Anda di halaman 1dari 54

1

MAKALAH
PERANCANGAN INFRASTRUKTUR KEAIRAN I

Kelompok 4 Pagi:
Aulia Rizky Tansir 1106009816
Alwin Mulyanto Lokaria 1106070243
Faishal Rahman Juliantoro 1106070262
Inda Annisa Fauzani 1106010300
Miftah Rahmatullah 1106009822
Mentary Adisthi 1106009160
Rahmat Fitrah 1106070262
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2013


2

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Air adalah hal yang sangat vital bagi kehidupan umat manusia. Manusia
harus mempunyai air yang berkecukupan agar mampu bertahan hidup . Karena
apabila manusia kekurangan air , akan mengakibatkan kekeringan yang
menyebabkan mahkluk hidp akan mati akibat tidak adanya air. Tapi apabila air
berlebih akan bisa menyebabkan bencana seperti banjir dan bisa menyebabkan
kerugian .
Maka, pada mata kuliah Perancangan Infrastruktur Keairan 1 ini, kita
belajar bagaimana kita dapat merancang sistem infrastruktur keairan demi
menunjang kebutuhan air di daerah tersebut . Untuk lebih dapat memahami
tentang kompetensi pembelajaran mata kuliah PIK 1 ini , maka kami diberikan
tugas besar PIK 1 sebagai salah satu sarana dalam mencapai kompetensi mata
kuliah ini .
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari tugas besar ini adalah untuk mengetahui sistem dan
keadaan serta merancang rencana infrastruktur kerairan di daerah polder Sunter
Selatan

3

BAB II
DELINEASI DAERAH TANGKAPAN AIR (DTA)

2.1 Definisi dan Sifat Polder
Daerah provinsi DKI Jakarta memiliki intesitas hujan yang sangat tinggi.
Maka untuk usaha pengendalian banjir, Pemerintah menggunakan Polder
Polder adalah sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh embankment /
timbunan atau tanggul yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan,
yang berarti tidak ada kontak dengan air dari daerah luar selain yang dialirkan
melalui perangkat manual.
Polder memiiliki sifat sebagai berikut :
o Polder merupakan daerah yang dibatasi dengan baik, dimana air yang berasal
dari luar kawasan tidak boleh masuk, hanya air hujan (dan kadang-kadang air
rembesan) pada kawasan itu sendiri yang dikumpulkan.
o Dalam polder tidak ada aliran permukaan bebas seperti pada daerah tangkapan
air alamiah, tetapi dilengkapi dengan bangunan pengendali pada
pembuangannya (dengan penguras atau pompa) untuk mengendalikan aliran
ke luar.
o Muka air di dalam polder (air permukaan maupun air bawah permukaan) tidak
bergantung pada permukaan air di daerah sekitarnya dan dinilai berdasarkan
elevasi lahan, sifat-sifat tanah, iklim, dan tanaman.

2.2 Letak dan Batas Area Studi
Pada perancangan infrastruktur keairan ini, kami mendapatkan proyek
untuk Daerah Tangkapan Air Sunter Selatan . DTA Sunter Selatan ini terletak di
daerah Jakarta Utara dengan batas DTA seperti pada gambar berikut :
4



Gambar.1 Peta Lokasi dan Batas DTA Polder Sunter Selatan
2.2 Tata Guna Lahan
DTA Sunter selatan mencakup daerah seluas 346 Ha . Yang didominasi
dengan kawasan pemukiman dengan kepadatan 80-100% . Penggunaan lahan
pada DTA Sunter Selatan digambarkan melalui diagram berikut:

Gambar 2. Diagram Penutupan Lahan di DAS Sunter
5


2.3 Tentang DTA Sunter Selatan
Sistem kerja DTA Sunter Selatan menampung air dari seluruh daerah
DTA dalam waduk Sunter Selatan. Letak waduk Sunter Selatan digambarkan
pada peta sebagai berikut :

Gambar 3. Peta Waduk Sunter Selatan
Waduk Sunter selatan ini mempunyai luas 25.9 Ha dengan pompa
sebanyak 6 buah dengan 15 m
2
/ dtk . Sistem kerja dari waduk Sunter Selatan
adalah air yang mengalir dari saluran dalam DTA ditampung di dalam waduk
sunter selatan , lalu saat ketinggian air 2 meter, sampah disaring lalu air dialirkan
oleh pompa melalui pipa pembuangan dan dialirkan ke laut Ancol melalui kali
Sentiong.






6


BAB III
HUJAN
III.1 Definisi Hujan
Hujan adalah sebuah peristiwa presipitasi ( jatuhnya benda ke bumi)
berwujud cairan. Berbeda dengan presipitasi non-cair seperti salju, batu es dan
slit, Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui
suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi.
Di Bumi, hujan adalah proses kondensasi( perubahan wujud benda ke
wujud yang lebih padat ) uap air di atmosfer menjadi butiran air yang cukup
berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi
bersamaan dapat mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu
pendinginan udara atau penambahan uap air ke udara. Biasanya hujan berbentuk
tetesan air yang mempunyai garis tengah lebih dari 0,50 mm atau lebih kecil
dan terhambur luas pada suatu kawasan . Butir hujan memilik ukuran yang
beragam mulai dari pepat, mirip panekuk (butir besar), hingga bola kecil (butir
kecil). Namun tidak semua hujan yang jatuh akan sampai ke bumi karena akan
menguap di udara. Proses penjenuhan oleh udara ini disebut virga.

III.2 Proses Terbentuknya Hujan
7


Gambar 4. Proses terbentuknya hujan
Kondensasi dan persipitasi merupakan inti dari proses pembentukan
hujan. Proses kondensasi merupakan proses pembentkan awan dan persipitasi
adalah proses terjadinya hujan. Ketika uap air terangkat naik ke atmosfer, baik
oleh aktivitas konveksi ataupun oleh proses orografis (karena adanya halangan
gunung atau bukit), maka pada level tertentu partikel aerosol (berukuran 0,01 -
0,1 mikron) yang banyak beterbangan di udara akan berfungsi sebagai inti
kondensasi (condensation nucleus) yang menyebabkan uap air tersebut
mengalami pengembunan.Sumber utama inti kondensasi adalah garam yang
berasal dari golakan air laut. Karena bersifat higroskofik maka sejak
berlangsungnya kondensasi, partikel berubah menjadi tetes cair (droplets) dan
kumpulan dari banyak droplets membentuk awan. Partikel air yang mengelilingi
kristal garam dan partikel debu menebal, sehingga titik-titik tersebut menjadi
lebih berat dari udara, mulai jatuh dari awan sebagai hujan.
Jika diantara partikel terdapat partikel besar (Giant Nuclei : GN : 0,1 - 5
mikron) maka ketika kebanyakan partikel dalam awan baru mencapai sekitar 30
mikron, ia sudah mencapai ukuran sekitar 40 - 50 mikron. Dalam gerak turun ia
akan lebih cepat dari yang lainnya sehingga bertindak sebagai kolektor karena
sepanjang lintasannya ke bawah ia menumbuk tetes lain yang lebih kecil,
bergabung dan jauh menjadi lebih besar lagi (proses tumbukan dan
penggabungan).
8

Proses ini berlangsung berulang-ulang dan merambat keseluruh bagian
awan. Bila dalam awan terdapat cukup banyak GN maka proses berlangsung
secara autokonversi atau reaksi berangkai (Langmuir Chain Reaction) di seluruh
awan, dan dimulailah proses hujan dalam awan tersebut, secara fisik terlihat
dasar awan menjadi lebih gelap. Hujan turun dari awan bila melalui proses
tumbukan dan penggabungan, droplets dapat berkembang menjadi tetes hujan
berukuran 1.000 mikron atau lebih besar. Pada keadaan tertentu partikel-partikel
dengan spektrum GN tidak tersedia, sehingga proses hujan tidak dapat
berlangsung atau dimulai, karena proses tumbukan dan penggabungan tidak
terjadi.
1


III.3 Jenis-Jenis Hujan
Jenis hujan dibedakan berdasarkan beberapa factor yaitu :
Jenis-jenis hujan berdasarkan terjadinya:
Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik
disertai dengan angin berputar.
Hujan zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah
sekitar ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan
Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk
gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator yang berakibat awan
menjadi jenuh dan turunlah hujan.
Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang
mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik
menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi
kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.

1
Fadholi Akhmad . Proses Pembentukan Awan dan Terjadinya Hujan . BMKG.
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?fenomena&1352896307. (diakses pada tanggal 12 Desember 2013 pukul
22.00 WIB)
9

Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang
dingin bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan
antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa
udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah
sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.
Hujan muson atau hujan musiman, yaitu hujan yang terjadi karena
Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya Angin Muson
adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis
Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, hujan muson terjadi
bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi
bulan Mei sampai Agustus. Siklus muson inilah yang menyebabkan
adanya musim penghujan dan musim kemarau.

Jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya:
Hujan gerimis / drizzle, diameter butirannya kurang dari 0,5 mm
Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang suhunya berada dibawah
0 Celsius
Hujan batu es, curahan batu es yang turun dalam cuaca panas dari
awan yang suhunya dibawah 0 Celsius
Hujan deras / rain, curahan air yang turun dari awan dengan suhu
diatas 0 Celsius dengan diameter 7 mm.

Jenis-jenis hujan berdasarkan besarnya curah hujan (definisi BMKG):
hujan sedang, 20 - 50 mm per hari
hujan lebat, 50-100 mm per hari
hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari.
III.4 Curah Hujan dan Pengukuran Hujan
10

Curah hujan,adalah banyaknya air yang jatuh ke permukaan bumi,
dalam hal ini permukaan bumi dianggap datar dan kedap, tidak mengalami
penguapan dan tersebar merata dan dihitung berdasarkan ketebalannya. Curah
hujan sangat dipengaruhi oleh iklim sekitarnya . Curah hujan inilah yang
nantinya yang akan digunakan dalam menghitung hujan .

Gambar 5. Alat Pengukur hujan
Alat Pengukur Curah Hujan merupakan alat yang digunakan untuk
mencatat intensitas curah hujan dalam kurun waktu tertentu. Hasil pencatatan
curah hujan pada umumnya dihubungkan dengan hasil pencatatan pergerakan
tanah pada extensometer. Hasil pencatatan alat pengukur curah hujan dapat
digunakan sebagai pembanding dengan hasil pencatatan pergerakan tanah
pada extensometer yang dapat dinyatakan bahwa semakin besar intensitas
curah hujan, maka tanah cenderung mudah bergerak, Rain Gauge atau Alat
Pengukur Curah Hujan terdiri dalam beberapa type yaitu Manual dan juga
otomatis:
11

1. Alat Ukur Curah hujan OBS (Manual)
2. Alat Ukur Curah Hujan Netta (Manual)
3. Alat Ukur Curah Hujan Hellmann (otomatis)
4. Alat ukur curah hujan dengan sistem download data
2

Presipitasi/hujan adalah suatu endapan dalam bentuk padat/cair hasil
dari proses kondensasi uap air di udara yang jatuh kepermukaan bumi Satuan
ukur untuk presipitasi adalah Inch, millimetres (volume/area), atau kg/m2
(mass/area) untuk precipitation bentuk cair. 1 mm hujan artinya adalah
ketinggian air hujan dalam radius 1 m2 adalah setinggi 1 mm, apabila air
hujan tersebut tidak mengalir, meresap atau menguap. Pengukuran curah
hujan harian sedapat mungkin dibaca/dilaporkan dalam skala ukur 0.2 mm
(apabila memungkinkan menggunakan resolusi 0.1 mm). Prinsip kerja alat
pengukur curah hujan antara lain : pengukur curah hujan biasa (observariaum)
curah hujan yang jatuh diukur tiap hari dalam kurun waktu 24 jam yang
dilaksanakan setiap pukul tertentu , pengukur curah hujan otomatis melakukan
pengukuran curah hujan selama 24 jam dengan merekam jejak hujan
menggunakan pias yang terpasang dalam jam alat otomatis tersebutdan
dilakukan penggantian pias setiap harinya pada pukul yang sama seperti hari
sebelumnya, sedangkan pengukuran curah hujan digital dimana curah hujan
langsung terkirim kemonitor komputer berupa data sinyal yang telah diubah
kedalam bentuk satuan curah hujan.
3





2
Yulizar,David. Alat Pengukur Hujan .2013. http://davidyulizar.blogspot.com/2013/04/alat-
pengukuran-curah-hujan.html (diakses pada tanggal 12 Desember 2013 pukul 22.00)
3
Puspitasari. Pengertian hujan, tipe hujan, distribusi hujan, dan alat pengukur curah hujan . 2011.
http://puspitaphysic.blogspot.com/2011/10/astrolobe-komputer-tertua.html (diakses pada tanggal 12
Desember 2013 pukul 22.00)

12






BAB IV
HUJAN RENCANA DAN HUJAN WILAYAH

IV.1 Hujan Rencana
Hujan rencana adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan
untuk menghitung intensitas hujan. Data hujan harian maksimum terdistribusi
secara acak dan bersifat stokastik dan tentunya dalam satu tahunnya tentu akan
banyak penyimpangan yang terjadi pada hari-hari tertentu. Maka dari itu dalam
penghitungan hujan rencana dapat menggunakan analisis frekuensi.
Analisis frekuensi didasarkan pada sifat statistik data hujan yang telah
lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan di masa yang akan dating.
Dengan asumsi bahwa sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih
sama dengan sifat statistik kejadian di masa lalu . Ada beberapa cara dalam
analisis frekuensi , yaitu :
1. Metode Normal


2. Metode Log Normal



Keterangan:
Xt = Curah hujan yang diharapkan berulang setiap t tahun
Xa = Curah hujan rata rata dari suatu catchment area
K
T
= Reduce Variate Gauss
Sx = StandarDeviasi
Sx K Xa Xt
T
+ =
LogX Y =
Sy K Ya Yt
T
+ =
13


3. Metode Gumbel
Rumus yang digunakan adalah :

Sx
Sn
Yn Yt
Xa Xt

+ =

Keterangan :
Xt = Besarnya curah hujan yang diharapkan berulang setiap t tahun.
Xa = Curah hujan rata-rata dari suatu catchment area (mm).
Yt = Reduce Variate ( Tabel 1).
Yn = Reduce Mean (Tabel 2).
Sn = Reduce Standart Deviation (Tabel 3).
Sx = Standart Deviasi.
T
r

(tahun)
5 10 25 50 100 200 500 1000 10000
Y
Tr

1,9940 2,2504 3,1985 3,9019 4,6002 5,2956 6,2136 6,9073 9,2103
Tabel 1 . Tabel Ytr
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,49520 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220
20 0,52365 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353

Keterangan:
X = Data curah hujan
Yt = Perkiraan nilai yang diharapkan berulang setiap t tahun
Ya = Nilai rata rata dari suatu catchment area
K
T
= Reduce Variate Gauss
Sx = StandarDeviasi
14

30 0,53622 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,54034 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430
40 0,54362 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,54630 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481
50 0,54854 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518
Tabel 2. Tabel Yn
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565
20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1086
30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1286 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388
40
1,1413
2
1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,15185 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590
50
1,1606
6
1,1623 1,1638 1,1653 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734
Tabel 3 . Tabel Sn
4. Metode Log Pearson III






Si G Xa Log Xi Log + =
( )
1

2

=

n
Xa Log Xi Log
Si
n
Xi Log
Xa Log

=


( )
( ) ( ) ( )
3
3
2 1

Si n n
Log Xa Xi Log
Cs


=

15






Keterangan:
Log Xi = Logaritma data curah hujan
Log Xa = Rata rata logaritma data curah hujan
Si = Standart Deviation logaritma data curah hujan
G = Harga yang diperoleh dari Tabel 4, tergantung dari skew
coefficient (Cs) dan Percent chance
16

5. Metode Haspers



















Sx Ra Rt + =
1
1 1
1
m
n
T
+
=
2
2 2
1
m
n
T
+
=
|
|
.
|


\
|
+

=
2
2
1
1
2
1

Ra R Ra R
Sx

Keterangan:
Rt = Curah hujan dangan return periode T tahun
Ra = Curah hujan maksimum rata rata
Sx = Standart deviasi untuk pengamatan n tahun
R
1
= Curah hujan absolut maksimum 1
R
2
= Curah hujan absolu tmaksimum 2

1
= Standard Variable untuk periode ulang R
1

2
= Standard Variable untuk periode ulang R
2

m
1
, m
2
= masing masing ranking daricurahhujan R
1
dan R
2
n = jumlahtahunpengamatan
= Standard variable untuk return periode T
17

IV.2 Hujan Rencana Polder
Dalam menentukan hujan rencana suatu polder , kita harus
menggunakan criteria umum lamanya waktu hujan waktu rencana berdasarkan
criteria daerah polder. Standar umum umur rencana ada pada tabel berikut :

Tabel 4. Tabel Waktu Ulang

Berdasarkan karateristik polder yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu
daerah dengan trafik intermediate. Maka polder sunter selatan menggunakan
waktu ulang antara 10 -25 tahun. Lalu kita pilih waktu ulang untuk perhitungan
kali ini selama 20 tahun.
18

Data hujan yang kita miliki adalah data hujan dari stasiun tanjung priok.
Berikut dilampirkan data hujan selama 20 tahun dari 1984 2003 :

Tahun Data Hujan (mm)
1984 70
1985 146
1986 83
1987 106
1988 100
1989 86
1990 216
1991 57
1992 171
1993 178
1994 98
1995 77
1996 98
1997 118
1998 111
1999 83
2000 65
2001 52
2002 147
2003 127

Tabel 5. Data Curah Hujan Maksimum Harian 20 Tahunan
19

Untuk penghitungan hujan rencana pada polder ini kita menggunakan
metode gumbell. Hasil dari penghitungan , menghasilkan angka sebagai
berikut :
Nama Stasiun Sunter Selatan
N 20
Xrata-rata 109,45
Sx 43,48
Ytr = 20 tahunan 2,97
YN 0,5236
SN 1,0628
Ktr 2,30
P20 209,454
Tabel 6. Data Gumbell
Maka besarnya hujan rencana pada akhir waktu ulang 20 tahun yaitu
sebesar 209,454 mm

IV.3 Hujan Wilayah
Hujan Wilayah adalah besarnya volume distribusi hujan dalam satu
wilayah tertentu

20

Dalam suatu DTA, distribusi curah hujan yang terjadi seringkali tidak
merata hal ini dapat disebabkan faktor berikut ini:
Latitude
Posisi dan luas daerah
Jarak dari pantai atau sumber lembab
Suhu laut dan air laut ke arah pantai
Efek geografis
Ketinggian

Oleh karena untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan dan
rancangan pengendalian banjir digunakan curah hujan rata-rata yang jatuh di
wilayah yang bersangkutan. Beberapa metode pendekatan yang dianggap
dapat digunakan untuk menentukan curah hujan rata-rata dari suatu DTA
antara lain:
Rata-rata aritmatik (arithmetic mean method)
Poligon Thiesen (Thiessen polygon method)
Isohiet (Isohyeat method)
Metode reduksi
Pertimbangan penggunaan meode di atas pada umumnya menggunakan
standar luas daerah sebagai berikut :
1. Daerah dengan luas 250 ha yang mempunyai variasi topografi yang
kecil, dapat diwakili oleh sebuah alat ukur curah hujan.
2. Untuk daerah antara 250-50.000 ha dengan 2 atau 3 titik pengamatan
dapat digunakan dengan cara rata-rata.
3. Untuk daerah antara 120.000 500.000 ha yang mempunyai titiktitik
pengamatan yang tersebar cukup merata dan dimana curah hujannya
4. tidak terlalu di pengaruhi oleh kondisi topografi, dapat digunakan cara
aljabar rata-rata. Jika titiktitik pengamatan tersebut tidak tersebar
merata maka digunakan cara Thiessen.
21

5. Untuk daerah lebih besar dari 500.000 ha, dapat digunakan cara Isohiet
atau cara potongan antara ( inter-section method ).
4


i. Metode Aritmatik
Cara menghitung rata rata aritmatik (arithmetic mean) adalah cara
yang paling sederhana. Cara ini biasanya dipergunakan untuk daerah yang
datar, dengan jumlah pos curah hujan yang cukup banyak dan dengan
anggapan bahwa curah hujan di daerah tersebut bersifat uniform (uniform
distribution), dengan rumus sebagai berikut :

ii. Metode Thiesen Polygon
Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak
lurus pada tengah tengah garis hubung dua pos penangkar hujan. Dengan
setiap pos penangkar hujan Rn akan terletak pada suatu wilayah poligon
tertutup dengan luas An.
Curah hujan rata rata diperoleh dengan cara menjumlahkan
semua hasil kali curah hujan pada pos penangkar hujan Rn dengan suatu
wilayah poligon tertutup dengan luas An untuk semua luas yang terletak di
dalam catchment area dan kemudian dibagi dengan luas total At.

4
Soewarno, Hidrologi Operasional, Jilid Kesatu, Bandung, 2000
hujan curah stasiun Banyaknya
stasiun masing - masing pada hujan Curah
rata - rata hujan Curah
~

1
=
=
=
n
R R
R
n
22


Gambar 6.Gambar Metode Thiesen Polygon

iii. Metode Isohiet
Isohiet adalah garis lengkung yang menunjukkan harga curah hujan
yang sama seperti peta kontur. Umumnya garis tersebut menunjukkan
angka yang bulat. Isohiet ini diperoleh dengan cara menginterpolasi harga-
harga curah hujan yang tercatat pada pos penangkar hujan lokal (R
nt
).
Besarnya curah hujan rata rata diperoleh dengan cara
menjumlahkan hasil perkalian curah hujan rata rata diantara garis isohiet
tersebut dan dibagi luas seluruh catchment area.


t
n n
A
R A R A R A
R
+ + +
=
........ ~
2 2 1 1
area catchment total Luas
) (km poligon garis dibatasi yang Luas
(mm) stasiun masing - masing pada hujan Curah
(mm) rata - rata hujan Curah
~

2
1
1
=
=
=
=
t
n
n
A
A A
R R
R
|
|
.
|

\
| +
+ +
|
|
.
|

\
| +
+
|
|
.
|

\
|
+
=
+
2
.........
2 2
~
1 3 2 2 2 1 1 n n
t
n
t t
R R
A
A R R
A
A R R
A
A
R
23



Gambar 7 . Gambar Metode Isohiet

iv. Metode Reduksi
Reduksi digunakan apabila data dari suatu das yang luas hanya
menggunakan 1 stasiun . Reduksi adalah menghubungkan waktu
konsentrasi hujan dengan luas DAS yang ada hingga mendafatkar factor
reduksi dari hujan rencana. Rumus yang digunakan yaitu :





) (km area catchment dari total Luas
) (km isohit garis oleh dibatasi yang Luas
(mm) isohit garis setiap pada sama yang hujan Curah
(mm) rata - rata hujan Curah
~

2
2
1
1
=
=
=
=
At
A A
R R
R
n
n
24

IV.4 Perhitungan Hujan Wilayah DTA Sunter Selatan
Berdasarkan data yang kita punya, data hujan 20 tahun hanya kita
dapat pada 1 stasiun hujan . Maka dari itu untuk penyelesaian hujan wilayah
kita harus menggunakan metode reduksi.. Pertama , cari dahulu Time of
Concetration dari DTA Sunter Selatan. Dengan rumus :

Sheet Flow tidak digunakan
Shallow Concentrated Flow
L = 2500 m = 8200 ft
V menggunakan paved surface
S = 0,02
Channel Flow
L = 2000 meter = 6560 ft
R = A/P (2*1/6)
S = 0,02
N = 0,011
Shallow Concentrated Flow : 0,792314 hr = 47,54 min
Channel Flow : 0,197867 hr = 11,87 min
Time of Concetration = 59,41 menit

25

waktu hujan Luas daerah hujan A dalam Ha
menit 0 500 1000 2000 3000
1 1 0,93 0,88 0,84 0,80
3 1 0,94 0,90 0,86 0,84
6 1 0,95 0,92 0,90 0,86
Hubungkan waktu konsentrasi dan luas das untuk mencari factor reduksi .
Tabelnya sebagai berikut :




Tabel 7. Tabel Reduksi
Luas das : 346 ha
Tc : 59,41
Dikarenakan factor reduksi tidak ada pada tabel, maka kita lakukan
interpolasi .
- Interpolasi Waktu





- Interpolasi Luas






Maka dari itu factor reduksinya yaitu 0,965 .
Hujan wilayah = factor reduksi x hujan rencana
= 0.965 x 209454 = 202.062



1
2 1
=
1
2 1

59,41 30
60 30
=
0,94
0,95 0,94

= 0,949
1
2 1
=
1
2 1

346 0
500 0
=
1
0,949 1

= 0,965
26

IV.5 Mencari Intesitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi
pada suatu kurun waktu dimana terjadi pada waktu konsentrasi. Analisa
intensitas curah hujan ini diproses dari data curah hujan yang telah terjadi
pada masa lampau. Intensitas diukur berdasarkan berapa ketinggian air
dalam satuan jam (mm/jam). Intensitas Duration Frequency (IDF) dibentuk
untuk menggambarkan satuan hujan dalam satuan menit selama 1 hari.
Beberapa rumusan dalam perhitungan intensitas curah hujan berdasarkan
cara empiris yang sering digunakan diantaranya :
1. Formula Prof. Talbot (1881)
b t
a
I
+
=
Dimana :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam).
t = Lamanya curah hujan (jam).
a dan b = Konstanta yang tergantung pada lamnya curah hujan yang
terjadi di daerah aliran.

| || | | || |
| | | || | I I I N
I t I I t I
a


=
2
2 2


| || | | |
| | | || | I I I N
t I N t I I
b


=
2
2

2. Formula Prof. Sherman (1905)
n
t
a
I =


27

Dengan :
| |( ) | | | || |
( ) | | | || | t t t N
t I t t I
a
log log log
log log log log log
log
2
2


=
| || | | |
( ) | | | || | t t t N
I t N t I
n
log log log
log log log log
2


=
3. Formula Dr. Ishiguro (1953)
b
a
I
+
=
1

Dengan :
| || | | || |
| | | || | I I I N
I I I t I
a


=
2
2 2
1


| || | | |
| | | || | I I I N
N I I I
b


=
2
2
1 1

4. Formula Dr. Mononobe
Jika data curah hujan yang tersedia berupa curah hujan harian, maka
perhitungan intensitas curah hujan dapat menggunakan rumus Dr.
Mononobe :
3
2
24
24
24
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
=
t
R
I
Dimana :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam).
t = Lamanya curah hujan (jam).
R
24
= Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).
28

Intensitas hujan (I) didapatkan dari grafik lengkung IDF dengan cara
mengeplotkan waktu konsentrasi (tc) memotong lengkung IDF dengan
periode ulang tertentu.






Gambar 4.3. Contoh Grafik Lengkung IDF
IV.6 Menghitung Intesitas Hujan Polder
Dalam menghitung intesitas hujan pada sistem polder ini kita
menghitung menggunakan metode mononobe dengan rumus :
Mononobe :
3
2
24
24
24
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
=
t
R
I
Dimana :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam).
t = Lamanya curah hujan (jam).
R
24
= Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).
Lalu carilah waktu pada setiap periode ulang yang akan digambarkan pada
tabel berikut :
29


Tabel 8 . Tabel Intesitas Hujan
Data diatas , diplot dalam grafik dan akan menghasilkan kurva idf seperti
berikut :

Gambar 8. Kurva IDF
Karena waktu periode ulang yang kita gunakan yaitu 20 tahun , maka kita
menggunakan ytr 20.
Ytr 10 Ytr 15 Ytr 20 Ytr 25 ytr 50
R24 180,08 197,85 209,53 218,88 247,66
Ytr 10 Ytr 15 Ytr 20 Ytr 25 Ytr 50
30 99,10184 108,8811 115,3088 120,4543 136,2926
60 62,43025 68,59076 72,63999 75,88146 85,85893
90 47,6432 52,34455 55,43469 57,90839 65,52262
120 39,32859 43,20947 45,76033 47,80232 54,08773
150 33,89235 37,2368 39,43506 41,19479 46,6114
180 30,01333 32,975 34,92167 36,48 41,27667
210 27,08214 29,75457 31,51111 32,91726 37,24547
240 24,77546 27,22026 28,8272 30,11358 34,07314
270 22,90446 25,16463 26,65022 27,83945 31,49999
300 21,35084 23,45771 24,84253 25,95109 29,36334
30


Gambar 9. Kurva IDF untuk Waktu ulang 20 tahun

Kita plot nilai Tc pada waktu lalu dihubungkan pada kurva idf hingga kita
mendapatkan nilai intesitas curah hujan polder Sunter Selatan sebesar 85
mm/jam.

IV.7 Simulasi RRSim90
IV.7.1 Tentang RRSim90
RRSim09 atau Rainfall Runoff Simulator adalah sebuah
program dalam Microsoft Excel untuk menghitung debit air
maupun waktu limpasan hujan. Penggunaan alat ini sangatlah baik
dalam mensimulasikan hujan untuk perancangan tata air suatu
daerah.Berikut tampilan dari RRSim90 :

0
20
40
60
80
100
120
140
0 50 100 150 200 250 300 350
Kurva IDF
31


Gambar 10 .Tampilan Rainfall Runoff Simulator (RRSim09)

Sekarang kita akan mensimulasikan DTA Sunter Selatan. Adapun langkah-
langkahnya sebagai berikut :

1. Memodelkan bentuk DAS Sunter Selatan kedalam grid pada aplikasi

Gambar 11. Mensimulasikan DAS kedalam aplikasi
2. Memasukkan nilai tinggi hujan dan mainkan durasi hujan untuk
mendapatkan grafik limpasan air

Gambar 12. Grafik Limpasan Air

3. Ganti nilai tinggi hujan dan durasi hujan untuk mendapatkan hasil yang
berbeda



32

IV.7.2 Analisis Hasil Simulasi.
Pertama mari kita analisis hujan dengan nilai tinggi hujan
menggunakan hujan wilayah dengan durasi yang kita gunakan
yaitu alir hujan.

Gambar 13 . Grafik Limpasan Air
Dari hasil hujan wilayah didapatkan hasil sebagai berikut :
- Waktu berlangsungnya banjir selama : 22 jam
- Debit Maksimum : 10.6779979 m
3
/s
- Jam terjadi Puncak : Jam ke-13

















33

BAB V
BANJIR RENCANA

V.1 Perhitungan Banjir Rencana Polder dengan Metode Rasional
Perhitungan Metode Rasional menggunakan rumus:
Q = C.I.A
Keterangan:
Q = dependable flow (L
3
/dT)
C = runoff coefficient
I = dependable rainfall (L/dT)
A = watershed area (L
2
)

Nilai runoff coefficient dapat dicari dengan menggunakan tabel periode ulang

Tabel 9 . Tabel Periode Ulang berdasarkan karaterisik permukaan

Pada sistem polder Sunter Selatan kita menggunakan waktu periode ulang 20
tahum , data yang kita ketahui yaitu :
- Tc = 59,41
- I
20
= 76 mm/jam = 0,0000211 m/dtk
- A = 346 ha = 3460000 m2
- Nilai C ( terlampir pada tabel )
34

Perhitungan nilai C =
C
20
= Pemukiman = 0,57 x 0,87 = 0,4959
Kebun = 0,08 x 0,39 = 0,0312
Sawah = 0,04 x 0,43 = 0,0172
Rumput = 0,12 x 0,41 = 0,0492
Ladang = 0,11 x 0,39 = 0,0429
Jalan = 0,08 x 0,85 = 0,068
Total = 0,7044

Sehingga nilai Q
20
= C. I. A
= 0,7044 x 0.0000211 x 346000
= 51.42 m
3
/ s

V.2 Perhitungan Banjir Rencana dengan Metode Hidograf Satuan
Dalam metode dikemukakan bahwa unit hidograf hasil pengolahan
data dan pengukuran jika diketahui data curah hujan , selama karteristik fisik
DTA tidak terlalu banyak perubahan.
Prosedur pengerjaan Hidograf satuan yaitu :
1. Dari pencatatan hujan lebat, yang turun merata di suatu daerah , kita
pilih intesitas pada interval waktu tertentu
2. Dari pencatatan debit banjir, dipersiapkan hidograf banjir selama
beberapa hari sebelum dan sesudah periode hujan
3. Pisahkan aliran dasar ( Base Flow ) terhadap aliran permukaan
dengan berbagai metoda yang ada
4. Dari hasil pemisahan ini, akan didapat dihitung ordinat aliran dasar
dan aliran ordinat limpasan langsung
5. Hitung volume limpasan
5



5
Ir. Susilo, Hadi . Rekayasa Hidrologi. 2013 . Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB
35

Pada permasalahan kali ini , kita tidak mendapatkan data hidograf satuanper
jama pada satu harinya dan nilai histogram satuan . Sehingga hasil yang
digunakan merupakan pendekatan data melalui aplikasi RRSim90 .
Data yang dihasilkan sebagai berikut:


Sehingga hidograf banjir dengan metode hidograf satuan menghasilkan grafik
seperti berikut :
36



Dari data diatas dapat disimpulkan yaitu :
- Waktu berlangsungnya banjir selama : 22 jam
- Debit Maksimum : 10.6779979 m
3
/s
- Jam terjadi Puncak : Jam ke-13
- Volume banjir DAS : 5323152 m
3

- Q : 67.2115 m
3
/s













0
2
4
6
8
10
12
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Q

(

m
3

/

d
e
t
i
k
)

T ( Jam )
Hidograf Banjir ( Metode Hidograf Satuan )
37

BAB VI
DEPENDABLE RAINFALL

Sebelum menentukan ketersediaan air di suatu wilayah, terlebih dahulu
harus diketahui aliran andalannya. Kegunaan aliran andalan adalah untuk
menentukan ketersediaan air di wilayah Polder Sunter Selatan. Untuk menghitung
aliran andalan dibutuhkan data intensitas curah hujan bulanan dari wilayah Sunter
Selatan setiap tahunnya. Data yang dipakai untuk perhitungan kali ini adalah
intensitas curah hujan bulanan dari tahun 1984-2003. Intensitas curah hujan
diperoleh dengan cara menjumlahkan curah hujan harian.
Dari perhitungan tersebut didapatkan curah hujan bulanan sebagai berikut:


Langkah selanjutnya adalah mencari intensitas curah hujan rata-rata tiap
tahunnya Setelah didapat rata-ratanya, maka dapat diurutkan dari yang terbesar ke
yang terkecil. Selain itu dapat pula ditentukan peluang terjadinya intensitas hujan
rata-rata dengan rumus:
YEAR JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES
1984 315 145.2 225 35 129 49 84 45 131 87 15.4 129
1985 437.4 58 86.3 233.5 75.4 19.8 100.2 0 0 21 0 98
1986 617.1 98.2 122.8 125.7 51.2 25.2 93.2 107.9 106.6 169.7 81.6 171.9
1987 613.1 445.1 188.3 103.8 20.2 53.5 3.6 0 12.9 41.5 106 403.9
1988 522 107.8 60.1 54.3 20.4 23.1 0 12.7 2 74.9 99.9 267.1
1989 195.2 484.5 93.3 110.6 37.6 81.3 18.4 26 75.2 34.9 97.9 331.4
1990 500.4 186.3 195.1 70.4 92 3.1 30 42.6 7.1 3.1 38 415
1991 324 224.4 212.1 0 0 0 0 0 0 0.2 70.8 97.9
1992 363 148.2 119.3 77 135.2 48.1 32.1 165 31.3 100.2 47.1 154.5
1993 302.5 289.2 103.5 105.7 39 28.3 56 100.7 12.5 21.5 56.9 84.8
1994 324.9 297.9 295.6 93.1 57.4 35.3 1 14 3.1 2 123.4 90.4
1995 310.6 349.5 78.1 88.3 41.1 45.1 34.1 0 2 151 143.2 163.8
1996 473.7 601.7 122.7 136.1 56.9 69 57 22 110.2 190.6 86.2 167.4
1997 364.9 74.5 24.4 180.2 117.1 18.1 0.1 0 0 1 46.4 46.2
1998 259.7 108.7 188.5 134.5 92 50.4 111.1 45.4 36.1 213.6 49.6 94.8
1999 207.8 206.4 71.4 45.8 72 13 81.4 1.3 34 48.4 76.4 301.2
2000 411.3 335.3 80 40.5 90.3 81.6 63.3 29 18 20.2 149.7 23.3
2001 154.4 277.6 225.5 77.1 61.3 161.2 24 132 60.1 43.2 209.3 65.1
2002 789.1 616 189 163.1 58 0 0 0 0 0 0 0
2003 81.3 568.5 108.3 38.5 5.5 0.3 0 0 59.8 183.2 133.2 338.6
38



Dimana :
P = Peluang munculnya (%)
M = ranking
N = jumlah data
Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan:
t JAN FEB MAR APR MEI JUNI JULI AGS SEP OKT NOV DES
ANNUAL
RAINFALL
RANK
-m-
PROBABILITY
-p-
1984 315 145.2 225 35 129 49 84 45 131 87 15.4 129 1389.6 11 52.4
1985 437.4 58 86.3 233.5 75.4 19.8 100.2 0 0 21 0 98 1129.6 18 85.7
1986 617.1 98.2 122.8 125.7 51.2 25.2 93.2 107.9 106.6 169.7 81.6 171.9 1771.1 4 19.0
1987 613.1 445.1 188.3 103.8 20.2 53.5 3.6 0 12.9 41.5 106 403.9 1991.9 2 9.5
1988 522 107.8 60.1 54.3 20.4 23.1 0 12.7 2 74.9 99.9 267.1 1244.3 15 71.4
1989 195.2 484.5 93.3 110.6 37.6 81.3 18.4 26 75.2 34.9 97.9 331.4 1586.3 5 23.8
1990 500.4 186.3 195.1 70.4 92 3.1 30 42.6 7.1 3.1 38 415 1583.1 6 28.6
1991 324 224.4 212.1 0 0 0 0 0 0 0.2 70.8 97.9 929.4 19 90.5
1992 363 148.2 119.3 77 135.2 48.1 32.1 165 31.3 100.2 47.1 154.5 1421 9 42.9
1993 302.5 289.2 103.5 105.7 39 28.3 56 100.7 12.5 21.5 56.9 84.8 1200.6 16 76.2
1994 324.9 297.9 295.6 93.1 57.4 35.3 1 14 3.1 2 123.4 90.4 1338.1 14 66.7
1995 310.6 349.5 78.1 88.3 41.1 45.1 34.1 0 2 151 143.2 163.8 1406.8 10 47.6
1996 473.7 601.7 122.7 136.1 56.9 69 57 22 110.2 190.6 86.2 167.4 2093.5 1 4.8
1997 364.9 74.5 24.4 180.2 117.1 18.1 0.1 0 0 1 46.4 46.2 872.9 20 95.2
1998 259.7 108.7 188.5 134.5 92 50.4 111.1 45.4 36.1 213.6 49.6 94.8 1384.4 12 57.1
1999 207.8 206.4 71.4 45.8 72 13 81.4 1.3 34 48.4 76.4 301.2 1159.1 17 81.0
2000 411.3 335.3 80 40.5 90.3 81.6 63.3 29 18 20.2 149.7 23.3 1342.5 13 61.9
2001 154.4 277.6 225.5 77.1 61.3 161.2 24 132 60.1 43.2 209.3 65.1 1490.8 8 38.1
2002 789.1 616 189 163.1 58 0 0 0 0 0 0 0 1815.2 3 14.3
2003 81.3 568.5 108.3 38.5 5.5 0.3 0 0 59.8 183.2 133.2 338.6 1517.2 7 33.3
Setelah dilakukan perhitungan probabilitasnya, dipilih tahun-tahun dengan
probabilitas mendekati 80% atau 5 tahun dengan ranking teratas.

YEAR JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGUST SEPT OKT NOV DES ANNUAL RAINFALL
1985 437,4 58 86,3 233,5 75,4 19,8 100,2 0 0 21 0 98 1129,6
1991 324 224,4 212,1 0 0 0 0 0 0 0,2 70,8 97,9 929,4
1993 302,5 289,2 103,5 105,7 39 28,3 56 100,7 12,5 21,5 56,9 84,8 1200,6
1997 364,9 74,5 24,4 180,2 117,1 18,1 0,1 0 0 1 46,4 46,2 872,9
1999 207,8 206,4 71,4 45,8 72 13 81,4 1,3 34 48,4 76,4 301,2 1159,1
327,3 170,5 99,5 113,0 60,7 15,8 47,5 20,4 9,3 18,4 50,1 125,6 1058,3
324 206,4 103,5 105,7 72 13 56 1,3 12,5 21,5 46,4 98
I-average
I-dependable
39

Dari pemilihan tersebut dapat dicari intensitas rata-rata tiap bulannya. Kemudian
dipilih intensitas andalan yang merupakan intensitas tiap bulannya yang paling
mendekati intensitas rata-ratanya. Karena data yang didapat masih merupakan
intensitas, untuk mendapat nilai Q andalannya harus dihitung menggunakan
rumus:
Q = C . I . A
C
total
= 0,7044
A = 3460000 m
2

Didapatkan Q-dependable sebagai berikut:


Berdasarkan data debit andalan yang didapatkan, kemudian dapat diplot
menjadi histogram yang menyatakan jumlah ketersediaan air di wilayah polder
Sunter Selatan. Adapun histogram ketersediaan air diplot pada grafik di bawah ini.



40


Analisis Kebutuhan Air
Kebutuhan air adalah jumlah air yang dibutuhkan setiap bulannya. Ada
beberapa data yang dibutuhkan sebelum menentukan kebutuhan air, yaitu jumlah
penduduk wilayah tersebut dan pendapatan perkapitanya. Data tersebut
didapatkan dari data pemerintah setempat. Dari data diketahui kepadatan
penduduknya adalah 15.079 jiwa/km
2
untuk 3,46 km
2
. Dengan pendapatan
perkapita untuk tahun 2012 Rp 10.249.582 /bln.

Untuk mendapatkan jumlah penduduk diketahui dengan perhitungan:
Jumlah penduduk sekarang = Kepadatan penduduk X Luas DAS
= 15.079 jiwa/km
2
X 3,46 km
2

= 52.173 jiwa

Proyeksi kebutuhan air DTA kasus diperoleh dengan menggunakan sebuah
persamaan regresi umum :
y = M
1
.x
1
+ M
2
.x
2
+ M
3
.x
3

dimana :
M
1
,M
2
,M
3
merupakan bilangan konstanta
X
1
= Jumlah penduduk (juta jiwa)
X
2
= Pendapatan penduduk (juta)
X
3
= Luas wilayah (m
2
)

Nilai M
1
,M
2
, dan M
3
didapatkan dari persamaan regresi linear proyeksi
kebutuhan air mahasiswa mata kuliah Perancangan Infrastruktur Keairan. Setelah
dilakukan pengolahan data didapatkan nilai M
M
1
= 96,963
M
2
= 12,193
M
3
= 0,073

41

Langkah selanjutnya setelah mendapatkan ketiga nilai tersebut adalah
menentukan proyeksi jumlah penduduk dan pendapatan perkapita pada tahun
rencana. Sehingga pada akhirnya dapat diketahui neraca air.

Proyeksi Jumlah Penduduk DTA Kasus
Proyeksi jumlah penduduk DTA kasus menggunakan metode Trend Oriented:
P
t
= P
o
. e
rt

Keterangan:
P
t
= Jumlah penduduk pada tahun yang direncanakan
P
0
= Jumlah penduduk pada tahun dasar = 52.173
e = Bilangan eksponen = 2,7182818
R = Angka pertumbuhan penduduk = 0,99%
t = jangka waktu (tahun)

Sehingga menggunakan rumus tersebut diperoleh:
Kebutuhan air per orang per hari ( pada tahun 2050 ) = 111 liter
Kebutuhan air per orang per hari ( pada tahun 2013) = 117 liter
tahun (Pt) (JIWA) X
1
2013 52692.421
2020 56473.508
2030 62350.496
2040 68839.082
2050 76002.910


Proyeksi Pendapatan Perkapita di DTA kasus
Proyeksi pendapatan perkapita di DTA kasus menggunakan metode Future Worth
Analysis:
F = P (1+i)
n

F = Nilai proyeksi pendapatan
P = Nilai pendapatan per kapita awal = Rp 10.249.582
i = Laju pertumbuhan ekonomi = 6,02%
n = Selisih tahun yg akan diproyeksi
42



Tahun 2012 : Rp 10.249.582
Pertumbuhan : 6,02%

tahun rencana (F) pendapatan X
2
2013 IDR 10,866,606.48
2020 IDR 16,360,950.82
2030 IDR 29,355,301.02
2040 IDR 52,670,147.81
2050 IDR 94,502,334.27


Proyeksi kebutuhan air pada DTA Kasus
Berdasarkan kedua data tersebut, yaitu data jumlah penduduk dan
pendapatan per kapita pada tahun rencana, dengan ditambahkan dengan variable
ketiga yaitu luas wilayah tetap:
y = M
1
.x
1
+ M
2
.x
2
+ M
3
.x
3

y = 96,963x
1
+ 12,193 x
2
+ 0,073 .x
3


tahun Y(liter) X1 X2 X3
2013 137,605,748.34 52692.421 IDR 10,866,606.48 3.46
2020 204,964,914.36 56473.508 IDR 16,360,950.82 3.46
2030 363,974,876.81 62350.496 IDR 29,355,301.02 3.46
2040 648,881,956.34 68839.082 IDR 52,670,147.81 3.46
2050 1,159,636,432.19 76002.910 IDR 94,502,334.27 3.46


Langkah selanjutnya adalah membuat neraca air dari data tersebut untuk
mengetahui histogram ketersedian air dan mengetahui mana yang mengalami
kekurangan air seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini
43


BAB VII
DESAIN SALURAN DAN WADUK

VII.1 Perancangan saluran dan Waduk
Aliran yang melalui suatu saluran harus direncanakan untuk tidak
mengakibatkan erosi maupun tidak mengakibatkan endapan sedimen .
Maka dari itu dalam perancangan saluran kita cukup menghitung ukuran
saluran dengan analisa hidrolika untuk mendapatkan desain saluran efektif.
Ada beberapa cara dalam melakukan analisa hidrolika yaitu :
1. Rumus Chezy
Chezy menghubungkan bahwa zat cair yang melalui saluran
terbukan akan mengalami tegangan geset pada dinding saluran , dan akan
diimbangi oleh komponen gaya berat yang bekerja pada zat cair dalam
arah aliran .Rumus umumnya yaitu :

44

2. Rumus Manning
Robert Manning mengusulkan beberapa bentuk koefisien Chezy
darirumus umum rersebut yang tergantung dari bentuk penapang lintang ,
material dinding dan kecepatan aliran . Robbert Manning mengusulkan
rumus berikut :

Sehingga rumus kecepatan aliran menjadi :

Dimana n merupakan koefisien manning dengan harga koefisien
manning sebagai berikut :

Tabel 10. Tabel koefisien Manning
3. Rumus stickler
Untuk permukaan saluran dengan material yang tidak koheren ,
Stickler memberikan rumus dengan koefisien Stickler (k
s
) dengan rumus :

45

Dengan R adalah jari-jari hidraulik dan d35 adalah diameter yang
berhubungan dengan 35% berat dari material dengan diameter yang lebih
besar . Dengan koefisien tersebut maka rumus kecepatan aliran menjadi :


a) Debit Maksimum
Untuk menentukan debit maksimum dengan energy spesifik konstan
adalah menggunakan persamaan energi spesifik :

Dengan menurunkakan persamaan tersebut akan didapatkan suatu debit
maksimum untuk energi spesifik konstan yang terjadi pada kedalaman
kritik sebagai berikut

b) Kemiringan Kritik Dasar Saluran
Kemingan kritik S
c
adalah kemiringan dasar saluran diperlukan untuk
menghasilkan aliran seragam di dalam saluran pada kedalaman kritis.
Kemiringan kritis dasar saluran ini didapatkan:

46

Pada kondisi tersebut R= R
c
dan S=S
c
sehingga rumus manning menjadi:

c) Tampang Ekonomis
Suatu tampang lintang saluran akan menghasilkan debit maksimum
bila nilai R=A/P maksimum atau keliling basah P minimum, sehingga
untuk debit tertentu , luas tampang lintang akan minimum bila saluran
memiliki nilai R maksimum atau P minimum. Untuk luas tampang saluran
yang sama, penampang setengah lingkaran merupakan penampang yang
paling efisien.
Beberapa tipe bentuk saluran ekonomis dan karakteristiknya diberikan
sebagai berikut :

47

Tabel 11 . Perhitungan Penampang Melintang pada Setiap Bentuk Saluran

d) Penentuan Ukuran Penampang
Tata cara untuk menentukan ukuran suatu penampang saluran adalah
sebagai berikut :
- Menggumpulkan segala informasi dan data yang tersedia,
kemudian menaksir nilai n berdasarkan material , sedangan S
ditentukan berdasarkan criteria kegunaan saluran serta V maks dan
V min sehingga tidak mengalami erosi maupun sedimentasi pada
saluran
- Faktor Penampang AR
2/3
dihitung dengan persamaan :

- Bika terdapat ukuran dari suatu penampang yang belum diketahui
maka nilai dapa ditaksir sehingga dapat diperoleh kombinasi
ukuran penampang, sehingga nantinya ukuran akhirnya akan
ditetapkan berdasarkan efisiensi hidraulik dan segi praktisnya
- Kecepatan minimum yang ditentukan diperiksa, terutama untuk air
yang mengandung lanau
- Tambahkan jagaan seperlunya terhadap kedalaman dari
penampang saluran
e) Kecepatan Maksimum yang Diizinkan
Kecapatan maksimum yang diizinkan adalah kecepatan yang tidak
akan menimbulkan erosi pada tubuh saluran (nonerodible velocity) .
Besarnya kecepatan ini sangat tidak menentu dan bervariasi. Namun
48

secara umum, saluran yang telah lama dan telah mengalami pergantian
musim akan mampu menerima kecepatan yang lebih besar jika
dibandingkan dengan saluran yang baru, oleh karena dasar saluran yang
telah lama telah lebih stabil . Berikut tabel dibawah memberikan data
kecepatan maksimum yang diijinkan saluran berdasarkan penelitian.
6


Tabel 12. Kecepatan maksimum yang diizinkan menurut Fortier dan Scobey

VII.2 Desain Saluran Polder Sunter Selatan
Dalam tahap mendesain saluran, langkah-langkah yang dilakukan yaitu :


6
Anonymous. .Perencanaan Saluran . 2013 . Universitas Hasanuddin: Makassar
49

Gambar 13 . Desain Saluran

a) Mencari nilai debit maksimum
Dari data yang kita telah kita dapatkan nilai Q yang kita gunakan
yaitu Q berdasarkan perhitungan Q rasional yaitu 51,42 m
3
/ dtk
b) Mengasumsi lebar saluran
Dalam desain saluran ini kita mengasumsikan lebar saluran = 7h
c) Mencari luas penampang basah
Rumus luas penampang basah = luas trapesium
= x 2(7h+h) x h = 8 h
2

d) Mencari keliling basah
Rumus keliling basah = keliling trapezium
= 7h + 9h + (2 x 1,15) = 18,3 h
e) Menentukan nilai n
Berdasarkan asumsi material yang kita gunakan adalah
beton dengan n = 0,011
f) Mencari nilai b dan h
Dalam menurunkan persamaan sebagai berikut
Q = A x V
` = 8h
2
x
Dengan penurunan didapatkan nilai h = 2,9 m dan b = 9,95 m
50

g) Pengecekan dengan kecepetan yang diizinkan
V = Q/A
= 1,61 m/s
V saluran yang diijinkan 2 m/s
Maka V desain sesuai izin karena V desain < V izin
VII.3 Desain Waduk Sunter Selatan





Gambar 14. Desain Waduk
a) Menentukan nilai Q waduk
Q waduk adalah nilai Q pada akhir umur rencana = 1.689.971,9
m
3
/tahun
b) Mengasumsi lebar waduk
Asumsikan nilai b =7h
c) Mencari luas penampang basah
Rumus luas penampang basah = luas trapesium
= x 2(7h+h) x h = 8 h
2

d) Mencari keliling basah
B+X
H
X
51

Rumus keliling basah = keliling trapezium
= 7h + 9h + (2 x 1,15) = 18,3 h

e) Menentukan nilai n
Berdasarkan asumsi material yang kita gunakan adalah beton dengan
n = 0,011
f) Mencari nilai b dan h
Dalam menurunkan persamaan sebagai berikut
Q = A x V
= 8h
2
x
maka didapatkan dimensi sebagai berikut:
H = 8,1 m
B = 56,6 m
B+X = 61,4 m


BAB VIII
KESIMPULAN

Dari semua perhitungan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
52

Dari data curah hujan harian di daerah Polder Sunter Selatan, didapatkan
intensitas hujan wilayah, hujan rencana yang selanjutnya digunakan lagi
untuk encari debit limpasan, debit andalan, dan juga untuk menentukan
dimensi saluran.
Hujan wilayah: 201,704 mm
Hujan rencana periode ulang 20 tahun: 209,454 mm
Intensitas hujan: 85 (mm/jam) = 0,0000236 m/dtk
Q banjir rencana:
Metode Rasional = 57,54 m3/s
Metode Hidrograf Satuan = 67,2115 m3/s
Proyeksi kebutuhan air:
Kebutuhan air per orang per hari ( pada tahun 2050 ) = 111 liter
Kebutuhan air per orang per hari ( pada tahun 2013) = 117 liter
Dari perhitungan yang telah dilakukan juga telah didapatkan dimensi
saluran yang baru, dikarenakan saluran yang sudah ada tidak dapat
menampung Q banjir rencana yang telah dihitung. Dengan desain sebagai
berikut:
B = 9,95 m
H = 2,9 m
Dari perhitungan yang telah dilakukan juga telah didapatkan dimensi
waduk
H = 8,1 m
B = 56,6 m
53

B+X = 61,4 m
Proyeksi kebutuhan air di daerah Sunter Selatan adalah
tahun Y(liter/tahun) Y(liter/bulan)
2013 141,149,712.85 11,762,476.07
2020 208,763,185.56 17,396,932.13
2030 368,168,420.01 30,680,701.67
2040 653,511,906.03 54,459,325.50
2050 1,164,748,203.60 97,062,350.30

Dari aliran andalan yang telah dibuat kemudian dibandingkan dengan
kebutuhan air dapat diketahui bahwa:
Tahun 2013 kekurangan air terjadi di bulan Agustus
Tahun 2020 kekurangan air terjadi di bulan Agustus
Tahun 2030 kekurangan air terjadi di bulan Agustus dan
September
Tahun 2040 kekurangan air terjadi di bulan Juni, Agustus,
September dan Oktober
Tahun 2050 kekurangan air terjadi di bulan Juni, Agustus,
September dan Oktober


54

DAFTAR PUSTAKA

Soewarno, 2000.Hidrologi Operasional. Bandung
Anonymous. 2013. Perencanaan Saluran .Universitas Hasanuddin: Makassar
Ir. Susilo, Hadi .2013.Rekayasa Hidrologi.Pusat Pengembangan Bahan Ajar
UMB
Puspitasari.2011. Pengertian hujan, tipe hujan, distribusi hujan, dan alat pengukur curah
hujan . http://puspitaphysic.blogspot.com/2011/10/astrolobe-komputer-
tertua.html (diakses pada tanggal 12 Desember 2013 pukul 22.00)
Fadholi Akhmad . Proses Pembentukan Awan dan Terjadinya Hujan . BMKG.
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?fenomena&1352896307.
(diakses pada tanggal 12 Desember 2013 pukul 22.00 WIB)

Yulizar,David. Alat Pengukur Hujan .2013.
http://davidyulizar.blogspot.com/2013/04/alat-pengukuran-curah-
hujan.html (diakses pada tanggal 12 Desember 2013 pukul 22.00)
http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan (diakses tanggal 12 Desember 2012 pukul
22.00)
http://www.geografi.web.id/2010/02/hujan-2a.html (diakses tanggal 13 Desember
2012 pukul 22.00)
Tim Fasilitator PIK 1. Kumpulan Perancangan Infrastruktur Keairan.ptx program,
Depok: Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai