Lorong rumah sakit ini sudah sangat akrab untukku.
Sudah hampir sebulan ini aku selalu menyempatkan
waktuku untuk datang kerumah sakit ini sepulang sekolah. Aku selalu melewati koridor yang sama dan berhenti didepan pintu yang sama. Aku menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kubuka pintu itu dan memasukinya perlahan. Ruangan ini begitu pengap dan gelap. Andaikan dia sadar, mungkin dia sudah berontak dan berteriak ingin keluar dari ruangan ini. Sayangnya dia hanya bisa diam sekarang ini. Aku selalu berusaha tersenyum melihat wajahnya. Dia Amoy. Sahabat terbaikku. Sahabat yang selalu ada disampingku sekitar sebulan yang lalu. Seandainya semua itu tidak pernah terjadi, mungkin aku akan tetap bersama Amoy sekarng ini. Kami pasti bisa bercanda dan belajar bersama. Tapi kesempatan itu belum datang lagi. Andaikan kesempatan itu datang lagi, aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu sampai kapanpun. Ya, saat ini mungkin aku hanya bisa berandai-andai. Tapi aku sangat berharap semua itu bisa menjadi kenyataan. Semua karena kecelakaan itu. Kecelakaan yang merenggut separuh nyawa Amoy. Kecelakaan yang terjadi karena kecerobohanku. Tapi tak ada satu orang pun yang menyalahkan aku bahkan menghukumku. Mereka semua malah mengasihaniku, memelukku dan menenangkan aku. Harusnya aku yang disalahkan dala kecelakaan itu. Sekarang yang bisa aku lakukan hanya menatapnya dengan tatapan sayu ku. Aku menggenggam tangannya erat. Berharap dia dapat terbangun saat merasakan genggaman tanganku. Aku tau semua itu sepertinya musahil. Tapi aku tidak pernah menyerah untuk mencoba. Moy, aku dateng lagi. Apa kabar kamu hari ini? Baikkan? tanyaku pada Amoy. Aku selalu menanyakan kabarnya setiap hari. Aku tau dia tidak akan pernah menjawab dalam keadaan koma seperti ini. Tapi aku yakin dia bisa mendengar semua yang aku katakana. Dan aku ingin dia termotivasi untuk bangun kembali. Tidak ada salahnya kan berharap? Kapan kamu bangun? tanyaku dengan suara bergetar. Aku tidak pernah bisa menahan airmataku setiap menanyakan hal itu. Aku tidak pernah bisa menahan rasa sedihku itu. Dua bulan yang lalu. Hari ini aku datang terlambat kesekolah. Aku sering lompat melewati pagar belaang sekolah jika aku terlambat. Amoy paling tidak suka dengan kebiasaan burukku itu. Tapi dia tidak pernah bisa melarangku karena aku selalu membantahnya. Kalau dia tidak mengizinkan aku untuk melompati pagar belakang sekolah itu, maka aku akn lebih memilih tidak masuk sekolah. Siapa pula yang mau dihukum guru piket yang terkadang tidak masuk akal dalam memberikan hukuman. Setelah berhasil melewati pagar sekolah aku segera mengendap-endap melewati kelas-kelas yang terkadang sudah diajar oleh guru-guru pengajar. Aku memasuki kelas dengan mengendap-endap. Takut kalau-kalau guru yang mengajarku menyadari kedatanganku. Amoy melihatku dengan tatapan geram. Aku hanya tersenyum jahil memandangnya. Jangan sering-sering dateng telat, Ray. Guru-guru udah mulai hafal sama tingkahmu. Ntar kamu dipanggil keruang BK loh kata Amoy lirih. Beres Boss jawabku asal. Setelah itu kami memperhatikan guru dengan seksama. Aku hanya terdiam. Rasanya malas mendengarkan celotehan guru matematika yang lama-lama membuatku mual. Rambut lurusku bisa berubah menjadi kribo karena memikirkan matematika yang rumit ini. Saat jam istirahat, aku langsung beranjak dari tempatku duduk. Aku