Anda di halaman 1dari 10

Hak Tanggungan

Putri Wulandhani
BK 6B Pagi








1. Definisi Hak Tanggungan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan.
Sedangkan, jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima (Kamus Besar
BahasaIndonesia, 1989 : 899). Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-UndangNomor4 Tahun 1996 disebutkan
pengertian hak tanggungan. Yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak
tanggungan disajikan berikut ini :
a. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah. Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah
hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi wewenang
kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai
agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut,
dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de preference).
b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yangmerupakan satu kesatuandengan tanah
itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga
hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.
c. Untuk pelunasan hutang tertentu. Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu
dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur.
d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya
yang lazim disebut droit depreference.

Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) danPasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996, yang berbunyi : Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk
menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-
kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan
peringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak
tanggungan. Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah Penguasaan hak atas tanah, berisi
kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk
dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari
hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya (Budi Harsono,1999 :
24).

2. Peraturan mengenai Hak Tanggungan
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pembebanan hak atas tanah adalah Bab 21 Buku II KUH Perdata, yang berkaitan
dengan hipotek dan redietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad
1937-190. Kedua ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
kegiatan perkreditan di Indonesia. Ketidaksesuaian ini karena pada undang-undang lama yang dapat dijadikan
objek hipotek dan credietverband hanyalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, sedangkan
pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, yang menjadi objek hak tanggungan tidak hanya ketiga hak
atas tanah tersebut, tetapi ditambah dengan hak pakai dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil
karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik
pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak
atas tanah yang bersangkutan. Lahirnya undang-undang tentang hak tanggungan karena adanya perintah
dalam Pasal 51 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik,
hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 diatur dalam undang-
undang. Tetapi dalam Pasal 57 UUPA disebutkan bahwa selama undang-undang hak tanggungan belum
terbentuk, maka digunakan ketentuan tentang hipotek sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata dan
redietverband . Perintah Pasal 51 UUPA baru terwujud setelah menunggu selama 36 tahun.

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ditetapkan pada tanggal 9 April 1996. Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 terdiri atas 11 bab dan 31 pasal. Ada 4 pertimbangan dibentuknya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1999, yaitu :
a. bahwa bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi,
dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan
mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD1945.
b. bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria sampai dengan saat ini.
c. bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia.
d. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
e. dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari
(Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996). Dengan syarat diperjanjikan secara tegas.

3. Cara Pembebanannya
Proses pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT yaitu
melalui dua tahap berupa:
a. Tahap pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan di hadapan PPAT;
b. Tahap pendaftaran Hak tanggungan yang dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten
atau Kota setempat, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan.

Menurut Pasal 1 angka 4 UUHT disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas
tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan. Dalam penjelasan umum
angka 7 dijelaskan pula bahwa dalam kedudukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka
4, maka akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Sesuai dengan sifat Accecoir dari Hak Tanggungan, Maka pembebanan Hak Tanggungan
didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang
dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagaimana
tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan
hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang wajib
dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi,
dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik
(Penjelasan Umum angka 7 UUHT).
Terhadap objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak
lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan,
artinya hak atas tanah tersebut belum bersertifikat, pemberian Hak Tanggungan dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak lama
yang dimaksud disini adalah hak yang kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang
telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terhadap objek Hak Tanggungan yang terdiri lebih dari satu bidang tanah dan
diantaranya ada yang letaknya diluar daerah kerjanya, untuk pembuatan pemberian APHT
yang bersangkutan PPAT memerlukan ijin dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Propinsi. Dengan ketentuan bahwa bidang-bidang tanah tersebut harus
terletak dalam satu daerah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota (Pasal 3 ayat (2)
Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal
Agraria No. SK. 67/DDA/1968).
Selanjutnya Undang-undang menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT.
Dengan tidak mencantumkannya secara lengkap hal-hal yang wajib disebut dalam APHT.
Maka mengakibatkan akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Dalam Pasal 11
ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu:
1) Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
2) Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dan apabila di antara mereka
ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili
pilihan di Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka
kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;
3) Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan
Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
4) Nilai tanggungan;
5) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai
sertfikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar
sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai pemilikan, letak, batas-batas, dan luas
tanah.

Selain hal tersebut di atas, dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang sifatnya
fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT (Pasal 11 ayat (2) UUHT).
Dalam hal ini pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan
janji-janji tersebut dalam APHT. Dalam dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang
kemudian di daftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji terdebut juga mempunyai
kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.




Adapun janji-janji yang disebutkan dalam APHT sebagaimana tersebut dalam Pasal 11
ayat (2), antara lain:
1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek
Hak Tanggungan dan/ atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa di muka,
kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak
Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji;
4) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi
objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan Undang-
undang;
5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji;
6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak
Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
7) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak
Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila
objek Hak Tanggungan dilepaskan dari haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau
dicabut haknya untuk kepentingan umum;
9) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika
objek Hak Tanggungan diasuransikan;
10) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan
pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
11) Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak
Tanggungan tetap berada di tangan kreditur sampai seluruh kewajiban debitur dipenuhi
sebagaimana mestinya.

Ada janji yang dilarang untuk dilakukan, yaitu janji yang disebutkan dalam Pasal 12
UUHT, yaitu dilarang diperjanjikan pemberian kewenangan kepada debitur untuk memiliki
objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. Ketentuan tersebut diadakan dalam
rangka melindungi kepentingan debitur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika
nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya hutang yang dijamin. Oleh karena itu
pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemilik objek Hak
Tanggungan jika debitur cidera janji.



b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 UUHT, pamberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor
Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. PPAT wajib
mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor
Pertanahan.

Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan berkas lain yang diperlukan itu
disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat.
PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi di
daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuannya untuk didaftarkannya
Hak Tanggungan itu secepat mungkin. Berkas lain yang dimaksud di sini adalah meliputi
surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan, dan identitas pihak-pihak
yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/ atau surat-surat
keterangan mengenai objek Hak Tanggungan. PPAT wajib melaksanakan ketentuan tersebut
karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur jabatan PPAT.

Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam
APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah
Hak Tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997.

Dengan dibuatnya buku tanah tersebut, Hak Tanggungan lahir dan kreditur menjadi
kreditur pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan mendahului dari kreditur-kreditur
lain.

Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT tanggal pembuatan buku tanah Hak Tanggungan
adalah hari ke-7 setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftaran Hak Tanggungan. Jika hari ke-7 jatuh pada hari libur, buku tanah yang
bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku tanah itu
dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga
dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian
hukum.

Dalam hal hak atas tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat terlebih dahulu
sebelum dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Waktu hari ketujuh yang ditetapkan
sebagai tanggal buku tanah Hak Tanggungan tersebut dalam hal yang demikian, dihitung
sejak selesainya pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan
membubuhkan pada sampulnya kalimat DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Dengan
pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan, maka untuk itu dapat
dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan
258 Rbg.
Setelah sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat, kemudian sertifikat Hak Tanggungan
tersebut diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.

4. Terjadinya Hak Tanggungan

5. Dapatkah Hak Tanggungan dibebankan atas tanah hak orang lain

6. Dapatkah Hak Tanggungan dialihkan
Pada dasarnya hak tanggungan dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Peralihan hak tanggungan ini
diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Peralihan Hak
Tanggungan dapat dilakukan dengan cara cessi, subrogasi, pewarisan, dan sebab-sebab lainnya. Cessi adalah
perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditur pemegang hak tanggungan kepada pihak lainnya. Cessi
harus dilakukan dengan akta autentik dan akta dibawah tangan. Secara lisan tidak sah. Subrogasi adalah
penggantian kreditur oleh pihak ketiga yang melunasi hutang debitur. Ada dua cara terjadinya subrogasi, yaitu
perjanjian (kontraktual), dan Undang-Undang. Subrogasi kontraktual dilakukan dengan cara :
a. Kreditur menerimapembayaran baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya daripihakketiga, dan serta
merta mengalihkan hak dan tuntutan yang dimilikinyaterhadaporang ketiga tersebut,
b. Pihak ketiga membantu debitur. Debitur meminjamkan uang dari pihak ketiga yang dipergunakan untuk
membayar hutang kepada kreditur, dan sekaligus menempatkan pihak ketiga tadi menggantikan
kedudukan semula terhadap diri debitur. Supaya subrogasi ini dianggap sah, maka harus diikuti tata cara
sebagai berikut :
1) Pinjaman uang mesti ditetapkan dengan aktaautentik,
2) Dalam akta autentik mesti dijelaskan besarnya jumlah pinjaman dan diperuntukkan melunasi hutang
debitur,
3) Tanda pelunasan berisi pernyataan, bahwa uang pembayaran hutang yang diserahkan kepada kreditur,
adalah uang yang berasal dari pihak ketiga.

7. Tata Cara Meroya
Istilah roya memang dikenal dalam ketentuan perundang-undangan mengenai tanah.
Istilah roya dapat ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU
Hak Tanggungan):
Pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan
mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertifikatnya ditiadakan. Pencatatan
serupa, yang disebut pencoretan atau lebih dikenal sebagai "roya", dilakukan
juga pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang semula dijadikan
jaminan. Sertifikat hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut,
diserahkan kembali kepada pemegang haknya.

Berdasarkan penjelasan umum UU Hak Tanggungan tersebut, dapat diketahui bahwa
yang dimaksud dengan istilah roya adalah pencoretan pada buku tanah Hak Tanggungan
karena hak tanggungan telah hapus.
Pengaturan tata cara pencoretan hak tanggungan terdapat dalam Pasal 22 UU Hak
Tanggungan yang berbunyi sebagai berikut:
1) Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor
Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah
dan sertifikatnya.
2) Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan
ditarik dan bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Kantor Pertanahan.
3) Apabila sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu sebab tidak
dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak
Tanggungan.
4) Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi
catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari
kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya
dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
5) Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan
tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak
Tanggungan yang bersangkutan didaftar.
6) Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa
oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
7) Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan
Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor
Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
8) Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut tata cara
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (7).
9) Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak Tanggungan yang
bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan serta pada buku
tanah dan sertifikat hak atas tanah yang telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula
membebaninya.






8. Cara Pengeksekusian Hak Tanggungan
a. Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.
b. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan
suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak
Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
c. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai
bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak
Tanggungan yang memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
d. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila
debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat
Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak
tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Kemudian eksekusi
akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
e. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2)
Undang-undang No.4 Tahun 1996).
f. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1
(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak
Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-
dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/
atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal
20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau
akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada
membebankan Hak Tanggungan;
2) Tidak memuat kuasa substitusi;
3) Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta
identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi
Hak Tanggungan;
h. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum yang tetap.
i. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani
dengan Hak tanggungan.
j. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang
hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani
tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan
bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang.
k. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.
l. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun
1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas
permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk
pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama
telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j
UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan
lain-lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan
yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar
itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh
pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut
dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus
meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan
dikeluarkan dengan paksa.
m. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang
tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat
ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang
diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang
Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor
Lelang Negara.
n. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima
belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek
yang akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).

Anda mungkin juga menyukai