Anda di halaman 1dari 12

\Htt~ $6- ioW

INFEKSI VIRUS VARICELLA ZOSTER


Junarti Karaadi dan Magdalena Mardiono *)

fye
ABSTRACT
The hisory and epidemiology of Vaicella and Herpes zoster were reviewed. The study of the
diseases in diffeent centers in Indonesia revealed that the incidence of Vaicella and Herpes zoster is
about 0,03%. Varicella is more prevalent in older children, while Herpes zoster occured in younger age
compared o that in western literature. The morphology of Vaicella zoster virus being the sole etiology
of the disease as conirmed by viral isolation from the visecle fluid (Weller and Stoddard, 1952) was
discussed. The pathogenesis of Herpes zoster is not wholly undersood. The hypothesis of reactivation
of dormant virus in the spinal or cranial ganglion is still accepted. Vaicella is
considered as a
pimary infection, the upper respiratory tract and oropharnyx being the port d'entree of the virus. The
speciic clinical picture, complications of the disease as well as laboratory
procedures were
discussed. Tzanck test as it is simple and of good diagnostic value is suggested o be known by
practitioners. The sistemic and topical therapy were discussed. Acyclovir gives a promising result
either in Vaicella or Herpes zoster.

PENDAHULUAN
Infeksi virus Vaisela zoster menyebabkan penyakit xaiseWz/smallpox dan herpes
zoser/shingles dengan manifestasi klinik yang berbeda dan merupakan penyakit yang
biasa dan sering dijumpai, tetapi kadang-kadang pada penderita
immunocompromised dapat menimbulkan gejala yang berat dan berlangsung lama. Angka
kematian pada penyakit yang menyebar luas pada varisella maupun pada herpes zoster dapat
mencapai 6 -17%. Neuralgia pasca herpes zoster sering dijumpai terutama pada penderita
usia lanjut. Varisella merupakan infeksi akut primer sedangkan herpes zoster dianggap
merupakan reaktivasi virus yang dorman pada ganglion sensoik yang terjadi setelah infeksi
primer.
SEJARAH
Herpes zoster sudali sejak lama dikenal sebagai penyakit dengan gambaran klinis
yang khas meskipun kadang-kadang dikelimkan dengan herpes simpleks dan erupsi kulit
Iain. Zoster berasal dari kata Yunani yang berarti ikat pinggang yang biasa dipakai sebagai
perlengkapan baju perang zaman dulu. Istilah shingles berasal dai kata Latin

*) Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara.

89

BULETIN ILMIAH TARUMANAGARA TH. 9 / No. 30 / 1994

yang juga berati ikat pinggang. Chicken pox berasal dari kata gican (Inggis kuno)
yang berarti gatal. Pada abad XIX vaisela sering kali dikelirukan dengan variola
(smallpox). Herbeden (1767) pertama kali membedakan vaisela dai vaiola tetapi bam satu
abad kemudian Osier (1892) menekankan bahwa etiologi kedua penyakit tersebut berbeda,
Tyzzer (1906) menemukan adanya sel raksasa berinti banyak (multinucleated giant
cells) yang khas dan badan inklusi asidofilik dalam inti sel (intranuclear inclusion bodies)
pada pemeriksaan histopatologi dai lesi-Iesi kulit pendeita varisela. Weller dan Stoddard
(1952) berhasil mengisolasi virus dai cairan vesikel vaisela secara in vitro. Bokay (1888)
pertama kali melihat adanya hubungan antara herpes zoster dan vaisela setelah melihat
timbulnya vaisela pada anak-anak yang kontak dengan penderita herpes zoster.
Lipschutz menemukan bahwa lesi kulit pendeita herpes zoster secara histolopatologik
identik dengan vaisela seperti yang diuraikan Tyzzer. Kundratitz (1922) dan Bruusgaard
(1925) menginokulasi anak-anak dengan cairan vesikel
pendeita herpes zoster dan ternyata dapat menimbulkan vaisela maupun herpes zoster,
tetapi anak-anak yang pernah mendeita varisela tidak timbul varisela setelah inokulasi.
Bright (1831) pertama kali menemukan lesi zoster yang distibusinya mengikuti saraf.
Berensprung (1862) pertama kali melaporkan adanya inflamasi pada ganglion sensoik
saraf spinal. Hutchinson (1865-1866) pertama kali mempublikasikan karya tulis
mengenai herpes zoster oftalmikus.
EPIDEMIOLOGI
Vaisela dan herpes zoster merupakan penyakit menular, tersebar kosmopolitis,
tanpa perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varisela terdapat secara endemis, namun
kadang-kadang terjadi epidemi, terutama pada musim dingin dan musim semi. Herpes
zoster terdapat sporadis sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi iklim. Frekwensi dan
berat penyakit sesuai dengan bertambahnya usia pendeita. Kira-kira 50% kasus
varisela terdapat pada usia di bawah 5 tahun dan 80 - 90% di bawah 15 tahun. Di
negaranegara tropis dan subtropis, vaisela lebih seing dijumpai pada orang dewasa.
Pada penelitian kami (1992) didapat frekwensi varisela tetinggi pada usia 11-20 tahun
dengan vaiasi umur 172 - 53. Seorang pendeita berumur 14 hari kami temui pada tahun
1993. lbunya mendeita varisela pada masa nifas.
Siti Aisah Boediardja (1988): frekuensi tertinggi 15-24 tahun, vaiasi umur
10 - 60 tahun. Rebecca dkk (1988 - 1991): frekuensi tertinggi 5 - 14 tahun, variasi
umur 2 bulan - 65 tahun. (Tabel: 1).

90

INFEKSI VIRUS VARICELLA-ZOSTER

Herpes zoster bisa terjadi pada semua umur tetapi lebih dari 2/3 kasus terdapat
pada usia lebih dai 50 tahun dan kurang dari 10% terdapat di bawah 20 tahun. Pada
penelitian kami (1992) didapat frekuensi tertinggi pada usia 21-40 tahun dengan variasi
umur 7 bulan - 96 tahun. Zainudin M (1982 - 1985): variasi umur 7 tahun - 75 tahun
tanpa menyebutkan frekuensi tertinggi dan Pandaleke H.EJ. (1981 - 1985): variasi
umur 5-81 tahun, frekuensi tertinggi 50 - 59 tahun (Tabel: 2).
Insiden vaisela dan herpes zoster di RSSW (1992

: 0,03%

Harm E.S. (1986 - 1988) di RSUD dr. Soetomo, Surabaya

: 0,038%

Kandou R.N. (1985 - 1988) di RSUD Cm. Wenang, Manado: 0,03%


Sutana I.N. (1987 - 1989) di RSU Prof.Dr.WZF, Kupang

: 0,03%

Djajakummah, T.S. (1991 - 1992) di RSU H.S. Bandung

: 0,02%

Penularan terutama melalui saluran pernapasan dengan cara airborne droplets dan
secara kontak langsung. Vektor artropoda tidak menyebabkan penularan. Penularan varisela
pada neonatus jarang terjadi karena adanya kekebalan maternal. Varisela sangat
menular mulai 1-2 hai sebelum eksantem yaitu pada masa prodromal sampai seluruh
vesikel telah menjadi krusta.
Menurut Oxman masa krustasi tidak menular lagi, hal ini berbeda dengan variola.
Pada pendeita immunocompwmised, masa penularan lebih lama. Masa inkubasi
varisela berkisar antara 10 -16 hai. Masa inkubasi menjadi lama pada penderitapenderita yang mendapat imunisasi pasif dengan zoster-imune globulin (ZIG) atau
zoster immune plasma (ZIP).
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada iklim dan epidemi varisela,
karena herpes zoster terjadi sebagai reaktivasi virus varicella-zoster yang laten dan
tidak dapat dibuktikan bahwa herpes zoster terjadi karena kontak dengan penderita
varisela atau herpes zoster.
Walaupun jarang herpes zoster bisa terjadi pada usia kurang dai 1 tahun bahkan
pada neonatus, biasanya ada riwayat varisela pada ibunya waktu hamil. Kemungkinan
infeksi primer terjadi dalam rahim.
Pada herpes zoster virus dapat diisolasi dari vesikel penderita sampai rash hari
ketujuh, sedangkan pada pasien immunocompromised masa penularan lebih lama.
Dibandingkan dengan vaisela, herpes zoster lebih sedikit kemungkinan penularannya.
Meningkatnya insidens herpes zoster pada pendeita immunocompromised, menyebabkan
kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya leganasan pada pendeita herpes
zoster.
91

BULETIN ILMIAH TARUMANAGARA TH. 9 / No. 30 / 1994

ETIOLOGI
Virus varicella-zoster termasuk dalam famili herpes virus yang mempunyai
kemampuan untuk berada dalam keadaan laten dalam sel hospes setelah infeksi pimer.
Virus dalam keadaan laten dapat bertahan lama bahkan seumur hidup dan mempunyai
kemampuan mengadakan reaktivasi. Yang juga tergolong dalam herpesvirus adalah
virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, virus sitomegali (CMV) dan virus Epstein-Barr
(EBV). Menurut Oxman virus varicella zoster terdiri dari kapsid ikosahedral dengan
diameter 100 nm dengan inti di bagian sentral. Inti dan kapsid (nukleokapsid) dikelilingi
oleh 1-2 lapis protein dai virus dan lipoprotein dai sel hospes. Virion ini berbentuk
sfeis dengan diameter mencapai 150 - 200 nm. Hanya lapis an luar viion inilah yang
bersifat infeksius. Virus ini bersifat labil dan mudah rusak kena panas, enzim protease,
perubahan pH dan juga tidak tahan keadaan beku. Virus dapat hidup beberapa bulan
sampai dua tahun di cairan vesikel. Virus-virus yang tergolong herpesvirus secara
morfologi tidak dapat dibedakan dan beberapa diantaranya mempunyai kemampuan
menjadi ganas baik invivo maupun invitro.
PATOGENESA
Port d'entre virus varicella zoster adalah mukosa saluran napas bagian atas dan
orofaings. Multiplikasi di sini menyebabkan penyebaran virus melalui darah dan
masuk kelenjar getah bening regional (RES) yang mungkin merupakan tempat replikasi
virus selama masa inkubasi, kemudian virus masuk lagi dalam peredaran darah (viremi II).
Timbul demam dan malaise serta penyebaran virus pada seluruh tubuh terutama pada
kulit dan selaput lendir dimana fokus infeksi dimulai dengan infeksi sel endotel kapiler.
Kelainan kulit berupa vesikulae yang tersebar. IgG, IgM, dan IgA terhadap virus
varicella-zoster sudah dapat dideteksi pada hai ke 2 - 5 setelah masa awitan dan mencapai
puncaknya pada minggu II/III, kemudian antibodi Ig G menurun perlahanlahan dan
menetap seumur hidup. Ig M dan Ig A menurun lebih cepat dan menghilang dalam waktu
satu tahun (Grafik: 1).
Cell-mediated immunity (CMI) terhadap virus varicella-zoster juga meningkat dan
bertahan selama beberapa tahun.
Respon kekebalan seluler memegang peranan penting dalam penyebaran dan
lamanya infeksi virus varicella-zoster. Pada penderita dengan defek kekebalan seluler
dapat terjadi varisela yang berat. Seorang penderita varisela setelah sembuh mempunyai
kekebalan terhadap varisela tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap herpes
zoster. Patogenesis herpes zoster belum jelas. Kemungkinan setelah infeksi primer,
virus varicella-zoster diam secara dorman pada sel radiks posterior ganglion saraf atau

92

INFEKSI VIRUS VARICELLA-ZOSTER

ganglion saraf kranialis. Mekanisme reaktivasi virus tidak jelas tetapi diduga beberapa
keadaan di bawah ini memegang peranan:
1. keadaan immunocompromised, termasuk Hodgkin's disease dan keganasankeganasan lain.
2. pembeian obat-obatan imunosupresif dan kortikosteroid.
3. transplantasi organ.
4. orang tua.
5. tumor medula spinalis.
6. trauma ganglion radiks posteior. 7.
sinar x pada kolumna spinalis.
8. keracunan logam berat.
9. sinusitis frontahs, bisa menyebabkan herpes zoster oftalmikus.
10. dan Iain-lain.
Bila kekebalan seluler dan antibodi dalam badan cukup baik, dapat menetralisir
virus sebelum menginfeksi sel lain dan mengakibatkan kerusakan. Bila kekebalan
menurun maka virus akan berkembang biak dan menyebar dalam ganglion menyebabkan
nekrosis serabut saraf dan peradangan yang hebat, terjadi neuritis yang hebat disertai
vesikulae berkelompok-kelompok yang khas. Imunitas seluler merupakan faktor
penting untuk menanggulangi reaktivasi virus varicella-zoster. Pada orang tua respon
imunitas seluler ini menurun, hal ini menjelaskan mengapa herpes zoster umumnya
pada orang tua.
GAMBARAN KLINIK
1. Varisela.
Sesudah masa inkubasi yang berlangsung 14 -15 hari (10-21 hari), timbul gejala
prodromal berupa panas, malaise, sakit kepala, anoreksia dan pada beberapa pasien dapat
disertai sakit tenggorok dan batuk kering. Gejala ini berlangsung kira-kira 2-3 hai.
Pada anak-anak kecil gejala prodromal ini sering terjadi. Rash dimulai pada muka dan
kulit kepala (scalp) cepat menyebar ke badan dan ekstremitas terutama bagian proksimal dan
bisa juga dijumpai sedikit kelainan kulit pada telapak tangan dan telapak kaki. Penyebaran
kelainan kulit lebih banyak di bagian sentral terutama bagian yang tertutup pakaian,
disebut penyebaran sentripetal (pada v^nla penyebaran sentrifugal). Rash dimulai dengan
makula eitem yang dalam beberapa jam berubah menjadi papula, kemudian menjadi
vesikula yang khas (superfisial dan berdinding tipis) seperti tetesan air pada kulit (a dew
drop on a rose petal). Vesikula berbentuk elips berdiameter

93

BULETIN ILMIAH TARUMANAGARA TH. 9 / No. 30 / 1994

2 - 3 milimeter dengan sumbu panjang sesuai garis lipat kulit. Vesikula berubah menjadi
pustula, kemudian menjadi kering dimulai dai bagian sentral membei gambaran
pustula dengan umbilikasi lalu menjadi krusta. Dari makula sampai menjadi krusta
dapat terjadi dalam waktu 8 - 12 jam, tetapi biasanya dalam waktu 24 jam.
Bila tidak ada infeksi sekunder maka krusta akan lepas dalam waktu 5 -12 hari,
rata-rata 7 hari, tergantung kedalaman letaknya dalam kulit. Lepasnya krusta
meninggalkan bekas kemerah-merahan yang akan menghilang perlahan-lahan, tanpa
meninggalkan jaringan parut kecuali bila penderita terkena infeksi sekunder.
Vesikulae sering timbul dalam jumlah banyak pada daerah yang mengalami
peradangan seperti diaper rash, sunburn atau eksema. Vesikulae dapat juga timbul pada
mukosa mulut terutama pada palatum, vesikel ini cepat sekali pecah dan meninggalkan
ulkus berdiameter 2 - 3 milimeter. Vesikulae juga dapat timbul pada mukosa hidung,
faings, larings, trakhea, traktus gastrointestinal, traktus urinaius, vagina dan konjungti va. Lesi
pada varisela dijumpai dalam bentuk polimorf selama 3 - 5 hari. Hal ini disebabkan karena
timbulnya erupsi kulit tidak serentak sehingga pada satu saat ditemukan bermacammacam ruam pada satu regie Keadaan ini berbeda dengan vaiola yang monomorf.
Pada anak-anak yang normal, vaisela adalah penyakit yang ringan, jarang
menimbulkan komplikasi yang serius. Umumnya pada penyembuhan varisela
memberikan kekebalan seumur hidup tetapi bisa juga terjadi serangan kedua.
Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi dengan stafilokok atau streptokok
yang bisa meninggalkan sikatrik pada penyembuhan. Bisa juga terjadi pneumonia
sekunder terutama pada anak-anak di bawah umur 7 tahun, juga bisa terjadi otitis media dan
meningitis. Pada orang dewasa gejala varisela lebih berat daripada anak-anak dan lebih
seing timbul komplikasi antara lain pneumonia varisela primer, yang biasanya terjadi
pada hai pertama sampai hai keenam dan berhubungan erat dengan hebatnya kelainan
kulit. Angka kematian pada pneumonia varisela ini bisa mencapai 10 - 30% . Pendeitapenderita yang immunocompromised, termasuk penderita-penderita keganasan yang sedang
mendapat pengobatan imunosupresif, kotikosteroid atau kemoterapi, menunjukkan
gambaran klinik yang lebih berat disertai panas tinggi dan tanda-tanda perdarahan serta
kelainan pada paru-paru, hepar, susunan saraf pusat dan organ-organ lainnya.
Vaisela pada kehamilan dapat menimbulkan komplikasi baik pada ibu maupun
pada fetus. Pada ibu dapat terjadi varisela diseminata atau pneumonia vaisela yang
dapat mengakibatkan kematian ibu atau kelahiran prematur. Maternal viremia dapat

94

INFEKSI VIRUS VARICELLA-ZOSTER

menyebabkan infeksi virus varicella-zoster dalam rahirn Vaisela pada kehamilan awal
dapat mengakibafkan kelainan kongenital dengan angka kematian yang tinggi. Hal ini
menunjukkan adanya efek teratogenik dai virus varicella-zoster. Dapat dikatakan
bahwa vaisela pada kehamilan mengakibafkan infeksi pada fetus tetapi tidak selalu
menimbulkan sekuele-sekuele yang nyata. Pada neonatus yang lahir tanpa kelainan
seingkali terjadi herpes zoster pada usia muda. Vaisela kongenital (timbul dalam
10 hari pertama) jarang terjadi, lebih berat daipada vaisela yang terjadi pasca natal,
ditandai dengan kelainan kulit yang berat, kelainan organ-organ dalam tubuh antara lain
hepar dan hen disertai tanda-tanda perdarahan dan dapat mengakibafkan kematian pada hai
ke 4 - 6.
Komplikasi vaisela pada susunan saraf terjadi kurang dai 1%, antara lain:
1. Reye's syndrome
2. Acute cerebellar ataxia
3. Ensefalitis atau meningoensefalitis
4. Mielitis
5. Guillain Barre syndrome
Reye's syndrome (acute encephalopathy dan fatty degeneration viscera) pada
vaisela tidak dapat dibedakan dengan Reye's syndrome karena infeksi virus lainnya.
Pada 15 - 40% kasus Reye's syndrome terdapat hubungan dengan vaisela. Banyak
kasus-kasus ensefalitis varisela yang pernah dilaporkan mungkin adalah Reye's
syndrome.
Komplikasi-komplikasi lain yang bisa menyertai vaisela adalah miokarditis,
glomerulonefitis, orkhitis, apendisitis, pankreatitis, atitis, Henoch-Schonlein vaskulitis,
neuitis optikus, keratitis dan iritis,
2. Herpes zoster.
Gejala prodromal biasanya berupa rasa nyeri dan parestesi pada dermatom yang
terkena selama kira-kira 4-5 hai (biasanya 1-10 hai). Rasa nyei ini bisa menyerupai
gejala pleuitis, miokard infark, ulkus duodeni, kholesistitis, kolik ginjal atau traktus
biliais, apendisitis, H.N.P. atau gejala awal glaukoma sehingga bisa menyebabkan salah
diagnosa. Gejala konstitusi seperti sakit kepala, malaise dan demam terjadi pada kira-kira
5%, biasanya pada anak-anak.
Pada beberapa kasus dapat terjadi neuralgia segmental yang akut tanpa disertai
erupsi kulit disebut syndrome zoster sine herpete.

95

BULETIN ILMIAH TARUMANAGARA TH. 9 / No. 30 / 1994

Erupsi dimulai dengan eritem makula papula, kemudian terbentuk vesikula


dalam waktu 12 - 24 jam yang kemudian menjadi pustula pada hari ke 3 akan mengering
menjadi krusta pada hari ke 7 - 10. krusta ini bertahan 2 - 3 minggu. Vesikulae ini
ditemukan berkelompok-kelompok di atas dasar eritem sepanjang dermatom persarafan
kulit dan unilateral, biasanya hiperestesi dan rasa nyeri. Kelainan seperti ini merupakan
gambaran yang khas pada herpes zoster. Dermatom yang seing terkena adalah yang
mendapat persarafan C2 - L2. Menurut Oxman, T3 - L2, saraf kranialis ke 5, yaitu
N. Tigeminus terutama cabang oftalmikus. (10-15% herpes zoster adalah herpes zoster
oftalmikus, juga saraf kranialis VII. Biasanya lesi-lesi kulit akan terbentuk dalam waktu
1 - 4 hai (paling lama 7 hari) dan virus dapat ditemukan pada vesikula paling lama
7 hari masa awitan. Pada orang tua kelainan kulit lebih lama dan berat dibandingkan
pada anak-anak.
Nyeri segmental merupakan gejala yang menonjol pada pendeita herpes zoster
usia lanjut di atas 65 tahun, dan biasanya masih terus dirasakan walaupun seluruh krusta
telah lepas. Rasa nyeri ini tidak begitu menonjol pada anak-anak. Dapat dijumpai gejala
konstitusi, subfebril dan limfadenopati regional. Rash atau kelainan kulit pada herpes
zoster oftalmikus terdapat di dahi, di atas mata. Bila yang terserang hanya cabang
suprarrokhlear dan supraorbital maka mata tidak mengalami gangguan. Bila cabang
nasosiliais yang terserang (2/3 kasus herpes zoster oftalmik), antara lain dapat dilihat
adanya lesi di hidung, dapat terjadi keratitis, uveitis dan dapat menimbulkan kelainan
permanen. Herpes zoster yang mengenai saraf kranial VII dan VIII menimbulkan gejala
kombinasi berupa parese fasial, herpes zoster pada telinga luar atau membran tympani
dengan/tanpa tinitus, verigo, disertai vesikulae pada uvula, palatum dan Iidah bagian
anteior, yang disebut syndrome Ramsay Hunt.
Komplikasi yang dapat terjadi pada herpes zoster :
1. Neuralgia pasca herpes zoster terutama pada pendeita di atas 60 tahun dan lebih
sering pada herpes zoster oftalmikus (10 - 15%). Neuralgia ini refrakter terhadap
berbagai pengobatan, tetapi biasanya akan menghilang sendii dalam waktu
3 bulan - 1 tahun.
2. Jaingan parut pada kulit, bisa terjadi pada kelainan kulit yang berat dan disertai
infeksi sekunder.
3. Pada 1-5% kasus dapat terjadi paralise motorik, hal ini disebabkan penyebaran
langsung dai infeksi di ganglion sensoik, biasanya terjadi pada saraf kranialis
atau persarafan ke ekstremitas. Paralisis dimulai dua minggu setelah erupsi kulit.

96

INFEKSI VIRUS VARICELLA-ZOSTER

4. Angiitis granulomatosa arteri serebral biasanya terjadi pada herpes zoster oftalmik,
dapat menyebabkan hemiplegi kontrala teral.
5. Herpes zoster generalisata atau herpes zoster yang berat pada pendeita penyakit
keganasan atau pada penderita yang mendapat pengobatan imunosupresif/
radioterapi.
DIAGNOSA
Diagnosa didasarkan pada:
I. Gejala klinik.
1.1. Varisela.
Erupsi papulovesikula yang timbul dengan/tanpa gejala prodromal dan disertai
gejala konstitusi yang ringan. Distribusi terutama di daerah sentral termasuk kulit kepala
(distibusi sentipetal). Perubahan dari papula menjadi vesikula yang berdinding tipis
kemudian menjadi pustula lalu krusta terjadi dalam waktu singkat. Pada fase akut dapat
dilihat macam-macam efloresensi/ruam kulit dan terdapat juga lesi di mukosa mulut.
1.2. Herpes Zoster.
Gejala prodromal seingkali menyerupai pleuritis, miokard infark, kholesistitis,
apendisitis, kolik batu ginjal atauH.N.P. Kadang-kadang adanya limfadenopati regional dan
hiperestesi atau disestesia dapat menyokong diagnosis herpes zoster. Gambaran klinik
herpes zoster berupa vesikula yang berkelompok-kelompok sesuai dermatom disertai
rasa nyei unilateral.
II. Laboratoium.
Tzanck smear dengan pewarnaan Giemsa/HE/Papanicolaou atau Paragon
Multiple, merupakan pemeiksaan sederhana dan bernilai diagnostik, dianjurkan supaya
dikenal oleh para dokter.
Identifikasi virus dari cairan vesikula dengan mikroskop elektron. Inokulasi virus
dalam kultur jaringan bisa membedakannya dari herpes simpleks. Identifikasi langsung
antigen virus varisela zoster secara:
- CIE (countercurrent immunoelectrophoresis)
- Enzym immunoassay
- Monoclonal antibody

97

BULETIN ILMIAH TARUMANAGARA TH. 9 / No. 30 / 1994

Tes serologik bisa berguna sebagai diagnosa retrospektif varisela atau herpes
zoster, juga untuk mengidentifikasi orang yang rentan dan cenderung mendapat infeksi
virus varicella- zoster.
a. Tes fiksasi komplemen: mempunyai kerugian:
1. tidak spesifik
2. sesudah infeksi titer cepat menurun sampai negatif sehingga tidak bisa
membedakan orang yang imun dai yang rentan.
b. F.A.M.A.
Pemeriksaan imunofloresen antibodi terhadap membran antigen lebih bersifat
spesifik. Bisa membedakan antara pasien yang imun dan yang rentan.
c. Tes netralisasi virus varicella-zoster lebih spesifik dan sensitif tetapi lebih mahal
dan lebih sulit dikerjakan.
d. Elisa (enzyme-linked immunosorbent assay) hasilnya lebih sensitif dan caranya
lebih sederhana dibandingkan F.A.M.A.
III. Histopatologi.
Gambaran histopatologi vaisela dan herpes zoster sama yaitu degenerasi balon
dengan badan inklusi asidofilik dalam inti sel dan sel raksasa berini banyak.
PENGOBATAN
Varisela dan herpes zoster seperti penyakit virus lainnya dapat swasirna.
Pengobatan bersifat simtomatik untuk mengurangi gejala klinik, namun obat anti virus
diberikan dengan tujuan memperpendek perjalanan penyakit, membatasi dan mencegah
perluasan penyakit, mengurangi insidens neuralgia pasca herpes zoster. Anti virus yang
sekarang seing dipergunakan adalah Asiklovir, yang bekerja aktif terhadap virus
vaicella-zoster dan virus herpes simplex dengan cara menghambat polimerase DNA.
Pemberiannya secara oral dengan dosis 4 - 5 x 800 nig selama 5-7 hari. Dosis anakanak 10-20 mg/kg bb 4x sehai selama 5 - 7 hari atau dosis 15-25 mg/kg bb secara
intravena dibagi dalam 3 dosis. Asiklovir sebaiknya diberikan dalam masa kurang dai
72 jam bahkan sebaiknya dalam 24 jam pertama.
Pemberian Asiklovir pada penderita varisela mempercepat penyembuhan,
mempercepat hilangnya rasa idak enak seperti demam dan gatat, serta mengurangi
jumlah hari absen anak di sekolah. Pemberian Asiklovir pada penderita herpes zoster
mempercepat hilangnya fase akut serta mengurangi terjadinya neuralgia pasca herpes.
Pembeian Asiklovir umumnya aman dengan efek samping ringan seperti sakit kepala,

98

INFEKSI VIRUS VARICELLA-ZOSTER

nausea, dan muntah. Asiklovir I.V. dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang
reversibel.
Pemberian salisilat sebagai antipiretik pada anak-anak sebaiknya dihindari
karena ada hubungan dengan Reye 's syndrome. Anibiotika diberikan bila ada komplikasi
infeksi sekunder. Pengobatan topikal dimjukan untuk mencegah pecahnya vesikel yaitu
dengan pemberian talkum venetum, dapat ditambahkan antiseptik atau anipruritus
ingan. Bila vesikel mengisut dan mengering sendii dan terlepasnya krusta tanpa
paksaan, maka bekas lesi idak menimbulkan sikatiks atrofi. Hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi akan berangsur-angsur menghilang dalam 1-2 minggu. Pemberian
kortikosteroid topikal harus dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Balfour, H.H. "Acyclovir Treaunent of Varicella in Otherwise Healthy Children," dalam J


Pediatr, 116, 1990.
"Acyclovir Treatment of Vericella in Otherwise Healthy Adolescent," dalam J
Pediatr, 120, 1992.
Boediardja, S.A. "Vaisela," dalam Kumpulan Naskah Simposium Virus Herpes pada Kulit dan
Kelamin, Jakarta, 25 Januai 1986.
Bunett, J.W. dan W.A. Crutcher. "Viral and Richetsial Infections," dalam Moschella and Hurley
Dermatology, Philadelphia: W.B. Saunders, 1985.
Djajakusumah, T.S. "Epidemiologi Infeksi Virus Herpes," dalam Simposium Penatalaksanaan
Terbaru Infeksi Virus Herpes, Jakarta, 17 April 1993.
Dunkle L.M. et.al. "A Controlled Tial of Acyclovir for Chicken pox in Normal Children," dalam
New EngL J ofMed, 325, 1991.
Feder, H.M. "Treatment of Adult Chickenpox with Oral Acyclovir," dalam Arch Intern Med,
150, 1990.
Harun, E,S, "Pota Penyakit Kulit di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Surabaya," dalam Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, no. 1, Agustus 1989.
Hurwits, S. Clinical Pediatric Dermatology, Philadelphia: W.B. Saunders,

1981.

Kandou, R.T. dan W.F. Th. Warouw. "Insidens Penyakit Kulit pada RSUD Gunung Wenang
Manado," dalam Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, no. 1, Agustus 1989.
Mardiono, M. dan J. Karmadi. "Pola Distribusi Herpes Zoster dan Varisela," dalam Pertemuan
Dmiah di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta, 28 Juli 1993.

99

BULETIN ILMIAH TARUMANAGARA TH. 9 / No. 30 / 1994

Maskur, Z. "Herpes Zoster," dalam Kumpulan Naskah Simposium Virus Herpes pada Kulit dan
Kelamin, Jakarta, 25 Januari 1986.
Mc Kendick, M.W. "Oral Acyclovir in Herpes Zoster," dalam Scand J Infect Dis, suppl 47,
1985.

Oxman, M.N. "Varicella and Herpes Zoster," dalam Fitzpatrick Dermatology in General
Medicine, Philadelphia: Mc Grav/ Hill, 1987.
Pandeleke, H.E.J. dan W.F.Th. Warrouw. "Herpes Zoster di RSUD Gunung Wenang, Manado,"
dalam Konas V Padvi, Ujung Pandang, 1986.
Pusponegoro, E.H.D. "Pengobatan Acyclovir Oral pada Penderita Herpes Zoster Acut di RSCM
Jakarta," dalam Simposium Penatalaksanaan Terbaru Infeksi Virus Herpes, Jakarta
17 Apil 1983.
Shepp, D.H. etal. "Treatment of Varicella Zoster Virus Infection in Severely Immunocompromised
Patients," dalam The New England Journ of Medicine, Januari 1986.
Solomon, A.R. et.al. "A Comparison of the Tzanck Smear and Viral Isolation in Varicella and
Herpes Zoster," dalam Arch of Derm, March, 1986.
Si Dewi Rebecca, et.al. "Penelitian Retrospektif Kasus-kasus Varisela di Poliklinik Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soeomo Surabaya," dalam Konas VHPerdoski, Bukittinggi,
1992.
Sutana, I.N. "Pola Penyakit Kulit di RSU Prof. Dr. W.Z. Johanes Kupaug," dalam Berkala Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, no. 1, Agustus 1989.
Zulkamaen, I. "Herpes Zoster Ophthalmicus," dalam Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
no. 3, Desember 1990.

100

Anda mungkin juga menyukai