Anda di halaman 1dari 5

A.

Analisis Hukum Berdasarkan Filosofis Indonesia


Perkembangan hukum nasional harus diarahkan menjadi falsafah hukum Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara yang juga merupakan dasar falsafah hukum nasional
mempunyai sifat imperatif yang tidak saja dijadikan dasar dan arah pengembangan falsafah
hukum nasional, melainkan sekaligus juga menjadi acuan dalam penyusunan, membina dan
mengembangkan falsafah hukum yang konsisten dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu
sendiri.
Sehubungan dengan itu, maka Pancasila harus dikembangkan agar mampu
menunjukkan nilai-nilai yang aktual dan relevan dengan kemajuan dan mengarahkan
kemajuan itu sesuai dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Untuk itu, Pancasila harus tetap terbuka , tidak dipahami secara doktriner dan dogmatis tanpa
kehilangan substansi falsafahnya ditafsirkan secara kreatif dan dinamis dalam perspektif ke
masa kini dan masa depan yang bersifat progresif.
Dalam hubungan dengan perkembangan filsafat hukum nasional, perlu dikembangkan
yaitu suatu masyarakat akademik yang mau dan mampu menuju ke dalam masalah-masalah
yang bersifat falsafati untuk bersikap kritis, radikal, kreatif, dan eksploratif. Dalam suasana
yang demikian, maka nilai-nilai falsafati universal perlu digali untuk menentukan unsur-
unsur yang relevan bagi sumber hukum pada umumnya dan falsafah hukum pada
khususnya. Untuk itu, perlu dikembangkan kondisi yang makin kondusif untuk
mengembangkan falsafah hukum Pancasila tersebut.
Sistem hukum nasional yang juga merupakan sistem hukum Pancasila harus
merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila Pancasila secara keseluruhan. Mengenai asas
persamaan kedudukan di muka hukum ada yang melihat bahwa pembinaan perlakuan yang
sama dalam kondisi yang berbeda adalah sebuah ketidakadilan, sehingga untuk hal-hal
tertentu adanya berbagais tudi masih sangat diperlukan. Hukum dan kekuasaan dalam
kenyataan masih sering tidak saling melengkapi antara satu dengan yang lain.

Usaha pengembangan falsafah hukum nasional di Indonesia bertumpu kepada 3 konsep dasar,
yaitu:
a. Pemahaman hukum yang bersifat normatif sosiologis yang melihat hukum tidak hanya
sekumpulan kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat, tetapi juga
meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum
itu. Sejalan dengan konsep tersebut maka fungsi hukum dalam masyarakat adalah untuk
terwujudnya ketertiban dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah
peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan
modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh.
b. Tujuan hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan bernegara
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang sekaligus juga merupakan
perwujudan sila-sila Pancasila.
c. Cita-cita falsafah yang telah dirumuskan oleh para pendiri Kenegaraan dalam Konsep
Indonesia adalah Negara Hukum dan setiap orang sama di depan hukum, mengandung arti:
1) Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum menentukan bahwa dalam hubungan
antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik
yang berkesinambungan.
2) Persamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum menentukan bahwa hukum tidak
membeda-bedakan antara orang berdasarkan status, sosial, kekuasaan, agama, atau keturunan.
Setiap orang mendapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan bantuan dan melakukan
pembelaan di muka pengadilan.
Dalam pengembangan hukum dan ilmu hukum, falsafah hukum mempunyai peranan
penting dalam memberikan dasar dan arahan melalui aspek-aspek:
a. Ontologi, meliputi permasalahan apa hakekat ilmu, apa hakekat kebenaran, dan kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan.
b. Epistemologi, meliputi berbagai sarana dan tata cara dan sumber pengetahuan untuk
mencapai kebenaran atau kenyataan.
c. Aksiologi, meliputi nilai-nilai normatif parameter bagi apa yang disebut kebenaran atau
kenyataan dalam konteks dunia simbolik, dan sebagainya.
Pancasila sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada
esensinya adalah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu sebagai anggota
masyarakat untuk pembentukan pola perilaku sebagaimana tercermin dalam masing-masing
kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai bangsa Indonesia dan warga negara. Pancasila
dengan dimensinya pada hakekatnya selaras dengan aliran dalam filsafat hukum, yaitu
Sociological Jurisprudence, sebagaimana keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila
yang bertujuan menciptakan harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban
sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat dapat
terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan terdapat 3 kepentingan
hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:

a. Kepentingan Umum.
b. Kepentingan Masyarakat.
c. Kepentingan Individu.

B. Aliran yang dianut Indonesia
Aliran hukum
Dalam praktik peradilan terdapat beberapa aliran hukum yang mempunyai pengaruh luas bagi
pengelolaan hukum dan proses peradilan. Aliran hukum yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Aliran legisme
2. Aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtsschule
3. Aliran rechtsvinding (penemuan hukum)
1. Aliran legisme
Cara pandang aliran legisme adalah bahwa semua hukum terdapat dalam undang-undang.
Maksudnya diluar undang-undang tidak ada hukum. Dengan demikian, hakim dalam
melaksanakan tugasnya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka, dengan cara
yuridische sylogisme, yakni suatu deduksi logis dari perumusan yang umum (preposisi
mayor) kepada suatu keadaan yang khusus (preposisi minor), sehingga sampai kepada suatu
kesimpulan (konklusi).
Sebagai contoh:
a. Siapa saja karena salahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun (preposisi mayor).
b. Si Ahmad karena salahnya menyebabkan matinya orang (preposisi minor).
c. Si Ahmad dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (konklusi).
Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan dapat diselesaikan dengan
undang-undang. Oleh karena itu, mengenai hukum yang primer adalah pengetahuan tentang
undang-undang, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah sekunder.
2. Aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtschule
Pandangan Aliran freie rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule berbeda cara pandang
dengan aliran legisme. Aliran ini beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya,
seorang hakim bebas untuk melakukan sesuatu menurut undang-undang atau tidak. Hal ini
dikarenakan pekerjaan hakim adalah menciptakan hukum. Aliran ini beranggapan bahwa
hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusan yang
berdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Oleh karena itu, memahami yurisprudensi
merupakan hal primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan
hal yang sekunder.
Tujuan daripada freie rechtslehre menurut R. Soeroso adalah sebagai berikut:
Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara member kebebasan kepada hakim tanpa
terikat pada undang-undang, tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari.
Membuktikan bahwa dalam undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan dan
kekurangan itu perlu dilengkapi.
Mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasarkan kepada rechts ide (cita
keadilan)
3. Aliran rechtsvinding (penemuan hukum)
Sedangkan aliran rechtsvinding adalah suatu aliran yang berada di antara aliran legisme dan
aliran freie rechtslehre/rechtsbewegung/rechtsschule. Aliran ini berpendapat bahwa hakim
terikat pada undang-undang, tetapi tidak seketat sebagaimana pendapat aliran legisme, sebab
hakim juga mempunyai kebebasan.
Dalam hal ini, kebebasan hakim tidaklah seperti pendapat freie rechtsbewegung, sehingga
hakim di dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kebebasan yang terikat. (gebonden
vrijheid), atau keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Jadi tugas hakim merupakan
melakukan rechtsvinding, yakni menyelaraskan undang-undang yang mempunyai arti luas.
Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas terbukti dari adanya beberapa
kewenangan hakim, seperti penafsiran undang-undang, menentukan komposisi yang terdiri
dari analogi dan membuat pengkhususan dari suatu asas undang-undang yang mempunyai
arti luas.
Menurut aliran rechtsvinding bahwa yurisprudensi sangat penting untuk dipelajari di samping
undang-undang, karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang konkret
diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak ditemui dalam kaedah yang terdapat dalam
undang-undang. Dengan demikian memahami hukum dalam perundang-undangan saja, tanpa
mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap, Namun demikian, hakim tidaklah mutlak terikat
dengan yurisprudensi seperti di negara Anglo Saxon, yakni bahwa hakim secara mutlak
mengikuti yurisprudensi.
C. Hukum di Indonesia Seharusnya Menggunakan Aliran Rechtsvinding
Aliran yang seharusnya berlaku di Indonesia adalah aliran rechtsvinding, yang mana hakim
dalam memutuskan suatu perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang
berlaku di dalam masyarakat secara kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid) dan
keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Tindakan hakim tersebut berdasarkan pada
pasal 20,22 AB dan Pasal 16 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Pasal 20 AB mengatakan bahwa:
Hakim harus mengadili berdasakan undang-undang
Pasal 22 AB mengatakan bahwa:
Hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak
jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi:
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai