Anda di halaman 1dari 11

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR RISIKO PADA KEJANG

PERTAMA DALAM MEMPREDIKSI TIMBULNYA KEJANG


BERULANG PADA ANAK

IDENTIFICATION OF RISK FACTORS AT FIRST SEIZURE IN
PREDICTING RECURRENT SEIZURE IN CHILDREN



Yanuar Saputra Widjaja, Hadia Angriani, Dasril Daud

Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar

















Alamat Korespondensi :



Yanuar Saputra Widjaja
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP : 081242819478
(Email : thomas_yanuar_sw@yahoo.com)





Abstrak
Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering ditemukan pada anak, 4-10% anak menderita
setidaknya satu kali bangkitan kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi faktor-faktor risiko pada kejang pertama dalam memprediksi timbulnya kejang
berulang pada anak. Penelitian menggunakan metode kasus kontrol. Sampel penelitian sebanyak 40
anak dengan kejang berulang dan 40 anak dengan kejang tidak berulang yang diambil secara
consecutive sampling dari kuesioner dan juga data rekam medik di BLU RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas dari Januari hingga Juni 2013. Dari
hasil penelitian terdapat 80 anak dengan kejang, anak berumur < 18 bulan saat kejang pertama lebih
berisiko mengalami kejang berulang (p=0,000; OR=2,9). Tidak ada perbedaan bermakna faktor-
faktor risiko jenis kelamin, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat trauma kepala, suhu, kadar
Natrium, dan gula darah sewaktu saat kejang pertama, masing-masing dengan nilai p=0,82; 0,491;
1,0; 0,793; 0,359; dan 1,0. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa anak berumur < 18
bulan saat kejang pertama lebih berisiko mengalami kejang berulang. Jenis kelamin, riwayat kejang
dalam keluarga, riwayat trauma kepala, suhu, kadar Natrium, dan gula darah sewaktu saat kejang
pertama bukan merupakan faktor risiko pada kejang pertama dalam memprediksi timbulnya KB.
Kata kunci. Faktor risiko, kejang pertama, kejang berulang, anak


Abstract



Seizure is the most neurological abnormality found in children, about 4-10% children have seizure
at least once in 16 years of their first live. The research aimed at identificating risk factors at first
seizure in predicting recurrent seizure in children. This was case control study. There were 40
children with recurrent seizure and 40 children with non-recurrent seizure who were taken by the
consecutive sampling technique from questionnaire and medical record at BLU Dr. Wahidin
Sudirohusodo Hospital in the Department of Child Health, Medical Faculty, Hasanuddin
University from January to June 2013. The results of this study that 80 children with seizure,
children aged < 18 months at first seizure have greater risk to have recurrent seizure (p=0,000;
OR=2,9). There is no significant difference of risk factors between gender, history of seizure in
family, history of head trauma, temperature, level of sodium, and blood glucose at first seizure with
p=0,82; 0,491; 1,0; 0,793; 0,359; and 1,0 respectively. Based on the results of the study concluded
that children aged < 18 months at first seizure have greater risk to have recurrent seizure. Gender,
history of seizure in family, history of head trauma, temperature, level of sodium, and blood glucose
at first seizure are not risk factors at first seizure in predicting recurrent seizure.

Keywords : Risk factor, first seizure, recurrent seizure, children










PENDAHULUAN
Kejang merupakan kelainan neurologi yang sering ditemukan pada anak,
sekitar 4-10% anak menderita setidaknya satu kali bangkitan kejang pada 16 tahun
pertama kehidupan. Insiden tertinggi pada anak kurang dari 3 tahun, dan frekuensi
menurun pada anak yang lebih tua. Penelitian epidemiologi menunjukkan
diperkirakan 150.000 anak akan mengalami kejang pertama yang tidak
terprovokasi setiap tahun, dan 30.000 anak tersebut akan berkembang menjadi
epilepsi (McAbee, dkk., 2000; Vining, 1994).
Kejang menunjukkan suatu gejala klinik yang mendasari suatu proses yang
dapat disebabkan oleh berbagai macam. Ketika seorang anak datang dengan
keluhan kejang, harus diusahakan mencari penyebabnya. Gambaran yang detail
dari seorang saksi mata merupakan faktor yang paling penting untuk mendiagnosis
secara tepat. Bila riwayat penyakit tampaknya tidak sesuai dengan kejang,
diagnosis alternatif harus dipikirkan (Friedman, dkk., 2006).
Anak yang datang dengan keluhan kejang pertama kali, terbersit
pertanyaan: Apakah kejangnya akan berulang? Pada penelitian metaanalisis oleh
Berg dan Shinnar, risiko terjadinya kejang berulang setelah kejang pertama sebesar
40% akan mengalami kejang kedua (Berg, dkk., 1991; Shinnar, dkk., 1996). Data
terakhir menunjukkan bahwa kejang yang ketiga kalinya setelah yang kedua
menjadi 80% (Camfield, dkk., 1996).
Pemahaman mengenai kejang berulang pada anak masih sangat terbatas
bagi tenaga kesehatan kita. Dalam menentukan penyebab dasar timbulnya kejang
memerlukan suatu pemeriksaan yang khusus, sehingga terkadang penderita
terlambat dalam penanganan. Atas dasar ini, maka penting untuk mengetahui
faktor risiko sebagai diagnosis dini kejang berulang pada anak.
Penelitian berbagai faktor risiko kejang berulang pada anak, setahu penulis,
belum pernah dilakukan, terutama di Sulawesi Selatan. Untuk menekan morbiditas
maupun mortalitas pada anak dengan risiko kejang berulang, maka menurut
penulis perlu untuk diteliti faktor risiko apa saja yang berperan pada kejang
berulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko
pada kejang pertama dalam memprediksi timbulnya kejang berulang pada anak.



BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di instalasi rawat inap anak atau catatan medis
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UNHAS/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kasus kontrol mengenai
identifikasi faktor-faktor risiko pada kejang pertama dalam memprediksi timbulnya
kejang berulang pada anak dengan menentukan kejang berulang sebagai kasus dan
kejang tidak berulang sebagai kontrol, kemudian menelusuri faktor risiko umur,
jenis kelamin, suhu, riwayat kejang dalam keluarga, riwayat trauma kepala, kadar
Natrium, dan gula darah sewaktu saat kejang pertama.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah semua penderita yang mengalami kejang
berulang yang berumur > 1 bulan sampai 15 tahun, sedangkan populasi kontrol
adalah semua penderita yang mengalami kejang satu kali sampai umur 15 tahun.
Cara pengambilan subyek adalah Consecutive Sampling, yaitu subyek penelitian
diperoleh berdasarkan urutan masuknya di rumah sakit. Subyek penelitian adalah
Umur > 1 bulan sampai dengan 15 tahun yang memenuhi kriteria dan bersedia
menjadi subyek penelitian (mendapat izin dari orang tua) serta menandatangani
persetujuan informed consent. Selanjutnya dilakukan penelusuran data rekam
medis, dibagi menjadi kelompok kejang berulang dan kejang tidak berulang.
Metode Pengumpulan Data
Semua sampel yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pencatatan
umur, jenis kelamin, tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan, tingkat
kesadaran), dan gejala klinis sebagai penyebab kejang dari rekam medis.
Pengumpulan data riwayat kejang dalam keluarga menggunakan kuesioner.
Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel darah awal untuk pemeriksaan kadar
Natrium dan gula darah sewaktu. Kemudian dibagi menjadi kelompok anak dengan
kejang berulang dan kejang tidak berulang. Analisis dilakukan dengan
menggunakan Uji X
2
(Chi square) dan Uji Fishers exact untuk hubungan
frekuensi kejadian umur, jenis kelamin, suhu, riwayat kejang dalam keluarga,


riwayat trauma kepala, kadar Natrium, dan kadar glukosa darah sewaktu saat
kejang pertama kali. Selanjutnya menghitung crude odds ratio dengan convidence
interval 95 % untuk menentukan besarnya peluang untuk mengalami kejang
berulang pada anak.

HASIL
Karakteristik Sampel
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik sampel penelitian. Dari seluruh
sampel yang ada (80) anak, pada kelompok kejang berulang terdapat 23 (57,5%)
laki-laki dan 17 (42,5%) perempuan, sedangkan pada kelompok kejang tidak
berulang laki-laki 24 (60%) dan perempuan 16 (40%). Pada kelompok kejang
berulang terdapat 14 (35%) yang mempunyai riwayat kejang dalam keluarga dan
26 (65%) tidak ada, sedangkan pada kelompok kejang tidak berulang terdapat 17
(42,5%) yang mempunyai riwayat kejang dalam keluarga dan 23 (57,5%) tidak
ada. Pada kelompok kejang berulang terdapat 4 (10%) yang mempunyai riwayat
trauma kepala saat kejang pertama kali dan 36 (90%) tidak ada, sedangkan pada
kelompok kejang tidak berulang terdapat 5 (12,5%) yang mempunyai riwayat
trauma kepala saat kejang pertama kali dan 35 (87,5%) tidak ada. Rerata umur saat
kejang pertama kali pada kejang berulang 2,9 tahun (rentangan 0,08-14,58) dan
rerata pada kejang tidak berulang 11,8 tahun (rentangan 8,41-13,75). Rerata suhu
pada kejang berulang 38,45
0
C dengan rentangan 36,5-40,5
0
C dan rerata pada
kejang tidak berulang 38,57
0
C dengan rentangan 36,8-40
0
C. Rerata kadar natrium
saat kejang pertama kali pada kejang berulang 136,5 mmol/l dengan rentangan
120-153 mmol/l dan rerata pada kejang tidak berulang 137,35 mmol/l dengan
rentangan 130-146 mmol/l. Rerata kadar glukosa darah sewaktu saat kejang
pertama kali pada kejang berulang 86,93 mg/dl dengan rentangan 20-136 mg/dl
dan rerata pada kejang tidak berulang 85,9 mg/dl dengan rentangan 64-126 mg/dl.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa frekuensi kejadian kejang berulang pada
kelompok umur < 18 bln saat kejang pertama kali (100%) lebih tinggi daripada
frekuensi kejadian kejang berulang pada kelompok umur 18 bln (34,5%).
Analisis statistik memperlihatkan terdapat perbedaan yang sangat bermakna umur


saat kejang pertama antara kejang berulang dan kejang tidak berulang, dengan nilai
p=0,000 (p<0,01). Nilai crude odds ratio (COR) = 2,905 dengan interval
kepercayaan 95% (2,05 4,10) yang berarti bahwa kejadian kejang berulang pada
kelompok umur muda lebih tinggi 2,9 kali dibandingkan dengan yang lebih tua.

PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol tentang identifikasi faktor
risiko pada kejang pertama terhadap penderita kejang berulang yang dilaksanakan
selama periode Januari sampai Juni 2013, telah diperoleh 80 sampel yang
dikelompokkan masing-masing 40 sampel sesuai dengan kriteria inklusi kasus dan
kontrol.
Frekuensi kejadian kejang berulang pada kelompok umur < 18 bln saat
kejang pertama (100%) lebih tinggi daripada frekuensi kejadian kejang berulang
pada kelompok umur 18 bln (34,5%). Ada perbedaan yang sangat bermakna
dengan nilai p=0,000 (p<0,01) antara kelompok kejang berulang dengan kejang
tidak berulang. Nilai crude odds ratio (COR) = 2,905 dengan interval kepercayaan
95% (2,05 4,10) yang berarti bahwa kejadian kejang berulang pada kelompok
umur muda lebih tinggi 2,9 kali dibandingkan dengan yang lebih tua. Hal ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Daoud AS, dkk. (2004) yang
memperoleh hasil tidak adanya perbedaan yang bermakna risiko kejadian kejang
berulang terhadap umur saat kejang pertama (p=0,28). Pada dua penelitian random
besar, risiko usia saat kejang pertama ditemukan memiliki risiko terhadap
terjadinya kejang berulang pada anak (First Seizure Trial Group, 1993). Ini
dihubungkan dengan tingkat maturasi otak dengan mielinisasi yang belum
sempurna, mekanisme inhibisi yang kurang, permeabilitas dinding sel yang
terganggu, dan adanya faktor lain yang dapat mencetuskan timbulnya kejang
berulang, seperti jarak antara kejang pertama dengan kejang berulang dan
pemberian terapi setelah kejang pertama. Pada penelitian ini sampel penelitian
tidak dianalisis faktor jarak kejang pertama dengan kejang berulang dan pemberian
terapi setelah kejang pertama tidak dieksklusi.


Analisis statististik hubungan jenis kelamin, tidak ada perbedaan bermakna
p=0,82 (p>0,05) dalam hal kejadian kejang berulang dan kejang tidak berulang
berdasarkan jenis kelamin. Hasil yang sama juga diperoleh penelitian lain yang
dilakukan oleh Daoud AS, dkk (2004) yang memperoleh hasil yang tidak berbeda
bermakna kejadian kejang berulang menurut jenis kelamin (p=0,51). Hasil
penelitian berbeda didapatkan dari India oleh Das CP, dkk (2000).
Analisis statistik mengenai hubungan suhu saat kejang pertama
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna p=0,793 (p>0,05) antara kelompok
kejang berulang dengan kelompok kejang tidak berulang. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Berg AT, dkk (2008). Tsuboi (1985) dan
Lumbantobing (2007) menyatakan bahwa suhu yang dapat mencetuskan serangan
kejang adalah suhu sebelum terjadinya serangan kejang. Pada penelitian ini, suhu
demikian sangat sulit diperoleh sebab pada umumnya orang tua membawa anaknya
ke rumah sakit setelah anak mengalami serangan kejang. Mereka mengetahui
anaknya demam hanya melalui rabaan saja. Oleh karena itu, nilai rata-rata tinggi
suhu tubuh yang diperoleh pada penelitian ini adalah suhu saat masuk rumah sakit,
dengan pemikiran bahwa itulah suhu yang maksimal dapat diperoleh segera setelah
terjadinya serangan kejang.
Analisis statistik hubungan riwayat kejang dalam keluarga, tidak ada
perbedaan bermakna p=0,491 (p>0,05) antara kelompok kejang berulang dan
kejang tidak berulang berdasarkan riwayat kejang dalam keluarga. Hal ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Daoud AS, dkk (2004) yang memperoleh
hasil adanya perbedaan yang bermakna kejadian kejang berulang dengan riwayat
kejang dalam keluarga (p=0,000). Hal ini dihubungkan dengan adanya keterkaitan
genetik pada anak dengan kejang berulang. Penelitian lain (Shinnar dkk.,1996)
menunjukkan sedikit atau tidak adanya peningkatan risiko kejang berulang pada
anak dengan riwayat kejang dalam keluarga. Perbedaan ini mungkin disebabkan
kurang akuratnya informasi yang didapatkan saat memperoleh data akibat
ketidaktahuan keluarga akan riwayat kejang dalam keluarga.
Analisis statistik hubungan riwayat trauma kepala saat kejang pertama,
tidak ada perbedaan yang bermakna p=0,723 (p>0,05) antara kejang berulang dan


kejang tidak berulang berdasarkan riwayat trauma kepala saat kejang pertama. Hal
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Frey (2003) yang memperoleh
hasil adanya perbedaan yang bermakna kejadian kejang berulang dengan riwayat
trauma kepala saat kejang pertama. Perbedaan ini disebabkan berbedanya derajat
trauma kepala. Semakin berat trauma kepala, risiko terjadinya kejang berulang
makin besar.
Analisis statistik mengenai hubungan kadar Natrium saat kejang pertama
menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kejang berulang
dengan kadar Natrium tidak normal 80% dan normal 48%, sedangkan kelompok
kejang tidak berulang dengan kadar Natrium tidak normal 20% dan normal 52%
dengan p=0,359 (p>0,05). Demikian juga pada kadar gula darah sewaktu saat
kejang pertama antara kejang berulang dan kejang tidak berulang menunjukkan
tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kejang berulang dengan kadar gula
darah sewaktu tidak normal 100% dan normal 49,4%, sedangkan pada kejang tidak
berulang dengan kadar gula darah sewaktu tidak normal 0% dan normal 50,6%
dengan p=1,00 (p>0,05). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Turnbull, dkk. (1990) yang meneliti sebanyak 70% dan 20% gangguan elektrolit
dan metabolik Natrium dan glukosa saat kejang pertama dalam memprediksi
timbulnya kejang berulang. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan waktu
pemeriksaan kadar elektrolit dan gula darah sewaktu dan terapi intravena yang
sudah didapatkan oleh pasien sebelum datang ke rumah sakit.
Kekurangan dari penelitian ini adalah kurangnya informasi pengobatan
yang telah diberikan kepada penderita, sehingga mempengaruhi hasil penelitian.
Kekuatan penelitian ini adalah pengambilan data riwayat kejang dalam keluarga
dan trauma kepala saat kejang pertama diambil secara langsung dari orang tua atau
pengasuh terdekat.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa faktor risiko pada kejang pertama dalam
memprediksi timbulnya kejang berulang yang teridentifikasi adalah umur kurang
dari 18 bulan saat mengalami kejang pertama. Jenis kelamin, riwayat kejang dalam


keluarga, riwayat trauma kepala, suhu, kadar Natrium, dan gula darah sewaktu saat
kejang pertama bukan merupakan faktor risiko pada kejang pertama dalam
memprediksi timbulnya kejang berulang. Disarankan untuk penelitian lanjut kejang
berulang dihubungkan dengan tipe kejang, interval kejang pertama dan kedua,
pemeriksaan EEG, pengaruh pengobatan rumatan, dan aspek genetiknya. Adanya
pengaruh faktor umur saat kejang pertama sebagai faktor risiko timbulnya kejang
berulang perlu dipertimbangkan pemberian pengobatan antikejang rumatan untuk
pencegahan kemungkinan serangan kejang berulang.

























DAFTAR PUSTAKA

Berg, A. T. (2008). Risk of recurrence after a first unprovoked seizure Suplement -
Management of a first seizure. Epilepsia 49:13-18.
Berg, A. T., Shinnar, S. (1991). The Risk of Seizure Recurrence Following a First
Unprovoked Seizure: A Meta Analysis. Neurology 41: 965.
Camfield, C. S., Camfield, P. R., Gordon, K., dkk. (1996). Does Number of
Seizures Before Treatment Influence Ease of Control or Remission of
Childhood Epilepsy? Not if the Number is 10 or Less. Neurology 46: 41.
Daoud, AS, Ajloni, S, El-Salem, K, Horani, K, Otoom, S, Daradkeh, T. (2004).
Risk of seizure recurrence after a first unprovoked seizure: a prospective
study among Jordanian children. Seizure 13:99-103.
Das, CP, Sawhney, IM, Lal, V, Prabhakar, S. (2000). Risk of recurrence of
seizures following single unprovoked idiopathic seizure. Neurology India
48:357-360.
First Seizure Trial Group. (1993). Randomized clinical trial on the efficacy of
antiepileptic drugs in reducing the risk of relapse after a first unprovoked
tonic-clonic seizure. First Seizure Trial Group (FIR.S.T. Group). Neurology
43(3 Pt 1):478-83.
Frey, L.C. (2003). Epidemiology of Posttraumatic Epilepsy: A Critical Review.
Epilepsia 44:11-17.
Friedman, M. J., Sharieff, G. Q. (2006). Seizures in Children. Pediatr Clin N Am
53: 257 277.
Lumbantobing. (2007). Kejang demam (febrile convulsions). Balai Penerbit FKUI.
Jakarta, 1-21.
McAbee, G. N., Wark, J. E. (2000). A Practical Approach to Uncomplicated
Seizures in Children. Am Fam Physician 62(5):1109 16.
Shinnar, S., Berg, A. T., Mosche, S. L, dkk. (1996). The Risk of Seizure
Recurrence After a First Unprovoked Afebrile Seizure in Childhood: An
Extended Follow-up. Pediatrics 98: 216.
Tsuboi T, Okada S. (1985). The genetics of epilepsy. Dalam: Sakai T, Tsuboi T,
penyunting. Genetic aspects of human behavious. Tokyo: Igaku-Shoin,
113-27.
Turnbull T.L, Vanden Hoek T.L, Howes D.S, Eisner R.F. (1990). Utility of
laboratory studies in the emergency department patient with a new-onset
seizure. Ann Emerg Med 19:373377.
Vining, E. P. (1994). Pediatric Seizures. Emerg Med Clin North Am 12(4):973 88.








Tabel 1. Karakteristik Sampel penelitian
Nilai p
0,000
2. Jenis Kelamin L : P 0,820
0,243
0,491
0,723
0,466
0,809
85,9
88
11,8
12
38,45
38,55
38,57
2,9
1,83
8,41 - 13,75
6. Kadar Natrium Saat Kejang Pertama Kali (mmol/l)
Rentangan
Standar deviasi
120-153
6,23
0,90
5. Riwayat Trauma Kepala Saat Kejang Pertama
137
136,5
136
Rerata
7. Kadar Glukosa Darah Saat Kejang Pertama (mg/dl)
Rentangan
1,12
0,08 - 14,58
Rerata
Median
3,26
Rentangan
4. Riwayat Kejang Dalam Keluarga
85
Standar deviasi
20-136
Ada
Tidak Ada
4 (10)
36 (90)
Median
Rerata
Median
Standar deviasi
64-126
22,37 14,66
5 (12,5)
35 (87,5)
130-146
3,84
137,35
86,95
3. Suhu Saat Kejang Pertama kali (
o
C)
Rentangan 36,5 - 40,5 36,8 - 40
Rerata
Median
Tidak Ada
14 (35) 17 (42,5)
26 (65) 23 (57,5)
39
Standar deviasi
Ada
1. Umur Saat Kejang Pertama Kali (tahun)
23 : 17 (57,5 :42,5)
Kelompok
Kejang Berulang Variabel
N (%) = 40 (50%)
Kejang Tidak Berulang
N (%) = 40 (50%)
1,28
24 : 16 (60:40)

L: Laki-laki P: Perempuan ( ) : Nilai persentase

Tabel 2. Hubungan umur saat kejang pertama kali antara KB dan KTB
19 (100%)
21 (34,5%)
Umur Saat Kelompok
Total
Kejang Pertama Kejang Berulang Kejang Tidak Berulang
Total 40 (50%) 40 (50%) 80 (100%)
0 (0%)
40 (65,5%)
19 (100%)
61 (100%)
< 18 bln
18 bln
Chi-square X
2
=24,918 df=1 p=0,000 (p<0,01) COR=2,905 (CI 95%:2,05 4,10)

Anda mungkin juga menyukai