OSEANOGRAFI KIMIA
TUGAS
CARBONATE BUFFERING SYSTEM
Oleh :
LADIES NIKITA ALAMANDA
26020113140061
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
SISTEM KARBONAT AIR LAUT
Air merupakan unsur penting dalam kehidupan. Hampir seluruh kehidupan didunia ini
tidak terlepas dari adanya unsur air ini. sumber utama air yang mendukung kehidupan dibumi
adalah laut, dan semua air akhirnya akan kembali ke laut yang bertindak sebagai penampung. Air
dapat mengalami daur hidrologi, selama menjalani daur itu air akan selalu menyerap zat-zat yang
menyebabkan air tidak lagi murni, sehingga pada hakeketnya tidak ada air yang betul murni.
Zat-zat yang diserap oleh air alam dapat diklasifikasik. Gas terlarut dan padatan
tersuspensi. Pada umumnya jenis zat pengotor yang terkandung dalam air tergantung pada jenis
bahan yang berkontak dengan air itu. Sedangkan banyaknya zat pengotor tergantung pada waktu
kontaknya. Bahan-bahan mineral yang terkandung dalam air dapat berupa kalsium karbonat
(CaCO
3
), magnesium karbonat (MgCO
3
), Kalsium Sulfat (CaCO
4
), Magnesium Sulfat (MgSO
4
)
dan sebagainya.
Air yang banyak mengandung mineral kalsium dan magnesium dikenal sebagai air yang
sukar untuk dipakai untuk keperluan sehari-hari.senyawa kalsium dan magnesium yang juga
bereaksi dengan zat kimia lainnya seperti zat sabun maka membentuk endapan dan mencegah
terjadinya busa dalam air, sehinga senyawa kalsium dan magnesium sukar larut dalam air laut.
Maka senyawa tersebut cenderung memisahkan diri dari larutan yang membentuk endapan yang
akhirnya menjadi kerak.
Selain halnya air, Siklus karbonat-silikat, seperti yang kita jumpai berlangsung di Bumi,
dimulai dengan reaksi antara karbon dioksida dan mineral-mineral silikat. Hasil reaksi yang
terbentuk akan terbawa sampai ke laut dan tersimpan dalam bentuk deposit karbonat.
Selanjutnya, melalui aktivitas geologi seperti proses tektonik, deposit karbonat tersebut dapat
mencapai litosfer (lapisan batuan) di permukaan Bumi. Setibanya di permukaan Bumi, deposit
karbonat akan mengalami pemanasan dan diubah kembali menjadi karbon dioksida melalui
aktivitas vulkanik. Keberadaan karbon dioksida di atmosfer akan menahan kalor yang diterima
dari Matahari lepas kembali untuk menjaga kestabilan temperatur di permukaan. Sumber panas
internal bagi planet-planet seperti Bumi berasal dari peluruhan isotop radioaktif. Semakin pasif
planet yang bersangkutan, semakin lama siklus karbonat-silikat yang dapat berlangsung.
Selain itu kandungan air laut banyak berasal dari atmosfir, hujan asam yang dapat
mempengaruhi sistem karbon air laut, seperti perubahan ph, salinitas, temperatur dan arus.
Perubahan ph yang terjadi akibat penyerapan karbon dioksida di atmosfer yang dihasilkan dari
kegiatan manusia (seperti penggunaan bahan bakar fosil). Pada siklus karbon alami, konsentrasi
CO
2
di atmosfer menggambarkan sebuah keseimbangan fluks antara lautan, daratan dan
atmosfer. Perubahan fungsi lahan (land use change), penggunaan bahan bakar fosil, dan produksi
semen mengakibatkan adanya sumber CO
2
tambahan ke dalam atmosfer bumi. Sebagian CO
2
tersebut diserap oleh tumbuhan di darat dan sebagian lainnya diserap oleh lautan.
Karbonat merupakan bentuk senyawa karbon yang terikat dalam perairan air laut dan
berfungsi sebagai penyanggah perairan laut agar tetap basa sehingga proses kalsifikasi dalam
pertumbuhan terumbu karang tetap berlangsung.
Ketika CO2 terlarut, dia akan bereaksi dengan air membentuk suatu kesetimbangan jenis
ionik dan non-ionik yaitu: karbon dioksida yang terlarut bebas (CO
2
(aq)
), asam karbonat
(H
2
CO
3
), bikarbonat (HCO
3
-
), dan karbonat (CO
3
2-
). Perbandingan (rasio) dari jenis-jenis ini
bergantung pada temperatur air laut dan alkalinitas (kapasitas penetralan asam dari sebuah
larutan).
Terlarutnya CO2 juga akan menyebabkan naiknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di lautan,
sehingga akan mengurangi pH lautan (ingat semakin rendah nilai pH, semakin asam sebuah
larutan). Menurut Orr et al. (2005), sejak dimulainya revolusi industri, pH lautan telah turun
sebesar lebih kurang 0,1 satuan, dan diperkirakan akan terus turun hingga 0,3 - 0,4 satuan pada
tahun 2100 akibat makin banyaknya gas CO2 akibat aktivitas manusia yang diserap.
Meskipun penyerapan CO
2
oleh lautan akan membantu memperbaiki efek iklim akibat emisi
CO
2
, namun diyakini juga bahwa akan ada konsekuensi negatif terhadap organisme kerang-
kerangan yang memanfaatkan kalsit dan aragonit dari kalsium karbonat untuk membentuk
cangkang. Organisme ini berperan dalam rantai makanan di laut. Karena adanya proses
photosintesis oleh alga yang menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan
menghilangkan karbondioksida. Dan fotosintesis oleh alga yang bersimbiosis dengan karang
membentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat.
Pada kondisi normal, kalsit dan aragonit stabil di permukaan air karena ion karbonat
berada pada kondisi sangat jenuh. Dengan turunnya pH air laut, konsentrasi ion karbonat ini juga
akan turun, dan pada saat karbonat berada pada kondisi tak jenuh, struktur yang dibentuk dari
kalsium karbonat menjadi rapuh dan akan mudah terpecah/terputus (dissolute). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karang-karangan (Gattuso et al., 1998), alga coccolithophore (Riebesell et
al., 2000) dan pteropods (Orr et al., 2005) akan mengalami pengurangan kalsifikasi atau
peningkatan pemutusan ketika terpapar oleh naiknya kadar CO
2
.
Membicarakan masalah laut tidak terlepas dari biota yang hidup didalamnya,diantaranya
fitoplanton yang bertugas dalam rantai berupa proses fotosintesis yang membutuhkan oksigen
dan karbon. Di lautan, fitoplankton adalah titik awal dari carbon sinks melalui suatu sistem rantai
makanan. Fitoplankton ini mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida yang mereka serap dari
atmosfer pada saat proses fotosintesa. Binatang bercangkang atau berkerang juga menggunakan
karbon untuk membuat cangkang atau kerang mereka. Ketika mati, cangkang atau kerang
tersebut akan tenggelam dan tersimpan di dasar laut hingga kedalaman 2000 sampai 4000 meter
dalam waktu ribuan tahun. Carbon sinks juga akan terjadi melalui tenggelamnya makhluk-
makhluk hidup yang telah mati, kotoran-kotoran zooplancton dan ikan-ikanan ke dasar laut.
Belakangan ini, peranan fitoplankton laut dalam mereduksi karbon di atmosfer mulai
didengungkan oleh para peneliti kelautan Indonesia. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa
fitoplankton adalah mikroalga yang memiliki fungsi yang sama seperti tumbuhan di daratan
dalam hal proses fotosintesis. Sebagaimana halnya hutan, maka diharapkan laut kita dapat
memiliki posisi strategis dalam negosiasi perdagangan karbon. Proses penyerapan karbon di laut
tidak sama dengan proses yang terjadi di daratan. Memang fitoplankton dapat menyerap CO2
terlarut di air melalui proses fotosintesis. Tetapi gas CO2 di atmosfer tidak otomatis diserap
ketika proses ini berlangsung, karena laut me-miliki mekanisme sendiri yang dikontrol oleh
sistem karbonat laut. Salah satu parameter penting adalah tekanan parsial CO2 di permukaan laut
(pCO2). Perbedaan tekanan parsial di lapisan permukaan laut-udara akan menentukan arah
pertukaran gas CO2. Bila tekanan parsial CO2 rendah maka akan terjadi penyerapan CO2 di
atmosfer, demikian pula sebaliknya. Ada parameter lainnya, yaitu kandungan karbon anorganik
terlarut (DIC) dan total alkalinitas (TA). Semakin tinggi karbon anorganik terlarut maka tekanan
parsial CO2 permukaan laut akan meningkat, tetapi semakin tinggi TA akan menurunkan pCO2
permukaan laut. Suplai nutrien dari daratan (misal: sungai) dapat memicu aktifitas foto-sintesis
dan diikuti oleh penurunan DIC. Tetapi, suplai dari daratan juga membawa DIC dan TA yang
memiliki dampak berbeda terhadap pCO2 di perairan pesisir.
Selain proses di atas, temperatur permukaan laut juga penting. Semakin tinggi temperatur
air akan mengakibatkan pCO2 tinggi. Hal ini dapat diibaratkan gelas yang berisi coca cola.
Peluang gas karbonasi untuk bertahan dalam larutan coca cola tersebut akan lebih tinggi bila di
simpan dalam lemari es, ketimbang dibiarkan di udara terbuka dan terkena matahari langsung.
Inilah yang melatarbelakangi, kenapa sampai sekarang belum dapat disimpulkan secara jelas
peranan perairan pesisir dalam siklus karbon. Kondisi lokal memiliki andil yang sangat besar.
Kondisi perairan pesisir kita umumnya merupakan perairan tropis, sehingga membuat sistem
karbonat tersebut menjadi lebih rumit.
Menurut beberapa literatur, carbon sinks, atau carbon dioxide sinks, adalah reservoir atau
tempat untuk menyimpan atau menyerap gas karbon dioksida yang terdapat di atmosfer bumi.
Hutan dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi untuk menjadi tempat
menyerap gas karbon dioksida (CO2). Gas karbon dioksida diserap oleh tumbuhan yang sedang
tumbuh dan disimpan di dalam batang kayunya. Di lautan, gas karbon dioksida yang digunakan
oleh fitoplankton untuk proses fotosintesa, tenggelam ke dalam dasar lautan bersama kotoran
makhluk hidup pemakan fitoplankton dan predator-predator tingkat tinggi lainnya sebagai
kotoran dan menjadi kerang-kerangan.
Proses berpindahnya gas karbon dioksida dari atmosfer (ke dalam vegetasi dan lautan)
biasa disebut sebagai carbon sequestration. Beberapa ahli di negara-negara maju saat ini
banyak yang aktif meneliti tentang proses ini dan berharap menemukan sebuah cara efektif untuk
membuat sebuah proses buatan dalam rangka mengurangi laju perubahan iklim global (mitigasi
pemanasan global) yang menurut para ahli berada dalam level yang "cukup mencemaskan" abad
ini.
Di lautan, fitoplankton adalah titik awal dari carbon sinks melalui suatu sistem rantai
makanan. Fitoplankton ini mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida yang mereka serap dari
atmosfer pada saat proses fotosintesa. Binatang bercangkang atau berkerang juga menggunakan
karbon untuk membuat cangkang atau kerang mereka. Ketika mati, cangkang atau kerang
tersebut akan tenggelam dan tersimpan di dasar laut hingga kedalaman 2000 sampai 4000 meter
dalam waktu ribuan tahun. Carbon sinks juga akan terjadi melalui tenggelamnya makhluk-
makhluk hidup yang telah mati, kotoran-kotoran zooplancton dan ikan-ikanan ke dasar laut..
Seiring dengan perubahan iklim bertambahnya jumlah karbon dioksida di atmosfer bumi
dan meminimalkan dampak dari pemanasan global. Namun, karena atmosfer berinteraksi dengan
lautan, penyerapan karbon dioksida dan kapasitas sequestrasi dapat dipengaruhi oleh perubahan
iklim tersebut Melalui beberapa mekanisme interaksi fisis dan kimiawi, sirkulasi laut dapat
mengubah dan mempengaruhi waktu simpan karbon dioksida yang diinjeksikan ke laut dalam,
dan hal itu secara tidak langsung akan mengubah tempat penyimpanan karbon di lautan dan
konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, Menurut Jain, perubahan iklim di masa datang dapat
berpengaruh terhadap penyerapan karbon dioksida di laut dan juga pola sirkulasinya. Dengan
bertambahnya suhu permukaan laut, densitas air laut akan berkurang dan akan memperlambat
sirkulasi termohalin, sehingga kemampuan laut untuk menyerap karbon dioksida juga akan
berkurang. Hal ini akan mengakibatkan jumlah karbon dioksida di atmosfer bertambah dan
memperburuk masalah yang ada. Jain juga mengatakan bahwa memindahkan karbon ke laut
dalam bukan merupakan solusi yang permanen untuk menguranngi jumlah karbon dioksida di
atmosfer. Karbon dioksida yang disimpan di laut tidak akan selamanya dapat bertahan di situ.
Kadangkala ia akan menampis ke permukaan dan ke dalam atmosfer.