Anda di halaman 1dari 2

Hujan dan Problematika Perkotaan.

Turunnya hujan bisa jadi berkah yang melimpah bagi banyak daerah di Bali, yang selama
ini identik dengan kekeringan. Hujan menjadi penyelamat banyak kehidupan. Rumput-
rumput yang pada mulanya kering menjadi segar dan menghijau. Pohon pohon yang
mulanya merangas, perlahan mulai bersemi. Bukit bukit kering dalam tempo singkat sudah
menghijau.
Cerita klasik tentang kekeringan pada beberapa daerah di Bali ketika menginjak
kemarau, seolah mewarnai denyut kehidupan orang Bali dalam setiap kiprahnya. Cobalah
tengok sejenak saudara kita yang bermukim di Seraya Barat, Tianyar, Ban, Bonyoh dan
banyak daerah di sekitar lereng Gunung Agung. Mereka seolah sudah akrab dengan kondisi
alamnya yang tandus dan gersang. Jangankan untuk mandi yang cukup seperti kehidupan di
kota, untuk minum mereka agak kesulitan. Bagi mereka yang memiliki cupang, barangkali
ada sedikit kecukupan air sampai pertengahan kemarau. Tetapi, ketika air di cupang habis,
mereka harus berjalan kiloan meter untuk sekedar mendapat air bersih, yang digunakan untuk
keperluan masak memasak dan minuman ternaknya.
Gambaran sekilas di atas sangat kontradiktif dengan kehidupan masyarakat di kota. Air
sangat mudah di cari. Benda yang namanya air sudah menjadi benda dengan nilai ekonomis
tinggi. Masyarakat kota bahkan sangat fanatik dengan kwalitas air. Golongan kelas menengha
tentu sangat takut mandi di sungai. Mereka menilai air sungai sudah tidak hiegienis. Air
sumur pun dianggapnya sudah tidak lagi sehat, karena terkontaminasi oleh kuman ecoli yang
dapat menyebabkan diare. Dengan uang yang dimiliki, mereka bisa memilih air kemasan.
Produk air mineral yang katanya dapat member umur panjang bagi peminumnya.
Tetapi, kelebihan air pada musim hujan sudah menjadi penyakit yang akan segera kronis.
Beberapa tempat di Denpasar khususnya, sangat akrab dengan banjir. Secara geografis daerah
tersebut memang lebih rendah dari daerah di sekitarnya. Ketika hujan deras dating dengan
rentang waktu lama, dapat dipastikan terjadi banjir. Air dari sungai dan selokan di
sekelilingnya meluap. Volume air meningkat dalam waktu yang sangat singkat. Tidak hanya
menggenangi jalan-jalan, tetapi sudah masuk ke dalam rumah-rumah penduduk. Celakanya,
saking besarnya bisa menghanyutkan benda-benda berharga milik warga yang dilewati banjir.
Kerugian material bisa mencapai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Belum terhitung
kerugian non materialnya. Banyak penduduk yang terjangkit sakit kulit dan diare akibat
kondisi air tercemar yang masuk kerumahnya.
Banjir merendam beberapa rumah di jalam Imam Bonjol pada tanggal 28 juni 2013 yang
lalu. Paling parah dialami oleh sebuah rumah kos yang berlokasi di Gang Trisakti. Rumah
kos tersebut dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga. Penghuni dibuat panik dengan datangnya
air yang tiba-tiba. Meskipun hanya setinggi lutut orang dewasa, genangan air telah
menghambat aktivitas penghuni rumah kos. Meluapnya air disebabkan karena tersumbatnya
selokan air yang ada di depan rumah. Selokannya memang kecil dan kurang dalam. Hal
tersebut diperparah oleh sumbatan sampah plastic dan kayu. Untunglah genangan air cepat
diatasi dengan kedatangan tim pemantau dari PMI dan dinas pekerjaan umum.
Berikutnya, banjir juga sempat melanda daerah di seputar jalan Padma. Sekitar 5 rumah
terendam air setinggi lutut. Penyebabnya tanggul yang jebol. Jebolnya tanggul kemungkinan
karena sudah berumur, sehingga tidak kuat menahan derasnya air. Tidak ada korban jiwa
dalam peristiwa tersebut. Untunglah relawan dari PMI kota Denpasar bersama tim
penanggulangan dari Dinas Pekerjaan Umum sigap menanggulangi kejadian tersebut. Mereka
dibantu oleh masyarakat setempat segera memasang kantung-kantung pasir untuk mencegah
masuknya air yang lebih besar.
Relawan PMI Kota Denpasar juga sempat ikut memantau luapan air yang terjadi di jalan
Tukad Batanghari Panjer. Mereka ditugaskan untuk antisipasi kejadian yang tidak diinginkan
akibat meluapnya air sungai. Meluapnya air karena ada pegawai kontraktor yang memarkir
alat berat menutup bibir selokan. Prilaku tidak bertanggungjawab tersebut telah menyulut
emosi warga.
Fenomena banjir yang terus terjadi di seputar kota Denpasar, seolah berbanding lurus
dengan pesatnya pembangunan yang terjadi. Alih fungsi tanah pertanian menjadi perumahan,
perkantoran dan fasilitas lainnya melaju pesat. Investor local dan luar Bali menadikan kota
denpasar sebagai primadona untuk dibisniskan. Nadi perekonomian berdenyut keras. Bak
penari jogged ngebor, banyak kalangan ramai-ramai berinvestasi di Denpasar.
Di balik geliat majunya pembangunan, ada hal lain yang yang tampaknya kurang diantisipasi
oleh pemerintah. Kota Denpasar kekurangan ruang kosong dan daerah resapan. Jarak antar
satu rumah dengan yang lainnya sangat mepet. Sehingga pada saat ada hujan, air yang
terserap tanah tidak maksimal. Air yang turun dengan volume banyak langsung mengalir
keselokan-selokan sekitarnya. Pemerintah memang sudah mengalokasikan banyak anggaran
untuk membangun gorong-gorong, serta memperbaiki selokan air yang rusak dan mampet.
Tetapi hasilnya belum maksimal. Di banyak tempat, selokan airnya kurang besar dan dalam.
Sehingga ketika air besar datang, selokan tidak mampu menampung derasnya air. Dapat
dipastikan air akan mengalir ke tempat-tempat rendah terdekat. Banjir tidak pernah
memandangb rumah milik orang kaya, miskin, bahkan tempat ibadah.
Struktur selokan yang kecil dan dangkal, semakin diperparah dengan kecilnya kesadaran
masyarakat kota terhadap kebersihan lingkungan. Budaya membuang sampah sembarangan
masih sangat tinggi. Tidak pernah sadar, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan perda
disertai dengan sangsi. Barangkali, pemerintah perlu lebih tegas mengubah karaktier
masyarakat agar lebih disiplin dan lebih perhatian dengan kelebihan lingkungannya.

Penulis: Gung Mas PMI Denpasar

Anda mungkin juga menyukai