Anda di halaman 1dari 11

afsir Al-Alaq: Membaca untuk Bertanggung

Jawab
Posted by Salim Rusli on Saturday, 29 October 2011 in Al-Qur'an 1 Comments

Foto: saraa.blog.com
Pemahaman iqra itu sederhana. Dekatkan semua yang ada di sekeliling ke dalam pikiran kita
sebagai bahan pertimbangan untuk bertindak. Tindakan tersebut merupakan wujud tanggung
jawab keberadaan manusia di muka Bumi.
Hal tersebut diiungkapkan Prof. Dr. Ir. Iping Supriana, DEA. Beliau adalah penggagas, peneliti,
dan pemrogram piranti DMR (Digital Mark Reader). Sehari-harinya Iping adalah dosen di
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB.
Pernyataan Iping dilontarkan dalam Diskusi Tafsir Surat Al-Alaq ayat 1-5, dari sudut pandang
informatika. Diskusi ini dilangsungkan pada Senin, 13 Juni 2011 di Ruang Rapat Pembina
Rumah Alumni Salman ITB. Sebagai penanggap, hadir Ustadz Aceng dari Divisi Pelayanan dan
Dakwah YPM Salman ITB.
Pembahasan lima ayat pertama Surat Al-Alaq ini memang cukup panjang. Bahkan mungkin ayat-
ayat tersebut akan terus dibahas pada beberapa pertemuan mendatang, dengan sudut pandang
yang berbeda. Setelah pekan sebelumnya istilah iqra dibahas dari sisi semiotika, Samsoe
Basaroedin (anggota Tim Editor Tafsir Ilmiah Salman) mengusulkan Prof. Mitra Djamal untuk
membahas istilah tersebut dari sudut pandangnya sebagai ahli sensor.
Samsoe juga mengusulkan agar Armahedi Mahzar membahas filsafat ilmu dan teknologi sebagai
bentuk aplikasi iqra dan qalam. Selain itu, sebagai penutup, kelima ayat ini menurutnya perlu
dibahas dari sisi pendidikan dan psikologi.
Ustadz Aceng menanggapi usul Samsoe. Menurutnya, jika Allah hendak membahas sesuatu
panjang lebar dalam Alquran, biasanya intisarinya disampaikan dalam ayat-ayat awal sebuah
surat. Lima ayat pertama Surat Al-Alaq iniselain memang menjadi awal suratjuga
merupakan wahyu yang pertama turun. Karena itu, tidak heran jika maknanya memang dalam
dan dapat dikupas dari berbagai sudut pandang.
Hidup identik dengan membaca. Bahkan menurut Iping, setiap detik hidup ini adalah membaca.
Layaknya komputer, hidup adalah rangkaian input-process-output. Hanya saja, manusia
memiliki alat yang berbeda, ada mata, tangan, telinga, dan anggota tubuh lainnya.
Tanpa membaca misalnya, seseorang tak dapat mengendarai mobil. Sebab setiap waktu ia harus
membaca jalan, rambu-rambu lalu lintas, dan yang lainnya. Jika mendaki gunung, kita hanya
akan bisa pulang kembali bila memiliki mekanisme baca-simpan-cari (read, save and retrieve).
Setiap orang bisa saja membaca objek yang sama. Namun yang membedakan adalah kualitas
pembacaannya. Pada masa jahiliyyah dahulu, kondisi kehidupan masyarakat didominasi oleh
pembacaan yang salah. Membaca yang benardalam arti menyeluruhharus menjadi bagian
dari hidup seorang muslim.
Manusia menurut Iping, baru dapat dimintai pertanggungjawaban setelah mampu membaca
dalam arti luas. Sebab kemampuan membaca adalah tanda berfungsinya akal seseorang. Iping
mengutip sebuah hadits, Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.
Kualitas pembacaan juga ditandai dengan kedalaman atau kejauhan pandangan. Dengan hanya
sedikit indikator atau tanda, seharusnya setiap Muslim mampu membaca jauh melebihi apa yang
dilihatnya. Mampukah kita misalnya, membaca laut pada kedalaman 7 kilometer? Bagaimana
kita bisa membaca benda-benda di langit?
Pembacaan-pembacaan yang jauh seperti ini baru lazim dilakukan masyarakat Jepang. Kalau
mereka mau, 10% rakyat Jepang bisa hidup hanya dengan mengandalkan bambu, tutur Iping.
Hal ini karena mereka bisa menjelaskan bambu dari segala aspeknya. Mereka bisa membaca
sesuatu yang tidak bisa dibaca orang lain.
Selain membaca, pemahaman iqra dalam arti luas berkaitan juga dengan sistem penyimpanan
atau memori, dan cara pemanfaatan memori tersebut. Dalam hidup kita, membaca sering menjadi
sia-sia karena kita menyimpan banyak data yang tidak perlu.
Pembacaan yang berkualitas perlu penyimpanan secara efisien. Kita perlu upaya menyimpan
data secara sistematis. Karena yang paling penting setelah menyimpan adalah mencari, tegas
Iping. Bila pembacaan yang berkualitas tersebut dilakukan, kita akan mampu mengambil
tindakan dan tanggung jawab yang efisien. Dalam satu waktu, akan banyak hal yang bisa kita
lakukan, ujarnya.
Kemampuan mencari ini juga cukup penting diterapkan dalam Alquran. Iping yang juga
penggagas Quran Digital, menyebutkan setidaknya ada empat keterkaitan dalam Alquran yang
perlu dipetakan agar mempermudah pencarian.
Pertama, keterkaitan pragmatik. Pragmatik adalah ilmu berkenaan dengan syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Kedua, keterkaitan
sintaktik. Sintaktik adalah ilmu mengenai tata kalimat. Ketiga, keterkaitan semantik. Semantik
adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat. Terakhir, keterkaitan statistik, berupa jumlah suatu
kata dalam suatu surat dan dalam Alquran secara keseluruhan.
Wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Saw. mengandung perintah iqra, Bacalah!
Namun apa sebenarnya iqra itu? Apa yang dibaca? Bagaimana membacanya? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut coba dibahas dalam Diskusi Tafsir Salman pada Senin pagi (6/6). Kali ini,
istilah iqra dan qalamdibahas dari sudut pandang semiotika (ilmu tentang tanda). Diskusi
tersebut menghadirkan Dr. Yasraf Amir Piliang, pakar semiotika dari Fakultas Seni Rupa dan
Desain ITB. Turut hadir pula Ustadz Zulkarnain dan Ustadz Aceng dari Divisi Pelayanan dan
Dakwah YPM Salman ITB, sebagai penanggap.
Ketika wahyu pertama turun di Gua Hira, Jibril memerintahkan Rasulullah untuk iqra, membaca.
Hal ini menimbulkan tanda tanya. Apakah yang dimaksud Jibril dengan kata iqra ini? Apakah
Rasulullah diminta membaca suatu tulisan? Jika ya, maka jawaban Rasulullah yaitu maa ana bi
qari (Saya tidak bisa membaca) memang berarti Rasulullah buta huruf (ummi). Ataukah ada
makna lain dari kata iqra ini?
Menurut Ustadz Zulkarnaen, peristiwa tersebut tidak bisa dilepaskan dari proses 3,5 tahun
Rasulullah ber-tahannus (berdiam diri) di Gua Hira. Tahannus tersebut Beliau lakukan mencari
hakikat kebenaran, demi memperbaiki kondisi masyarakat Makkah yang jahiliyyah. Selama
proses itu, bisa jadi Rasulullah telah mendapat jawaban atau kesimpulan-kesimpulan sementara
dalam pikirannya, ujar Zulkarnaen.
Karena itu, ketika Jibril datang seraya mengatakan iqra, tidak berarti Jibril memerintahkan Nabi
membaca suatu teks yang sudah tersedia. Namun Jibril menyuruh Nabi untuk mengungkapkan
hakikat kebenaran dari kesimpulan-kesimpulan yang sudah didapatkan. Jawaban Nabi maa ana
bi qari (saya tidak bisa membaca) sebenarnya bermakna Saya tidak mampu mengungkapkan
atau belum menemukan hakikat kebenaran yang sempurna.
Ustadz Zulkarnaen menambahkan, dalam kamus, iqra sebenarnya berarti menghimpun sesuatu
yang berserak menjadi satu. I qra juga merupakan fiil mutaadi (kata kerja transitif) artinya kata
kerja yang membutuhkan objek. Hanya saja ketika objeknya tidak disebutkan, hal ini bermakna
objeknya bersifat umum. Umum berarti yang dibaca bisa apa saja, ayat qauliyah (kitab suci)
atau ayat kauniah. Karena itu, qiraah (pembacaan, turunan dari iqra) bisa bermakna sangat luas.
Perintah yang mirip tapi berbeda dengan iqra, muncul setelah mulai banyak ayat-ayat Alquran
yang turun. Perintah tersebut adalah tilawah, seperti dalam Surat Al-Ankabut ayat 45: utlu maaa
uuhiya ilayka (Bacakanlah apa yang diwahyukan kepada kamu). Inilah perbedaan tilawah
(dalam ayat di atas dalam bentuk kata perintah utlu), dengan qiraah (atau iqra). Objek tilawah
lebih spesifik, bisa tertulis maupun ingatan.
Berbeda dengan kata iqra yang dalam Alquran tidak pernah menggunakan objek, kata tilawah
objeknya selalu bernuansa ilahiyah. Contoh yang jelas telah disebutkan dalam Surat Al-Ankabut
ayat 45 di atas. Jadi, tilawah hanya dipergunakan untuk membaca kitab suci, tidak dipergunakan
untuk membaca ayat kauniyah. Sebagai tambahan, kata iqra hanya muncul pada ayat-ayat
Makkiyah sedang kata tilawah muncul pada ayat-ayat madaniyah.
Beralih ke ayat (2) khalaqal insaana min Alaq Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah, makna kata khalaqa ditelaah oleh Zulkarnain. Kata ini berarti menciptakan dari awal
atau menciptakan sesuatu yang luar biasa. Kata ini berbeda dengan jaala meski sama-sama
sering diterjemahkan sebagai menciptakan. Kata jaala berarti menjadikan sesuatu dari
sesuatu yang sudah ada. Khalaqa dalam ayat (2) ini juga membutuhkan objek, namun tidak
tercantum objeknya. Sehingga khalaqa dalam ayat ini bisa diartikan menciptakan segala sesuatu
secara umum.
Sutarno, salah seorang hadirin yang juga mendalami tafsir, menanggapi penafsiran kata khalaqa
tersebut. Khalaqa menurut dosen Teknik Industri ITB ini bukan berarti mencipta dari
ketiadaan. Khalaqa lebih tepat berarti menciptakan sesuatu yang baru dari bahan-bahan dasar
yang sudah ada. Atau bisa juga menciptakan sesuatu yang tidak ada contohnya sebelumnya,
imbuh Sutarno. Sutarno merujuk pada penciptaan manusia yang dikisahkan dalam Surat Al-
Muminun ayat 13-14.
Bagian berikutnya dari ayat (2) ini menyebut kata al-insaan yang diterjemahkan sebagai
manusia. Penyebutan al-insaan ini adalah penyebutan yang pertama kali. Berarti ada hal yang
istimewa dalam penciptaan manusia. Al insaan berasal dari kata unsun yang berarti jinak atau
harmonis. Dapat juga berasal dari kata nasyun yang artinya lupa dengan kata kerjanya
nasiya, atau nausun yang berarti gerak atau dinamika. Ringkasnya, kata ini menunjukkan
sifat manusia.
Pembahasan kemudian berlanjut ke kata alaqa. Kata ini menurut Zulkarnain pada dasarnya
bermakna melekat, atau menempel. Itulah sebabnya lintah dalam bahasa Arab disebut
alaqatun. Karena itu, ada mufassir yang mengartikan alaq sebagai segumpal darah atau
sesuatu yang menempel. Ada juga mufassir yang menafsirkan alaq sebagai sifat dasar
manusia, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dalam Surat Al-Muminun (23) ayat 13-14,
alaq adalah proses kedua dalam proses perkembangan manusia.
Ustadz Aceng menambahkan bahwa sebagian ulama menafsirkan kata alaq ini adalah jamak dari
alaqatun (segumpal darah). Dari sisi lain, alaq ini berasal dari kata kerja fiil madhi aliqa
(bergantung) dengan masdar-nya adalah alaq. Berdasarkan itu, kata alaq juga bisa dipahami
bahwa manusia punya sifat lemah dan tergantung. Menurut Aceng, hal ini dibisa dibahas dengan
tinjauan ekologi, tentang bagaimana kesalingtergantungan manusia dengan lingkungan.
Selepas membahas manusia, Surat Al-Alaq kembali membahas perintah membaca lewat ayat (3)
iqra wa rabbukal akram Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Pada ayat (3) ini
perintah iqra diulang kembali. Menurut Zulkarnain, ada yang mengartikan iqra pertama perintah
belajar, yang kedua mengajar. Sebagian lagi menafsirkan iqra yang pertama bermakna bacaan
dalam shalat, sementara yang kedua di luar shalat.
Zulkarnain sendiri berpandangan, sebuah kata yang diulang mengandung makna taukid
(penegasan). Sesuatu yang penting yang harus diulang-ulang. I qra yang pertama menegaskan
bahwa pembacaan harus dimulai dengan nama Rabb. I qra yang kedua menunjukkan hasil bahwa
setelah kita membaca, Allah akan menampakkan sifatnya yang Akram (Maha Mulia).
Setelah membahas isyarat-isyarat ilmiah dalam Surat An-Naba secara panjang lebar, Diskusi
Tafsir Salman kini beralih pada Surat Al-Alaq. Dalam diskusi yang berlangsung pada Senin pagi
(23/05) ini, digarisbawahi tiga fenomena ilmiah yang dapat ditafsirkan ulang dari surat tersebut.
Fenomena pertama adalah kata alaq (ayat 2) yang terkait dengan embriologi. Fenomena kedua
adalah kata qalam(ayat 4) yang terkait dengan disiplin ilmu informasi dan komunikasi.
Sementara fenomena ketiga adalah kata N??iyahi atau ubun-ubun (ayat 15), yang diperkirakan
terkait dengan disiplin neurologi.
Sebelum masuk pada pembahasan detil ketiga fenomena di atas, diskusi di Rumah Alumni
tersebut membahas terlebih dahulu aspek kebahasaan dari Surat Al-Alaq. Hadir sebagai
pembahas, Ustadz Aceng Saefuddin dan Ustadz Zulkarnain dari Divisi Pelayanan dan Dakwah
(DPD) YPM Salman ITB.
Ustadz Zulkarnain terlebih dahulu memaparkan asbabun nuzul Surat Al-Alaq. Menurut Beliau,
dari uraian para mufassir, hampir dapat diambil kesepakatan bahwa surat ini diturunkan di
Makkah. Tepatnya, surat ini turun di Gua Hira kepada Rasulullah Muhammad SAW saat beliau
berusia 40 tahun (611 M).
Dari ayat (1) iqra bismi rabbikalladhiy khalaq Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan, Zulkarnain membahas makna kata iqra. Kata ini termasuk kata kerja
perintah dari qaraa yaqrau qiraah, yang mempunyai arti asal menghimpun. Zulkarnain
menerangkan, kata perintah dalam ilmu ushul fiqh menunjukkan sesuatu yang wajib sampai ada
dalil yang memalingkan dari kewajiban tersebut. Karena itu I qra adalah kewajiban atau
perintah bagi setiap umat manusia, ujarnya.
Kata iqra sebenarnya adalah bentuk mutaaddi (transitif, membutuhkan objek). Namun dalam
ayat ini Allah SWT. tidak menyebutkan objeknya. Menurut kaidah bahasa, lanjut Beliau,
objeknya kemudian dianggap umum. Objeknya bisa meliputi ayat-ayat kauniyah dan qauliyah,
paparnya.
Masih dalam ayat yang sama, kata berikutnya, bismi rabbika menunjukkan bahwa perintah
membaca harus selalu disertai penyebutan nama Tuhan. Aktivitas iqra harus disertai dengan
penyebutan nama Rabb. Rabb berarti pendidik, pemelihara, dan pengasuh. Namun, mengapa
Alquran menekankan hal ini? Penjelasannya ternyata menarik.
Zulkarnain memaparkan bahwa orang Arab Jahiliyah dahulu selalu menyertai pekerjaannya
dengan menyebut nama berhalanya, misalnya bismil Lata. Tujuannya tidak lain untuk
memperoleh berkah dan manfaat. Ayat ini turun seakan untuk memodifikasi kebiasaan tersebut
lewat mengganti nama berhala dengan nama lain bagi Allah SWT, yaitu Rabb.
Mengapa tidak langsung saja menggunakan bismi Allah? Alih-alih, Surat Al-Alaq sebagaimana
surat-surat yang diturunkan awal senantiasa menggunakan kata Rabbi untuk menyebut
Tuhanmu. Rupanya, Allah Swt. dalam masa-masa awal kenabian sengaja tidak menggunakan
kata Allah dalam ayat-ayat-Nya agar tidak tercampur maknanya dengan kata Allah yang dikenal
masyarakat Arab waktu itu.
Pada dasarnya, orang-orang Arab sejak dahulu sudah mengenal kata Allah. Namun bukan dengan
pengertian yang dibawa oleh Islam. Allah menurut mereka adalah salah satu nama dewa, yaitu
dewa Bulan, tutur Zulkarnain. Allah juga dimaknai sebagai suatu zat atau ruh yang mempunyai
hubungan dengan jin.
Allah dalam pemahaman bangsa Arab Jahiliyah, mempunyai anak-anak perempuan dan harus
didekati lewat perantaraan. Lafaz Allah baru digunakan oleh ayat-ayat Alquran setelah akidah
tertanam dengan baik di kalangan sahabat dan kaum muslimin, ujar Zulkarnain.
Pada ayat (4) alladhiy Allama bil qalam Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam, Allah berbicara tentang al-qalam. Qalam dalam bahasa Arab berarti memotong ujung
sesuatu menjadi runcing, atau kini dikenal sebagai pena.
Ayat ini bermakna Allah mengajarkan sesuatu lewat perantaraan alat, atau usaha yang dilakukan
manusia. Di sisi lain, Sutarno berpandangan bahwa al-qalamdalam ayat ini adalah qalam yang
ada di lauh al-mahfuz, atau qalam (pena) pertama yang diciptakan. Sutarno merujuk
pandangannya pada Surat Al-Qalam (68).
Ayat (4) terkait erat dengan ayat (5) Allamal insaana maa lam yalam Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. Aceng menjelaskan bahwa allama berasal dari kata
alima yang mempunyai arti: (1) arafa (mengetahui atau mengerti), atau (2) yaqin. Jika
menggunakan arti pertama, allama berarti menjadikan orang lain mengerti, atau memberikan
pengertian kepada orang lain tentang sesuatu. Jika menggunakan arti kedua, Allah akan
memberi keyakinan kepada manusia tentang sesuatu.
Adapun Sutarno menggarisbawahi kata allama yang menurutnya berarti banyak mengilmukan,
yang tidak diketahui oleh makhluk lain. Sementara Aceng menandai adanya tasydid yang
memang bisa menunjukkan makna banyak. Allah ini banyak mentransfer ilmu, paparnya.
Dalam ayat (5) ini tidak lagi disebutkan adanya alat ataupun proses. Hal ini menurut Zulkarnain
bermakna, ilmu yang dimaksud langsung diajarkan Allah, seperti kepada para Nabi dan Rasul.
Ayat ini menurut Zulkarnain juga menunjukkan hasil dari perintah iqra sebelumnya. Allah akan
mengajari manusia sesuatu yang tidak diketahuinya, setelah proses membaca ia lakukan. Ayat
(5) ini diakhiri dengan waqaf tamm, yaitu waqaf yang sangat dianjurkan untuk berhenti. Berarti
pembahasan berikutnya adalah pembahasan baru, jelas Zulkarnain.
Mengakhiri pembahasannya, Zulkarnain menyimpulkan bahwa ayat 1-5 Surat Al-Alaq ini adalah
bekal awal untuk berdakwah kepada umat manusia. Sebab di dalamnya, Allah memperkenalkan
dirinya. Allah menegaskan bahwa Allah yang harus diyakini seluruh umat manusia adalah Allah
yang memiliki kekuatan menciptakan yang luar biasa, berbeda dengan keyakinan orang-orang
Arab pada waktu itu.
(4) Laqad khalaqnaa l-insaana fii kabad Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam
kesukaran.
Masih dari sejarah Ibrahim dan keluarganya, Irfan mengajak kita melihat sejarah perjuangan
manusia. Manusia diciptakan Allah untuk berusaha dan berjuang mengatasi kesukaran. Inna
ma`a l-`usri yusraa (Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan), kutip Beliau. Sesudah
masa kesukaran, kerja keras dan perjuangan, barulah datang masa kemudahan dan memetik
hasil.
Hal inilah menurut Irfan, makna yang terkandung dalam aktivitas sa`i pada ibadah haji. Istilah
sa`i berarti usaha. Hajar RA baru memperoleh anugerah air zamzam dari Allah setelah dia
melakukan sa`i (usaha), yaitu berlari-lari bolak-balik tujuh kali mencari air antara Bukit Shafa
dan Marwah.
Irfan berharap, manusia dapat bercermin dari peristiwa tersebut dan menyadari bahwa kejayaan
hanya dapat diraih melalui perjuangan maksimal. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat
An-Najm 39-40: Wa an laisa li l-insaani illaa maa sa`aa, wa anna sa`yahuu saufa yuraa, yang
artinya: Dan bahwa manusia tidak memperoleh kecuali apa yang diusahakannya, dan bahwa
usahanya akan terlihat nyata.
Akan tetapi, dalam perjuangannya manusia jangan sampai melupakan untuk siapa dia harus
berjuang. Ayat 5-8 mulai mengingatkan hal ini:
(5) Aya?sabu an lan yaqdira `alaihi a?ad Apakah dia mengira bahwa takkan ada yang
berkuasa atasnya satupun? (6) Yaquulu ahlaktu maalan lubadaa Dia berkata: aku telah
menghabiskan harta berlimpah. (7) Aya?sabu an lam yarahuu a?ad Apakah dia mengira
bahwa tak pernah ada yang melihatnya satupun?
Manusia tidak berjuang untuk dirinya sendiri, akan tetapi untuk Dzat yang Maha Mengawasi dan
berkuasa mutlak atasnya. Dzat inilah yang memberinya senjata untuk berjuang:
(8) Alam naj`al lahuu `ainain Bukankah Kami telah menjadikan baginya dua mata, (9) Wa
lisaanan wa syafatain dan lidah dan dua bibir?
Mata memberikan kemampuan untuk melihat dan meneliti alam ciptaan Allah. Lidah
memberikan kemampuan untuk merasakan. Bibir dan lidah juga membuat kita mampu
berkomunikasi. Dengan keduanya pula kita meminta dan berzikir kepada Allah, Sang Penguasa
Mutlak tersebut
Semua agama menyebutkan bahwa manusia memiliki visi dan misi hidup ketika di dunia.
Demikian disampaikan Alfathri Adlin, pengkaji budaya dan agama, pada kuliah umum bertajuk
Pendidikan dan Agama di Gedung Sayap Selatan (GSS) C Masjid Salman ITB pada Senin
(29/11) malam. Kegiatan ini merupakan rangkaian serial kuliah umum Beragama dalam
Pergolakan Budaya yang diselenggarakan Divisi Pengkajian dan Penerbitan (DPP) YPM Salman
ITB.
Setiap orang dimudahkan mengerjakan apa yang dia telah diciptakan untuk itu, kutip Alfathri
dari perkataan Rasulullah melalui hadist riwayat Imam Bukhari. Bagaimana pun, tujuan manusia
hidup di dunia, lanjut Alfathri, merupakan masalah mendasar semua orang.
Masing-masing orang punya Misi Suci yang berbeda-beda, yang telah Tuhan tugaskan
kepadanya. Berdasarkan misi suci inilah untuk apa seseorang diciptakan dan menurut apa
dimudahkan kepadanya, papar Alfathri.
Selain dari sudut pandang Islam, Alfathri juga mengutip beberapa kitab suci agama lain
mengenai tujuan manusia hidup di dunia. Dalam Bhagawad Gita, kitab agama Hindu, misalnya.
Alfathri mengutip bahwa manusia bisa mencapai kesempurnaannya bila manusia berbakti kepada
kewajiban yang telah Tuhan tetapkan. Dengan kata lain, manusia yang sempurna adalah manusia
yang menjalankan visi dan misi hidup yang telah Tuhan tetapkan untuknya.
Dalam tradisi Hindu, (tujuan hidup) disebut darma. Setiap manusia punya darma. Lebih baik
kerjakanlah darmanya sendiri daripada darma orang lain, meskipun darma orang lain itu
sempurna, ungkap alumni FSRD ITB ini.
Pun dengan naskah-naskah Injil Barnabas, Perjanjian Lama, dan Perjanjian Baru, lanjut Alfahtri.
Banyak ayat yang menyebutkan pentingnya manusia menjalani apa yang telah digariskan Tuhan
untuknya.
Visi dan misi hidup ini kemudian diisyaratkan oleh Tuhan ke tataran jasadiah yang disebut
energi minimal. Energi minimal itu semacam bayangan jati diri individu. Suatu kemampuan
utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu, jelas Alfathri.
Energi minimal ini Alfathri contohkan dengan orang yang bekerja siang-malam tetapi tidak
merasakan susah payahnya bekerja. Sehingga ada orang yang dengan mudahnya mendalami
filsafat, ekonomi, atau bahasa.
Untuk menemukan energi minimal ini, Alfathri mensyaratkan inspirasi. Bagaimana pun,
inspirasi akan membuat si anak didik mencari dan belajar dengan sendirinya. Inspirasi bisa
memancing energi minimal keluar, simpul Alfathri.
Alquran seringkali dituduh menutup mata terhadap perbudakan. Namun, pandangan tersebut
tampaknya perlu ditinjau setelah kita mengkaji Surat Al-Balad. Kajian surat tersebut dalam
Diskusi Tafsir Salman pada Senin pagi (17/01) lalu, memberikan kesimpulan yang sama sekali
berbeda. Berbeda dengan diskusi-diskusi sebelumnya, diskusi kali ini lebih banyak mengupas
masalah sosial dari makalah utama Irfan Anshory. Hadir sebagai penanggap, Ustad Zulkarnain
dari DPD Salman ITB.
Surat Al-Balad tergolong Surat Makkiyah. Ia diturunkan sesudah Surat Qaaf dan sebelum Surat
Ath-Thaariq. Surat-surat ini diwahyukan Allah ketika Nabi Muhammad SAW beserta kaum
Muslimin mengalami pemboikotan (dikucilkan dari semua aktivitas sehari-hari) oleh kaum
musyrikin Makkah.
Pengucilan ini direkam dalam dua ayat surat ini, yaitu: (1) Laa uqsimu bi haadzaa l-balad
Tidak! Aku bersumpah dengan negeri ini, (2) Wa anta ?illun bi haadzaa l-balad dan engkau
penduduk sah negeri ini.
Dengan latar belakang kesejarahan di atas, Irfan mengajak kita memahami mengapa Allah
membuka Surat Al-Balad dengan kalimat negasi (nafi): Tidak!. Artinya, sangat tidak pantas
tindakan pengucilan dan pemboikotan orang-orang Makkah terhadap Muhammad SAW dan para
pengikut beliau, tegas Beliau.
Mengapa disebut tidak pantas? Karena Allah SWT telah menjamin lewat sumpahnya bahwa
Makkah adalah matsaabatan li n-naasi wa amnaa (tempat berkumpul bagi manusia dan tempat
yang aman). Sehingga, man dakhalahuu kaana aaminaa (siapa yang memasukinya, amanlah
dia), imbuh Irfan.
Apalagi Muhammad SAW adalah seorang ?ill (penduduk sah) negeri Makkah, bukan pendatang
haram. Rasulullah SAW bahkan merupakan bangsawan asli Quraisy. Beliau adalah keturunan
garis lurus dari Qusayy, yang mempelopori pembangunan lembah Makkah menjadi sebuah
negeri tempat menetap yang permanen.
Sejarah negeri Makkah terus ditarik ke belakang lewat ayat berikutnya: (3) Wa waalidin wa maa
walad Demi ayah dan yang jadi putra.
Irfan menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Nabi Ibrahim AS dengan
putra beliau, Nabi Ismail AS. Sebab, ayat sebelumnya mewacanakan negeri Makkah. Allah
memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk memboyong istri beliau Hajar dan putra mereka Ismail
yang masih kecil.
Mereka bertiga pergi dari Kanaan (Palestina) ke arah Selatan, menuju sebuah lembah yang
bernama Baka atau Bakkah. Oleh karena mim dan ba sama-sama huruf bilabial (bibir), nama
Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah.
Dalam bahasa Arab dan Ibrani, kata baka mempunyai dua arti: berderai air mata dan pohon
balsam. Arti yang pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seolah-olah
tidak memberikan harapan. Adapun arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon
Balsam (genus Commiphora) yang tumbuh di sana.
Apakah keistimewaan Lembah Bakkah itu? Allah menjelaskannya dalam Surat Ali Imran 96:
Inna awwala baitin wudhi`a li n-naasi la l-ladzii bi bakkata mubaarakan wa hudan li l-`aalamiin
yang artinya: Sesungguhnya Rumah Pertama yang dibangun untuk manusia benar-benar terletak
di Bakkah yang diberkati dan petunjuk bagi seluruh alam.
Ternyata Lembah Bakkah merupakan lokasi pertama Rumah Allah (Baitu l-Laah dalam bahasa
Arab, Beth Elohim dalam bahasa Ibrani). Rumah ini didirikan oleh generasi pertama umat
manusia dari zaman Nabi Adam AS. Pada masa Nabi Ibrahim AS, lembah itu telah terlantar.
Tiada manusia yang menghuni dan Rumah Allah yang pertama itu hanya tinggal fondasinya saja.
Setelah Nabi Ismail AS dewasa, turunlah perintah Allah kepada Ibrahim dan Ismail untuk
membangun atau merenovasi Baitullah. Mereka berdua pun meninggikan fondasi yang sudah
ada. Surat Al-Baqarah 127 memberikan informasi: Wa idz yarfa`u ibraahimu l-qawaa`ida mina
l-baiti wa ismaa`iil yang artinya: Dan ketika Ibrahim meningkatkan fondasi dari Al-Bait
bersama Ismail.
Bangunan Rumah Allah yang didirikan Ibrahim dan Ismail itu berbentuk kubus (kabah dalam
bahasa Arab). Karena itu, lama-kelamaan Rumah Allah yang berukuran 12 x 10,5 x 15 meter itu
dikenal dengan sebutan Kabah.
Apa yang harus diperjuangkan manusia? Jawabannya dimulai dari ayat (10): Wa hadainaahu n-
najdain Dan Kami telah menunjukkannya dua jalan. Najd sendiri secara harfiah berarti
dataran tinggi. Irfan menduga istilah tersebut dipilih untuk menunjukkan bahwa dua jalan yang
disediakan tersebut ditampakkan jelas, seolah-olah ditinggikan.
Selanjutnya, Irfan menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu dan merdeka untuk
memilih. Itulah sebabnya ajaran Islam dan penjajahan tidak pernah bertemu. Islam tidak
mungkin menjajah, dan tidak mungkin membiarkan dirinya terjajah.
Allah saja telah memberikan kemerdekaan penuh kepada manusia untuk memilih di antara dua
jalan. Manusia boleh memilih jalan taqwa yaitu manusia memilih untuk tunduk-patuh kepada
ajaran-ajaran Allah. Sebaliknya, manusia juga boleh memilih jalan fujur, yaitu manusia memilih
ingkar kepada ajaran-ajaran Allah.
Akan tetapi jalan taqwa tidaklah mudah ditempuh. (11) Fa laa qta?ama l-`aqabah Maka
tidaklah dia menempuh jalan mendaki. (12) Wa maa adraaka maa l-`aqabah Dan apakah
yang membuatmu tahu tentang jalan mendaki? Irfan menerangkan bahwa Aqabah adalah nama
tempat berbukit yang menjadi lokasi perjanjian Baiatur Ridwan. Perjanjian ini adalah sumpah
setia para pemuka masyarakat Yatsrib (kelak menjadi Madinah) untuk melindungi Rasulullah
SAW.
(13) Fakku raqabah Melepaskan belenggu! (14) Au ith`aamun fii yaumin dzii masghabah
Atau memberi makan pada hari terjadi krisis, (15) Yatiiman dzaa maqrabah kepada anak
yatim yang memiliki kedekatan (16) Au miskiinan dzaa matrabah atau orang miskin
terhampar di tanah.
Kata raqabah dalam ayat (13) biasanya diartikan sebagai budak. Padahal menurut Irfan, akar
katanya adalah raqib yang berarti leher. Kata ini kemudian biasa digunakan untuk belenggu
yang dipasang di leher. Ada banyak belenggu sekarang yang perlu dilepaskan, bukan hanya
perbudakan yang justru sudah tidak ada, komentar Irfan. Zulkarnain mendukung pandangan ini
karena kata raqabah diawali dengan lam nakirah. Artinya bisa luas, ujarnya.
Melihat ayat 14-16, Irfan dan para hadirin sepakat bahwa belenggu yang perlu segera dilepaskan
adalah kemiskinan, khususnya yang berada sangat dekat dengan kita. Maqrabah jangan hanya
diartikan kerabat karena darah. Namun semua yang dekat dengan kita seperti karyawan atau
tetangga, papar Irfan.
Akmasj Rahman, salah seorang hadirin yang juga pembina YPM Salman ITB, menambahkan
bahwa yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah kemiskinan, Tapi pendistribusian sumber
daya, ujarnya.
Jika manusia berjuang melepaskan belenggu tersebut, dia menjadi gambaran ayat-ayat
berikutnya: (17) Tsumma kaana mina l-ladziina aamanuu wa tawaashau bi sh-shabri wa
tawaashau bi l-mar?amah Kemudian menjadilah dia dari orang-orang beriman dan saling
berpesan tentang kesabaran dan saling berpesan tentang kasih-sayang. (18) Ulaaka ash?aabu
l-maimanah Mereka itulah golongan kanan.
Namun, jika manusia enggan melakukannya, maka ia divonis dalam ayat-ayat terakhir surat ini:
(19) Wa l-ladziina kafaruu bi aayaatinaa hum ash?aabu l-masymah Dan orang-orang
ingkar kepada ayat-ayat Kami, mereka golongan kiri. (20) `Alaihim naarun mushadah Atas
mereka neraka tersegel.

Anda mungkin juga menyukai