ABSTRAK Burung merupakan salah satu kelompok vertebrata terbesar yang banyak dikenal, diperkirakan ada 8600 jenis burung di dunia. Keanekaragaman jenis burung pun dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan. Sehingga sekarang banyak penelitian mengenai keanekaragaman komunitas burung. Taman Nasional Baluran salah satu tempat dimana komunitas buurung bebas berada sesuai dengan vegetasi yang sesuai dengan tempat hidupnya sehingga komunitas tersebut terlihat mendominasi di vegetasi tersebut. Untuk mengetahui jenis-jenis burung di Taman Nasional baluran, penelitian ini menggunakan metode kombinasi antara Line Transect dan Point Count. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung yang terdapat di Taman Nasional Baluran dan membandingkan jenis-jenis burung pada suatu ekosistem atau komunitasnya dikaitkan dengan dengan habitatnya.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 17 jenis burung yang ditemukan di hutan pantai taman Nasional baluran, dengan jumlah individu sebanyak 72, Collocalia linchi (47%), Streptopelia chinensis (7%), Dicaeum trochileum (6%), Gallus sp. (6%) merupakan spesies yang dominan dalam Taman Nasional Baluran. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Winner menunjukkan bahwa dari 8 transek, transek 4 (T4) di padang savana memiliki nilai indeks keanekaragaman yang paling sedang, yakni sebesar 2,684443. Kata Kunci : Avifauna, Baluran, keanekaragaman, hutan pantai,
1. PENDAHULUAN Burung merupakan salah satu kelas dari kingdom animalia (Campbel, et al 2003) yang menarik untuk diteliti. Burung merupakan salah satu kelompok vertebrata terbesar yang banyak dikenal, diperkirakan ada 8600 jenis burung di dunia (MacKinnon, 1998). Keanekaragam jenis burung dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan, karena keberadaan suatu komunitas burung dipengaruhi oleh faktor fisik, hayati dan kimia (Krausman, et al 2011).Faktor fisik dapat berupa suhu, cahaya, kelmbapan dan topografi. Faktor kimia antara lain berupa makanan, air, mineral dan vitamin, baik secara kuantitas maupun kualitas. Faktor hayati dimaksud di antaranya berupa tumbuhan, manusia dan predator (Heriyanto, 2008). Keberadaan burung di Indonesia sudah sedikit berkurang, dibuktikan dengan banyaknya jumlah burung yang terancam punah yaitu 115 jenis (IUCN,2008). Karena keberadaan burung yang semakin banyak yang terancam punah maka banyak lembaga yang membuat penangkaran 2
berupa taman nasional, seperti Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Taman Nasional Baluran berada di daerah Situbondo, Jawa Timur. Taman Nasional Baluran memiliki berbagai macam vegetasi, seperti vegetasi savana, vegetasi mangrove, vegetasi hutan musim dan vegetasi huutan pantai. Tiap vegetasi ini memiliki keanekaragaman tersendiri. Oleh karena itu diperlukan adanya pendataan tentang keberadaan suatu komunitas burung agar diketahui persebarannya.
2. METODOLOGI
2.1 Waktu dan Lokasi
Gambar 1. Lokasi Pengamatan Komunitas Avifauna di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur Pengamatan avifauna dilaksanakan di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur pada tanggal 4 dan 5 april 2014. Pengambilan data dilakukan pada 8 lokasi dengan kondisi vegetasi berbeda, yaitu : Savana bekol (T1), Savana bekol (T2), Hutan akasia (T3), Padang savana (T4), Watching bird trail (T5), Bird watching trail hutan pantai (T6), Hutan pantai (T7) dan daerah dalam hutan pesisir pantai (T8).
Tabel 1. Letak geografis lokasi penelitian tiap transek di Taman Nasional Baluran
Lokasi Posisi geografis Lantitude (S) Longitu de (E) Transek 1 07 0
27,36 Transek 4 07 o 50674 114 o 27 64,9 Transek 5 07 o 5072,1 114 o 27 543 Transek 6 07 o 5058,7 114 o 27 24,8 Transek 7 07 0 50,625 114 0
27,649 Transek 8 07 0 5040,8 114 0
27389
2.2 Cara Kerja Pengambilan data avifauna menggunakan metode kombinasi, yang merupakan gabungan dari metode line transect sepanjang 300meter dan metode point count dengan radius 50 meter dan luas pandang 360 derajat daerah pengamatan. Pengamatan dilakukan pada delapan lokasi dengan menggunakan 4 titik tansek pada tiap lokasi, dimulai dari titik 1(0m), titik 2 (100m), titik 3(200m) dan titik 4(300 m). Pengamatan avifauna metode line transek dan point count dilakukan menggunakan teropong binokuler dan pada metode point count pengamatan dilakukan sekitar 30 menit pada setiap titik. Data pengamatan avifauna yang diambil mencakup nama sepesies yang didapat dan jumlah spesies tersebut, serta data pendukung seperti perilaku avifauna saat ditemui (terbang atau bertengger), perilaku saat terbang atau bertengger (menelisik, makan, dan lain sebagainya).
3
Gambar 2. Metode kombinasi ( line transect dan point count )
2.3 Rumus Analisa Data Struktur komunitas avifauna dapat ditampilkan melalui beragam indeks- indeks ekologis : menggunakan indeks dominansi dan indeks diversitas Shannon- Weiner (H). Indeks Dominansi
Dimana ; Di = Dominansi spesies i ni = Jumlah individu spesies i N = Jumlah total individu keseluruhan spesies
Indeks Shannon-Weiner (H)
Dimana ; H= Indeks diversitas Shannon- Weiner ni= Jumlah individu spesies i N=Jumlah total individu keseluruhan spesies.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Metode Pengamatan Avifauna Pada penelitian biodiversitas avifauna di hutan pantai bama digunakan metode line transect dan point count (titik hitung). Metode line transect merupakan salah satu metode transect. Line transect ini merupakan metode yang digunakan untuk memonitoring suatu habitat. Selain itu, metode Line transect digunakan untuk membuat observasi secara kontinu sepanjang garis, karena luas lahan pada penelitian keanekaragaman avifauna di hutan pantai sangat besar (hill et al, 2005). Metode line transect yang digunakan adalah sepanjang 300 meter dan dibuat titik pada jarak 0 meter, 100 meter, dan 200 meter. Selain menggunakan metode line transect, pada penelitian ini juga menggunakan metode point count pada tiga titik di line transect tersebut. Point count ini digunakan untuk mengamati aktivitas burung pada lokasi pengamatan disekitar titik pada transek (Ralph,1993). Pengamatan di tiap point count selama 30 menit, hal ini dilakukan karena waktu selama 30 menit dianggap mampu merepresentasikan populasi avifauna di sekitar point count. Pada point count dicatat perilaku burung dan kategori tegakan apabila burung bertengger, data ini digunakan sebagai data sekunder untuk memudahkan mengidentifikasi spesies burung yang ditemui.
3.2.1 Macam Metode Pengamatan Avifauna Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk melakukan pengamatan avifauna tergantung dari habitat yang akan diamati, antara lain: a. Timed point counts Metode ini merupakan metode yang digunakan pada habitat estuaria, laguna, rawa, pantai, dan mangrove. Metode ini menggunakan batasan waktu di tiap titiknya. (Miththapala, 2009). Count (titik hitung) merupakan metode sensus satwa dengan konsep dan teori yang sama dengan line transect, namun petak contoh yang digunakan berbentuk lingkaran dengan radius tertentu (pada pengamatan ini, radius yang 4
digunkan sepanjang 50 m) dan tidak tergantung pada kecepatan. Pengamatan satwa dengan metode ini dilakukan secara langsung dan dengn mendengarkan suaranya didalam lingkaran dengan radius yang telah ditentukan (Rusmendro,2009). Asumsi yang digunakan dalam metode ini adalah: 1. Burung tidak mendekati pengamat atau terbang 2. Burung yang ada pada sample dpat terdeteksi 100% 3. Burung tidak bergerak selama perhitungan 4. Burung berperilaku bebas (tidak tergantung satu sama lain) 5. Pelanggaran terhadap asumsi tersebut tidak berpengaruh terhadap habitat atau desain studi 6. Estimasi jarak akurat 7. Burung dapat teridentifikasi dengan baik seluruhnya b. Line transect Metode ini digunakan untuk habitat mangrove, rawa, dan padang rumput laut (Miththapala, 2009).Line transect merupakan metode yang umum digunakan untuk sensus pada primata, burung dan herbivora besar. Garis transek merupakan suatu petak contoh dimana seorang pengamat berjalan sepanjang garis transek dan mencatat setiap jenis satwa liar (dalam pengamatan ini adalah burung) yang dilihat, baik jumlah maupun jaraknya dari pengamat. Metode ini dapat digunakan untuk mencatat data dari beberapa jenis satwa secara bersamaan (Rusmendro,2009). Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode ini adalah: 1. Satwa dan garis transek terletak secara random 2. Satwa tidak bergerak/pindah sebelum terdeteksi 3. Tidak ada satwa yang terhitung dua kali (double account) 4. Seekor satwa atau sekelompok satwa berbeda satu sama lainnya. Seekor satwa yang terbang tidak mempengaruhi kegiatan satwa yang lain 5. Respon tingkah laku satwa terhadap kedatangan pengamatan tidak berubah selama dilakukan sensus 6. Habitat homogen. Bila tidak homogen dapat dilakukan stratifikasi. c. Mist netting Metode ini digunakan untuk mengamati burung di habitat mangrove. (Miththapala, 2009). Selain ketiga metode diatas, masih ada metode lain yang bisa digunakan untuk mengamati avifauna yaitu dengan methods based on flushing, metode ini merupakan pendekatan termudah yang dapat digunakan untuk memperkirakan beberapa terganggunya beberapa spesies dari lebar habitat yang diketahui (Southwood, 2000).
3.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pengamatan Avifauna Adapun kelebihan dan kekurangan metode dalam pengamatan avifauna yaitu: a. Timed point count Pada banyak Negara, point count merupakan metode utama dalam memonitoring perubahan populasi dari lahan burung untuk berkembangbiak. Dengan metode ini dapat dipelajari perubahan tahunan populasi pada titik yang dipastikan, selain itu bisa juga untuk mengetahui perbedaan komposisi spesies diantara habitat dan kelimpahan spesies. Metode ini merupakan metode yang paling efisien dan bisa mendapatkan banyak data untuk metode mengitung burung. Metode 5
ini dapat dilakukan sekali atau beberapa kali pada titik yang diberikan. Kekurangan metode ini adalah pada lahan burung tidak dapat menyediakan data yang akurat pada unggas air (Ralph,1993). b. Line transect Metode ini memiliki kelebihan yaitu metode ini pada beberapa macam vegetasi lebih simple dibanding dengan metode kuadrat. Dimana dengan metode line transect lebih cepat untuk mencatat daripada kuadrat. Dan metode ini lebih berguna untuk mengukur perubahan perubahan penutup vegetasi, meskipun akurasi tergantung dari panjang dari garis dan beberapa titik yang digunakan per garis. Kekurangan dari metode ini adalah metode ini sengaja diarahkan sepanjang gradient lingkungan atau melintasi batas habitat hanya area sample terbatas. Semua area pada situs tidak dapat sebuah perubahan yang sama dari yang telah disampling dan ini akan membuat ekstrapolasi dari lintasan hasil dari semua masalah situs. Metode ini biasanya tidak cocok untuk mengukur penutup dari masing-masing spesies dalam habitat dimana tumbuhan lebih dekat lebih dekat dan kelimpahan tipe vegetasi tidak berbeda. Dan metode ini menghasilkan keraguan dari penutup spesies ketika banyak jarak pada titik, karena beberapa bentuk dari spesies bisa jadi di sebrangi. Bagaimanapun, perkiraan dari total penutup tidak berefek dari panjang dari garis (Hill et al, 2005). c. Mist netting method Kelebihan dari metode ini adalah metode ini dapat dilakukan di hampir segala habitat terrestrial untuk jarak lebar dari suatu spesies, dan alat dari metode ini merupakan alat yang portable. Kekurangan dari metode ini adalah membutuhkan kesabaran, ketangkasan, dan pengalaman jika burung akan di ekstraksi tidak berbahaya. Sehingga tidak semua orang bisa melakukannya , terutama pemula akan mengalami kesulitan untuk melakukan penelitian dengan metode ini. Metode ini juga tidak bisa dilakukan dilakukan untuk spesies yang lebih besar seperti pigeons, wildfowl, gulls dan raptor (Sutherland, 2004).
3.2.3 Alasan Penggunaan Metode Kombinasi (Line Transect dan Point Count) Kombinasi yang mengombinasikan antara metode line transect dan point count. Kedua metode ini digunakan karena habitat yang digunakan untuk penelitian adalah habitat di pantai,selain itu metode ini digabungkan karena dengan metode line transect akan mempermudah pengamatan dilokasi yang luas sehingga bisa didapatkan data pendukung atau data sekunder pada penelitian yakni mengenai keadaan vegetasi di lingkungan tersebut dan metode ini dapat dilakukan lebih mudah dibanding dengan metode kuadrat, sehingga metode ini lebih cocok untuk pemula. Alasan lain menggunakan metode line transect adalah karena metode ini lebih simpel dan tidak menghabiskan banyak waktu sehingga cocok untuk penelitian ini yang dibatasi oleh waktu (Hill et al, 2005). Metode lain yang digunakan yaitu point count adalah untuk memudahkan mengamati spesies di titik pada transect. Metode ini adalah metode yang paling efisien dan bisa mendapatkan banyak data untuk metode mengitung burung. Metode ini dapat dilakukan sekali atau beberapa kali pada titik yang diberikan (Ralph,1993). Dengan alasan tersebut maka metode gabungan dari kedua meode ini adalah kombinasi yang 6
pas untuk melakukan penelitian bagi pemula dan yang terbatas oleh waktu.
3.2 Analisis Data
3.2.1 Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis merupakan aspek penting dalam kajian komunitas. Kajian mengenai keanekaragaman jenis dalam komunitas,umumnya dilakukan untuk menunjukan hubungan antara keanekaragaman jenis dengan aspek lainnya dalam komunitas,seperti struktur habitat dan faktor lingkungan (Rahayuningsih, 2007). Pada penelitian avifauna ini digunakan 8 macam transek pengamatan yang berbeda. Hal tersebut untuk melihat kelimpahan spesies tertentu pada beberapa transek yang berbeda. Beberapa transek tersebut memiliki kondisi ekologi yang berbeda pula, sehingga mempengaruhi persebaran spesies yang mendiami transek tertentu. Dalam hal ini, transek pertama (T1) dilakukan di daerah savana bekol. Daerah ini memilki karakter ekologi yang kering dan tandus, cenderung terpapar cahaya matahari. Transek kedua (T2) juga di savana bekol, transek ketiga (T3) di hutan akasia, transek empat (T4) di padang savana, transek lima (T5) di Watching bird Trail, transek enam (T6) di Bird watching trail hutan pantai, transek tujuh (T7) di hutan pantai, dan transek delapan (T8) di daerah dalam hutan,pesisir pantai. Diagram 1. Perbandingan keanekaragaman kelimpahan tiap daerah transek
Data pada hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan antara kedelapan transek penelitian yang dibandingkan dari indeks keanekaragaman, jumlah jenis, maupun jumlah individu. Padang savana merupakan areal penelitian yang memiliki indeks keanekaragaman, jumlah jenis, dan jumlah individu yang tinggi dibanding dengan areal pengamatan yang lain. Indeks keanekaragaman merupakan nilai yang menunjukan tinggi rendahnya keanekaragaman komunitas. Dari kedelapan transek di Taman Nasional Baluran yang berbeda, masing- masing memiliki nilai indeks keanekaragaman yang berbeda yaitu T1 di savana bekol sebesar 2,406269 dan terdapat 17 jenis spesies dan pada T2 di savana bekol memiliki nilai indeks keanekaragaman sebesar 1,586717 dan terdapat 13 jenis spesies. Nilai indeks keanekaragaman pada T3 di hutan akasia sebesar 1,785831 dan terdapat 11 jenis spesies. Pada transek T4 di padang savana nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,684443 dan terdapat 19 jenis spesies. Pada transek T5 di Watcing bird Trail nilai indeks keanekaraganman sebesar 2,10349 dan terdapat 12 jenis spesies, sedangkan pada T6 di Bird watching trail hutan pantai nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,271927 dan terdapat 15 jenis spesies. Sedangkan pada Transek T7 nilai keanekaragaman jenis sebesar 2,09279 dan terdapat 17 jenis spesies. Transek T8 nilai indeks keanekaragaman sebesar 1,802291 dan terdapat 13 jenis spesies. Keanekaragaman jenis berhubungan dengan jumlah kelimpahan relatif dalam komunitas. Jika nilai keanekaragaman tinggi, maka dalam komunitas tersebut terdapat banyak jumlah jenis individu. Sehingga, dapat diketahui bahwa pada transek 4 memiliki indeks keanekaragaman 7
yang paling tinggi di antara transek yang lannya. Pada transek T4 di padang savana nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,684443. Dapat dikaregorikan pada T4 tingkat keanekaragamannya sedang. Menurut Hamlis (2010), Nilai indeks < 1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah, selanjutnya nilai yang berkisar 1,5-3,5 menunjukkan nilai keanekaragaman sedang dan nilai >3,5 menunjukkan nilai keanekaragaman tinggi. Menurut Gray (1981) dalam Vikar (2012) bahwa tinggi rendahnya indeks keanekaragaman komunitas, tergantung pada banyaknya jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan jumlah jenis pada Transek 4 /T4 sebanyak 19, paling banyak diantara transek yang lainnya dengan jumlah individu sebesar 52. Dapat dikategorikan bahwa transek T1 memiliki keanekaragaman burung sedang, Begitu pula dengan T2 dan T3 tingkat keanekaragamannya rendah, T5,T6, T7 dan T8 menunjukkan keanekaragaman sedang. Dari diagram batang tersebut, dapat dilihat bahwa tidak ada suatu perbedaan yang sangat mencolok dalam hal jumlah keanekaragaman (H). Data penelitian jumlah individu masing-masing jenis menunjukkan bahwa pada transek satu (T1) dan transek dua (T2) di savana bekol, spesies yang ditemukan melimpah jumlahnya adalah Collocalia linchi (walet linchi), sedang pada transek tiga (T3) di hutan akasia spesies yang melimpah jumlahnya adalah Ducula aenea (pergam hijau). Pada transek empat (T4) di padang savana berturut-turut yang melimpah jumlahnya adalah Ducula aenea, pada transek (T5) di Watcing bird Trail spesies yang ditemukan melimpah adalah Collocalia linchi. Transek T6 yang terletak di Bird watching trail hutan pantai spesies yang melimpah adalah Anthracoceros albirostris. Pada T7 di hutan pantai spesies yang melimpah adalah Collocalia linchi. Zonasi terakhir T8 di dalam hutan, pesisir pantai spesies yang melimpah adalah Collocalia linchi. Data pada hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 2 jenis burung yang memiliki jumlah kehadiran individu terbesar yang ditemukan pada 8 transek di Taman Nasional Baluran seperti Collocalia linchi (walet linchi) yang memiliki jumlah kehadiran individu terbesar pada T2 sebesar 34 individu (D= 60%). Kesesuaian vegetasi terhadap ketersediaan makanan, tempat berlidung, dan tempat bersarang di Taman Nasional Baluran menjadikan tempat tersebut sebagai habitat yang ideal bagi jenis Collocalia linchi (walet linchi) untuk hidup dan berkembang pada tipe vegetasi yang relatif terbuka. Taman Nasional Baluran memiliki banyak daerah bertebing dan bergoa yang sering digunakan Walet Linchi sebagai lokasi sarang. Sarang lumut, rumput atau bahan nabati lainnya yang direkatkan dengan air ludah. Jenis burung Ducula aenea (pergam hijau) memiliki jumlah kehadiran individu terbesar kedua setelah Collocalia linchi (walet linchi), yakni sebanyak 24 individu pada T3. Winnasis, Achmad Toha, Sutadi (2009), Ducula aenea (pergam hijau) memiliki persebaran sangat luas di seluruh kawasan Taman Nasional Baluran. Menyukai pohon yang sedang berbuah. Di sepanjang jalan Batangan-Bekol, Pondok Mantri, Sambi Kerep, Alas Malang dan Merak merupakan lokasi yang tepat untuk mengamatinya.
8
3.2.2 Dominansi Avifauna pada Zonasi Hutan Pantai Penelitian ini bersifat deskriptif dilakukan dengan teknik observasi lapangan, Inventaris secara langsung dan tidak langsung. Adapun metode yang digunakan yaitu metode jalur (Line Transect) dikombinasikan dengan metode titik hitung (point count), dilakukan dengan berjalan menelusuri jalur sampai pada titik berikutnya dan selanjutnya mencatat semua jenis burung yang ditemukan dalam jalur pengamatan. Penetapan lokasi ditentukan secara purposive, sebanyak 8 jalur, terdiri atas savana bekol 2 jalur, hutan akasia, padang savana, Watching Bird Trail, Bird Watching Trail hutan pantai, hutan pantai, daerah dalam hutan,pesisir pantai. Lebar jalur pengamatan 20 m (10 m kiri dan 10 m kanan). Analisis dominasi burung digunakan untuk melihat bagaimana komposisi jenis burung yang dominan, sub dominan, dan tidak dominan dalam komunitas burung yang diamati,Nilai dominansi diperoleh terdiri atas dua komponen yaitu kelimpahan dan penyebaran burung tersebut. Tingkat dominansi setiap jenis menggunakan pengkategorian yang dikeluarkan Jorgensen (1974) dalam van Helvoort (1981), yakni <2% (tidak dominan), 2-5% (sub-dominan), dan >5% (dominan). Jenis- jenis burung dominan memiliki indeks dominan (Di) berkisar antara 5,08-0,08%. Dari data jenis dan kelimpahan burung yang didapat, dapat dicara nilai indeks dominansinya, sebagai berikut (Peterson, 1981) :
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tiap zonasi di kawasan Taman Nasional Baluran , pada zonasi T7 (Hutan Pantai) terdapat 17 spesies dengan total burung yang ditemukan adalah 72 burung. Spesies yang terdapat di zonasi hutan pantai diantaranya adalah Alcedo coerulenscens, Bubulcus ibis, Buceros rhinoceros, Collocalia linchi, Dendrocopus moluccensis, Dicaeum trochileum, Gallus sp., Halcyon chloris, Hemipus hirundinaceus, Hirundo rustica, Orthotomus ruceps, Pavo muticus, Pycnonotus aurigaster, Rhyticeros undulatus, Spizaetus cirrhatus, Streptopelia chinensis, Treron vernans. Diagram 2. dominansi jenis burung zonasi Hutan Pantai
9
Dalam kisaran tersebut jenis-jenis burung yang mendominasi di Hutan Pantai adalah Collocalia linchi (47%), Streptopelia chinensis (7%), Dicaeum trochileum (6%), Gallus sp. (6%) Jenis- jenis burung tersebut merupakan burung yang tersebar hampir tersebar di seluruh kawasan Taman Nasional Baluran, terutama hutan musim pantai, hutan musim dataran rendah dan evergreen. Selain itu, burung memiliki kemampuan adaptasi baik terhadap lingkungan hutan pantai, terlebih lagi pada gangguan manusia. Burung-burung tersebut merupakan burung-burung yang hidup berpasangan/berkelompok baik dengan spesiesnya maupun spesies lainnya. Burung-burung tersebut (kecuali Streptopelia chinensis) memiliki jumlah populasi yang cukup besar (Winnasis, Achmad Toha, Sutadi 2009). Darmawan (2006) dalam Syafrudin (2011) menyatakan bahwa tingginya kelimpahan jenis burung disebabkan karena kebiasaan burung-burung tersebut yang dalam melakukan aktivitas secara berkelompok, sehingga memiliki nilai dominasi yang tinggi, selain itu jumlah individu dari jenis-jenis burung tersebut paling banyak jumlahnya dibanding dengan jenis burung lainnya, dan burung-burung tersebut mampu memanfaatkan habitat baik hutan maupun bukan hutan. Hal ini terkait dengan makanan, aktivitas, dan perilaku harian yang mampu memanfaatkan semua jenis tutupan lahan. Apabila terjadi dominansi salah nsatu jenis avifauna, menunjukkan kondisi alamnya telah terganggu atau berubah sehingga hanya jenis tertentu saja yang dapat bertahan terhadap perubahan tersebut dan akhirnya dapat mendominasi kawasan tersebut. Avifauna pada hutan alam memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi tetapi dengan populasi yang sedikit. Menurut Alikodra (1989) menyatakan bahwa perubahan ukuran populasi sangat dipengaruhi oleh perubahan kualitas dan kuantitas makanan di habitatnya. Menurut McNaughton dan Wolf (1990), distribusi jenis avifauna sangat erat kaitannya dengan tipe vegetasi dari suatu area, keanekaragaman jenis avifauna dapat dilihat dari strata penggunaan hutan. Hal ini didukung oleh pernyataan Whitemore (1984) bahwa avifauna dan mamalia dapat dibedakan dari tempat hidupnya di dalam hutan hujan tropis ke dalam beberapa bagian yaitu, atas, tengah, bawah dan tanah. Tidak jauh berbeda, burung-burung dengan kategori sub-dominan terdapat 9 jenis dari total 17 jenis burung yang terdapat di Hutan Pantai. Jenis burung tersebut antara lain Alcedo coerulenscens (4%), Rhyticeros undulatus (4%), Treron vernans (4%) Buceros rhinoceros (3%), Dendrocopus moluccensis (3%), Halcyon chloris (3%), Hemipus hirundinaceus (3%), , Orthotomus ruceps (3%), Pycnonotus aurigaster (3%),. Jenis - jenis burung tersebut merupakan burung dengan jumlah populasi tidak banyak, meskipun persebarannya luas. Jenis burung tidak dominan yang pada umumnya memiliki tingkat kelimpahan dan tingkat penyebaran yang kecil pula. Kategori tidak dominan di transek zonasi hutan pantai terdiri atas 4 spesies dengan jumlah burung sebanyak 4. Bubulcus ibis (1%), Hirundo rustica (1%), Spizaetus cirrhatus (1%), Pavo muticus (1%). Hirundo rustica merupakan burung yang sering dijumpai di sekitar savana Bekol sampai Pantai Bama adalah yang paling banyak dan paling sering dijumpai. Burung yang hampir tidak berhenti terbang, beristirahat ketika hari sudah 10
mulai panas sambil bertengger di atas rumput atau peredu yang terbuka. Spizaetus cirrhatus (elang brontok) fase gelap lebih banyak tersebar di sebelah Timur kawasan Taman Nasional Baluran sehingga dia mudah diamati di sepanjang jalan Batangan-Bekol, savana Bekol dan Bama. Pavo muticus, burung yang terkenal karena keindahan bulunya daerah terbuka seperti savana atau di tepi jalan. Bubulcus ibis, burung yang suka berkoloni dalam jumlah besar mengunjungi daerah persawahan yang tergenang air di tepi hutan di sekitar Blok Gatel dan Blok Perengan (Winnasis, Achmad Toha, Sutadi 2009). Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa habitat dan persebaran dari burung-burung yang tidak dominan tersebut tidak banyak terdapat di hutan pantai. jenis-jenis burung tersebut jumlahnya paling sedikit ditemui di hutan pantai dibanding dengan jenis burung lainnya, dan burung-burung tersebut tidak mampu memanfaatkan habitat di dalam hutan terkait dengan makanan, aktivitas, dan perilaku harian yang mampu memanfaatkan semua jenis tutupan lahan.
3.2.3 Indeks Diversitas Shannon- Winner Dalam penelitian ini, digunakan penghitungan berdasar Indeks Diversitas Shanon-Wiener (H), dengan rumus :
Rumus Indeks Diversitas Shannon-Winner
Dimana : H= indeks diversitas Shannon-Wiener Pi= proporsi spesies ke-i Ln= logaritma Nature Pi= ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis) (Hamlis,2010). Dengan nilai H: 0<H<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H<6,907= keanekaragaman sedang H>6,907 = keanekaragaman tinggi Indeks keanekaragaman Shannon- Wiener (H) di samping dapat menggambarkan keanekaragaman species, juga dapat menggambarkan produktivitas ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem.Semakin tinggi nilai ndeks H maka semakin tinggi pula keanekaragaman species, produktivitas ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem. Adapun tolok ukur nilai keanekaragaman (H) adalah : - H < 1,0 : a. Keanekaragaman rendah b. Miskin (produktivitas sangat rendah) sebagai indikasi adanya tekanan ekologis yang berat) c. Ekosistem tidak stabil - 1,0 < H < 3,322 : a. Keanekaragaman sedang b. Produktivitas cukup c. Kondisi ekosistem cukup seimbang d. Tekanan ekologis sedang - H > 3,322 : a. Keanekaragaman tinggi, b. Stabilitas ekosistem mantap c. Produktivitas tinggi [http://repository.usu.ac.id/bitstrea m/123456789/21999/4/Chapter%2 0II.pdf] Adapun data yang diperoleh berdasarkan pengamatan pada delapan transek, diperoleh tabel nilai keanekaragaman (H) sebagai berikut :
11
Tabel 2. Nilai keanekaragaman (H) berdasarkan indeks Shannon-Wiener pada tiap transek Lokasi H' T1 2,406269 T2 1,586717 T3 1,785831 T4 2,684443 T5 2,10349 T6 2,271927 T7 2,09279 T8 1,802291
Berdasarkan tabel diatas diperoleh informasi mengenai keanekaragaman spesies avifauna tiap transek juga dapat diketahui kondisi ekosistemnya. Jika dilihat dari perolehan nilai H pada tiap transek tersebut yang berkisar pada 1,0 < H < 3,322, dapat dikatakan bahwa makrohabitat hutan Taman Nasional Baluran, dengan mikrohabitat berupa delapan transek berbeda memiliki tingkat keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dan tekanan ekologis sedang. Kedelapan transek tersebut dapat dikatakan memiliki tingkat keanekaragaman sedang, karena persebaran yang cukup merata dari tiap spesies di masing-masing transek yang berbeda. Dimana beberapa spesies yang ditemukan di suatu transek juga terdapat pada transek yang lain. Sebagai contoh spesies Collocalia linchi yang terdapat di semua transek yang menjadi point count pengamatan. Selain itu, tingkat keanekaragaman yang sedang tersebut dapat dilihat dari komposisi spesies yang cukup beragam tiap transeknya. Meskipun ada beberaa spesies yang mendominasi pada suatu transek. Adapun jumlah spesies yang ditemui pada tiap transek berkisar dari angka 10-20 macam spesies. 3.3 Kecenderungan habitat (Canoco)
4. KESIMPULAN
Gambar 2. Kecenderungan habitat dengan metode Canoco Pada grafik di atas dapat diketahui bahwa kuadrat 1, species Ducula aenea dan Dryocopus javensis memiliki kecenderungan habitat di sekitar transek 3. Ducula aenea mempunyai kebiasaan bertengger di atas tajuk pohon yang tinggi pada sore hari, berpasangan atau dalam kelompok kecil (Winnasis, Achmad Toha, Sutadi, 2009). Spesies-spesies seperti Lonchura leucogastroides, Zosterops palpebrosus, tidak memiliki kecenderungan untuk berada di kuadrat 1. Zosterops palpebrosus memiliki persebaran terbatas dari Batangan sampai Blok Bama dan beberapa di sekitar Bekol(Winnasis,2009). Pada kuadrat 2, banyak species seperti Convus enca, Pavo muticus, Collocalia linchi, Spilornis cheela, yang memiliki kecenderungan habitat di sekitar transek 2. Convus enca senang bertengger di tempat tinggi dan sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. Pavo muticus menyukai daerah terbuka seperti savana atau di tepi jalan (Winnasis,2009). Pada kuadrat 3, terdapat species yang memiliki kecenderungan berada di sekitar transek 5 yaitu Dicaeum trochileum, Alcedo coerulenscens, Halchyon chloris. Dicaeum trochileum sangat lincah, agresif, tidak pernah diam, 12
selalu melompat-lompat diantara cabang dan ranting pohon yang rimbun kemudian pindah lagi ke pohon lainnya. Alcedo coerulescenssangat banyak ditemukan di pesisir pantai Taman Nasional Baluran, terutama pantai yang memiliki formasi mangrove dan daerah lahan basah lainnya. Suka bertengger pada akar bakau atau ranting bakau yang tidak jauh dari permukaan air laut (Winnasis,2009). Pada kuadrat 4, terdapat beberapa species seperti Pycnonotus goiavier, Anthracoceros albirostris, yang juga memiliki kecenderungan habitat di sekitar transek 6. Anthacoceros albirostris tersebar di hutan pantai, hutan musim dataran tinggi di Gunung Baluran dan hutan musim dataran rendah. Anda akan mudah menemukan dia di Blok Bama, Manting, Kelor, Ketokan Kendal, Evergreen, Kali Kepuh, Sambi Kerep, dan Pondok Mantri.
4. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa burung (avifauna) yang ada di hutan pantai antara lain Alcedo coerulenscens, Bubulcus ibis, Buceros rhinoceros, Collocalia linchi, Dendrocopus moluccensis, Dicaeum trochileum, Gallus sp., Halcyon chloris, Hemipus hirundinaceus, Hirundo rustica, Orthotomus ruceps, Pavo muticus, Pycnonotus aurigaster, Rhyticeros undulatus, Spizaetus cirrhatus, Streptopelia chinensis, Treron vernans. Burung yang paling dominan adalah Collocalia linchi (47%), Streptopelia chinensis (7%), Dicaeum trochileum (6%), Gallus sp. (6%). Hal ini disebabkan karena burung tersebut memiliki kemampuan adaptasi baik terhadap lingkungan hutan pantai, burung-burung tersebut merupakan burung-burung yang hidup berpasangan/berkelompok baik dengan spesiesnya maupun spesies lainnya. Kebiasaan burung-burung tersebut yang dalam melakukan aktivitas secara berkelompok sehingga memiliki nilai dominasi yang tinggi, nilai ini juga menyebabkan kelimpahan suatu burung di suatu habitat melimpah.
5. DAFTAR PUSTAKA Indeks Keanekaragaman Burung. [http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/21999/4/Chapter%20II.p df]. Diakses pada tanggal 20 April 2014 Hamlis, Muhammad dan Dijan Sunar Rukmi. 2010. Keanekaragaman Avifauna berdasarkan Stratifikasi Vegetasi di Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS), Jurnal Bioprospek Vol 7 (1). Universitas Mulawarman : Samarinda. Hill, David et al. 2005. Handbook Of Biodiversity Methods Survey, Evaluation And Monitoring. Cambridge University Press. New York. Miththapala, Sriyanie. 2009. Incorporating Environmental Safeguards Into Disaster Risk Management. Volume 3 : tools, techniques and other resources. Ecosystems and livelihoods group, Asia, IUCN, viii+142pp. Colombo. Peterson R.T. 1981. Burung (terjemahan). Pustaka Alam Life Tira Pustaka. Jakarta. Ralph, C john et al.1993. Handbook Of Field Methods For Monitoring Landbirds, Gen, Tech, Rep, PSW- GTR-144. Department of Agriculture . Pacific Southwest Research Station Albany. 13
Rusmendro, Hasmar. 2009. Perbandingan Keanekaragaman Burung pada Pagi dan Sore Hari di Empat Tipe Habitat di Wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Vis Vitalis, Vol. 02 No. 1 Southwood, T.R.E. 2000. Ecological methods. Blackwell science Ltd. jerman. Sutherland, William J et al .2004. Bird Ecology And Conservation : A Handbook Of Techniques. Oxford university press. New York. Vikar, A. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung di Dalam Dan di Luar Areal Tambang Pada Kawasan TAHURA Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Skripsi. Fakultas Kehutanan UNTAD: Palu. Tidak dipublikasikan. Wiryono. 2009. Ekologi Hutan. UNIB PRESS: Bengkulu. Darmawan, M.P. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Alikodra, HS. 1989. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid 1. Pusat Antar Universitas IPB : Bogor. McNaughton, SJ dan LL. Wolf. 1990. Ekologi Umum. gajah Mada University Press: Yogyakarta Whitemore, TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East second edition. Oxford Universiy Press : Oxford. Krausman, P.R. et. Al. 2011. Cumulative Effect In Wildlife Management: impact mitigation.CRC Press. U.S. Heriyanto, N.M. Garsetiasih, R. Setio, Pujo. 2008. Status Populasi dan Habitat Burung di BKPH Bayah, Banten. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. IUCN, 2008. Birds on the IUCN Red Lists. http://www.birdlife.org/action/scienc e/species/global_species_programme /red_list.html. Diakses tanggal 19 April 2014. MacKinnon, J., K. Phillips, dan B.V. Balen. 1998. Panduan Lapangan Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi-LIPI : Jakarta
14
LAMPIRAN Diagram 3. Diagram dominansi jenis burungdi Savana Bekol
Gambar 1. Diagram dominansi jenis burung di Savana Bekol
Diagram 4. Diagram dominansi jenis burungdi Savana Bekol
Diagram 5. Diagram dominansi jenis burung di hutan akasia
Diagram 6. Diagram dominansi jenis burung di padang savana
Diagram 7. dominansi jenis burung di Watching Bird Trail
Diagram 8. dominansi jenis burung di Bird Watching trail hutan pantai
\
15
Diagram 9. dominansi jenis burung zonasi Hutan Pantai