ANALISIS MENGENAI FENOMENA PENGHAKIMAN MASSA DALAM
PESRPEKTIF HUKUM, EKONOMI DAN BILA DIKAITAKAN DENGAN HAM
DISUSUN OLEH: FIMA AGATHA 1112011141
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2014
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adanya hukum diharapkan dapat merespon dan mengatasi segala permasalahan yang terdapat dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur masyarakat, harus dapat mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat yang sangat banyak dan kompleks. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, diperlukan kepastian hukum sehingga terciptanya kebutuhan dasar manusia berupa kesejahteraan, keselamatan, keamanan dan keadilan, bukan hanya merupakan harapan yang semu belaka. Dalam konteks analisis ini, sebuah kepastian hukum apakah dapat menjadi sebuah kenyataan jika dikaitkan dengan banyaknya fenomena yang terdapat dalam masyarakat yang masih melakukan berbagai tindakan pelanggaran hukum itu sendiri. Sebuah masyarakat yang belum memiliki kesadaran hukum yang tinggi akan mudah terprovokasi oleh berbagai hal dari luar. Provokasi seolah-olah menjadi sebuah kompor yang akan menyulut api yang lebih besar. Penghakiman massa merupakan cerminan masyarakat yang belum sadar akan hukum dan masih mengedepankan emosi dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Dengan melakukan penghakiman massa, tidak lantas menyelesaikan perkara, malah yang terjadi adalah timbulnya sebuah masalah baru dari penghakiman massa itu. Seseorang yang disangka melakukan perbuatan pidana, entah itu mencuri, mencopet atau memperkosa, sebelum dilakukan investigasi lebih mendalam terhadap perbuatan itu, sudah dihakimi oleh masyarakat tanpa ada pembelaan diri atas apa yang telah ia perbuat. Kalaupun ia tertangkap basah melakukan perbuatan pidana itu, tentu ia memiliki alasan mengapa ia melakukan hal itu. Dengan langsung dihakimi massa, maka ia tidak akan dapat melakukan pemjelasan dan pembelaan diri atas apa yang telah ia perbuat. Masyarakat yang memiliki tingkat emosi yang tinggi akan mudah terprovokasi. Masyarakat akan mudah panik dan dengan kepanikannya itu akan dapat dengan mudah melakukan berbagai tindakan yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Kekurang tanggapan aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah polisi, untuk mencegah adanya penghakiman massa ini merupakan peluang akan terus terjadi penghakiman-penghakiman massa selanjutnya. Bahkan aparat penegak hukum juga tidak segan-segan memukuli tersangka disaat ia digelandang di depan umum. Pembiaran juga dilakukan oleh aparat penegak hukum saat penghakiman massa. Hampir dapat dipastikan bahwa polisi tidak akan memproses para pelaku penghakiman massa yang kemungkinan dapat dilakukan oleh warga satu RT atau bahkan sekampung. Ketidakmampuan polisi untuk menindak tegas pelaku penghakiman massa dan ketidaktahuan korban penghakiman massa adalah hal yang menambah tumbuh subur tindakan penghakiman massa dalam kehidupan masyarakat kita. Berangkat dari fenomena sosial hukum yang akan dianalisis, yakni mengenai tindakan penghakiman massa, akan dilihat dari sudut pandang hukum.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah suatu tindakan penghakiman massa dapat terjadi? 2. Bagaimanakah suatu tindakan penghakiman massa dilihat dari aspek hukum dan aspek ekonomi? 3. Bagaimanakah suatu tindakan penghakiman massa diakitakan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?
BAB II PENBAHASAN
A. ASPEK HUKUM DALAM PENGHAKIMAN MASSA
Berdasarkan ketentuan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia saat ini, seseorang dapat dikatakan melakukan pebuatan melawan hukum dan dapat dijatuhi pidana (sanksi) jika sudah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana (mempunyai kesalahan). 1
Dengan demikian, menurut hukum pidana positif di Indonesia saat ini, seseorang dapat dijatuhi pidana jika ia adalah orang yang tidak gila atau berfikiran sehat. Dengan kata lain bahwa apabila seorang yang gila melakukan tindakan melawan hukum, ia tetap tidak dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada dasarnya setiap perbuatan melawan hukum atau pelanggaran harus mendapat sanksi. Entah itu adalah rakyat jelata, pejabat, tukang sayur, ibu rumah tangga, kepala desa, guru, kepala sekolah atau siapapun. Hal ini dikarenakan adanya asas setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law). Hal ini juga termaktub dalam konstitusi negara ini, yaitu Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) yang bunyinya segala warga negara bersamaan kedududkannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan adanya sanksi, diharapkan suatu masyarakat akan menjadi tertib, aman dan teratur. Keadaan seperti ini dapat dicapai karena berbagai kepentingan masyarakat yang beraneka ragam untuk meraih kesejahteraannya akan terlindungi oleh hukum. 2
Dalam kehidupan masyarakat, penegakan hukum belum sepenuhnya dilakukan. Berdasarkan fakta yang ada banyaknya tindakan main hakim sendiri atau eigenrechting yang dilakukan tidak hanya oleh orang secara perorangan namun juga dilakukan oleh sekelompok massa. Pada semester pertama tahun 2010, tampak bahwa terjadi peningkatan jumlah insiden
1 . Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 75. 2 . Agus Sudaryanto, 2000, Mimbar Hukum, FH UGM, hal. 108. konflik dan kekerasan yang cukup signifikan dibandingkan dengan jumlah total insiden pada tahun 2009. Total insiden pada tahun 2009 sebanyak 600 insiden, sementara sampai pertengahan tahun 2010 telah terjadi 752 insiden. Jika kita bagi per hari, maka telah terjadi 4 insiden konflik dan kekerasan tiap hari. Jumlah yang sangat mencengangkan!. 3
Hal itu merupakan salah satu bukti bahwa semakin lama tingkat kekerasan di masyarakat semakin tinggi. Jenis kekerasan rutin, yang berupa tawuran, penghakiman massa, dan pengeroyokan semakin meninggi. Hal ini dibuktikan adanya eskalasi kekerasan dari sepanjang Tahun 2009: Tawuran 182 insiden (30%), penghakiman massa 158 insiden (26%), dan pengeroyokan 33 insiden (6%), menjadi Tawuran 231 (30%), penghakiman massa 171 insiden (23%), dan 31 insiden (4%) pada Juni 2010. sedikit berbeda pada kasus pengeroyokan pada tahun ini, terjadi penurunan sementara, akan tetapi sangat terbuka peluang untuk semakin meningkat. 4
Hal itu masih saja terjadi padahal Negara Republik Indonesia ini adalah sebuah negara berdasarkan atas hukum, sesuai Pasal 1 Ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbagai tindakan main hakim sendiri masih marak terjadi karena penegakan hukum yang belum maksimal dan kesadaran hukum masyarakat juga belum cukup matang. Sesuai dengan Pasal 24 UUN Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berhak mengadili pelanggar atau pelaku perbuatan melawan hukum adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jadi secara jelas bahwa perbuatan main hakim sendiri adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan tidak dapat ditolerir.
3 . Dany Yuda Saputra, 2010, Analisis Konflik dan Kekerasan di Indonesia 2009-2010, Institut Titian Perdamaian, Jakarta, hal. 1. 4 . Ibid, hal. 3
Tabel distribusi Isu konflik dan kekerasan Tahun 2009 Juni 2010 5
Jenis Konflik Tahun 2009 Tahun 2010 (Per Juni) Jumlah Persentase Jumlah Persentase Konflik Berbasis Agama 6 1% 10 1% Konflik Berbasis Etnik 5 1 15 15 Konflik Politik 74 12 117 16 Konflik Antaraparat Negara 5 1 4 1 Konflik Sumber Daya Alam 54 9 74 10 Konflik Sumber Daya Ekonozmi 30 5 59 8 Tawuran 182 30 231 30 Penghakiman Massa 158 26 171 23 Pengeroyokan 53 9 40 5 Lain Lain 33 6 31 4 Total 600 100% 752 100%
Peningkatan penghakiman massa di masyarakat dapat ditimbulkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang semakin lemah. Kepercayaan terhadap hukum dapat dilihat dari tiga hal, yaitu pertama, produk hukumnya atau peraturan-peraturannya. Sampai sejauh
5 . Ibid, hal. 2 mana peraturan perundang-undangan tersebut mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Produk hukum seharusnya bisa merepresentasikan rasa keadilan bagi masyarakat. Peraturan sendiri, sifatnya tidak bisa berdiri sendiri harus ada pelaksana hukum. Kedua, aparat penegak hukum. Sampai sejauh mana aparat penegak hukum mampu menegakkan hukum sesuai dengan peraturan. Telah menjadi rahasia umum bahwa hukum bisa dibeli. Masalah yang muncul adalah hukumnya yang bisa dibeli atau pelaksana hukum (aparat penegak hukum). Hal ini berdampak pada penegakan hukum. Seberapa besar penegakan hukum dapat merepresentasikan keadilan masyarakat. Ketiga, mengenai kesadaran hukum masyarakat. Seberapa besar tingkat kesadaran hukum masyarakat di Indonesia untuk menyelesaikan masalah melalui lembaga peradilan. Kesadaran hukum seharusnya diupayakan oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk masyarakat melalui sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan hukum kepada masyarakat. akan tetapi, proses ini ternyata tidak berjalan maksimal. Penyuluhan hukum yang dilakukan pemerintah tidak bisa menyentuh sampai di level paling bawah. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia hingga saat ini belum dijumpai sebuah ketentuan yang melarang tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku perbuatan melawan hukum. Kecuali bahwa tindakan menghakimi sendiri itu merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana, juga dapat dihukum. 6
Pada pasal 84 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa pengadilan berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang terjadi dalam wilayah hukumnya. Tindakan main hakim sendiri seharusnya tidak terjadi apabila masyarakat memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan itu ditunjukkan ketika terjadi sebuah pelanggaran hukum langsung dilaporkan kepada pihak yang berwajib (polisi) agar nantinya masalah yang ada langsung dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.
6 . Sudikno Mertokusumo, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 3
B. Aspek Ekonomi Dalam Penghakiman Massa
Aspek ekonomi tidak bisa lepas dari segala hal dalam kehidupan, termasuk dalam hal hukum. Seseorang akan melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan ekonominya. Seseorang dapat bertahan hidup dan melanjutkan hidup apabila memiliki perekonomian yang cukup. Oleh karena itu ekonomi merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam penentuan tindakan seseorang. Seseorang akan dengan mudah dan sengaja melakukan tindakan melawan hukum demi memenuhi kebutuhan hidup, entah itu dengan cara mencuri, menodong, menjambret hingga membunuh. Itu dilakukannya karena adanya desakan kebutuhan ekonomi yang makin lama semakin tinggi.
Krisis ekonomi adalah suatu hal yang membuat masyarakat akan mudah melakukan berbagai hal negatif. Dengan adanya krisis ekonomi, maka banyak masyarakat yang akan kehilangan perkerjaan karena perusahaan tidak dapat menggaji mereka. Banyak karyawan/pegawai yang berpenghasilan tetap menjadi miskin karena adanya inflasi yang luar biasa sehingga nilai upah yang ia dapat tiap bulan semakin lama semakin rendah karena tidak mampu lagi membeli barang-barang kebutuhan hidup yang semakin mahal dikarenakan inflasi itu tadi. Nilai uang yang berada di dalam tabungan (bank) akan semakin kecil karena inflasi. Orang-orang akan berbondong-bondong menarik uangnya yang ada di bank dan membelanjakan uang tersebut berupa barang. Orang-orang akan lebih suka menyimpang barang daripada menyimpang uang. Sepeda motor yang bagi masyarakat miskin merupakan suatu tanda meningkatnya derajat ekonomi keluarga merupakan barang yang sangat berharga. Sepeda motor merupakan alat transportasi dan barang kekayaan yang paling berharga bagi masyarakat miskin. Sepeda motor mudah untuk dialihkan kepemilikannya. Sehingga sangat rawan pencurian. Kehilangan sepeda motor bak kehilangan nyawa. Dalam situasi krisis, pencurian merupakan hal yang sehari-hari terjadi di dalam masyarakat. Harga kebutuhan hidup semakin tinggi sehingga menuntut seseorang harus berupaya segala cara demi memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk mencuri. Seseorang mencuri sepeda motor karena barang itu mudah untuk dijual dan diuangkan. Sehingga marak adanya pencurian sepeda motor adalah merupakan resiko adanya krisis ekonomi. Seseorang yang mencuri sepeda motor tidak akan segan-segan dihajar oleh massa dan dihabisi nyawanya. Hal itu tak lain karena sepeda motor bagi masyarakat miskin adalah suatu barang yang sangat berharga dalam masa-masa krisi yang harus dilindungi bagaikan melindungi nyawanya. Sehingga masyarakat akan mudah kalap dan melakukan tindakan penghakiman massa yang membabi buta terhadap seseorang yang mencuri sepeda motornya itu. Hal itu tak lain juga karena desakan kebuutuhan ekonomi yang menuntut seseorang harus melindungi barang berharga miliknya secara maksimal dalam situasi krisis yang mengakibatkan ia akan mudah tersulut emosi ketika barang berharga sebagai aset kekayaannya itu terancam oleh orang lain. Sebagaimana dikemukakan Kwik Kian Gie, bahwa dari sudut pandang aspek ekonomi mereka sebagai golongan yang tertinggal secara ekonomi akan mempunyai potensi melakukan tindakan kekerasan. 7
C. Bila Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
Saat ini di Indonesia terkadang sulit bagi setiap orang bertanya kepada orang yang tepat, atau memang orang yang dianggap tepat untuk berbicara sudah memudar kejujurannya untuk mengatakan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Memang betul bahwa lidah penegak hukum dan aparatur hukum yang pandai bersilat lidah yang kemudian melakukan praktik dagang hukum sehingga dapat menyesatkan jutaan rakyat di negara ini yang memang belum dapat diberdayakan secara optimal sampat saat ini. Di pihak lain, adanya pembedaan pelanggaran HAM vertikal dan horizontal seperti penghakiman massa ini yang terkesan diskriminatif dalam mengambil suatu keputusan. Disinilah, diperlukan kejujuran dan ketidakberpihakan dalam hal perlindungan HAM oleh semua pihak, bukan hanya semata-mata ditujukan kepada hakim melainkan juga kepada diri kita semua atau mereka, para pejuang HAM, yang membantu perjuangan atau para penontonnya. Oleh karena itu, mungkin penjelasan mengenai pelanggaran HAM melalui
7 . Herlianto. 1997, Urbanisasi, Pembangunan Dan Kerusuhan Kota, Alumni. Bandung, hal. 78-79 peraturan perundang-undangan dapat dianggap tidak cukup bila tidak dibantu oleh pemahaman ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya di Indonesia. Selain itu, terkadang kita tidak bertanya kepada ahlinya yang berkompeten sehingga menimbulkan salah persepsi pemahaman HAM yang menimbukan salah persepsi yang seakan-akan HAM itu adalah milik rakyat dan bukan milik birokrat atau TNI/Polisi. Bila hal itu yang dijelaskan kepada masyarakat, sudah tentu terjadi penyimpangan terhadap muatan pasal-pasal Declaration of Human Rights yang telah di ungkapkan di atas, yang menegaskan bahwa HAM sudah melekat sejak manusia dilahirkan. Oleh karena itu, penyusunan KUHP di Belanda (1881) mengatur sanksi pidana terhadap mereka yang dengan sengaja menggugurkan kandungan tanpa alasan medis yang sah. Sebab, bayi sejak dalam kandungan pada usia lebih dari 120 hari dianggap sudah bernyawa. Di sini menunjukan bahwa pelanggaran HAM bukan hanya sesudah manusia dilahirkan di dunia, melainkan sejak umur tertentu dalam kandungan. Namun perlu di pahami bahwa perbedaan antara pelanggaran HAM dengan perbuatan pidana adalah tenggang waktun atau kedaluarsaan. Dalam pelanggaran HAM tidak dikenal lewat waktu, sementara perbuatan pidana mengenal lewat waktu. Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan hak asasi manusia yang berlaku, melainkan degradasi terhadap kemanusian yang merendahkan martabat dan derajat manusia menjadi serendah binatang. Oleh karena itu, pelanggaran HAM tidak selalu identik dengan pelanggaran hukum pidana dan terlebih lagi dalam setiap pelanggaran HAM terdapat unsur perencanaan, dilakukan secara sistematik dengan cara tertentu yang lebih banyak bersifat kolektif, baik berdasarkan agama, etnis, atau ras tertentu. Keempat unsur pokok dari pelanggaran HAM dimaksud, harus dapat di buktikan di dalam pengadilan. Sedangkan unsur kelima (objek tertentu) tidak selalu harus bersifat kolektif karena pelanggaran HAM termasuk pula yang dilaksanakan secara perorangan. Bila melihat berbagai kekhususan dan spesifikasi pelanggaran HAM, sudah seharusnya kasus-kasus pelanggaran HAM seperti penghakiman massa itu diperiksa dan diadili oleh suatu pengadilan, disamping para Jaksa Penuntut Umum, dan Penasihat hukum sehingga proses peradilan dapat dijalankan secara objektif dan benar yang mencerminkan bahwa negara Republik Indonesia berdasar atas hukum. 8
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas mengenai beberapa hal yang memungkinkan adanya tindakan penghakiman massa yang dilihat dari aspek hukum dan aspek ekonomi adalah sebagai berikut : Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan dan ekspresi dari ketidakpuasan masyarakat atas hukum yang berlaku di republik ini. Masyarakat cenderung liar dan egoistis dalam menyelesaikan masalah. Penegakan hukum yang masih tebang pilih menambah buruk keadaan masyarakat yang kesadaran hukumnya masih sangat kurang. Kesewenang-wenangan pemerintah dalam membuat berbagai aturan yang kurang adil bagi masyarakat juga menimbulkan berbagai tindakan diluar hukum yang dirasa masyarakat lebih adil dan memuaskan batin mereka. Di samping itu, dampak krisis ekonomi 12 tahun yang lalu masih terasa hingga kini. Masyarakat masih banyak menemui kesulitan ekonomi karena kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan segelintir orang. Masyarakat berusaha sendiri memenuhi kebutuhan hidup dengan cara mereka sendiri. Tuntutan hidup yang semakin mahal dan menjepit mereka menambah mereka kalap untuk melakukan apapun demi melanjutkan hidup. Himpitan ekonomi semakin memperburuk masyarakat yang belum memiliki kesadaran hukum yang tinggi untuk melakukan berbagai tindakan main hakim sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Sudaryanto, Agus. 2000. Mimbar Hukum. FH UGM. Yogyakarta. Saputra, Dany Yuda. 2010. Analisis Konflik dan Kekerasan di Indonesia 2009-2010. Institut Titian Perdamaian. Jakarta. Mertokusumo, Sudikno. 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta. Herlianto. 1997. Urbanisasi, Pembangunan Dan Kerusuhan Kota. Alumni. Bandung. Ali, Zainuddin. 2012. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Dokumen Serupa dengan Makalah Sosiologi Hukum Fima Agatha 1112011141