Anda di halaman 1dari 14

DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP

PEREMPUAN DI KABUPATEN PONOROGO


Miftahul Huda*
Abstract
It is very clear that serious problems that happen in domestic space has opened our
eyes about domestic violence. On one hand, family has a role as the source of
affection, happiness, and comfort for everybody who lives in it. On the other hand,
the facts show us a great number of evidences of domestic violence that victimize
wives. The sociological approach helps us to know more about the causes of
domestic violence, such as forced marriage. It brings about some consequences,
i.e., an unhealthy sexual relationship between husband and wife., physical,
psychological and economic violence, depression, isolation from society, and
economic dependence. Another serious implication is abuse of woman's
reproduction rights that can destruct family relationship.
Key Word : domestic violence, depression, woman's reproduction rights, nervous,
arranged marriage.
A. Pendahuluan
Fakta dewasa ini telah menggambarkan bahwa banyak terjadi kekerasan
dalam keluarga baik antar pasangan suami istri, anak dengan orang tua ataupun
dengan para pembantu dan orang-orang yang berada dalam rumah tangga.
Munculnya kekerasan dalam rumah tangga digunakan di banyak negara di dunia
untuk merujuk pada pengertian kekerasan terhadap perempuan oleh pasangan
intimnya yang sekarang atau mantan pasangan intimnya ( Nohnson, 1995).
Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia
terparah. Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah yang serius
dalam bidang kesehatan karena melemahkan energi perempuan, mengikis
kesehatan fisik dan harga dirinya.
93
* Miftahul Huda, M.Ag. adalah Penggiat PSW dan Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Ponorogo.
Fakta yang biasa muncul dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti
pemukulan, melukai menganiaya bahkan sampai membunuh. Begitu juga data dari
Rifka Annisa yang menunjukkan bahwa mayoritas besar adalah adanya kekerasan
dalam rumah tangga akibat pasangan yang melakukan kekerasan khususnya pada
istri (Nur Hayati, 2002).
Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Yang
dimaksud dengan lingkup rumah tangga adalah suami, istri dan anak, orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Adapun bentuk bentuk kekerasan dalam rumah tangga ada berbagai macam,
seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran
rumah tangga (UU PKDRT, 2004).
Adapun secara lebih gamblang kekerasan fisik ini berupa perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan psikis bisa berupa
perbuatan yang dapat mengakibatkan ketakutan, hilang rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan lain-lain. Bentuk
kekerasan seksual yang hampir sebagian perempuan mengalaminya adalah
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut; dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan atau tujuan tertentu. Penelantaran dalam rumah tangga juga sering dialami
oleh perempuan. Misalnya penelantaran kehidupan, perawatan atau pemeliharaan.
Juga termasuk dalam penelantaran adalah membuat orang tergantung secara
ekonomi, misalnya dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban di bawah kendalinya (UU
PKDRT, 2004).
Faktor penyebab di atas tentunya akan semakin kentara bila dihubungkan
dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, minimal karena aspek budaya patriarkhi, hukum yang selama ini masih
menganggap rumah tangga sebagai wilayah domestik yang sangat pribadi dan
penafsiran agama yang sangat keliru (UU PKDRT, 2004).
94
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
Semua bentuk kekerasan terhadap perempuan khususnya sebagaimana
terpapar di atas adalah kekerasan berbasis gender dan termasuk dalam kategori
kekerasan domestik. Hal ini secara realitas dapat telihat pada masyarakat di
kabupaten Ponorogo, tenyata realitas kekerasan dalam rumah tangga semakin
besar yang terlihat dari semakin meningkatnya perceraian akibat hal ini.
Kabupaten Ponorogo ternyata sedikit banyak memiliki karakteristik yang
memungkinkan adanya realitas perceraian yang diakibatkan oleh kekerasan dalam
rumah tangga. Misalnya saja data tingkat perceraian di kabupaten Ponorogo tiap
tahun semakin meningkat yang salah satu sebabnya adalah karena adanya
kekerasan dalam rumah tangga. Dalam tahun 2001 saja ada sejumlah 627 kasus
perceraian dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 825 kasus perceraian, dan
tahun 2004 menjadi 837 perkara. Data ini membuktikan bahwa prosentase realitas
perceraian merupakan fakta tersendiri (BPS Ponorogo, 2002).
Untuk melihat dalam kerangka sosiologis alam menjelaskan tentang kajian
perkawinan hubungannya dengan institusi keluarga dan perempuan biasanya
digunakan dengan teori-teori sosiologi seperti struktur fungsional dan konflik.
Dalam teori sosial struktur fungsional misalnya ternyata aplikasi dalam
institusi keluarga, menganggap keluarga sebagai sebuah institusi dalam
masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan
sosial masyarakat. Teori ini mengakui adanya keragaman di dalam kehidupan
sosial yang merupakan sumber utama dari struktur masyarakat dan keragaman
pada fungsi yang sesuai dengan posisi sesorang pada struktur sebuah sistem.
Barangkali teori ini dalam pandangan pemikiran Islam sejalan dengan pemikiran
tradisional Islam, yang membincangkan tentang posisi individu dalam institusi
keluarga, termasuk perkawinan yang selalu menekankan partisipasi dan
pembagian peran, tugas serta fungsi di tiap-tiap individu (O'Dea, 1990).
Sedangkan teori kritis konflik sangat diidentikkan dengan Karl Marx, yang
berpendapat selama masyarakat dalam hal ini institusi keluarga dan individu yang
ada di dalamnya masih terbagi dalam kelas, maka kelas yang berkuasa dan kuatlah
yang mendominasi. Karena itu diperlukan usaha yang gigih baik dalam struktur,
perubahan hukum dan sebagainya untuk menuju perbaikan yang lebih baik,
dengan cara revolusi maupun cara damai. Agaknya teori ini secara tidak langsung
diikuti oleh generasi sekarang ketika mencoba untuk melakukan rekonstruksi
ajaran Islam bahkan dekontruksi khususnya tentang institusi perkawinan dalam
keluarga di antara individu yang ada di dalamnya (O'Dea. 1990).
95
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
Karenanya sangatlah relevan dan urgent apabila problem kekerasan dalam
rumah tangga dan dampaknya bagi perempuan di kabupaten Ponorogo
dikemukakan.
Dari berbagai paparan di atas, ada beberapa hal penting yang perlu
dipecahkan, yaitu: bagaimanakah deskripsi menuju perkawinan dan pergaulan
berkeluarga dari perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga? dan
bagaimanakah dampak kekerasan dalam rumah tangga dan khususnya terhadap
hak-hak reproduksi bagi perempuan ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses korban kekerasan
dalam rumah tangga saat menuju perkawinan dan dinamikanya dalam berkeluarga
serta untuk menemukan dampak kekerasan dalam rumah tangga khususnya
terhadap korban yang mayoritas adalah perempuan (istri) dalam hak-hak
reproduksinya.
Untuk menjawab masalah itu, penelitian ini merupakan kombinasi antara
penelitian menerangkan (eksplanatory research) dan penelitian deskriptif
(deskriptif research). Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu variabel, keadaan, gerak atau kelompok tertentu atau untuk
menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu suatu gejala dalam masyarakat.
Sedangkan penelitian menerangkan bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa
tentang adanya hubungan sebab akibat antara beberapa variabel yang diteliti
(Soemardjan, 1988).
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah memakai metode
pengumpulan data lapangan, artinya sumber data utama adalah data yang terambil
dari hasil lapangan. Selain juga tidak melupakan pengumpulan data dari pustaka,
yang ada kaitannya dengan obyek penelitian.
Populasi merupakan keseluruhan sasaran yang seharusnya diteliti. Untuk
penelitian ini populasinya adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga yang telah bercerai di kabupaten Ponorogo. Setelah populasi yang akan
diteliti ditentukan maka selanjutnya peneliti menentukan sampelnya. Penentuan
sampel ini menggunakan teknik purposive insidental sampling yang merupakan
teknik pengambilan sampel dengan cara ditentukan/ditunjuk langsung sampelnya.
Teknik ini dipilih karena sampel yang diambil itu dianggap telah mewakili
kelompok atau populasinya. Sedangkan asumsi insidental berasal dari data dan
kutipan putusan cerai pada Pengadilan Agama Ponorogo antara tahun 2002 2004.
96
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
Tehnik pengumpulan data adalah tehnik pengumpulan data lapangan yaitu
dengan mengandalkan observasi, in depth interview, life history serta literatur dan
dokumentasi. Artinya bersifat kualitatif, pengumpulan data primer dilakukan
melalui wawancara intens dengan pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Dalam
pengumpulan data lapangan penekanannya diletakkan pada kelengkapan data
sesuai dengan tujuan penelitian dan tidak pada jumlah responden (Soerakhmad,
1978).
In depth Interview di sini diartikan sebagai wawancara tak berencana yang
tidak perlu menggunakan suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dengan tata
urut tetap yang harus dipatuhi oleh peneliti secara ketat tetapi pertanyaan dapat
beralihalih dari satu pokok ke pokok yang lain dengan tanpa meninggalkan tujuan
utamanya (free interview). Serta wawancara ini bersifat terbuka yang diartikan
sebagai terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang sedemikian rupa bentuknya
sehingga responden atau informan tidak terbatas dalam jawabannya kepada
beberapa kata saja, atau hanya kepada jawab ya atau tidak saja, tetapi dapat
mengucapkan keterangan-keterangan dan cerita-cerita panjang (Soemardjan,
1988).
Adapun life history merupakan usaha komprehensip untuk melihat perjalanan
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga pada waktu sebelumnya hingga
mereka sampai pada titik memulai dan pasca perkawinanya. Artinya bagaimana
mereka terkonstruk dan terpengaruhi dari konteks sosial budaya yang ada.
Sedangkan data-data tentang responden atau perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga berjumlah 10 orang diambil dari Pengadilan Agama
Ponorogo, yang menurutnya terdapat indikasi adanya kekerasan dalam
perkawinan. Dalam hal ini, data tersebut bisa dikonfirmasikan kepada perceraian
dengan paruh waktu pertengahan tahun 2002 sampai pertengahan tahun 2004.
Persoalan penentuan kasus memang sengaja diambil dari data tertulis agar secara
administratif argumentatif dapat dijelaskan.
B. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan dari aspek usia bahwa asumsi kekerasan dalam
rumah tangga biasanya terjadi pada perempuan yang belum dewasa, ternyata tidak
otomatis bahkan perempuan yang pantas menikah pun juga menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Artinya bahwa kekerasan dalam rumah tangga
sebagai akibat relasi yang tidak seimbang antara suami dan istri ternyata tidak
97
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
selamanya benar. Pasangan yang setara tingkat usianya juga masih terjadi
kekerasan. Adapun kekerasan dalam pernikahan dilakukan ketika masih dini,
bahkan data responden itu pada umur yang agak terlambat misalnya untuk
menikah masih ada juga unsur kekerasan. Dari sinilah dapat dijelaskan bahwa
faktor usia tidak serta-merta berhubungan dengan adanya kekerasan dalam
menikah atau tidak. Artinya praktek kekerasan itu tidak hanya berlaku bagi
perempuan usia dini yang tidak tahu menahu akan masa depannya dan hanya diatur
dan diusahakan oleh orang tua, tapi pada usia pantas nikah pun masih berlaku
adanya kekerasan.
Adapun dari aspek pendidikan, ketidakmampuan orang tua untuk
menyekolahkan anaknya tidak terlepas dari pendidikan orang tua dan pekerjaanya
selama ini seperti petani, buruh maupun karyawan atau usaha kecil-kecilan yang
tentu pendapatnya kurang untuk membiayai sekolah anaknya. Dari data di atas
mengindikasikan pendidikan yang ia peroleh tidaklah menggembirakan walaupun
itu hanya merupakan batas dasarnya (wajib belajar 9 tahun) dan dari pendidikan
yang ia peroleh sedikit sudah mampu untuk memberikan kemampuan berpikir atas
dirinya sendiri seperti mempunyai teman pergaulan dan wadahnya. Apalagi hal ini
diwujudkan dalam apresiasi mereka dari pendidikannya untuk memperoleh kerja
yang ia inginkan dengan sungguh-sungguh.
Dari aspek pekerjaan responden ternyata sangat berkait erat dengan
pendidikan yang ia peroleh. Kalau pun lulusan SLTA rata-rata adalah sebagai
karyawati di hotel dan swalayan namun banyak juga yang melanjutkan pekerjaan
orang tua seperti berdagang dan petani. Hanya sedikit yang mengikuti teman
kerabat dan tetangga untuk ikut bekerja di swasta. Dari data seperti ini, yang
sebagian besar bekerja di luar rumah tangga telah mempengaruhi pemikirannya
dalam mengarungi bahtera pernikahannya karena itu dengan sering berhubungan
dan berkomunikasi serta bergaul dengan teman kerja dan kenalan telah mendorong
usaha dalam berdiskusi tentang problematika kehidupan berkeluarga. Bahkan di
antara mereka sudah saling berkomunikasi dengan teman dekatnya.
Tentang status ekonomi dari keluarga perempuan korban kekerasan ini sangat
penting, mengingat adanya salah satu faktor terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga adalah ketidakmampuan keluarga dalam membiayai hidup sehari-hari. Hal
ini terbukti dengan adanya data semakin ke bawah derajat ekonomi responden
semakin rawan munculnya kekerasan dalam rumah tangga. Tapi hal ini tidak
98
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
berbanding terbalik dengan asumsi bahwa keluarga yang berkecukupan nihil akan
kekerasan ternyata juga tidak.
1. Riwayat Menuju Perkawinan dan Dinamika Berkeluarga
Keberadaan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, ternyata
mempunyai karakteristik dan sifat yang sangat heterogen. Hal ini terbukti dengan
riwayat mereka dalam menuju perkawinan. Asumsi perempuan korban kekerasan
diawali dengan perkawinan yang terpaksa karena desakan orang tua atau wali,
status usia saat perkawinan masih dini atau belia dan mereka belum punya
pekerjaan tetap serta dalam keterbatasan ekonomi dan pengetahuan agama secara
umum, terbukti tidak otomatis. (Huda, 2002)
Hal ini terlihat data bahwa mereka perempuan korban kekerasan ternyata juga
merupakan perkawinan yang pada awalnya saling mencintai pasangannya (suami-
istri), usia perkawinan yang standar dan sebagian masih memiliki kemampuan
menghasilkan uang sendiri.
Memang ada perempuan korban kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
akibat persoalan himpitan ekonomi, perangai yang kejam dan tidak mengetahui
informasi tentang berkeluarga. Akan tetapi hal ini tidak menghapus realitas adanya
perempuan korban kekerasan yang faham hukum, penghasilan besar dan saling
mencinta.
Dalam relasi berkeluarga dari perempuan korban kekerasan dengan
pasangannya, hal ini terlihat adanya kemampuan perempuan yang ragu-ragu dan
merasa terjepit dalam mengambil kebijakan dan keputusan penting dalam keluarga
sehingga suami mendominasinya. Perempuan yang tidak kuasa dalam menolak
dominasi pasangannya sehingga menerima apa adanya pada sisi tertentu tidak
menjadi masalah. Akan tetapi hal ini bisa menjadi persoalan serius di saat
perempuan ingin menyampaikan aspirasi keluarga bila kebijakan pasangan
(suami) dipandang kurang tepat dan terjadilah pertengkaran dan pertentangan
yang mungkin saja diakhiri dengan perilaku kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan yang dialami perempuan bervariasi mulai yang bersifat fisik
seperti tamparan pukulan, psikologis seperti menghina dan mengejek, seksual
seperti perkosaan suami istri dan melacurkan istri, sampai kekerasan terhadap
perempuan dengan cara menelantarkan keluarga tanpa adanya respon, empati dan
tanggung jawab dari pasangan terhadap kebutuhan dan problem keluarga
(Nurhayati, 2002)
99
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
2. Dampak Kekerasan Hak-hak Reproduksi bagi Perempuan
Hak-hak Reproduksi Perempuan adalah bagian dari hak-hak asasi bagi
perempuan. Karenanya persoalan kekerasan dalam ruamh tangga pada dasarnya
juga merupakan persoalan kemanusiaan. Artinya bila Hak-hak Reproduksi
Perempuan terabaikan niscaya akan berdampak pada peradaban umat manusia
secara menyeluruh. Hal ini terbukti ketika implikasi kekerasan dalam perkawinan
bagi perempuan telah berkonsekuensi negatif terhadap keberlanjutan aktivitas
dalam sebuah keluarga baru. Kasus yang jelas terlihat pada aktivitas relasi di antara
kedua pasangan itu, seperti persoalan seksualitas, pergaulan di antara keduanya
dan soal lainnya.
a. Hubungan Seksual Tidak Seimbang dan Tidak Sehat
Hubungan seksual di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis, juga
melengkapi hubungan sosial dan termasuk ibadah. Kebutuhan yang melibatkan
dua orang itu bukan untuk salah satu dari pasangan dan mengecewakan pasangan
lainnya, hendaknya kedua belah pihak menikmati dan dapat saling memuaskan
pasangannya.
Biasanya pasangan suami istri senantiasa melakukan hubungan intim dan
seksual secara wajar dari kedua pasangan itu. Namun apalah yang terjadi, ternyata
timbul realitas kekerasan dalam rumah tangga telah memberikan dimensi sulit dan
berdampak sebaliknya. Rasa jengkel, was-was, teraniaya, merasa disakiti menjadi
satu bahkan rasa takut dan ingin berontak sangat mendera atas perempuan. Apalagi
berhubungan kelamin dengan suami tidak hanya secara psikis tapi juga fisik
sehingga dimungkinkan adanya gangguan yang merusak terhadap alat vital
perempuan (Hawari, 1995).
Kerelaan dan keikhlasan seorang wanita telah terampas oleh persoalan yang
ia sendiri tak kuasa menolaknya. Keinginan seorang wanita untuk menikmati
hubungan seks telah ternoda bahkan hilang dan telah berubah menjadi musuh
besar seperti serigala yang menangkap dan menggerogoti tubuhnya, walaupun
serigala itu sebenarnya adalah suaminya.
Konsekuensi logis dari sebuah perkawinan adalah dilakukannya hubungan
seksual oleh pasangan suami istri. Bagi pasangan yang menempuh perkawinan
atas dasar keinginan dan kerelaan serta cinta mungkin tidak ada rasa was was dari
salah seorang pasangan. Bahkan hubungan seksual justeru merupakan sesuatu
yang diimpikan yang dilalui dengan penuh kepuasan, kenikmatan dan
keharmonisan (Hawari, 1995).
100
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
Karenanya, praktek kekerasan dalam rumah tangga pada problem hubungan
seksualitas telah mengakibatkan perempuan atau istri kepada penghilangan makna
seks itu sendiri sehingga yang muncul adalah hubungan seksual yang tidak sehat
dan sangat dipaksakan (Mas'udi, 1999).
Hal itu adalah gambaran pada perkawinan yang mungkin saja terjadi
pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape). Gambaran pada awal
perkawinan telah terjadi pemaksaan, maka yang demikian sungguh melanggar
hak-hak reproduksi perempuan (Idrus, 1999).
Sikap penolakan perempuan atau istri tak dapat terelakkan membuat kedua
pasangan selalu timbul perbedaan dan perselisihan yang saling menyalahkan.
Penolakan seperti ini, pada kenyataannya wajar saja mengingat ketidaksiapan dan
ketidakmampuan perempuan atau istri untuk melakukan hukungan sekasual
dengan indah dan sehat.
b. Pergaulan dalam Keluarga Tidak Harmonis
Pada dasarnya keluarga baru menginginkan suasana yang sakinah dan
mawaddah yang diartikan dengan pergaulan kedua pasangan dalam rumah tangga
dengan sangat baik dan kondusif. Jadi antara kedua pasangan mempunyai ikatan
kuat sebagaimana akad perkawinannya. Adanya saling mencintai dan bersua
mesra di antara keduanya memberikan kontribusi terciptanya kedamaian dan
saling percaya di antara keduanya. Ketika melakukan komunikasi, diskusi tentang
permasalahan yang dihadapi baik ekonomi, keluarga, masyarakat maupun lainnya
bahkan sampai hubungan batin dilakukan dengan kecintaan dan saling menerima
dan memberi di antara keduanya (Munthi, 1999).
Faktor-faktor ideal sangat mungkin bila perkawinan memang didasarkan atas
kecintaan dan kesadaran keduanya. Tetapi sebaliknya, bila perkawinan
dilaksanakan dengan adanya kekerasan, maka yang terjadi tidaklah keharmonisan
tapi malapetaka muncul dalam pergaulan suami istri, pertengkaran. Ketidak-
harmonisan dalam keluarga, selalu menimbulkan pertentangan karena sejak awal
perkawinan kedua pasangan sudah bermasalah sehingga kelanjutannya pun
muncul semacam disintegrasi dalm keluarga.
c. Terganggunya Kesehatan Reproduksi Perempuan
Tanpa disadari oleh masyarakat, kekerasan yang dialami oleh perempuan
sesungguhnya menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan, utamanya
dilihat dari sisi kesehatan reproduksi. Batasan kesehatan menurut WHO adalah
suatu keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan sosial, dan
101
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
bukan sekedart tidak ada penyakit atau berbagai macam gangguan lain yang
berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa kekerasan berdampak negatif bagi
kesehatan perempuan. Berdasarkan data yang didapat selama ini, dampak fisik
kekerasan menyebabkan perempuan mengalami patah tulang, kelainan syaraf,
memar, kulit tersayat dan sebagainya. Secara psikologis menyebabkan gangguan
emosi seperti kecemasan, depresi dan poerasaan rendah diri. Lebih khusus lagi
kekerasan merupakan penyebab serius terjadinya berbagai macam gangguan
reproduksi perempuan seperti keluhan adanya siklus haid yang terganggu, seperti
haid tidak terartur atau haid yang berkepanjangan. Keguguran seringkali juga
merupakan problem yang dialami perempuan karena stress psikologis maupun
insidental fisik akibat kekerasan. Pemukulan dan perlakuan kasar lainnya
seringkali terjadi justru pada saat istri hamil, karena kehamilan mengakibatkan
turunnya aktivitas seksual perempuan, dan secar psikologis kehamilan
mencemaskan suami karena anggota keluarganya akan bertambah (Mufidah,
2003).
Kekerasan merupakan persoalan serius kaum perempuan, karena hak-hak
reproduksi mereka betul-betul terampas. Sejak dari hak untuk menikamti
hubungan seksual, menentukan kehamilan, menjalani masa kehamilan secara
sehat, menjalani masa mentruasi secar teratur dan sebagainya (Mas'udi, 1999).
Berbagai kekerasan yang dialami perempuan seringkali menyebabkan mereka
menderita penyakit kronis, hingga menyebabkan kematian secara perlahan-lahan.
d. Saling Tidak Percaya dan Berujung pada Perceraian
Walaupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Yurisprudensi
Pengadilan Agama tidak disebutkan dengan jelas, bahwa perlakukan kekerasan
dalam keluarga tidak merupakan sebab atau alasan perempuan dapat menggugat
perceraian terhadap suami atau alasan pembatalan perkawinan, akan tetapi sebab
adanya problem ini menimbulkan benih-benih permasalahan yang muncul dalam
kehidupan rumah tangga. Percekcokan, perselisihan dan tidak harmonis lagi
muncul dan biasanya dijadikan alasan karena a terjadi kekerasan dalam rumah
tangga.
Perkawinan di dalamnya terjadi kekerasan ini telah mengkondisikan
perempuan atau istri kepada aktivitas setengah hati dan kurang bersungguh-
sungguh dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hal ini juga berimbas pada laki-
laki atau suaminya. Tetapi suami dalam banyak kasus menganggap tidak ada
102
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
korelasinya paksaan nikah dengan kewajiban istri dalam rumah tangga. Sehingga
perempuan sekali lagi merasa sulit, terpaksa dan tidak percaya pada suami untuk
melakukan aktivitas kewajiban rumah tangganya walaupun dengan setengah hati.
Dalam tatanan seperti ini tak jarang suami menganggap istrinya tidak mampu
berbuat yang terbaik bagi keluarga, sehingga muncullah kekerasan baik fisik atau
mental.
Dampak bergitu hebat menimpa perempuan dalam keluarga akibat
pertengkaran dalam perkawinan, tidak saja merugikan bagi kedua pasangan tapi
juga kedua belah keluarga dan masyarakat. Kekerasan dalam keluarga tak dapat
terelakkan mengingat kebiasaan masyarakat yang mendorong perempuan atau
istri selalu bergantung baik ekonomi maupun non-ekonomi. Ditambah lagi
pemahaman yang keliru bagi masyarakat bahwa kekerasan dalam keluarga
hanyalah persoalan pribadi, orang lain tidak boleh ikut (Ciciek, 1999).
Tak pelak lagi kelanjutan kekerasan dalam keluarga khususnya terhadap
perempuan berimbas pada ketidakmampuan perempuan untuk melakukan apa
yang terbaik bagi dirinya. Sementara laki-laki atau suami melihat istrinya yang
tidak seperti wajarnya semakin berulah. Bisa saja realitas kekerasan dalam rumah
tangga, nikah sirri, aborsi, perselingkuhan bahkan poligami berawal dari
konsekuensi yang berlanjut dari awal adanya pemaksaan perkawinan.
C. Penutup
Realitas praktek kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban perempuan
atau istri dalam masyarakat Ponorogo ternyata tidak bisa dilepaskan prinsip-
prinsip kejawen seperti prinsip perempuan menjadi konco wingking yang sendiko
dawuh yaitu menerima segala titah suami telah memberikan andil besar atas
penafsiran masih adanya kekerasan dalam ruah tangga terhadap perempuan.
Implikasi dari kekerasan dalam perkawinan ternyata telah berdampak negatif
kepada perempuan seperti dalam aspek psikologis membuat perempuan stress dan
nervous serta apatis, dalam aspek ekonomi membuat perempuan bergantung
kepada suami secara mutlak bahkan kadangkala berhenti dari pekerjaannya
semula, dalam aspek sosial kemasyarakatan perempuan menjadi terisolasi karena
terlalu memikirkan beban intern keluarga.
Lebih mengkhawatirkan lagi kekerasan dalam rumah tangga telah
menimbulkan konsekuensi-konsekuesi negatif khususnya dalam aspek Hak-hak
103
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
Reproduksi Perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga menimbulkan hubungan
seksual yang tidak sehat, disharmonisasi dalam keluarga, penyelewengan bahkan
sebagai penyebab besar terhadap keretakan rumah tangga. Bukankah Hak-hak
Reproduksi Perempuan merupakan hak yang paling dasar dan hanya dimiliki
manusia termasuk perempuan. Karena sudah semestinya, persoalan hak
reproduksi kesehatan bagi perempuan merupakan hak utama yang tidak boleh
dipaksakan. Karena pada dasarnya, hak-hak reproduksi perempuan seperti ini
adalah juga hak asasi perempuan, dan hak asasi perempuan pada dasarnya juga
merupakan bagian dari nilai-nilai universal dari Hak Asasi Manusia (HAM) secara
umum.
Praktek kekerasan dalam rumah tangga ternyata tidaklah signifikan lagi bila
dihubungkan dengan konteks saat ini. Sudah saatnya perlakuan diskriminatif
terhadap perempuan dihilangkan bahkan dihapus. Apalagi tatanan dan kehidupan
dewasa ini telah memberikan celah untuk meningkatkan dignity perempuan
sendiri. Hal ini bukan berarti wanita hendak menentang tatanan sosial yang
dianggap melanggar norma budaya yang berkembang, akan tetapi sudah terlalu
banyak ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan yang didasarkan pada
jastifikasi agama dan budaya di bawah bayang-bayang otoritas laki-laki.
Akhirnya, segala kekerasan yang menimpanya adalah hal yang tidak diperkenakan
oleh agama. Karena kekerasan itu merupakan dehumanisasi yang melanggar
norma dan keadilan. Karena itu tindakan kekerasan seperti seperti ini layak
dihapus.
Daftar Pustaka
Anshori, S. Dadang, Dkk. (Ed.),
1997 Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka Hidayah, Ponorogo,
Badan Pusat Statistik,
2002 Kabupaten Ponorogo Dalam Angka 2002, Ponorogo: BPS Ponorogo,
Hawari, Dadang,
1995 Al-Qur'an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa
104
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo
Ciciek, Farha,
1999 Ihtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: LKAJ,
Galtung, Johan, dan I Marsana Windhu,
1992 Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Yogyakarta:
Kanisius,
Geertz, Hildred
1983 Keluarga Jawa, Jakarta: Grafiti Press,
Muhammad, Husein
2001 Fiqih Perempuan Refleksi kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS,
Ollenburger, Jane C dan Helen A Moore,
1996 A Sosiology of Women, terj Budi Sucahyono, Yan Sumaryana
(Jakarta: Rineke Cipta,
Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI),
Johnson, J and Sasco V. Researching
1995 Violence Againts women, Statistics Canada's National Survey:
Canadian Journal of Criminology,
Mas'udi, Masdar Farid,
1999 Kesehatan Reproduksi dan Etika Global dalam Masruchah (ed)
Agama dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Haeapan,
YKF dan FF,
Fakih, Mansour
1996 Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,
105
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 1/No. 2/ Desember 2005, ISSN 1858-4845
Huda, Miftahul,
2002 Ijbar dan Kebebasan dalam Perkawinan, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta,
Mufidah Ch,
2003 Paradigma Gender Malang: Banyumedia,
Murder, Niels
1997 Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Jakarta: Sinar Harapan,
Hanum, Sri Handayani,
1997 Perkawinan Usia Belia, Yogyakarta: PPK-UGM,
Idrus, Nurul Ilmi Idrus,
1999 Marital Rape, Yogyakarta: P3KP UGM-FF,
Nur Hayati, Elli,
2002 Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan,
Yogyakarta: Rifka Annisa Women'S and Crisis Center,
Munthi, Ratna Batara,
1999 Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga dalam Islam, Jakarta:
LKAJ,
O'Dea, Thomas F.
1990 Sociology of Religion, Alih bahasa: Tim Penerjemah Yosagama,
Jakarta: Rajawali,
UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Inpres No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Surakhmad, Winarno
1978 Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito
106
Miftahul Huda, Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan di Kabupaten Ponorogo

Anda mungkin juga menyukai