Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Nusantara (1942-1945)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia

Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (7521006)
Kerajaan Kahuripan (10061045)
Kerajaan Sunda (9321579)
Kediri (10451221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (12221292)
Majapahit (12931500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (14001511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (14751548)
Kesultanan Kalinyamat (15271599)
Kesultanan Aceh (14961903)
Kesultanan Banten (15271813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (15881681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (15121850)
VOC (1602-1800)
Belanda (18001942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (19421945)
Revolusi nasional (19451950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (19501959)
Demokrasi Terpimpin (19591965)
Masa Transisi (19651966)
Orde Baru (19661998)
Era Reformasi (1998sekarang)
l
b
s
Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17
Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta
atas nama bangsa Indonesia.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda
mengumumkan keadaan siaga dan pada Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika
Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan
bahan bakar pesawat gagal pada Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di
bulan Desember tahun itu. Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang
untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir
dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat
bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang
tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat
perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang
Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau
(Dokuritsu junbi chsa-kai
?
) dalam bahasa Jepang. Badan ini bertugas membentuk persiapan-
persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI yang bertugas
menyiapkan kemerdekaan.
Daftar isi
1 Latar Belakang
2 Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang
3 Pembela Tanah Air (Peta)
4 Sosial Budaya
o 4.1 Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang
o 4.2 Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern
5 Perlawanan rakyat terhadap Jepang
6 Garis waktu
o 6.1 1941
o 6.2 1942
6.2.1 Januari
6.2.2 Februari
6.2.3 Maret
6.2.4 April
6.2.5 Mei
6.2.6 Juni
6.2.7 Juli
6.2.8 Agustus, September, Oktober
6.2.9 November, Desember
o 6.3 1943
o 6.4 1944
o 6.5 1945
6.5.1 Januari-April
6.5.2 Mei
6.5.3 Juni
6.5.4 Juli
7 Periode menjelang Kemerdekaan RI
8 Pasca-Kemerdekaan
9 Sekutu
10 Dampak Pendudukan Jepang Dalam Berbagai Aspek Kehidupan Bangsa Indonesia
o 10.1 Aspek Politik
o 10.2 Aspek Ekonomi dan Sosial
o 10.3 Aspek Kehidupan Militer
11 Dampak Positif dan Negatif Pendudukan Jepang di Indonesia
o 11.1 Dampak Positif Pendudukan Jepang
o 11.2 Dampak Negatif Pendudukan Jepang
12 Referensi
13 Pranala luar
Latar Belakang
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana
Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak
menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka
melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka
ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan
embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun
untuk keperluan perang.
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang
yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar.
Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur),
10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut
perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama,
yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur,
tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika
Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan
Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu
penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang
dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta
795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi
Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom
pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang.
Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6
kapal perang lain. Selain itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur
Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka.
Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor.
Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia
Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah
untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang
Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh
operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
Organisasi yang diprakarsai oleh Jepang
Pembela Tanah Air (Peta)
Gakukotai (laskar pelajar)
Heiho (barisan cadangan prajurit)
Seinendan (barisan pemuda)
Fujinkai (barisan wanita)
Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
Jawa Hokokai
Keibodan (barisan pembantu polisi)
Jibakutai (pasukan berani mati)
Kempetai (barisan polisi rahasia)
Sosial Budaya
Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang
Sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang menempatkan golongan bumiputera di atas
golongan Eropa maupun golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Hal ini disebabkan oleh Jepang
ingin yang mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur
Raya.
Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern
Saat ini, industrialisasi modern tentu membawa dampak yang jauh lebih luas daripada
industrialisasi pada masa Kolonial Belanda. Di perkotaan, terdapat pergeseran struktur pekerjaan
dan angkatan kerja. Misalnya, sekarang muncul jenis-jenis pekerjaan baru yang dahulu tidak ada,
yaitu jasa konsultan, advokasi, dan lembaga bantuan hukum. Angkatan kerja juga mengalami
pergeseran, terutama dalam hal gender. Dahulu, tenaga kerja sangat dimonopoli kaum laki-laki.
Namun saat ini, kaum perempuan telah berperan di segala bidang pekerjaan.
Berdasarkan hal tersebut, penentuan kelas sosial tidak lagi hanya ditentukan oleh aspek ekonomi
semata, tetapi juga ditentukan oleh aspek lain, seperti faktor kelangkaan dan profesionalitas
seseorang. Hal ini disebabkan oleh masyarakat industri yang memang sangat mengahrgai
kreativitas yang mampu memberi nilai tambah dalam pekerjaan. Akibatnya, orang yang
berpendidikan tinggi sangat dihargai oleh masyarakat industri. Sebaliknya, orang yang
berpendidikan rendah ditempatkan pada strata bawah.
Perlawanan rakyat terhadap Jepang

Artikel ini tidak memiliki referensi sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa diverifikasi.
Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Artikel yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
Tag ini diberikan tanggal Februari 2010
Peristiwa Cot Plieng, Aceh 10 November 1942
Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng,
Lhokseumawe. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang
melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh.
Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil
memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan
serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang
berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil
meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang salat.
Peristiwa Singaparna
Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di
bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Beliau menolak dengan tegas ajaran yang
berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi
penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari
terbit. Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena
termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu beliaupun tidak tahan melihat
penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya
yang telah dibekali ilmu beladiri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang
akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya untuk mengakhiri
pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran sengit
antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat Jumat. Meskipun berbagai upaya
perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke
Tasikmalaya kemudian dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di
Ancol.
Peristiwa Indramayu, April 1944
Peristiwa Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban
menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja rodi/kerja paksa/Romusha yang telah
mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-kawan di desa Karang Ampel,
Sindang, Kabupaten Indramayu.
Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan
Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahi kekejaman yang dilakukan
pada setiap pemberontakan.
Pemberontakan Teuku Hamid
Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton pasukannya
melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi pada bulan November 1944.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang melakukan ancaman akan membunuh para
keluarga pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan
pemberontak menyerah, sehingga akhirnya dapat ditumpas.
Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih
yang dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara
sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh
kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
Pemberontakan Peta
Perlawanan PETA di Blitar (29 Februari 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail.
Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang
dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang
tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang
angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan
perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri
(Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding.
Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco
Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Perlawanan PETA di Meureudu-Pidie, Aceh (November 1944)
Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun Teuku Hamid. Latar belakang perlawanan ini
karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit
Indonesia pada khususnya.
Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945)
Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco), Kusaeri bersama rekan-rekannya.
Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri
ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana
karena Jepang terdesak oleh Sekutu.
Perlawanan Pang Suma
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Barat. Pang Suma
adalah pemimpin suku Dayak yang besar pengaruhnya di kalangan suku-suku di daerah Tayan
dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh
pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang.
Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam
sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga
Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang
kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
Perlawanan Koreri di Biakdi Irian Barat tahun 1943
Perlawanan ini dipimpin oleh L. Rumkorem, pimpinan Gerakan Koreri yang berpusat di Biak.
Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai budak belian,
dipukuli, dan dianiaya. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban, tetapi rakyat
melawan dengan gigih. Akhirnya Jepang meninggalkan Pulau Biak.
Perlawanan di Pulau Yapen Selatan
Perlawanan ini dipimpin oleh Nimrod. Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi bantuan
senjata kepada pejuang sehingga perlawanan semakin seru. Nimrod dihukum pancung oleh
Jepang untuk menakut-nakuti rakyat. Tetapi rakyat tidak takut dan muncullah seorang pemimpin
gerilya yakni S. Papare.
Perlawanan di Tanah Besar Papua
Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan
kerja sama antara gerilyawan dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan
modal senjata dari Sekutu.
Gerakan bawah tanah
Sebenarnya bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia
tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula melihat betnuk
perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta dan Jawa Barat dengan cara menyamar sebagai
pedagang nanas di Sindanglaya.
Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup sebagai pegawai
kantor pusat propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita Antara).
Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah kelompok mahasiswa
dan pelajar.
Kelompok Mr. Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana. Mereka adalah kelompok gerakan Kaigun
(AL) Jepang.
Mereka yang tergabung dalam kelompok di bawah tanah, berusaha untuk mencari informasi
dan peluang untuk bisa melihat kelemahan pasukan militer Jepang dan usaha mereka akan
dapat Anda lihat hasilnya pada saat Jepang telah kalah dari Sekutu, kelompok pemudalah yang
lebih cepat dapat informasi tersebut serta merekalah yang akhirnya mendesak golongan tua
untuk secepatnya melakukn proklamasi.
Demikianlah gambaran tentang aktifitas pergerakan Nasional yang dilakukan oleh kelompok
organisasi maupun gerakan sosial pada masa pemerintah pendudukan Jepang, tentu Anda dapat
memahami sebab-sebab kegagalan dan mengapa para tokoh pergerakan lebih memilih sikap
kooperatif menghadapi pemerintahan militer Jepang yang sangat ganas/kejam.

Anda mungkin juga menyukai