Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

PEMBUNUHAN ATAU BUNUH DIRI PADA KASUS HANGING















Oleh:
Achmad Fadli 0910710023
Cendy Prastiwi 0910710046
Siska Danti M. 0910710015
Yanika Rama K. A. W. 0910710133


Pembimbing:
dr. Tasmonoheni, Sp.F


LABORATORIUM / SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD DR.SAIFUL ANWAR
MALANG
2014
BAB 1
PENDAHULUAN


Penggantungan (hanging) adalah penyebab kematian akibat asfiksia
yang paling sering ditemukan. Penggantungan juga merupakan penyebab
kematian yang paling sering menimbulkan persoalan karena rawan terjadi salah
interpretasi baik oleh ahli forensik, polisi, dan dokter non-forensik (Sharma,
2014). Selain itu, penggantungan merupakan metode bunuh diri yang sering
ditemukan di banyak negara. Di Inggris, terdapat lebih dari 2.000 kasus bunuh
diri dengan penggantungan dilaporkan setiap tahun. Penggantungan baik akibat
bunuh diri atau pembunuhan lebih sering ditemukan di perkotaan. Pada balita,
biasanya terjadi accidental hanging, yaitu penggantungan yang tidak disengaja
misalnya akibat terjerat ayunan (Ernoehazy, 2006).
Di India, dari tahun 1997-2000, didapatkan kematian akibat
penggantungan sebesar 3,4%. Penggantungan yang diakibatkan oleh bunuh diri
lebih sering ditemukan pada jenis kelamin laki-laki (2:1), tetapi kematian yang
disebabkan oleh kekerasan strangulasi (pembunuhan) lebih dominan ditemukan
pada wanita (Sharma, 2014).

Di Istanbul, Turki, 537 dari semua kasus gantung
diri adalah laki-laki (70,56%) dan 224 adalah wanita (29,44%) (Uzn, 2014). Jika
dilihat dari faktor umur, insidens penggantung lebih sering terjadi pada dewasa
muda. Di India misalnya, kematian akibat penggantungan paling sering
ditemukan pada kelompok umur 21-25 tahun (Sharma, 2005),

manakala
penelitian Davidson & Marshall (1986), melaporkan bahwa insidens
penggantungan yang paling tinggi adalah pada kelompok umur 20-39 tahun
(Rajeev, 2007).
Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan karena
dapat dilakukan di mana dan kapan saja dengan seutas tali, kain, dasi, atau
bahan apa saja yang dapat melilit leher. Demikian pula pada pembunuhan atau
hukuman mati dengan cara penggantungan yang sudah digunakan sejak zaman
dahulu. Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terletak
pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat. Pada
penjeratan tenaga tersebut datang dari luar, sedangkan pada kasus gantung
tenaga tersebut berasal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak seluruh
berat badan digunakan (Leonardo, 2008).

Dalam rutinitas medikolegal,
perbedaan keduanya penting karena kasus penggantungan dianggap bunuh diri
sehingga dibuktikan sebaliknya, manakala kasus penjeratan dianggap
pembunuhan (Arun, 2006).
Permasalahan yang dirumuskan yaitu apakah ada perbedaan antara
gantung diri karena bunuh diri dengan pembunuhan dengan cara digantung dan
bagaimana temuan autopsi pada gantung diri karena bunuh diri dan
pembunuhan dengan cara digantung. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah mengetahui perbedaan antara gantung diri karena bunuh diri dengan
pembunuhan dengan cara digantung dan mengetahui temuan autopsi pada
gantung diri karena bunuh diri dan pembunuhan dengan cara digantung.
































BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Penggantungan (Hanging)
Terdapat beberapa definisi tentang penggantungan (hanging). Salah
satunya, yakni penggantungan (hanging) adalah keadaan di mana leher dijerat
dengan ikatan, daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau
kepala. Ada pula yang mendefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
konstriksi dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan
seluruhnya atau sebagian. Dengan demikian berarti alat penjerat sifatnya pasif,
sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.
Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat pada
asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkararan jerat. Kematian
karena penggantungan pada umunya bunuh diri.
Bunuh diri (suicide) merupakan perbuatan merusak diri sendiri yang
berhasil. Sedangkan perbuatan merusak diri sendiri yang dilakukan dengan
keinginan destruktif, tetapi tidak nyata atau ragu ragu (sering disebut sebagai
sikap bunuh diri) merupakan definisi dari percobaan bunuh diri (parasuicide).
2.1.1 Etiologi Kematian pada Penggantungan (Hanging)
a) Asfiksia; Merupakan penyebab kematian yang paling sering.
b) Apopleksia (kongesti pada otak); Tekanan pada pembuluh darah vena
menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak dan mengakibatkan
kegagalan sirkulasi.
c) Kombinasi dari asfiksia dengan apopleksia.
d) Iskemia serebral; Hal ini akibat penekanan dan hambatan pembuluh
darah arteri yang memperdarahi otak.
e) Syok vaso vagal; Perangsangan pada sinus karotikus menyebabkan henti
jantung.
f) Fraktur atau dislokasi vertebra servikalis (pada korban yang dihukum
gantung). Pada keadaan di mana tali yang menjerat leher cukup panjang,
kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,52
meter maka akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis
yang akan menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya
pernafasan. Fraktur tersebut biasanya mengenai vertebra servikalis ke-2
dan ke-3.

2.2 Penggantungan pada Bunuh Diri
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus, walaupun demikian
pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain.
Gantung diri lebih sering terjadi pada remaja dan orang dewasa. Anak-anak di
bawah usia 10 tahun atau orang dewasa di atas usia 50 tahun jarang melakukan
gantung diri.
2.2.1 Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher, yaitu:
a) Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak
bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering
seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel
kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna
kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.
b) Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati
juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras
(seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan
lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak begitu
jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban
tergantung, berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain
bisa didapati leher dibelit beberapa kali secara horizontal baru kemudian
digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap,
tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang
menunjukkan letak simpul.
c) Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila
segera diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa
sembab, bintik perdarahan Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur
dan kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut,
sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.
d) Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki
dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di
dapati di bagian depan atau belakang tubuh sesuai dengan letak tubuh
sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya
darah.
Sedangkan pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan:
a) Jaringan otot sepanjang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan
congested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat
Tardieus spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah
berwarna gelap dan encer.
b) Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan
yang lain jarang
c) Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red
line) pada tunika intima dari arteri karotis interna.

2.3 Pembunuhan dengan Cara Jeratan (Strangulasi)
Pembunuhan dengan cara jeratan pada umumnya sangat jarang ditemui.
Hal ini disebabkan pembunuhan dengan cara jeratan sulit dilakukan jika
korbannya sadar. Korban biasanya adalah anak kecil, wanita, orang tua yang
lemah atau korban yang sebelumnya dilemahkan atau dibuat tidak sadar oleh
pelaku (Rao, 2013).
Selain bunuh diri dengan cara penggantungan dan pembunuhan dengan
cara penjeratan, terdapat pula pembunuhan yang dipalsukan sehingga
menyerupai bunuh diri dengan cara gantung diri (hanging). Kondisi ini disebut
juga sebagai post-mortem hanging. Karena itu pada korban yang ditemukan
dalam keadaan tergantung perlu identifikasi yang jelas demi kepentingan hukum
dan keadilan (Geberth, 2013).
Menurut Rao (2013), pada pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam
jenazah korban dapat ditemukan tanda-tanda patognomonis untuk pembunuhan
dengan cara jeratan maupun post mortem hanging. Pada pemeriksaan luar
korban pembunuhan dengan cara jeratan dapat ditemukan:
a) Robekan pada pakaian korban yang mengarah pada tanda kekerasan
atau perlawanan.
b) Tanda luka bekas perlawanan pada tubuh korban. Tanda perlawanan ini
biasanya berupa bekas jari korban pada bekas jeratan. Bekas jari ini
timbul ketika korban berusaha menahan jeratan tali.
c) Luka di daerah yang dapat menyebabkan korban tidak sadar, misalnya
di daerah kepala korban.
d) Bekas jeratan pada korban pembunuhan akan terlihat lebih jelas. Bekas
jeratan pada umumnya akan memiliki arah horizontal. Hal ini berbeda
dengan bunuh diri di mana arah jeratannya vertikal. Letak bekas jeratan
pada umumnya ada di bawah kartilago thyroid.
e) Pada tali yang ditemukan, daerah tali yang rusak akan mengarah
menjauhi korban, simpul di leher korban berupa simpul mati dan
panjang tali antara tempat gantungan dan kepala korban yang lebih
pendek dari pada panjang tali yang melingkari kepala korban.
f) Ptechiae konjungtiva dan sclera
g) Wajah terlihat sianotik dan kongestif jika tali yang digunakan
berdiameter besar, dan pucat jika tali yang digunakan berdiameter kecil.
h) Bau dari daerah mulut korban yang mengindikasikan bau zat yang dapat
membuat korban tidak sadar, misalnya alkohol, kloroform. Hal ini jarang
ditemui, namun jika ditemukan dapat sangat membantu.
i) Lebam mayat pada umumnya bervariasi. Letak lebam mayat sendiri
tidak selalu mengarahkan pada pembunuhan, namun harus
digabungkan dengan bukti-bukti yang lain.
Sedangkan pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan beberapa tanda berikut
ini:
a) Tanda lebam pada otot daerah leher
b) Patah tulang hyoid. Patah tulang hyoid mengindikasikan pelaku sadar
dalam melakukan pembunuhan. Patahnya tulang hyoid disebabkan gaya
yang besar pada leher. Gaya yang dibutuhkan untuk menimbulkan
obstruksi pada berbagai struktur pada leher adalah sebagai berikut:
Vena jugularis : 2 kg
Arteri karotis : 2,5-10kg
Jalan nafas : 8-12 kg
Arteri vertebralis : 35 kg
Gaya tersebut di atas perlu dilakukan terus menerus dalam waktu minimal
13 detik pada korban yang sehat untuk menyebabkan kematian.
c) Tanda pada organ dalam korban yang dapat menyebabkan korban tidak
sadar. Contohnya adalah perdarahan di kepala, atau jejak sisa obat di
saluran pencernaan.
Menurut Adelson (1974), diagnosis yang valid untuk pembunuhan dengan
cara jeratan harus memiliki 3 kriteria, yakni trauma kulit bilateral, perdarahan
jaringan lunak di sekitar bekas tali dan luka pada laring atau hyoid. Sedangkan
untuk petechial konjungtiva dan sclera tidak memiliki nilai diagnostik jika tidak
disertai bukti kuat terjadinya penekanan daerah leher. Yang tidak kalah penting
adalah bukti perlawanan korban, atau bukti tindakan pelaku untuk membuat
korban tidak sadarkan diri. Sedangkan, Rao (2013) berpendapat bahwa pada
post mortem hanging, akan jarang sekali ditemukan tanda-tanda hanging
maupun strangulasi manual. Sebaliknya, tanda-tanda kematian karena sebab
lain akan muncul. Livor mortis tidak dapat selalu diandalkan karena jika korban
digantung segera setelah dibunuh, maka lebam mayat akan lebih mengarahkan
pada pemikiran bahwa korban mati dalam keadaan tergantung, bukan korban
mati sebelum tergantung. Pada kasus seperti ini, perlu penyelidikan mendetail
mengenai tempat kejadian perkara, dan mengenai tersangka.


BAB 3
PEMBAHASAN

Ada beragam cara dalam melakukan tindakan bunuh diri ataupun
pembunuhan. Penggantungan (hanging) adalah salah satunya. Penyebab
kematian tersering pada penggantungan adalah asfiksia. Penggantungan pada
bunuh diri atau biasa disebut gantung diri, merupakan bentuk penggantungan
yang harus dibedakan dari penggantungan pada pembunuhan. Hal ini sangat
penting untuk kepentingan proses peradilan. Dalam membedakan
penggantungan karena bunuh diri dan pembunuhan, diperlukan investigasi yang
komprehensif, mulai dari olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan luar
dan pemeriksaan dalam pada jenazah.
Pada olah TKP, dapat ditemukan petunjuk yang mengarah pada bunuh
diri, yaitu didapatkannya surat wasiat (suicide note) atau obat-obatan yang
menunjukkan bahwa korban mengidap suatu gangguan psikiatri seperti depresi,
skizofrenia, ataupun penyakit kronis lain. Pasien yang depresi berat memiliki
kecenderungan untuk menyakiti dirinya sendiri bahkan sampai bunuh diri. Selain
itu, alat yang digunakan untuk menjerat biasanya benda-benda yang memang
terdapat disekitar korban, atau bahkan biasa dipakai korban, seperti ikat
pinggang atau selendang. Sedangkan pada pembunuhan, dari olah TKP
didapatkan lokasi kejadian porak-poranda sebagai tanda adanya perlawanan
oleh korban. Korban pada biasanya adalah anak kecil, wanita, orang tua yang
lemah atau korban yang sebelumnya dilemahkan atau dibuat tidak sadar oleh
pelaku (Rao, 2013).
Pada memeriksaan luar, menurut teori, kongesti yang luas pada wajah
dan kepala, lidah yang menjulur, mata yang melotot, serta bintik-bintik
perdarahan karena asfiksia (Tardieus spot) pada struktur leher, tidak adanya
tanda jeratan yang disertai luka mekanik yang jelas serta tidak adanya tanda-
tanda perlawanan merupakan ciri khas tindakan bunuh diri. Selain itu, terdapat
luka-luka yang mengindikasikan korban pernah melakukan percobaan bunuh diri,
seperti luka iris pada pergelangan tangan ataupun mungkin saja korban pernah
melakukan percobaan gantung diri sebelumnya. Sedangkan pada pembunuhan,
hal yang paling membedakan adalah adanya luka-luka bekas perlawanan
ataupun penganiayaan baik di sekitar leher maupun bagian lain dari tubuh
korban. Selain itu, robekan pada pakaian korban dapat mengarah pada tanda
kekerasan atau perlawanan.
Lokalisasi simpul jeratan pada kasus bunuh diri pada umumnya terdapat
di regio anterior, lateral maupun posterior dari leher. Jumlah simpul umumnya
tidak lebih dari satu, namun pada kasus bunuh diri yang ditemui terdapat lebih
dari satu simpul, perlu diinvestigasi lebih lanjut pada olah TKP dan autopsi,
apakah korban dapat meraih simpul tersebut. Lokasi simpul yang terletak pada
area yang dapat dijangkau dengan mudah oleh korban merupakan petunjuk yang
membantu menguatkan dugaan bunuh diri. Sedangkan jumlah jeratan pada
kasus bunuh diri pada umumnya satu. Bentuk simpul pada korban bunuh diri
umumnya simpul hidup. Sedangkan pada pembunuhan umumnya simpul mati
dan panjang tali antara tempat gantungan dan kepala korban yang lebih pendek
dari pada panjang tali yang melingkari kepala korban. Arah jeratan pada korban
bunuh diri umumnya vertikal, sedangkan pada pembunuhan horizontal. Jejas
bekas jeratan tergantung dari luas penampang alat yang dipakai untuk menjerat.
Semakin kecil penampangnya, jejas seratan semakin dalam.
Pada ekstremitas, bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam
mayat didapati di kaki dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam
mayat bisa di dapati di bagian depan atau belakang tubuh sesuai dengan letak
tubuh sesudah diturunkan. Pada korban pria, kadang penis tampak ereksi akibat
terkumpulnya darah. Lebam mayat pada kasus pembunuhan umumnya
bervariasi. Letak lebam mayat sendiri tidak selalu mengarahkan pada
pembunuhan, namun harus digabungkan dengan bukti-bukti yang lain.
Pemeriksaan dalam pada gantung diri ditandai dengan jaringan otot
sepanjang jeratan didapati hematom, kongesti saluran pernafasan demikian juga
paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di permukaan paru-
paru, jantung dan otak. Fraktur tulang lidah (os hyoid) atau kartilago laringeal dan
krikoid, jarang ditemukan pada kasus bunuh diri, meskipun ada, umumnya
terbatas hanya pada area upper hyoid horn. Sedangkan pada pembunuhan,
umumnya terdapat tanda yang sama dengan bunuh diri, hanya sada terdapat
tanda pada organ dalam korban yang dapat menyebabkan korban tidak sadar.
Contohnya adalah perdarahan di kepala, atau jejak sisa obat di saluran
pencernaan, seperti alkohol ataupun kloroform.



BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

Penggantungan (hanging) adalah salah satu metode yang sering dipakai
untuk bunuh diri ataupun pembunuhan. Penyebab kematian tersering pada
penggantungan adalah asfiksia. Penggantungan pada bunuh diri harus
dibedakan dari penggantungan pada pembunuhan. Hal ini sangat penting untuk
kepentingan proses peradilan. Dalam menentukan apakah suatu kasus
merupakan penggantungan karena bunuh diri atau pembunuhan, diperlukan
investigasi yang komprehensif dan cermat, mulai dari olah tempat kejadian
perkara (TKP), pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada jenazah.
Diperlukan pula laporan kasus dan pendataan statistik kasus-kasus
penggantungan untuk mengetahui prevalensi kejadian penggantungan di
Indonesia. Selain itu pentingnya mempelajari kasus-kasus penggantungan baik
pada pada bunuh diri maupun pembunuhan untuk meningkatkan kecermatan
dalam menginvestigasi kasus penggantungan di masa mendatang.















DAFTAR PUSTAKA

Adelson LA. 1974. The Pathology of Homicide. A vade mecum for
pathologist, prosecutor and defense counsel. Charles C Thomas Publisher Ltd,
Springfield, Illinois USA.
Arun M. 2006. Methods of Suicide: A Medicolegal Perspective. JIAFM: 28
(1). P 22-26.
Ernoehazy W. 2006. Hanging Injuries and Strangulation. (Online)
(http://www.emedicine.com/emerg/topic227.htm, diakses pada 18 Mei 2014).
Geberth, Vernon J. 2013.The Seven Major Mistakes in Suicide
Investigation. Law & Order Magazine, Vol. 61 No 1 January, 2013 pp54-567.
Leonardo. 2008. Asfiksia Forensik. (Online),
(http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080509041548, diakses
pada 18 Mei 2014)
Rajeev J, Ashok C, Hakumat R. 2007. Incidence and Medicolegal
Importance of Autopsy Study of Fracture of Neck Structure in Hanging and
Strangulation. Medico-Legal Update: 7(4). P 105-130.
Rao, Dinesh. 2013. Hanging. Forensik Pathology.
(http://www.forensicpathologyonline.com/e-book/asphyxia/hanging. Diakses
tanggal 10 Mei 2014 pukul 21.03).
Sharma BR, Harish D. 2005. Ligature Mark on the neck: How Informative.
JIAFM: 27(1), p 10-15.
Sharma SK. Ligature strangulation: Not very common but contested too
often. (Online), (www.crimeandclues.com/ligature_strangulation.htm, diakses
pada 18 Mei 2014).
Uzn I, Byk Y, Grpinar K. 2007. Suicidal hanging: fatalities in Istanbul
retrospective analysis of 761 autopsy cases. (Online)
(http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd, diakses pada 18 Mei
2014).

Anda mungkin juga menyukai