Anda di halaman 1dari 8

1

Pemanfaatan Inovasi Hasil Penelitian Dan Pengembangan


(studi kasus pabrik gula di Indonesia dalam tinjauan ekonomi)
Ahmad Zafrullah Tayibnapis
Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya
Kampus Ubaya, Tenggilis Mejoyo Surabaya
HP : 081331623941
e-mail : ahmad_zafrullah@yahoo.co.id
ABSTRAK
Dewasa ini pabrik gula makin kesulitan memperoleh laba marjin karena tingginya
biaya operasional, sementara harga gula ditentukan pemerintah. Berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan pabrik gula, agar tetap berada
dalam pasar, namun hingga kini pabrik gula merugi sebagai akibat dari inefisiensi pada
tingkat on farm dan off farm serta rendahnya tingkat produktivitas.
Pabrik gula sebaiknya melakukan usaha diversifikasi melalui bisnis turunan tebu non
gula, seperti ampas tebu digunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket dan bahan
bakar sebagaimana yang telah dilaksanakan India, Mauritius, Brazil dan Hawaii. Pada
industri berbasis tebu yang modern, setiap 1 ton tebu setelah diproses akan mampu
menghasilkan surplus power 100 kw, bioethanol 12 liter dan biokompos 40 kg. Pabrik gula
BUMN rata-rata menghasilkan 7,32 juta ton ampas atau 32 % dari jumlah tebu giling dan
1,12 juta ton tetes (4,9%) serta 800.000 ton blotong (3,5%). Pengusahaan energi listrik dari
ampas tebu melalui cogeneration patut dipertimbangkan Kementerian BUMN, karena dapat
dijadikan sandaran hidup pabrik gula untuk menghasilkan laba usaha dengan maksimal.
Apabila diasumsikan setiap 1 ton dapat menghasilkan 300 kg ampas tebu, maka diperoleh
listrik rata-rata 100 kw, dan kalau ada 10 pabrik gula BUMN, maka akan diperoleh listrik 225
megawatt. Produksi listrik juga dapat diperoleh dari etanol untuk menghasilkan 37.440 MWH
dan sangat ramah lingkungan.
(Kata kunci : Pabrik Gula-Industri Berbasis Tebu-Cogeneration Plant)

1. Pendahuluan

Tebu merupakan salah satu tanaman perkabunan yang mempunyai peranan dan
posisi penting dalam sektor industri pengolahan di Indonesia. Tanaman tebu merupakan
bahan baku untuk industri gula, dan tidak hanya menghasilkan gula untuk masyarakat, tetapi
juga gula sebagai bahan baku industri makanan-minuman serta produk-produk lain, seperti
energi, serta, blotong, tetes, dan lain-lain yang merupakan hasil ikutannya. Industri gula,
tanaman tebu, dan hasil ikutannya mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan mampu
menyerap tenaga kerja begitu besar.
Pengembangan tanaman tebu dan hablur tanaman tebu serta efisiensi pabrik gula
yang berkesinambungan menjadi kebutuhan utama, mengingat peluang untuk
mengembangkan industri gula masih terbuka lebar. Hanya saja kecurigaan atara petani tebu
dengan pabrik gula mengenai penetapan rendemen tebu masih menjadi permasalahan
sensitif di lapangan, dan rentan potensi konflik. Petani tebu hingga kini masih diliputi kondisi
ketidak sejahteraan, ketidak adilan, ketidak percayaan dan ketidak berdayaan di tengah-
tengah harga gula dan kebutuhan nasional sangat tinggi.
2

Peran pabrik gula sangat menentukan dalam rangka pencapaian peningkatan
rendemen dan hablur serta memberdayakan petani tebu agar tercipta sinergitas antara
pabrik gula, petani tebu dan pemerintah ; termasuk hubungan harmonis dan saling
menguntungkan dengan pengusaha gula, pedagang, dan para pemangku kepentingan.
Permasalahan mendasar saat ini dan ke depan adalah kesulitan pabrik gula di
Indonesia untuk memperoleh laba margin, dan sebagian lagi sudah merugi karena tingginya
biaya operasional, inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm, serta rendahnya tingkat
produktivitas. Harga gula tidak mengikuti mekanisme pasar, dan wajib mengikuti penetapan
pemerintah karena gula merupakan salah satu komoditi kebutuhan pokok rakyat dan
berpengaruh cukup signifikan terhadap inflasi. Apalagi harga gula impor ternyata lebih murah
dan menarik setelah ada di pasar.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan
pabrik gula agar tetap bertahan di dalam pasar, seperti revitalisasi industri berbasis tebu,
program bongkar ratoon, peningkatan rendemen dan hablur tanaman tebu, dan lain-lain.
Namun strategi dan sasaran revitalisasi selalu gagal dan lunglai di tengah jalan. Hal yang
berbeda terjadi di Brazil, India dan Thailand yang justru berjaya karena kemampuan
melakukan diversifiksi usaha dengan menggarap produk turunan tebu yang dimanfaatkan
secara ekonomis dan keberhasilan melakukan transformasi menjadi industri berbasis tebu
secara terintegrasi dari hulu ke hilir.
Pemerintah Indonesia tampaknya tetap menginginkan optimalisasi dengan cara
mengoperasikan pabrik gula pada kapasitas tertentu dengan mempertimbangkan
keseluruhan stasiun sebagai suatu kesatuan dan antar stasiun di harmonisasikan dalam satu
kesatuan gerak untuk mencapai kinerja yang paling optimal. Namun para pemangku
kepentingan mungkin lupa kalau ada resiko yang seharusnya diperhitungkan, seperti tingkat
kehilangan gula, kualitas produk yang menurun, meningkatnya biaya perawatan, melubernya
nira kental, kenaikan harga bahan bakar minyak, harga gula yang dikendalikan pemerintah,
harga gula impor yang relatif lebih murah di pasar, dan lain-lain. Dengan demikian harus ada
keberanian untuk melakuakn terobosan agar pabrik gula tidak tergantung pada produksi gula
saja sebagai sumber penciptaan laba usaha, dan saatnya menggarap produk-produk
turunan tebu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti ampas tebu dipergunakan untuk
menghasilkan energi listrik, briket, bahan bakar, pulp, kertas, kardus, papan partikel dan
papan serat.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini masuk dalam kategori deskriptif-kualitatif, yakni menganalisis secara
keekonomian kondisi eksisting pabrik gula di Indonesia, dan penelitian ini tertuju pada
kondisi obyek yang alamiah di mana peneliti meupakan instrumen kunci. Analisis data
bersifat induktif dengan senatiasa menekankan pada makna daripada generalisasi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini dalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung dari sumbernya yakni pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri dan
pabrik gula Pesantren Baru Kota Kediri. Selanjutnya data sekunder berasal dari PTPN X
(Persero) dan menggali dari literatur atau jurnal. Data yang berhasil dikumpulkan, baik
primer maupun sekunder, dikompilasi untuk melakukan analisis secara deskriptif dari
interpretasi obyek yang dipelajari guna memperoleh kesimpulan.
3. Hasil dan Diskusi
3.1 Dilema Industri Tebu Di Indonesia
Industri tebu di Indonesia pada 2012 telah memproduksi gula sebagai produk utama
sebesar 2,5 juta ton dan mengalami peningkatan di banding 2011 yang sekitar 2,2 juta ton.
Produksi gula 2,5 juta ton sejatinya di bawah target pemerintah yakni 3,1 juta ton gula
3

konsumsi. Selanjutnya biaya produksi gula di PTPN rata-rata sekitar Rp. 6.860,- per
kilogram, padahal seharusnya sekitar Rp. 5.800,- karena ketergantungan pada BBM,
penggunaan teknologi yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini, dan tingginya
kebocoran serta tumpahan dalam mata rantai produksi di pakrik gula.
Kapasitas giling dari 62 pabrik gula yang ada di Indonesia seharusnya mampu
mencapai 205.000 ton tebu per hari. Apabila diasumsikan 170 hari giling dan rendemen 9%
atau 3,1 juta ton gula per ton. Kenyataan hanya mampu merealisasi 2,5 juta ton pada 2012,
dan itu berarti Indonesia tetap harus impor gula setiap tahun dari Brazil, India dan Thailand.
Sebagai komoditas yang diatur sangat ketat di negeri ini membuat pabrik gula (PG) berada
dipersimpangan jalan, yakni di satu sisi biaya produksi gula senantiasa meningkat seiring
dengan kenaikan harga tebu yang harus dibeli dari petani tebu dan peningkatan UMK setiap
tahun; di sisi lain harga gula tidak bisa dibentuk pada tingkat yang menjanjikan marjin
memadai karena perhitungan daya beli konsumen dan intervensi pemerintah pada saat
harga gula merangkak naik, padahal kalau mencermati perkembangan harga gula kristal
putih ( GKP) sejak tahun 2007 hingga tahun 2012 menunjukkan harga impor dunia masih
lebih rendah dibanding harga GKP, ini berarti harga gula nasional sulit bersaing dengan gula
impor. Apalagi pemerintah dengan mudahnya menurunkan bea masuk gula impor.
Beranjak dari situasi dan kondisi tersebut maka tidak mudah bagi pabrik gula untuk
memperoleh hasil marjin, dan pendapatan dari produksi gula dalam satu musim giling hanya
cukup untuk gaji karyawan, operasional perusahaan, dan dividen kepada pemegang saham.
Jadi tidaklah mengherankan kalau beberapa pabrik gula membukukan kerugian. Dalam
kehidupan berbisnis yang sehat, marjin usaha diperlukan untuk modal melakukan ekspansi
dan peningkatan kapasitas produksi gula guna memenuhi jumlah kebutuhan gula di dalam
negeri yang terus meningkat.
Saat ini terdapat 62 pabrik gula di Indonesia dengan kapasitas pabrik berkisar 2500
ton tebu per hari (TCD) sampai 6000 TCD. Ada beberapa pabrik gula yang berkapasitas
12.000 TCD sampai 14.000 TCD seperti, PG. Indo Lampung dan PG. Gunung Madu; namun
ada pula pabrik gula yang memiliki kapasitas kecil, yakni 1000 TCD sampa 1.500 TCD
dengan teknologi yang digunakan relatif ketinggalan jaman. Patut dicermati bahwa ada
sejumlah pabrik gula yang memiliki stasiun gilingan dengan kapasitas terpasang 10.000
TCD, namun boiler, stasiun pemurnian, dan stasiun puteran hanya berkapasitas maksimal
6000 TCD. Manakala pabrik gula dipaksa beroperasi pada kapasitas 10.000 TCD maka
dapat dipastikan akan terjadi tingkat kehilangan gula, jam berhenti giling, dan kerusakan alat
akan terjadi dengan intensitas tinggi sehingga kemungkinan besar hanya akan bisa
beroperasi pada kapasitas 10.000 TCD selama 2 hari saja, dan hari berikutnya pabrik gula
harus memberhentikan operasinya karena nira kental meluber (Subiyono, 2013).
Keinginan pemerintah untuk mengoptimalkan kapasitas giling ke tingkat 10.000 TCD
dapat saja diwujudkan apabila tersedia dana investasi berskala besar, melakukan desain
ulang terhadap alat-alat perpipaan dan perpompaan, serta mengubah lay out pabrik gula.
Ketiga hal tersebut tampaknya tidak mudah diwujudkan saat ini, mengingat pabrik gula di
Indonesia saat ini yang memiliki teknologi dan peralatan usang sebanyak 33 PG, dan
kategori sedang berjumlah 14 PG. Jadi sebenarnya hanya 15 PG saja yang memiliki
teknologi dan peralatan sangat baik.
Kajian P3GI (2007) menyimpulkan bahwa ada 10 jenis produk hilir tebu yang dapat
dikategorikan sebagai produk unggulan, dan 6 jenis diantaranya berbahan baku tetes.
Selanjutnya ada 1 jenis produk bisa didapatkan dari tetes atau nira, dan 3 jenis produk
lainnya didapatkan dari ampas tebu. Lebih jauh P3GI menjelaskan bahwa produk-produk
turunan tebu yang potensial hanya membutuhkan proses teknologi dalam skala yang
medium saja, namun membutuhkan nilai investasi yang tinggi, yakni sekitar USD 3000
4

hingga USD 8000 per ton bahan per tahun. Secara keekonomian, nilai investasi yang tinggi
itu layak karena perolehan laba usaha sangat menjanjikan dan memiliki prospek yang baik
untuk pasar produk turunan komoditas tebu. Toharisman dan Kurniawan (2012) menjelaskan
bahwa ada 45 pabrik ko produk tebu yang menghasilkan 14 jenis produk, dan 60% dari
pabrik-pabrik tersebut sama sekali tak bergerak dalam bisnis pengolahan tebu.
Temuan P3GI, Toharisman dan Kurniawan dapat dijadikan acuan bahwa pabrik gula
di Indonesia harus menjadi beyond sugar dan bertransformasi menjadi industri berbasis tebu
terintegrasi dari hulu ke hilir. Diversifikasi produk turunan tebu dapat menjadi sandaran
kinerja perusahaan gula atau dengan kata lain kinerja keuangan pabrik gula akan lebih
banyak ditopang oleh pengembangan pasar produk hilir tebu non gula karena mampu
berkontribusi hingga 60% terhadap jumlah pendapatan pabrik gula.
3.2 Co-generation Sebagai Sandaran Pendapatan Pabrik Gula
Produk turunan tebu per satuan luas lahan dapat mencetak pendapatan 2 hingga 4
kali lipat dibanding pendapatan dari produksi gula. Bahkan ada produk hilir tebu tertentu
yang mampu mencapai nilai 500% sampai 700% dibanding harga gula. Dalam industri
berbasis tebu yang modern mampu mewujudkan setiap satu ton tebu setelah diproses
ternyata bisa menghasilkan surplus power 100 KW, bioethanol sebanyak 12 liter, dan
biokompos 40 kg (Subiyono, 2013).
Sebagai ilustrasi, pada 2010 luas tanam tebu pabrik gula BUMN bisa mencapai
sekitar 286,6 ribu hektar dengan tebu giling 22,87 juta ton dan mampu menghasilkan 7,32
juta ton ampas atau 32% dari jumlah tebu giling serta 1,12 juta ton tetes atau 4,9% dan
800.000 ton blotong atau 3,5%. Dalam pemanenan tebu juga masih bisa dihasilkan 2,8 juta
ton pucuk dan serasah. Ini berarti bahwa bahan baku tersebut ternyata cukup besarnya
jumlahnya untuk diproses lebih lanjut menjadi produk dengan nilai tambah ekonomi yang
tinggi.
Salah satu produk turunan tebu yang berpotensi pasar tinggi adalah bioethanol dan
cogeneration. Bioethanol dapat diproduksi dari tetes tebu atau molases, dan cogeneration
berasal dari pengolahan amapas tebu menjadi listriuk. Menurut WADE (2004) bahwa 26%
pembangkitan listrik di Mauritius dan 10% di Hawaii berasal dari pabrik gula. Pengalaman di
India adalah sangat berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi berfokus ke energi fosil yang
saat ini masih mendominasi sekitar 94% dengan rincian 47% berasal dari minyak bumi,
kemudian 24% berasal dari gas bumi, dan 23% berasal dari batubara. Sementara itu,
pemanfaatan energi baru terbarukan hanya 6% saja. Patut direnungkan bahwa pemadaman
listrik masih terjadi di banyak kawasan di Indonesia, dan lebih dari 20% keluarga di
Indonesia belum memiliki akses terhadap listrik. Pangkal persoalan kelistrikan ini adalah
ketergantungan yang tinggi pada pembangkit berbahan bakar fosil.
Status energi nasional dewasa ini makin ke arah suram karena stok minyak crude
ataupun produk-produk lain sudah pada titik kritis dan rentan terhadap gangguan dalam
skala apapun. Kapasitas terpasang instalasi listrik juga diambang batas kritis tanpa
cadangan. Sementara itu, permintaan akan listrik terus meningkat tajam dan
pengembanagan energi alternatif berjalan lamban serta menghadapi banyak rintangan dan
ketidakpastian.
Brazil dan India merupakan contoh negara yang berhasil menjadikan tebu sebagai
sandaran utama energi terbarukan di mana tebu menyumbang sekitar 18% dari jumlah
kebutuhan energi di Brazil dan lebih dari setengah kebutuhan gasoline di Brazil telah diganti
oleh bioethanol berbasis tebu. Hal yang sama juag terjadi di India di mana banyak pabrik
gula berkapasitas menengah pada kisaran 4500 TCD telah terintegrasi dengan produksi ko
5

produk, khususnya co-generation dan bioethanol. Sebagai contoh NSL Sugars Limited dan
Boumar Amman yang ada di Karnataka State yang sudah mampu menghasilkan listrik 30
MW dan etanol 120 kilo liter per hari, padahal di India terdapat 500 pabrik gula yang
diperkirakan akan mampu mengimbangi tingkat konsumsi gula sebanyak 28,5 juta ton pada
2017 dengan melibatkan sedikitnya 50 juta petani.
Di India, cogeneration (produksi listrik asal ampas tebu) menjadi andalan industri
pertebuan. Berdasarkan data 2007 diperoleh gambaran bahwa sekitar 492 pabrik gula,
ternyata ada 145 di antaranya telah terinstalasi dengan fasilitas cogeneration. Bahkan saat
ini potensi listrik asal cogeneration telah mencapai 10.500 MW, dan untuk memenuhi
operasional pabrik sendiri sekitar 3500 MW, hal ini berarti terdapat potensi listrik yang bisa
dijual mencapai 7000 MW.
Pengalaman program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri dapat
dijadikan panduan untuk melaksanakan cogeneration di Indonesia, sekaligus dapat dijadikan
dasar Kajian Akademik untuk menyusun Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang
energi non fosil. Peraturan perundang-undangan sangat penting dan strategis agar tidak
terjadi tindak kriminalisasi terhadap pimpinan pabrik gula dengan tuduhan merugikan
negara, seperti kasus yang menimpa CHEVRON dan IM2.
Nilai investasi untuk program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri
sekitar Rp. 310,40 miliar untuk 5 gilingan, ketel Takuna, ketel Stork, boiler dan TA ECT 40
MW. Apabila perkiraan nilai jual listrik sebesar Rp. 104, 89 miliar, maka periode waktu
pengembalian adalah 3 tahun.
Berdasarkan tabel I maka, cogeneration yang mengolah ampas tebu menjadi listrik
andaikata diberlakukan untuk 10 pabrik gula di lingkungan PTPN X (Persero) saja maka
dapat diperoleh pendapatan sekita Rp. 633,89 miliar hingga Rp. 684,51 miliar dengan
asumsi bahwa setiap 1 ton tebu akan menghasilkan 300 kg ampas tebu dan produk listrik
rata-rata 100 KW serta potensi listrik yang dihasilkan mecapai 225 megawatt (MW).
Sesuai dengan namanya, cogeneration plant (CP) atau Combine Heat and Power
Plant (CHP) adalah produksi panas atau uap dan power listrik secara bersamaan atau
simultan dari satu sumber bahan bakar, dengan memaksimalkan pemanfaatan energi. Uap
panas nantinya akan digunakan untuk kebutuhan produksi di pabrik dan energi listrik yang
dihasilkan akan dijual kepada PLN untuk selanjutnya dialirkan ke masyarakat. Sebagaimana
diketahui bahwa ampas tebu termasuk bioenergi yang terbarukan, dan selama proses
budidaya tebu dan produksi pabrik gula tetap berjalan, di mana sumber energi dari ampas
tebu tidak akan habis. Berbeda dengan batubara dan minyak bumi yang sekian tahun lagi
akan habis dan tidak dapat tergantikan. Cogeneration selain ramah lingkungan, juga telah
terbukti lebih efisien dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional karena pada
pembangkit konvensional terbukti energi yang terbuang bisa mencapai 60-70%. Keadaan ini
jauh berbeda dibandingkan CHP Plant, yang mana energi listrik dan panas untuk bisa
digunakan mencapai 90% atau energi yang terbuang hanya 10%.
Di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri memiliki kapasitas ketel sebesar 175 ton
per jam dan kapasitas terpasang turbin alternator sebesar 8 MW. Dengan kebutuhan listrik
untuk operasional pabrik gula sebesar 4,5-5 MW, maka di dapatkan potensi yang bisa di
ekspor ke jaringan PLN sebesar 2-2,5 MW. Di samping PG. Ngadirejo, PTPN X juga
menetapkan PG. Pesantren Baru Kota Kediri sebagai pilot ptoject dan prototype CHP Plant.
Ampas tebu PG. Pesantren Baru sekitar 30% dan uap sekitar 52%. Kemampuan kapasitas
giling saat ini sekitar 6200 TCD dengan produksi ampas sebesar 1860 ton per hari atau 77,5
ton per jam ampas. Kebutuhan ampas yang diperlukan untuk produksi sebesar 60 ton per
jam ampas sehingga di dapatkan surplus 17,5 ton per jam ampas. Dengan perhitungan
6

tertentu maka di dapatkan potensi pembangkitan sebesar 3,2 MW atau sekitar 3 MW dengan
asumsi dilaksanakan saat musim giling atau kurang lebih selama 150 hari.

Tabel 1
Investasi untuk Program Cogeneration di PG Ngadirejo
Barang Nilai Investasi (Rp Miliar)
Gilingan 1 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12
Gilingan 2 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12
Gilingan 3 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12
Gilingan 4 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12
Gilingan 5 : 750 KW Gearbox HSR 750 KW 12
CC 1 : 450 KW 0,65
CC 2 : 10.000 KW 1,5
Unigrator : 1.300 KW 4,1
Ketel Takuma
1. IDF 200 KW Inverter FVD
2. FDP 90 KW Inverter FVD
3. FWP 355 KW Inverter FVD

0,74
0,36
0,60
Ketel Stork
1. IDF 550 KW Inverter FVD
2. FDP 120 KW Inverter FVD
1. FWP 355 KW Inverter FVD

1,50
0,45
0,50
Boiler 160 Ton per Jam 80 Bar 160
TA ECT 40 MW (Extraction Condensing
Turbin Generator)
80
Jumlah 310,40
Sumber : PTPN X, 2013

Untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal tentu dibutuhkan serangkaian proses,
yakni mulai dari kelancaran pasokan bahan baku tebu hingga kelancaran produksi di pabrik
agar menghasilkan ampas yang banyak, hal ini berarti dibutuhkan kecermatan mulai dari
7

kebun hingga pabrik dan harus dikelola dengan baik agar cogeneration bisa berjalan dengan
baik, termasuk kemampuan pabrik gula harus bisa menghemat pemakaian energi uap di
saat processing. Kondisi ideal yang harus dipenuhi untuk mengembangkan cogeneration
adalah keberlangsungan pasokan tebu harus tetap terjaga agar tetap lancar, tepat waktu
dan terpenuhi kebutuhannya. Pabrik gula harus berjalan lancar, jam berhenti rendah dan
efisien dalam penggunaan energi tinggi. Syarat lain yang harus juga dipenuhi yaitu ekstraksi
gilingan berjalan prima, pol ampas di bawah 2% dan Zk di atas 49%. Selanjutnya boiling
house dapat hemat energi, hari giling panjang, dan permintaan energi untuk proses mekanik
16 KWH/t come. Efisiensi panas boiler berada di angka 85%, efisiensi isentropis turbin uap
80%, efisiensi isentropis pompa 80%, efisiensi generator listrik 96%, dan efisiensi mesin
listrik gilingan 89%. Syarat-syarat tersebut hanya dapat dipenuhi dari ketel yang bertekanan
tinggi, yakni lebih dari 80 bar (Totok Sarwo Edi, 2013).
Di balik semangat untuk mewujudkan cogeneration plant dan bioethanol sebagai
sandaran baru pendapatan pabrik gula, ternyata masih ada sejumlah kendala yang dihadapi
pabrik gula di Indonesia, yakni : (1) masih ada PG yang mengalami defisit dalam
ketersediaan ampas sehingga harus di suplai dari PG lain ; (2) belum adanya kesepakatan
dari PLN membeli energi listrik dari bahan baku ampas ; (3) pasokan tebu yang masih
kurang dan tidak lancar serta pabrik yang boros energi ; dan (4) Pemerintah Daerah belum
siap untuk menerbitkan Izin Usaha Kelistrikan Sendiri (IUKS) karena belum ada Peraturan
Daerah yang mengaturnya.
4. Kesimpulan
Ternyata industri gula nasional sudah saatnya berani beyond sugar dan
bertransformasi menjadi industri berbasis tebu dari hulu ke hilir, mengingat biaya produksi
terus meningkat, sulit memperoleh hasil marjin, harga gula senantiasa fluktuatif, kran impor
gula sangat terbuka dengan dalih memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mencegah inflasi,
sehingga pabrik gula sebaiknya fokus menggarap bisnis turunan tebu non gula, seperti
ampas tebu dipergunakan untuk menghasilkan energi listrik, briket, bahan bakar, serat,
bioethanol, amonia, pakan ternak, dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan dapat
dijadikan sandaran pendapatan pabrik gula ke depan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada Panitia Seminar Nasional Pengembangan Iptek 2013
Pappiptek LIPI sehingga penelitian ini dapat diseminarkan pada tingkat nasional. Terima
kasih kepada Ir. Subiyono, MMA. dan Ir. Cipto Budiono yang begitu banyak memberikan
informasi tentang industri berbasis tebu, khususnya terkait cogeneration Plant dan
bioethanol.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muin, Lampu Kuning Energi, Kompas, 11 Juni 2013, hal. 7
Adig Suwandi, Pemantau Independen Produksi Gula, Kompas, 20 Agustus 2010, hal. D
International Sugar Organization, 2009. Cogeneration: Opportunities in the World Sugar
Industry.
Kartodirjo, Sartono dan Djoko Suryo, 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia: Kajian Sosial
Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
8

Night, G.R., Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad Ke-19: Studi dari
Karesidenan Pekalongan 1830-1870. dalam Booth, Anne (et al), 1988. Sejarah
Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), 2008. Konsep Peningkatan Rendemen
Untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. Pasuruan: P3GI
Subiyono dan Rudi Wibowo, 2005. Agribisnis Tebu: Membuka Ruang Masa Depan Indusrti
Berbasis Tebu Jawa Timur. Jakarta: Perhepi
Subiyono, 2013. Strategi Terpadu Membangun Kembali Kejayaan Industri Berbasis Tebu di
Indonesia, Makalah, Kuliah Umum di Universitas Negeri Jember, 6 Februari 2013.
Toharisman, Aris dan Yahya Kurniawan, 2012. Prospek dan Peluang Koproduk Berbasis
Tebu. Dalam Khrisnamurti, Bayu (ed), 2012. Ekonomi Gula. Jakarta: Gramedia
Putaka Utama
Totok Sarwo Edi, 2013. Coger Tidak Perlu Dana Besar, ptpn X mag, vol. 007/Th. III, Januari-
Maret 2013, hal. 47
WADE, 2004. Bagasse Cogeneration: Global Review and Potential.
Wahyuni, Sri, dkk, 2009. Industri dan Perdagangan Gula di Indonesia: Pembelajaran dari
Kebijakan Zaman Penjajahan-Sekarang. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian

Anda mungkin juga menyukai