai pada fungsi ini seperti sudah sedikit
21
tempat masing-masing klien terdaftar, atau melalui pos tercatat bagi klien
yang berada di luar kota. Hal lain yaitu mengurus jadwal keberatan atau
a. Divisi PPN
2. Membuat SPT Masa PPN berdasarkan perhitungan yang telah dibuat dan
b. Divisi PPh
c. Divisi Umum
1. Menagih SPT Masa PPN dan SSP ke klien sejumlah yang tertulis di
dalamnya;
2. Menyetorkan SSP yang telah diisi dengan lengkap, benar dan jelas ke bank
pemerintah atau bank swasta yang ditunjuk atau kantor pos, paling lambat
22
3. Melaporkan SPT Masa PPN yang telah diisi lengkap, benar dan jelas
F. Penempatan Magang
khusus untuk bekerja. Karena pekerjaan yang dilakukan adalah sebatas pada
rutinitas harian di kantor seperti, membuat SSP klien yang akan disetorkan setiap
bulan untuk PPh 21, PPN, PPh Pasal 4 ayat (2), membuat rekap gaji karyawan
klien setiap bulannya hingga mengisi formulir SPT PPh Pasal 21, PPh Pasal 4 ayat
(2) dengan sistem komputerisasi yang telah ada dan mengisi SPT PPN dengan
fasilitas e-SPT.
Namun penulis juga sesekali diberikan tugas oleh supervisor yaitu bapak Lam
Sunjaya untuk membahas kasus-kasus banding klien seputar PPN maupun PPh
bukti saat persidangan hingga pembuatan surat banding untuk klien tersebut.
Meskipun tidak pernah ada kegiatan yang berhubungan langsung dengan klien,
23
tetapi kegiatan keseharian yang dilakukan serta informasi-informasi seputar dunia
perpajakan yang diberikan baik oleh supervisor maupun para karyawan di KKP
Surya tersebut sudah merupakan pengalaman yang sangat berharga dan modal
24
BAB III
PAJAK STANDAR
pemungutan PPN akan selalu ada Faktur Pajak yang wajib diterbitkan. Hal
dikenai atau terutang PPN. Lalu apa yang menjadi objek pengenaan PPN?
Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku akan sering ditemui istilah Barang
Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Namun demikian, yang
tersebut. 11
11
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, op.cit, hlm. 7
25
penjelasannya dikatakan bahwa penyerahan BKP/JKP tersebut baru akan
adalah pemanfaatan JKP dan atau BKP tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean. Objek PPN yang disebutkan dalam Pasal 4
UU PPN huruf d dan e ini, dikenai baik terhadap pemanfaatan yang dilakukan
oleh orang pribadi ataupun badan yang telah menjadi PKP maupun yang
Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP
dari luar Daerah Pabean, maka yang wajib memungut dan menyetor PPN
Objek PPN lain yang mewajibkan pihak yang melakukan kegiatan tersebut
yaitu menyetor sendiri PPN terutang adalah objek PPN berupa impor BKP.
Objek pengenaan ini disebutkan dalam Pasal 4 huruf b UU PPN. Dalam hal
12
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, loc.cit.
13
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, op.cit, hlm. 9.
26
impor BKP, dokumen yang menjadi bukti bahwa PPN telah dipungut dan
Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) sebagai
bukti penyetoran PPN Impor. Terakhir, yang menjadi objek pengenaan PPN
oleh PKP. Memang, PPN yang terutang dalam rangka ekspor BKP ditentukan
sebesar 0% akan tetapi perlu diingat bahwa atas kegiatan ekspor BKP tersebut
tetap terutang PPN. Dokumen yang menjadi Faktur Pajak atas kegiatan ekspor
adalah Surat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh
oleh Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 15
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah. Yaitu orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau
27
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
Berdasarkan Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU PPN Tahun 2000
dan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 143 Tahun 2000, subjek PPN dapat
PPN 2000 yaitu mengekspor BKP, serta bentuk kerja sama operasi
oleh Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 143 Tahun 2000 seperti yang telah
BKP.
16
Ibid, hlm. 53.
28
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan huruf e yaitu
B. Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), atau bukti pungutan pajak karena impor
Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Literatur perpajakan yang ada mengenal dua jenis Faktur Pajak. Pertama,
Standar. 18 Faktur Pajak ini pada dasarnya merupakan sarana mekanisme kredit
pajak. Sehingga salah satu syarat pengkreditan pajak masukan adalah tersedianya
undangan, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 13 ayat (5) UU PPN.
17
Ibid, hlm. 57.
18
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, Indonesian Tax Review,Vol IV, Edisi
04/2004, hlm. 4.
29
Dengan demikian ketentuan Faktur Pajak menjadi sangat rigit untuk
Kemudian jenis kedua adalah yang disebut dengan Faktur Pajak Sederhana.
Dalam karya tulis ini lebih khusus akan dibahas mengenai Faktur Pajak Standar
Khusus mengenai Faktur Pajak, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang telah
wewenang ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (4) UU PPN.
Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar. Keputusan yang dirilis pada tanggal
29 Desember 2000 tersebut, hingga kini telah diubah beberapa kali. 20 Dan
30
Dalam lampiran Peraturan Dirjen Pajak tersebut, diberikan contoh bentuk
formulir Faktur Pajak Standar hasil disain pihak Dirjen Pajak. Terdapat dua
contoh bentuk Faktur Pajak yang diberikan. Satu contoh formulir Faktur Pajak
Standar untuk transaksi penyerahan yang menggunakan mata uang rupiah (Rp)
dan satu lagi untuk transaksi dalam mata uang asing. Khusus untuk formulir
Faktur Pajak Standar seperti pada Gambar III.2, menurut Dirjen Pajak, dapat
rupiah (Rp) maupun mata uang selain rupiah. Sedangkan Faktur Pajak Standar
Selain itu, terkait dengan kode dan nomor seri diterangkan bahwa setiap
Faktur Pajak Standar harus menggunakan kode dan nomor seri yang telah
Khusus Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor
Cabang ditentukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut dan wajib
21
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit.
22
“Faktur Pajak “, www.pajak.go.id.
31
memberitahukan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan
untuk dipahami adalah berkaitan dengan data atau keterangan yang harus
tercantum dalam Faktur Pajak Standar. Dalam literatur perpajakan yang ada,
telah ditetapkan bahwa sebuah Faktur Pajak, baru dapat disebut sebagai Faktur
minimum yang telah ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Data atau
keterangan yang dimaksud Pasal 13 ayat (5) UU PPN tersebut adalah data atau
BKP/JKP;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
23
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, op.cit, hlm. 7.
32
GAMBAR III.1
33
GAMBAR III.2
34
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
Pajak.
tercantum seluruhnya dalam sebuah Faktur Pajak Standar. Jika salah satunya
tidak ada atau tidak dicantumkan, maka Faktur Pajak Standar tersebut dapat
dikategorikan sebagai Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap atau yang
cacat. 24
yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian pula
tersebut harus sesuai dengan keterangan yang terantum pada Faktur Pajak
Standar.
yaitu:
a. Lembar ke-1 : Untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP sebagai bukti
Pajak Masukan.
Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari rangkap dua, maka
peruntukkan lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam
24
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, op.cit, hlm. 8.
35
Faktur Pajak yang bersangkutan; misalnya: Lembar ke-3: Untuk KPP dalam
sebelum penyerahan;
25
Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 104.
26
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi
06/2005, hlm. 3.
36
D. Faktur Pajak Standar Cacat dan Sanksi yang Terkait
Dalam uraian sebelumnya pada bab satu telah disampaikan bahwa efek
samping penerbitan Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap (tidak memenuhi
kriteria data atau keterangan minimum yang harus tercantum dalam Faktur Pajak)
adalah pengenaan sanksi kepada kedua belah pihak. Penerbit Faktur Pajak Standar
(PKP) akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar
Pengenaan Pajak (DPP), sementara penerima Faktur Pajak Standar tidak akan
Sebenarnya istilah Faktur Pajak Standar cacat tidak hanya diperuntukkan bagi
Faktur Pajak yang pengisiannya tidak lengkap. Perbedaan bentuk dan ukuran
disebut Faktur Pajak cacat. Meskipun kedengarannya sepele, akan tetapi untuk
Standar dengan bentuk dan ukuran seperti yang dicontohkan Dirjen Pajak.
Pengisian data dan keterangan dalam Faktur Pajak Standar juga sebaiknya
dilakukan dengan cara diketik, tidak menggunakan tulisan tangan. Meskipun tidak
ada larangan untuk itu, namun pada kenyataannya ketika dilakukan pemeriksaan
banyak ditemukan kasus di mana fiskus menganggap bahwa Faktur Pajak Standar
yang diisi dengan tulisan tangan merupakan Faktur Pajak Standar yang cacat.
27
Ibid, hlm. 8.
37
Hal lain yang sangat penting untuk diketahui adalah mengenai jangka waktu
penerbitan Faktur Pajak Standar. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf f UU KUP, kepada PKP yang menerbitkan Faktur Pajak yang melewati
batasan waktu yang ditetapkan akan dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% dari DPP yang tercantum pada Faktur Pajak yang bersangkutan. Dan
lebih celakanya lagi jika penerbitan Faktur Pajak melebihi batas waktu tiga bulan,
maka pembeli yang tidak tahu apa-apa pun akan terkena dampak yang tidak
mengenakkan. 28
pada Pasal 13 ayat (1) dinyatakan pula bahwa apabila pembuatan Faktur Pajak
Standar yang diterbitkan setelah lewat batas waktu tiga bulan dari batas akhir
pembuatannya tidak dapat dianggap sebagai Faktur Pajak Standar. Dengan begitu,
pembeli yang sudah PKP otomatis tidak dapat mengkreditkan PPN (Pajak
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak
Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar bahwa
PKP yang Faktur Pajaknya tidak lengkap alias cacat dapat menerbitkan Faktur
Pajak Standar Pengganti dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun sejak Faktur
Pajak Standar yang diganti tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap SPT Masa
28
Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit.
38
PPN di mana Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut dilaporkan, belum
dilakukan pemeriksaan dan atas PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang menegaskan
bahwa jangka waktu pembetulan SPT adalah 2 (dua) tahun sepanjang belum
dilakukan pemeriksaan pajak. Hal ini berarti, jangka waktu dua tahun tersebut
tidak bersifat mutlak. Dalam arti apabila sebelum jangka waktu tersebut kepada
Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan pajak, maka haknya untuk melakukan
pembetulan SPT menjadi hilang meskipun jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut
belum terlewati. Dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak adalah bagian dari SPT
disebutkan bahwa Faktur Pajak yang rusak, cacat, atau terdapat kesalahan dalam
pengisian dapat dibatalkan dan diganti dengan Faktur Pajak yang baru sebagai
Faktur Pajak Pengganti oleh PKP Penjual, baik diminta oleh pembeli atau atas
inisiatif PKP Penjual. Dalam hal ini pembetulan kesalahan pengisian atau
mencoret, atau dengan cara lain selain membuat Faktur Pajak Pengganti. Adapun
29
Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 26.
39
Faktur Pajak Standar biasa. Keterangan yang diisikan dalam Faktur Pajak
Pengganti tersebut harus dibubuhi cap yang mencantumkan kode, nomor seri dan
dengan penerbitan Faktur Pajak Standar normal (bukan Faktur Pajak Pengganti).
Dalam penomoran Faktur Pajak Standar normal menggunakan kode status 0 (nol).
Sedangkan untuk Faktur Pajak Pengganti, kode statusnya adalah 1 (satu). Selain
itu, pada Faktur Pajak Pengganti juga harus dibubuhi cap yang mencantumkan
nomor seri, kode dan tanggal Faktur Pajak yang diganti. Faktur Pajak yang diganti
juga harus dilampirkan pada Faktur Pajak Pengganti. Sesuai dengan PER-
159/PJ./2006, cap Faktur Pajak Pengganti tersebut dapat dibuat dengan cara
GAMBAR III.3
30
Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 27.
40
baik bagi PKP Penjual maupun PKP Pembeli. PKP Penjual harus melakukan
pembetulan terhadap SPT Masa PPN di mana FP Standar yang diganti tersebut
dilaporkan. Dalam hal ini FP Standar pengganti harus dilaporkan dalam SPT
Masa PPN masa pajak yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak
Standar yang diganti dengan mencantumkan nilai sesuai dengan yang tercantum
Selain itu Faktur Pajak Pengganti tersebut juga harus dilaporkan pada masa
0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPn BM. Hal ini dilakukan untuk menjaga
urutan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan PKP. Pelaporan Faktur Pajak
Standar pengganti dalam SPT Masa PPN harus mencantumkan Kode dan Nomor
Seri Faktur Pajak Standar yang diganti pada kolom yang telah disediakan baik
timbul karena informasi yang ada dalam Faktur Pajak dilaporkan dalam SPT Masa
PPN. Dengan dilakukannya pembetulan Faktur Pajak, hal ini berarti ada
implikasi dari hal ini, pembetulan Faktur Pajak harus disertai dengan pembetulan
SPT.
Pembetulan SPT Masa PPN ini memang mengikuti pembetulan Faktur Pajak
yang dilakukan. Artinya bahwa pembetulan SPT Masa ini akan bergantung pada
inofrmasi apa yang diubah dalam Faktur Pajak. Apabila pembetulan Faktur Pajak
41
pembetulan karena kesalahan nama, NPWP, atau alamat saja, maka hal ini tidak
akan mengubah materi pajak yang ada dalam SPT Masa PPN.
materi jumlah Dasar Pengenaan Pajak yang memengaruhi besarnya jumlah pajak
terutang, maka hal ini pun pada akhirnya akan menyebabkan berubahnya jumlah
materi pajak yang ada dalam SPT. Dengan berubahnya materi jumlah pajak yang
terutang akibat adanya pembetulan, hal ini bisa menimbulkan sanksi pajak apabila
G. Mekanisme Pengkreditan
Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
dilakukan pemeriksaan.
3. Dalam hal belum ada PK dalam suatu Masa Pajak, maka PM tetap dapat
31
Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 29.
32
Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 129
42
penyerahan BKP/JKP, atau ekspor BKP sehingga Pajak Keluarannya
belum ada (nihil), maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh PKP pada
waktu perolehan BKP, atau penerimaan JKP, atau pemanfaatan JKP dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau impor BKP tetap dapat
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PK lebih besar daripada PM, maka
5. Apabila dalam Suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PM yang dapat dikreditkan lebih besar
dari pada PK, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
7. Apabila dalam Suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
dengan KMK.
43
G.2.Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan
Pasal 9 ayat (8) UU PPN Tahun 2000 ditetapkan bahwa Pajak Masukan
disewakan;
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
e. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutnya berupa Faktur Pajak
Sederhana;
f. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
33
Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 134
44
i. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dengan
Faktur Pajak Standar PT. KTB (PKP) yang menjadi sample untuk dilihat
TABEL III.1
TANGGAL
DATA / KETERANGAN TRANSAKSI KET
24 / 03 / 09 31 / 03 / 09
Nama, alamat dan NPWP PKP
√ √
Penjual BKP/JKP
Nama, alamat dan NPWP
√ √
Pembeli/Penerima BKP/JKP
Jenis barang atau jasa √ √
Jumlah harga jual atau
√ √
penggantian dan potongan harga
PPN yang dipungut √ √
PPn BM yang dipungut √ √
Kode dan nomor seri Faktur Pajak √ √
Tanggal pembuatan Faktur Pajak √ √
Nama, jabatan dan tanda tangan √ √
Cap atau stempel PKP Penjual √ √
Sesuai dengan
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak √ √ ketentuan
Dirjen Pajak
√ Pengisian data sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-159/PJ./2006
45
H.2.Faktur Pajak Masukan
TABEL III.2
TANGGAL
DATA / KETERANGAN TRANSAKSI KET
30 / 03 / 09 31 / 03 / 09
Nama, alamat dan NPWP PKP
√ √
Penjual BKP/JKP
Nama, alamat dan NPWP
√ √
Pembeli/Penerima BKP/JKP
Rincian jenis
Jenis barang atau jasa √ √ BKP
dilampirkan
Jumlah harga jual atau
√ √
penggantian dan potongan harga
PPN yang dipungut √ √
PPn BM yang dipungut √ √
Kode dan nomor seri Faktur Pajak √ √
Tanggal pembuatan Faktur Pajak √ √
Nama, jabatan dan tanda tangan √ √
Cap atau stempel PKP Penjual √ √
Tidak sesuai
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak X X ketentuan
Dirjen Pajak*
* terdapat kolom ”Kuantum” dan ”Harga Satuan”
√ Pengisian data sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-159/PJ./2006
X Pengisian data tidak sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-
159/PJ./2006
46
Penjelasan:
Pada sample Faktur Pajak Penjualan PT. KTB terlihat bahwa tidak
terdapat kekurangan yang dapat membuat Faktur Pajak menjadi cacat. Seluruh
data/keterangan yang tercantum serta bentuk dan ukuran Faktur Pajak telah
sesuai dengan ketentuan UU PPN pada pasal 13 ayat (5) dan peraturan
Tetapi pada Faktur Pajak Masukan yang diterima dari rekanan PT. KTB,
tampak terdapat sedikit berbeda dengan yang dicontohkan oleh Dirjen Pajak.
Yaitu pada bagian jenis BKP/JKP yang tidak dijelaskan pada Faktur Pajak
tetapi hanya dilampirkan. Kemudian yang lagi tidak sama dengan Faktur Pajak
seperti contoh pada gambar III.1 adalah adanya kolom ”kuantum” dan ”harga
Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak
Dalam hal rincian Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak (misalnya
karena jenis barang yang dibeli banyak), maka Pengusaha Kena Pajak dapat
47
a. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak
tersebut dibuat lebih dari satu Faktur Pajak yang masing-masing Faktur
b. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena
terpisahkan.
Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak, diisi dengan nama BKP/JKP yang
a. Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin atau Cicilan, kolom Barang
perolehan JKP.
keterangan jumlah unit dan harga per unit dari BKP yang
diserahkan.
48
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan seputar Faktur Pajak Standar pada bab tiga di atas, maka
dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 dan Peraturan
c. Sanksi administrasi atas Faktur Pajak yang cacat tersebut bagi PKP yang
membuat Faktur Pajak berupa denda sebesar 2% dari DPP yang tercantum
49
pada Faktur Pajak yang bersangkutan. Sedangkan dampak bagi PKP yang
d. Terhadap Faktur Pajak yang cacat tersebut, dapat diterbitkan Faktur Pajak
SPT Masa PPN di mana Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut
e. Implikasi pada SPT Masa PPN atas penggantian Faktur Pajak tersebut
Standar yang diganti tersebut dilaporkan, baik bagi PKP yang melakukan
Standar pengganti harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN masa pajak
yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang
2. Terhadap Faktur Pajak Standar (Keluaran dan Masukan) PT. KTB, dapat
secara umum telah memenuhi ketentuan Dirjen Pajak yang tertuang pada
PER-159/PJ./2006.
50
b. Mengenai perbedaan yang terdapat pada Faktur Pajak Masukan, yaitu
adanya rincian jenis BKP/JKP yang dilampirkan serta bentuk dan ukuran
Faktur Pajak yang tidak sama dengan standar Dirjen Pajak, berdasarkan
Faktur Pajak tersebut tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran PT.
c. Dengan demikian, karena Faktur Pajak PT. KTB bukan merupakan Faktur
Pajak cacat maka tidak ada pengenaan sanksi atas PT. KTB, tidak perlu
B. Saran
Standar sehingga tidak akan dikategorikan sebagai ”Faktur Pajak Cacat” yang
nantinya juga berdampak pada SPT Masa PPN, bagi PKP yang melakukan
berikut:
51
c. Teliti kembali Faktur Pajak yang telah diterbitkan sebelum diberikan
perusahaan yang menjadi klien. Karena pada beberapa kasus seperti telah
dijelaskan pada subbab sebelumnya (bab I), bahwa Faktur Pajak yang tidak
sesuai dengan Standar atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan contoh dari
hanya low risk. Sekali lagi hal yang remeh temeh tersebut tidak boleh
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Rosdiana, Haula, Pajak Pertambahan Nilai Teori dan Aplikasi, Pusat Kajian Ilmu
Administrasi FISIP UI.
Peraturan Perundang-Undangan:
Sumber Lainnya:
Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 1)”, Indonesian
Tax Review, Vol. IV, Edisi 03, 2004.
Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 2)”, Indonesian
Tax Review, Vol. IV, Edisi 04, 2004.
Tim Indonesian Tax Review, ”Tips Bagi Pembeli – Dilema Seorang Pembeli”,
Indonesian Tax Review, Vol. I, Edisi 12, 2005.
53
Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 2)”, Indonesian
Tax Review, Vol. IV, Edisi 06, 2005.
Tim Indonesian Tax Review, ”Faktur Pajak: Yang Salah Harus Diperbaiki”,
Indonesian Tax Review, Vol. VI, Edisi 33, 2007.
”PER-159/PJ./2006”, www.mucglobal.com.
54
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
indahwulanti@yahoo.co.id
Ibu : Waltini
Prestasi:
x
Perpajakan (HMPS) FISIP UI
2007 Staf Departemen Kajian & Aksi Strategis,
BEM FISIP UI
2008 Kepala Divisi Kajian dan Media, SCALA
Institute
2008 Anggota, CEDS UI
2008 Koord. Bidang 1, Himpunan Mahasiswa
Perpajakan (HMPS) FISIP UI
2009 Kepala Divisi Kajian, SCALA Institute
2009 Kepala Divisi Pengembangan
Masyarakat, SCALA Foundation
xi
Lampiran 1
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 159/PJ./2006
Menimbang :
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
128,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4199);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
(1) Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan
Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2000.
(2) Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dibuat sebagaimana contoh pada Lampiran 1A dan Lampiran 1B Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 4
(1) Pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2) Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang
peruntukannya masing-masing sebagai berikut :
a. Lembar ke-1, disampaikan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima
Jasa Kena Pajak
b. Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak
Standar.
(3) Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka harus dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam
lembar Faktur Pajak Standar yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Keterangan dalam Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas dan benar,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, serta ditandatangani oleh
pejabat/kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya.
(2) Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak
ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak Cacat
yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
(3) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak.
(4) Tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak Standar sebagaimana diatur
dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
(1) Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan
menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana ditetapkan pada
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. 2 (dua) digit Kode Transaksi;
b. 1 (satu) digit Kode Status; dan
c. 3 (tiga) digit Kode Cabang.
(3) Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan
b. 8 (delapan) digit Nomor Urut.
Pasal 7
(1) Penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut :
a. bagi Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor
Pelayanan Pajak yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM), namun :
a.1. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor
Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau
a.2. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan
sebagaiPenyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai
Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau
mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor;
Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar ditentukan sendiri secara berurutan, yaitu
diisi dengan kode '000' untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode '001' untuk Kantor
Cabang; atau
b. bagi Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar
diisi dengan kode '000'.
(2) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas Kode Cabang yang digunakan
beserta keterangan dari Kode Cabang tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur
Pajak Standar diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran IVA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
melakukan penambahan dan/atau pengurangan terhadap Kantor-kantor Cabang-nya.
(4) Atas penambahan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus melakukan
penambahan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar.
(5) Atas pengurangan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus menghentikan
penggunaan Kode Cabang Faktur Pajak Standar atas Kantor Cabang tersebut.
(6) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak
diperbolehkan mengubah peruntukan Kode Cabang yang telah digunakan atau
menggunakan Kode Cabang yang sudah dihentikan penggunaannya.
(7) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas penambahan dan/atau
penghentian penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur
Pajak Standar diterbitkan dan/atau 1 (satu) bulan sesudah pengurangan Kantor
Cabang, dengan menggunakan Formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
IVB Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(8) Dalam hal :
a. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak atau
terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (7), maka Faktur Pajak
Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan
Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
b. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan Kode Cabang selain
dari Kode Cabang yang telah ditetapkan, maka Faktur Pajak Standar tersebut
merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 8
(1) Nomor Urut pada Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) huruf b dan tanggal Faktur Pajak Standar harus dibuat secara
berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak
Standar dan mata uang yang digunakan.
(2) Penerbitan Faktur Pajak Standar dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) pada setiap awal
tahun takwim mulai bulan Januari, kecuali bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru
dikukuhkan, Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak
tersebut dikukuhkan.
(3) Dalam hal Faktur Pajak Standar diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, maka Nomor Urut 1 (satu)
dimulai pada setiap awal tahun takwim bulan Januari pada masing-masing Kantor
Pusat dan Kantor-kantor Cabangnya kecuali bagi Kantor Cabang yang baru
dikukuhkan, Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak
tersebut dikukuhkan.
(4) Dalam hal sebelum bulan Januari awal tahun takwim berikutnya, Nomor Urut pada
Faktur Pajak Standar yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak telah mencapai
Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh
sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan), maka Pengusaha Kena
Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak Standar yang Nomor Urut-nya dimulai lagi dari
Nomor Urut 1 (satu).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku pula bagi Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a yang Nomor Urut pada
Faktur Pajak Standar-nya di Kantor Pusat atau di Kantor-Kantor Cabangnya telah
mencapai Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan).
(6) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak
terutang dilakukan, paling lambat pada saat Faktur Pajak Standar dengan Nomor
urut 1 (satu) tersebut diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan DirekturJenderal Pajak ini.
(7) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus
menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 1
(satu) pada awal tahun takwim berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3).
(8) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak pada awal tahun takwim bulan Januari atau bagi
Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan pada Masa Pajak Pengusaha Kena
Pajak tersebut dikukuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menerbitkan
Faktur Pajak Standar tidak dimulai dari Nomor Urut 1 (satu), maka Faktur Pajak yang
diterbitkan merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2).
(9) Ketentuan pada ayat (8) berlaku pula bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(10)Dalam hal sebelum Masa Pajak Januari tahun berikutnya Pengusaha Kena Pajak
menerbitkan Faktur Pajak Standar mulai dari Nomor Urut 1 (satu) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), namun Pengusaha Kena Pajak tidak atau
terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang
dilakukan, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan Masa Pajak
Desember atau sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak
Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 9
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama
pejabat yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh
tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat
pejabat yang berhak menandatangani mulai menandatangani Faktur Pajak Standar
dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIA
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Pengusaha Kena Pajak dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) orang Pejabat untuk
menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur
organisasi, memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur
Pajak Standar, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis nama kuasa yang berhak menandatangani Faktur
Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pihak yang diberi kuasa mulai
menandatangani Faktur Pajak Standar, dengan menggunakan formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran VIA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dan
menyertakan Surat Kuasa Khusus dengan menggunakan formulir sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Dalam hal terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani
Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), maka
Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas
perubahan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat
pejabat atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dengan
menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIB Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang,
maka pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula pejabat di tempat-
tempat kegiatan usaha yang dipusatkan, yang ditunjuk oleh Kantor Pusat untuk
menandatangani Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh tempat pemusatan pajak
terutang yang dicetak di tempat-tempat kegiatan usaha masing-masing.
(6) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan
pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena
Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), maka Faktur Pajak Standar yang
diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak
Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 10
Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur
Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, dan pengisiannya sesuai
dengan tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak Standar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), dipersamakan dengan Faktur Pajak Standar.
Pasal 11
(1) Atas Faktur Pajak Standar yang cacat, rusak salah dalam pengisian, atau salah
dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar,
Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar tersebut dapat
menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti yang tata caranya diatur dalam
Lampiran VIII huruf A Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Atas Faktur Pajak Standar yang hilang, baik Pengusaha Kena Pajak yang
menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak Standar tersebut dapat
membuat copy dari arsip Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam
Lampiran VIII huruf B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya telah diterbitkan, maka
Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar harus melakukan
pembatalan Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf
C Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 12
(1) Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) atau pembatalan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (3), hanya dapat dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak
Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang
diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum
dibebankan sebagai biaya.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti
dan/atau pembatalan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembetulan terhadap
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana
Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan.
(3) Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang telah
melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur
Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual,
harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut
dilaporkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan belum
dilakukan pemeriksaan.
Pasal 13
(1) Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, adalah bukan merupakan Faktur Pajak Standar.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak Standar.
Pasal 14
(1) Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 dalam hal :
a. menerbitkkan Faktur Pajak Standar yang tidak memuat keterangan dan/atau
tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh
Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk
menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2).
b. Menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1).
(2) Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak Standar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan
Nilai yang tercantum di dalamnya.
Pasal 15
(1) Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan
sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, namun Faktur Pajak
Standar-nya belum diterbitkan, maka Faktur Pajak Standar harus diterbitkan dengan
menggunakan Kode dan Nomor Seri sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak
Standar-nya diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
yang masih menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang lama, namun
Faktur Pajak Standar-nya diterima dan/atau dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak
Pembeli setelah berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Pajak
Pertambahan Nilai yang tercantum pada Faktur Pajak Standar tetap dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran sepanjang memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(3) Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti atas Faktur Pajak Standar yang telah
diterbitkan sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, menggunakan
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang ditetapkan dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b
yang melakukan pemusatan tempat pajak terutang yang keputusan pemusatannya
diberikan sebelum Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku, namun :
a. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat
dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau
b. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai
Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di
Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; maka pengisian Kode Cabang pada Kode
Faktur Pajak Standar dilakukan sama dengan pengisian Kode Cabang pada
Kode Faktur Pajak Standar yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, sampai dengan
berakhirnya masa berlaku pemusatan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai pemusatan tempat pajak terutang.
(5) Untuk pertama kali sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis Kode
Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar yang akan digunakan dan nama pejabat
atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar disertai
dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), paling lambat pada
tanggal 20 Januari 2007.
(6) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan
penggunaan Kode Cabang dan/atau pejabat atau kuasa yang ditunjuk
menandatangani Faktur Pajak Standar kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya
pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2).
Pasal 16
(1) Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku :
a. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 tentang Saat
Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata
Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ./2005; dan
b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-424/PJ./2002 tentang Penerbitan
dan Pengkreditan Faktur Pajak yang Dibuat Tidak Tepat Waktu; dinyatakan tidak
berlaku.
(2) Ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang Faktur Pajak Standar sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dinyatakan tetap
berlaku.
Pasal 17
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk penerbitan Faktur Pajak mulai
Masa Pajak Januari
2007.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2006
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
Lampiran 2
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 143 TAHUN 2000 TANGGAL 22 DESEMBER 2000
TENTANG
PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000
Menimbang :
bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 8
TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang nomor 18 TAHUN 2000;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3984);
3. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor
18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8
TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA
KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Undang-undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang nomor 18 TAHUN 2000.
2. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
3. Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
4. Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan
bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah
jadi, dan atau persediaan barang jadi.
5. Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut :
a. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran
seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung
kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan yang dilakukan dari
rumah ke rumah; dan
b. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan
secara eceran tersebut; dan
c. melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan
penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada
umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat
penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang
dibelinya.
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2
(1) Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak,
termasuk dalam pengertian Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang
PPN, adalah Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor
Barang Kena Pajak.
(2) Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak,
termasuk dalam pengertian bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 13 Undang-undang PPN, adalah bentuk kerjasama operasi.
(3) Saat pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000.
BAB III
IMPOR BARANG KENA PAJAK
Pasal 3
Atas impor Barang Kena Pajak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan
Pabean dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, Pajak yang terutang tetap dipungut
kecuali ditetapkan lain berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK
Pasal 4
(1) Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung
Pajak yang terutang.
(2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan
oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah,
Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah tersebut.
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan
oleh Pengusaha Kena Pajak selain pengusaha yang menghasilkan Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas
perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 5
(1) Dalam kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau Jasa Kena Pajak, harus disebutkan dengan jelas nilainya, Dasar
Pengenaan Pajak, dan besarnya Pajak yang terutang.
(2) Apabila dalam nilai kontrak atau perjanjian tertulis telah termasuk Pajak, maka
wajib disebutkan dengan jelas bahwa dalam nilai tersebut telah termasuk Pajak.
(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak
dipenuhi, maka jumlah harga yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian
tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 6
(1) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai telah menjadi bagian dari harga atau
pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa
Kena Pajak, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 dari
harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian
dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, maka cara
penghitungan Pajaknya adalah sebagai berikut:
a. Pajak Pertambahan Nilai =
10
----------- X harga atau pembayaran atas penyerahan
110 + t Barang Kena Pajak
b. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah =
t
----------- X harga atau pembayaran atas penyerahan
110 + t Barang Kena Pajak
t = besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Pengusaha Kena Pajak tidak
atau tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban pemungutan Pajak, maka
besarnya Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, atau
Penggantian, atau Nilai Lain sesuai hasil pemeriksaan, sehingga besarnya Pajak
yang terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak
menurut hasil pemeriksaan.
(4) Pengusaha yang seharusnya melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka
besarnya Pajak yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3).
Pasal 7
(1) Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang
telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena
Pajak pemberi jasa, dan tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang
telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha
Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa.
(2) Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat
digunakan lagi baik karena bencana alam ataupun sebab lain di luar kekuasaan
Pengusaha Kena Pajak, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang
telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan
Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut.
(3) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak yang
dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut dan
Pajak yang salah dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka
Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak tersebut tidak dapat meminta
kembali Pajak yang salah dipungut tersebut.
(4) Pajak yang salah dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diminta
kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan atau belum
dibebankan sebagai biaya.
(5) Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah importir,
pembeli barang, penerima jasa, atau pihak yang memanfaatkan barang tidak
berwujud atau jasa dari luar Daerah Pabean.
Pasal 8
(1) Atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Harga Jual.
(2) Atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan
persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, serta atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, Dasar
Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 9
(1) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung Pajak yang
terutang dapat memilih Nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai
Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang memilih menggunakan Nilai Lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan,
atas penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang tidak memilih menggunakan
Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat
penjualan, maka penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan
tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 10
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 11
(1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan
mempergunakan mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang
terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan
kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan
Faktur Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran atau Harga JuaI atau Penggantian yang dilakukan
sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang PPN
mempergunakan mata uang asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus
dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang
berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
BAB VI
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Pasal 12
(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas
perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan
tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.
BAB VII
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
Pasal 13
(1) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut
sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena
Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga
untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut
diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.
(2) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut
sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan
hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik
secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
(3) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh
Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari
peristiwa-peristiwa di bawah ini :
a. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan
sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;
b. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh
Pengusaha Kena Pajak;
c. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima
pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena
Pajak; atau
d. saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena
Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai
dengan huruf c tidak diketahui.
(4) Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai
tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian
atau seluruhnya.
(5) Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang
Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(6) Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang
Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(7) Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan dan atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih
dahulu di antara saat :
a. ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; atau
b. berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam
Anggaran Dasar; atau
c. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan;
atau
d. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak
melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil
pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
(8) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka
perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pemekaran usaha atau
pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang
berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat ditandatanganinya
akte yang berkenaan oleh Notaris.
Pasal 14
(1) Tempat Pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena
Pajak di dalam Daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan
dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan
atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Tempat Pajak terutang atas:
a. Impor Barang Kena Pajak, adalah di tempat Barang Kena Pajak
dimasukkan ke dalam Daerah Pabean;
b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean adalah di tempat tinggal orang pribadi
atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan
tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau
badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak;
c. Kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau oleh
bukan Pengusaha Kena Pajak, adalah di tempat bangunan tersebut
didirikan.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat Pajak terutang atas
ekspor Barang Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena
Pajak ataupun secara jabatan.
Pasal 15
(1) Setiap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak.
(2) Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan
dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur
JenderaI Pajak.
(3) Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit
memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-
undang PPN, yaitu :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau penggantian, dan
potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur
Pajak.
(4) Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan
ketentuan dalam ayat (2) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak Standar.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berlaku
sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan mengenai:
1. Jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; dan
2. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah
ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 19
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 50
TAHUN 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3581), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah nomor 59 TAHUN 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 113) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 22 Desember 2000
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2000
Menimbang :
bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi Wajib Pajak serta
dalam rangka sinkronisasi peraturan perundangan-undangan perpajakan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor
18 TAHUN 2000;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3984);
3. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor
18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4061);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang
nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH
BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN
2000.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 5 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.
2. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
4. Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku,
persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses,
persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi.
5. Dihapus."
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung Pajak yang terutang.
(2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau
atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah tersebut."
3. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
dapat dihitung dengan menggunakan norma penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(2) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu,
dalam menghitung Pajak yang terutang, dapat memilih menggunakan
Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan."
4. Ketentuan Pasal 12 ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3), sehingga keseluruhan
Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 12
(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat
Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak
ataupun secara jabatan.
(3) Apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang telah dibukukan atau dicatat
dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak, namun Faktur Pajaknya
belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak
yang bersangkutan, maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum
atau terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak
yang bersangkutan."
5. Ketentuan Pasal 13 ayat (8) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 13
(1) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang
menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat
Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada
pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat
Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau
Pengusaha jasa angkutan.
(2) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang
menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada
saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena
Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak
pembeli.
(3) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud
oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu
dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;
b saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud
ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;
c. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud
diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh
Pengusaha Kena Pajak; atau
d. saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha
Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf
a sampai dengan huruf c tidak diketahui.
(4) Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat
mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata,
baik sebagian atau seluruhnya.
(5) Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat
Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(6) Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat
Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(7) Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan dan/atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat
terjadi lebih dahulu diantara saat:
a. ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris;
b. berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan
dalam Anggaran Dasar;
c. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan
dibubarkan; atau
d. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah
tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan,
berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau
dokumen yang ada.
(8) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka
perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau
pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan
pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat
yang disepakati atau ditetapkan sesuai hasil Rapat Umum Pemegang
Saham yang tertuang dalam perjanjian perubahan bentuk usaha,
penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva
perusahaan tersebut."
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Mei 2002
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 Mei 2002
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang nomor
8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor
18 TAHUN 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara
Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar
Daerah Pabean;
Mengingat :
1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3986);
3. Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4061);
4. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN,
PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN ATAU JASA
KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN.
Pasal 1
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dihitung
dengan cara sebagai berikut :
a. 10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau
Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai; atau
b. 10/110 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau
Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut sudah termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
(2) Dalam hal tidak diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau meskipun diketemukan
adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan
bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan
Nilai, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10%
(sepuluh persen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya
dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
Pasal 2
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dipungut
oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
tersebut.
Pasal 3
(1) Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah
ini:
a. saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
b. saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa
Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang
memanfaatkannya;
c. saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian
Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
d. saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa
Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak
yang memanfaatkannya;
(2) Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan
atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah
tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
harus disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank
Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya
pemungutan.
(2) Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan
penyetoran.
Pasal 5
(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai
laporan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
(2) Bagi orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib
melaporkan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) dengan mempergunakan lembar
ketiga bukti setoran Pajak ke Kas Negara paling lambat pada tanggal 20 bulan
penyetoran ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut.
Pasal 6
Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini
diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 7
Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 597/KMK.04/1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan
Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 26 Desember 2000