Anda di halaman 1dari 17

A.

PENDAHULUAN
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa
dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang
terinduksi bahan allergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamine
dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat init telah dibuktikan
bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan
beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target
saluran nafas sehingga terjadi bronkokontriksi, kebocoran mikrovaskular, edema,
hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf.
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang berhubungan
dengan peningkatan kepekaan saluran nafas sehingga memicu episode mengi berulang,
sesak nafas, dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan
dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran nafas yang bervariasi derajatnya
dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan. Proses inflamasi pada
asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag, serta limfosit T di
lumen dan mukosa saluran nafas. Proses ini dapat terjadi pada asma asimptomatik dan
bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit.
B. PENGERTIAN
Interaksi obat berarti saling pengaruh antarobat sehingga terjadi perubahan efek.
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di
keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai
macam obat diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu,
obat juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan
obat.
Interaksi yang terjadi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi
farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi
antar obat (yang diberikan berasamaan) yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga
menimbulkan efek sinergis atau antagonis. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antar
2 atau lebih obat yang diberikan bersamaan dan saling mempengaruhi dalam proses
ADME (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi) sehingga dapat meningkatkan
atau menurunkan salah satu kadar obat dalam darah. Selanjutnya akan dibahas lebih
lanjut tentang interaksi farmakokinetik.
Interaksi obat mengakibatkan :
Berkurang atau hilangnya khasiat terapi.
Meningkatnya aktivitas obat, dan dapat terjadi reaksi toksik obat
Jenis Interaksi Obat berdasarkan mekanisme :
Interaksi farmakokinetika : bila suatu interaktan mengganggu absorbsi, distribusi,
biotransformasi (metabolisme) dan ekskresi obat objek.
Interaksi farmakodinamika :bila interaktan dan obat objek bekerja pada tempat kerja,
reseptor, atau sistem fisiologi yang sama
Mekanisme interaksi
Efek adisi terjadi ketika dua obat atau lebih dengan efek yang sama digabungkan dan
hasilnya adalah jumlah efek secara tersendiri sesuai dosis yang digunakan. Efek aditif ini
mungkin bermanfaat atau berbahaya terhadap klien.Hal ini dinyatakan dengan 1 +1= 2. Salah
satu contohnya barbiturate dan obat penenang yang diberikan secara berasamaan sebelum bedah
untuk membuat pasien rileks.
Efek sinergis terjadi ketika dua obat atau lebih, dengan atau tanpa efek yang sama
digunakan secara bersamaan untuk mengombinasikan efek yang memiliki outcome yang lebih
besar dari jumlah komponen aktif satu obat saja. Potensiasi mengambarkan efek sinergistik
tertentu; suatu interaksi obat dimana hanya satu dari dua obat yang tindakannya diperbesar oleh
keberadaan obat kedua.
Reaksi antagonis memiliki efek sinergisme yang sebaliknya dan menghasilkan suatu
efek kombinasi yang lebih rendah dari komponen aktif secara terpisah ( protamine yang
diberikan sebagai antidotum terhadap aksi antikoagulan dari heparin).
Batasan asma yang lengkap menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme
terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA. Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik
saluran napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan. Pedoman
Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang praktis dalam bentuk batasan operasional
yaitu mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara
episodik, cenderung pada malam hari atau dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor
pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien atau keluarganya.
Prevalensi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
1. Jenis kelamin
Pada usia anak-anak, rasio prevalensi pada laki-laki mudah terkena asma
dibandingkan pada wanita (2:1) dan kemungkinan pada usia dewasa (lebih kurang 30
tahun) ratio prevalensinya menjadi sama. Pada lansia, prevalensi pada wanita lebih
banyak.
2. Umur pasien
Asma dapat diderita pada semua usia, terutama pada usia muda.serta dapat kambuh
setelah menghilang beberapa tahun. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari
dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka
ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama.
3. Faktor keturunan
4. Faktor lingkungan
Tingkat prevalensi asma di daerah atau kawasan industri lebih tinggi. Kualitas udara yang
buruk (asap, uap, dan debu) dapat menjadi penyebab meningkatnya resiko terjadinya
asma. Pemaparan alergen dan iritan saluran napas, seperti asap rokok, serbuk sari,
meningkatkan kemungkinan resiko berkembangnya resiko asma pada bayi, serta
menimbulkan penderita asma baru atau memperberat yang sudah ada.
Epidemiologi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan WHO 300 juta orang di dunia mengidap asma,
225.000 orang meninggal karena asma. Kematian akibat asma meningkat 20% dari saat ini jika
tidak dilakukan tindakan yang signifikan. Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi
asma meningkat, baik pada anak-anak maupun dewasa. Di negara-negara maju, peningkatan
berkaitan dengan polusi udara dari industri maupun otomotif, interior rumah, gaya hidup,
kebiasaan merokok, pola makanan, penggunaan susu botol dan paparan alergen dini. Asma
mempunyai dampak negatif pada kehidupan penderitanya termasuk untuk anak, seperti
menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6%
pada dewasa dan 10% pada anak).
Penyakit asma merupakan kelainan yang sering ditemukan dan diperkirakan 4 hingga 5
persen populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Angka yang serupa
juga dilaporkan dari negara lain. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai
pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya
sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predeposisi laki-laki/perempuan 2:1,
yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.
Etiologi
Asma merupakan penyakit heterogen, oleh karena itu kepentingan epidemiologi danklinis
penting untuk membuat klasifikasi asma berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan
atau rangsangan yang berkaitan dengan episode akut. Serangan asma timbul apabila ada
rangsangan pencetus, diantaranya :
Faktor penjamu (faktor pada pasien) :
1. Aspek genetik
2. Kemungkinan alergi
3. Saluran napas yang memang mudah terangsang
4. Jenis kelamin
5. Faktor lingkungan :
Bahan-bahan di dalam ruangan : Tungau debu rumah, kecoa
Bahan-bahan di luar ruangan : Tepung sari bunga, Jamur
Makanan-makanan tertentu, bahan pengawet, penyedap, pewarna makanan
Obat-obatan tertentu
Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )
Ekspresi emosi yang berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
Infeksi saluran napas
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas
fisik tertentu
Perubahan cuaca
Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang
dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan
dengan gejala khas pada asma ; batuk, sesak danwheezing dan disertai hipereaktivitas saluran
respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi
saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk
berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan.
Mekanisme Terjadinya Kelainan Pernapasan
Baik orang normal maupun penderita asma, bernapas dengan udara yang kualitas dan
komposisinya sama. Udara pada umumnya mengandung 3 juta partikel/mm kubik. Partikel-
partikel itu dapat terdiri dari debu, kutu debu (tungau), bulu-bulu binatang, bakteri, jamur, virus,
dll.Oleh karena adanya rangsangan dari partikel-partikel tersebut secara terus menerus, maka
timbul mekanisme rambut getar dari saluran napas yang bergetar hingga partikel tersebut
terdorong keluar sampai ke arah kerongkongan yang seterusnya dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui reflek batuk.
Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma berdasarka gejala, yaitu :
a. Asma Intermitten
Pada jenis ini serangan asma timbul kadang-kadang. Diantara dua serangan APE
(Pemantaun Arus Puncak Ekspirasi) normal, tidak terdapat atau ada hipereaktivitas
bronkus yang ringan.
b. Asma Persisten
Terdapat variabilitas APE antara siang dan malam hari, serangan sering terjadi dan
terdapat hiperaktivitas bronkus. Pada beberapa penderita asma persisten yang
berlangsung lama, faal paru tidak pernah kembali normal meskipun diberikan peng-
obatan kortikosteroid yang intensif.
c. Brittle Asthma
Penderita jenis ini mempunyai saluran napas yang sangat sensitif, variabilitas obstruksi
saluran napas dari hari ke hari sangat ekstrim: Penderita ini mempunyai risiko tinggi
untuk efektif meskipun tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan yang paling efektif
adalah mencegah atau mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor penyebab.
Faktor utama yang berperan dalam kesakitan dan kematian pada asma adalah tidak
terdiagnosisnya penyakit ini dan pengobatan yang tidak cukup.
Klasifikasi asma berdasarkan penyebabnya, asma digolongkan menjadi :
1. Asma alergi
Asma alergi berhubungan dengan sejarah penyakit alergi yang diderita seseorang dan
atau keluarganya (rhinitis, urtikaria, dan eksim) memberikan reaksi kulit positif pada
pemberian injeksi antigen secara intradermal, peningkatan IgE dalam serum, serta
memberikan respon positif pada uji inhalasi antigen spesifik.
2. Asma non alergi
Asma dapat pula dapat terjadi pada seseorang yang tidak memiliki sejarah alergi, uji
kulit negatif, dan kadar IgE dalam serumnya normal. Asma jenis ini antara lain dapat
timbul ketika seseorang menderita penyakit saluran nafas atas
3. Campuran asma alergi dan non alergi
Banyak penderita asma yang tidak dapat jelas dikelompokkan pada asma alergi dan non
alergi, tapi memiliki penyebab diantara kedua kelompok tersebut.
Klasifikasi berdasarkan organ yang diserang
1. Asma bronchial
Asma ini merupakan serangan gangguan pernapasan dan terjadi kesulitan respirasi karena
penyempitan spastik bronkhus dan pembengkakan mukosa yang disertai pengeluaran
lendir kental dan kelenjar bronkhus.
2. Asma kardiak
Asma ini merupakan serangan gangguan pernapasan pada penderita penyakit jantung
akibat tidak berfungsi bilik kiri jantung dan bendungan pada paru-paru.
Pengobatan Asma.
A. Pengobatan non farmakologi
1. Menjaga Kesehatan
Menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan
penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang
penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma beserta
komplikasinya. Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan makanan yang
bernilai gizi baik, minum banyak, istirahat yang cukup, rekreasi dan olahraga yang
sesuai.
Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila dilarang dokter, karena
menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau ginjal yang berat.Banyak minum
akan mengencerkan dahak yang ada di saluran pernapasan, sehingga dahak tadi mudah
dikeluarkan. Sebaliknya bila penderita kurang minum, dahak akan menjadi sangat kental,
liat dan sukar dikeluarkan.Pada serangan penyakit asma berat banyak penderita yang
kekurangan cairan. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran keringat yang berlebihan,
kurang minum dan penguapan cairan yang berlebihan dari saluran napas akibat bernapas
cepat dan dalam.
2. Menjaga kebersihan lingkungan
Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya
serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan. Rumah
sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari. Saluran pembuangan air
harus lancar. Kamar tidur merupakan tempat yang perlu mendapat perhatian khusus.
Sebaiknya kamar tidur sesedikit mungkin berisi barang-barang untuk menghindari debu
rumah.Hewan peliharaan, asap rokok, semprotan nyamuk, atau semprotan rambut dan
lain-lain mencetuskan penyakit asma. Lingkungan pekerjaan juga perlu mendapat
perhatian apalagi kalau jelas-jelas ada hubungan antara lingkungan kerja dengan
serangan penyakit asmanya.
3. Menghindari Faktor Pencetus
Alergen yang tersering menimbulkan penyakit asma adalah tungau debu sehingga
cara-cara menghindari debu rumah harus dipahami. Alergen lain seperti kucing, anjing,
burung, perlu mendapat perhatian dan juga perlu diketahui bahwa binatang yang tidak
diduga seperti kecoak dan tikus dapat menimbulkan penyakit asma.Infeksi virus saluran
pernapasan sering mencetuskan penyakit asma.
Sebaiknya penderita penyakit asma menjauhi orang-orang yang sedang terserang
influenza. Juga dianjurkan menghindari tempat-tempat ramai atau penuh sesak.Hindari
kelelahan yang berlebihan, kehujanan, penggantian suhu udara yang ekstrim, berlari-lari
mengejar kendaraan umum atau olahraga yang melelahkan. Jika akan berolahraga,
lakukan latihan pemanasan terlebih dahulu dan dianjurkan memakai obat pencegah
serangan penyakit asma.
Zat-zat yang merangsang saluran napas seperi asap rokok, asap mobil, uap bensin,
uap cat atau uap zat-zat kimia dan udara kotor lainnya harus dihindari.Perhatikan obat-
obatan yang diminum, khususnya obat-obat untuk pengobatan darah tinggi dan jantung
(beta-bloker), obat-obat antirematik (aspirin, dan sejenisnya). Zat pewarna (tartrazine)
dan zat pengawet makanan (benzoat) juga dapat menimbulkan penyakit asma.
B. Pengobatan farmakokogi
Obat obat yang digunakn untuk terapi asma digolongkan menjadi beberapa golonga, yaitu :
1. Agonis beta-2
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. contoh : salbutamol, terbutalin.
2. Kortikosteroid
Digunakn untuk mengurangi inflamasi bronkus dan hpoersensitivitas bronkus. Contoh :
beklometason,budesonida, dan deksametason.
3. Golongan xantin
Memberikan efek bronkodilatasi. Contoh : teofilin, aminofilin.
4. Golongan antikolinergik
Golongan obat ini menyebabkan bronkodilatasi atau pelebaran bronkus melalui
penghambatan asetilkolin. Contoh : ipratropim.
5. Penstabil sel mast
Obat golongan ini mencegah pelpasan mediator bronkokontriksi dan ibflamasi dan sel
mast saluran pernafasan. Contoh: kromolin, nedrokomil
6. Golongan antileukotrrien.
Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat efek bronkokonstrikstif dari
leukotrin. Contoh : zafirlukast, dan zileuton.
Interaksi obat
Beklometason
Amfoterisin B: Kortikosteroid (inhalasi ) dapat meningkatkan efek hypokalemic dari
Amfoterisin B.
Agen antidiabetes: Kortikosteroid (inhalasi ) dapat mengurangi efek hipoglikemik dari
agen antidiabetes . Dalam beberapa kasus, kortikosteroid telah menyebabkan episode
krisis adrenal akut, yang dapat bermanifestasi sebagai peningkatan hipoglikemia,
terutama dalam pengaturan insulin atau penggunaan agen antidiabetes lain.
Corticorelin: Kortikosteroid dapat mengurangi efek terapi Corticorelin. Secara khusus,
respon ACTH plasma untuk corticorelin dapat tumpul oleh terapi kortikosteroid baru atau
saat ini.
Loop Diuretik: Kortikosteroid (inhalasi ) dapat meningkatkan efek hypokalemic Loop
Diuretik.
Diuretik thiazide: Kortikosteroid (inhalasi) dapat meningkatkan efek hypokalemic dari
thiazide diuretik.
Deksametason
Acetylcholinesterase Inhibitors: Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan efek
samping / toksik dari Acetylcholinesterase Inhibitor. Peningkatan kelemahan otot dapat
terjadi.
Aminoglutethimide: Dapat meningkatkan metabolisme Kortikosteroid (sistemik).
Amfoterisin B: Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan efek hypokalemic dari
Amfoterisin B.
Antasida: Dapat mengurangi bioavailabilitas Kortikosteroid (Oral).
Agen antidiabetes: Kortikosteroid (sistemik) dapat mengurangi efek hipoglikemik Agen
antidiabetes. Dalam beberapa kasus, kortikosteroid telah menyebabkan episode krisis
adrenal akut, yang dapat bermanifestasi sebagai peningkatan hipoglikemia, terutama
dalam pengaturan insulin atau penggunaan agen antidiabetes lain.
Agen antijamur (azol Derivatif, sistemik): Dapat menurunkan metabolisme
Kortikosteroid (sistemik).
Aprepitant: Dapat meningkatkan konsentrasi serum Kortikosteroid (sistemik).
Barbiturat: Dapat meningkatkan metabolisme Kortikosteroid (sistemik).
Bile Acid Sekuestran: Dapat mengurangi penyerapan Kortikosteroid (Oral).
Calcitriol: Kortikosteroid (sistemik) dapat mengurangi efek terapi dari Calcitriol.
Calcium Channel Blocker (Nondihydropyridine): Dapat menurunkan metabolisme
Kortikosteroid (sistemik).
Caspofungin: Reagen Clearance Obat dapat menurunkan konsentrasi serum dari
caspofungin. Manajemen: Pertimbangkan untuk menggunakan peningkatan dosis
caspofungin dari 70mg setiap hari pada orang dewasa (atau 70mg/m2, sampai maksimum
70mg, harian pada pasien anak) ketika dipakai bersamaan dengan induser dikenal
clearance obat.
Corticorelin: Kortikosteroid dapat mengurangi efek terapi Corticorelin. Secara khusus,
respon ACTH plasma untuk corticorelin dapat tumpul oleh terapi kortikosteroid baru atau
saat ini.
Siklosporin: Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan konsentrasi serum
siklosporin. Siklosporin dapat meningkatkan konsentrasi serum Kortikosteroid
(sistemik). CYP3A4 Reagen (Strong): Dapat meningkatkan metabolisme CYP3A4
Substrat.
Inhibitor CYP3A4 (Moderate): Dapat menurunkan metabolisme CYP3A4 Substrat.
Inhibitor CYP3A4 (Strong): Dapat menurunkan metabolisme CYP3A4 Substrat.
Substrat CYP3A4: CYP3A4 Reagen (Strong) dapat meningkatkan metabolisme Substrat
CYP3A4.
Etexilate dabigatran: P-Glycoprotein Reagen dapat menurunkan konsentrasi serum dari
etexilate dabigatran.
Dasatinib: Dapat meningkatkan konsentrasi serum dari CYP3A4 Substrat.
Deferasirox: Dapat menurunkan konsentrasi serum dari CYP3A4 Substrat.
Echinacea: Dapat mengurangi efek terapi imunosupresan.
Derivatif Estrogen: Dapat meningkatkan konsentrasi serum Kortikosteroid (sistemik).
Flukonazol: Dapat mengurangi metabolisme Kortikosteroid (sistemik).
Fosaprepitant: Dapat meningkatkan konsentrasi serum Kortikosteroid
(sistemik). Metabolit aktif aprepitant mungkin bertanggung jawab untuk efek ini.
Herbal (CYP3A4 Reagen): Dapat meningkatkan metabolisme CYP3A4 Substrat.
Isoniazid: Kortikosteroid (sistemik) dapat menurunkan konsentrasi serum dari Isoniazid.
Lenalidomide: Deksametason dapat meningkatkan efek thrombogenic dari
Lenalidomide.
Loop Diuretik: Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan efek hypokalemic Loop
Diuretik.
Antibiotik macrolide: Dapat mengurangi metabolisme Kortikosteroid
(sistemik). Pengecualian: Azitromisin;Dirithromycin; Spiramisin.
Maraviroc: Reagen CYP3A4 dapat menurunkan konsentrasi serum dari Maraviroc.
Natalizumab: imunosupresan dapat meningkatkan efek samping / toksik dari
Natalizumab. Secara khusus, risiko infeksi bersamaan dapat ditingkatkan.
Neuromuskular-Blocking Agents (nondepolarisasi): Dapat meningkatkan efek
neuromuskuler samping Kortikosteroid (sistemik). Peningkatan kelemahan otot, mungkin
maju ke polineuropati dan miopati, dapat terjadi.
Nilotinib: CYP3A4 Reagen (Strong) dapat menurunkan konsentrasi serum dari nilotinib.
Nisoldipin: CYP3A4 Reagen (Strong) dapat menurunkan konsentrasi serum dari
nisoldipin.
NSAID (COX-2 Inhibitor): Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan efek samping /
toksik dari NSAID (COX-2 Inhibitor).
NSAID (Nonselektif): Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan efek samping /
toksik dari NSAID (Nonselektif).
P-Glycoprotein Reagen: Dapat menurunkan konsentrasi serum dari P-Glycoprotein
Substrat. P-glikoprotein induser mungkin juga lebih membatasi distribusi substrat p-
glikoprotein sel / jaringan tertentu / organ mana p-glikoprotein hadir dalam jumlah besar
(misalnya, otak, T-limfosit, testis, dll).
P-Glycoprotein Inhibitor: Dapat meningkatkan konsentrasi serum dari P-Glycoprotein
Substrat. P-glikoprotein inhibitor juga dapat meningkatkan distribusi substrat p-
glikoprotein spesifik untuk sel / jaringan / organ mana p-glikoprotein hadir dalam jumlah
besar (misalnya, otak, T-limfosit, testis, dll).
P-Glycoprotein Substrat: P-Glycoprotein Reagen dapat menurunkan konsentrasi serum
dari P-Glycoprotein Substrat. P-glikoprotein induser mungkin juga lebih membatasi
distribusi substrat p-glikoprotein sel / jaringan tertentu / organ mana p-glikoprotein hadir
dalam jumlah besar (misalnya, otak, T-limfosit, testis, dll).
Primidone: Dapat meningkatkan metabolisme Kortikosteroid (sistemik).
Antibiotik kuinolon: Dapat meningkatkan efek samping / toksik Kortikosteroid
(sistemik). Risiko efek samping tendon terkait, termasuk tendonitis dan pecah, dapat
ditingkatkan.
Ranolazine: CYP3A4 Reagen (Strong) dapat menurunkan konsentrasi serum dari
Ranolazine.
Rifamycin Derivatif: Dapat meningkatkan metabolisme Kortikosteroid (sistemik).
Salisilat: Dapat meningkatkan efek samping / toksik Kortikosteroid (sistemik). Ini khusus
termasuk ulserasi gastrointestinal dan perdarahan. Kortikosteroid (sistemik) dapat
menurunkan konsentrasi serum dari Salisilat. Penarikan kortikosteroid dapat
mengakibatkan toksisitas salisilat.
Sorafenib: CYP3A4 Reagen (Strong) dapat menurunkan konsentrasi serum dari
Sorafenib.
Thalidomide: Deksametason dapat meningkatkan efek samping dermatologi dari
Thalidomide. Deksametason dapat meningkatkan efek thrombogenic dari Thalidomide.
Diuretik thiazide: Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan efek hypokalemic dari
thiazide diuretik.
Trastuzumab: Dapat meningkatkan efek neutropenia dari imunosupresan.
Vaksin (dilemahkan): imunosupresan dapat mengurangi efek terapi Vaksin
(dilemahkan).
Vaksin (Hidup): imunosupresan dapat meningkatkan efek samping / toksik Vaksin
(Hidup). Infeksi Vaccinal dapat berkembang. Imunosupresan juga dapat menurunkan
respon terapi terhadap vaksin.
Warfarin: Kortikosteroid (sistemik) dapat meningkatkan efek antikoagulan dari
Warfarin.

Anda mungkin juga menyukai