Anda di halaman 1dari 2

Janji Buat Ayah

dakwatuna.com - Di rumahnya Ahmad hanya sebatas kepala rumah tangga biasa layaknya seorang suami yang
lain, tapi Ia tidak memiliki yang di miliki oleh orang lain. Susahnya mencari pekerjaan dan sulitnya
mendapatkan penghasilan yang pasti membuat perekonomian keluarganya semakin terbengkalai. Sementara
Faiz anaknya yang masih duduk di sekolah menengah terpaksa harus mogok sekolah karena tidak mempunyai
sepatu yang layak di pakai untuk sekolah, setiap masuk kelas Ia harus menerima gunjingan dan ocehan teman
sekelasnya yang melihat sepatunya seperti mulut buaya yang menganga, seminggu sudah Faiz berada di rumah
Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar hanya untuk menyendiri meratapi nasib yang di derita oleh
keluarganya.
Ahmad pun tak bisa tinggal diam melihat kehidupan keluarganya yang semakin tak karuan tapi, di sisi lain Ia
juga harus menyadari kalau dirinya hanyalah seorang kepala rumah tangga yang kerjanya hanya sebagai penjual
rokok di pinggir jalan bagaimana mungkin kehidupan keluarganya akan tercukupi dengan penghasilan yang tak
menentu. Jangankan untuk memberi mereka makan, untuk mengganjal perutnya sendiri ketika sedang berjualan
saja Ia harus memasukkan sebotol air kran ke dalam perutnya. Bahkan terkadang Ia harus mengganti laparnya
dengan puasa agar Ia bisa lebih sabar dalam menerima cobaan dan ujian dari Tuhannya.
Setiap hari Ahmad harus bangun pagi menggendong tempat rokok yang dibuat dari kayu dan pulang agak larut
malam dengan membawa penghasilan yang tak seberapa, seandainya tak ada iman yang kuat dan kesabaran di
dalam hatinya mungkin Ia sudah frustasi karena beratnya menanggung kehidupan keluarga dan sulitnya
mencari nafkah buat mereka. Kesabarannya yang terpancar dari raut wajahnya yang tenang membuat Faiz
semakin sadar dalam menyikapi kehidupan yang penuh dengan cobaan dan ujian ini. Keamanahannya sebagai
kepala rumah tangga yang terus tercermin dalam kehidupan kesehariannya yaitu dengan terus berusaha
memberikan yang terbaik buat keluarganya meskipun kemiskinan terus menghimpitnya menjadikan semangat
dan tekad Faiz bangkit kembali. Tapi, Ia belum Tahu kapan Ia bisa meminta maaf kepada ayahnya karena telah
lama tidak masuk sekolah.
Suatu ketika Ahmad pulang dengan membawa barang dagangannya di tengah terik panasnya matahari. Faiz
yang dari tadi melamun di kamar tersentak mendengar ketukan pintu dari luar, Ia pun segera bergegas
membuka pintu untuk ayahnya. Melihat jalannya yang sempoyongan dan keringnya bibir yang terlihat dari raut
wajahnya menarik perhatian Faiz untuk menanyakan keadaannya yang tidak seperti biasanya.
Ayah sakit yah?? Kok tumben jam segini sudah pulang, biasanya kan ayah pulang agak larut malam. Tanya
Faiz dengan polos .
Ayah gak papa kok hanya kurang enak badan dan sedikit capek saja, paling besok juga sudah sembuh
ucapnya dengan bijak agar anaknya tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan dirinya, padahal sebetulnya
penyakit yang Ia derita sudah cukup lama namun Ia tidak menceritakan sedikit pun kepada keluarganya karena
Ia takut akan menambah kesedihan bagi mereka.
Faiz sudah makan? tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan sambil meletakkan barang dagangannya.
Sudah ayah, tadi pagi Ibu menyiapkan makanan di atas meja makan, sebaiknya ayah istirahat aja dulu biar
saya ambilkan air putih buat ayah, Faiz bergegas ke dapur mengambil segelas air putih untuk membasahi
tenggorokan ayahnya yang kering kerontang.
Terima kasih nak, tinggalkan saja sisa airnya itu di atas meja dan biarkan ayah istirahat dulu di kamar
ucapnya setelah meneguk separuh dari air yang di bawakan oleh Faiz.
Baik ayah, semoga ayah baik-baik saja dan kesehatannya cepat pulih kembali. Faiz pun segera
melangkahkan kakinya keluar setelah menaruh gelas tersebut di atas meja.
Di tengah langkahnya yang penuh dengan cemas dan khawatir akan kesehatan ayahnya Ia teringat sebuah janji
yang telah terucap di dalam hatinya. Ia berjanji akan meminta maaf langsung kepada ayahnya sepulangnya dari
jualan rokok. Kini Ia sadar kalau jalan yang Ia pilih itu keliru, dengan mogok sekolah sebetulnya malah
membuat ayah dan ibunya semakin sedih. Kesadarannya yang terus muncul membuatnya bangkit untuk terus
bersekolah meski harus memakai sepatu yang sudah terbelah dua dan menganga, yang terpenting masa
depannya bisa lebih baik serta mampu membahagiakan kedua orang tuanya yang selama ini menjadi tulang
punggungnya.
Ia pun akhirnya kembali menemui ayahnya yang sedang berbaring di atas kasur, melihat raut wajah ayahnya
yang semakin mengkirut dan matanya yang tertutup nyaris mengurungkan niatannya.
Ah ayah pasti belum tidur, paling baru memejamkan mata doang gumamnya dalam hati mengusir
keraguannya.
Yah maaf ganggu sebentar karena ada sesuatu yang ingin aku sampaikan melihat ayahnya yang terus
menutupkan matanya Ia semakin mendekat dan penasaran.
Tangannya mencoba menggerakkan tubuhnya sambil memanggil-manggil namanya namun tetap saja ayahnya
membisu dan memejamkan matanya Ayaaaaah..!!! Ia berteriak penuh histeris setelah tahu ternyata
ayahnya telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Ia sangat menyesal atas perbuatannya selama ini, seandainya Tuhan ketika itu memberikan ribuan permintaan
untuknya maka pertama kali yang dipinta adalah agar Tuhan berkenan menghidupkan kembali ayahnya supaya
Ia bisa meminta maaf kepadanya dan di berinya umur yang panjang agar bisa tersenyum melihat anaknya
sukses dan mampu membahagiakan kedua orang tuanya. Namun sayang nasi sudah menjadi bubur yang ada
sekarang adalah rasa penyesalan yang dalam. Kini Ia hanya bisa berserah diri dan pasrah pada Dzat yang maha
pengasih dan penyayang.
Apapun yang terjadi dalam hidup ini kita harus sabar menghadapinya dan selalu bersyukur sebagai bentuk
keimanan kita kepada Allah Swt. Semoga Faiz tetap tegar serta di beri kesabaran dalam mengarungi hidupnya
dan kita yang masih diberi kesehatan dan kenikmatan lainnya bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya
karena waktu yang kita lewati tidak akan kembali lagi.

Anda mungkin juga menyukai