Anda di halaman 1dari 11

0 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

Ujian Tengah Semester


SEJARAH SASTRA


2014
KAMALUDIN YAHYA
13/350150/SA/17052
1 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

Teenlit, Suatu
Kemajuan atau Kemunduran?
(bagi Perkembangan Kesusastraan Indonesia)



Teenlit, adalah singkatan dari Teenage Literature. Merupakan sebuah karya
fiksi jenis baru yang hadir pada awal tahun 2000-an. Karya tersebut masih banyak
dijumpai keberadaannya sampai sekarang (2014). Istilah teenlit pertama kali dikenal
saat munculnya novel Princces Diaries karya Meg Cabot pada tahun 2000, dan
lebih dikenal lagi secara lebih luas saat munculnya novel Bridget Jones Diary oleh
pengarang yang sama.
Sesuai namanya, Teenage Literature, merupakan novel yang ceritanya
mengangkat kehidupan-kehidupan anak remaja (teenager), khususnya remaja
perempuan. Sedangkan istilah Lit dalam kata teenlit merupakan kependekan dari
literature. Lit di sini merujuk pada arti bacaan, bukan sebutan sastra pada
umumnya (Anggoro, 2004: 85). Novel teenlit kebanyakan ditulis oleh remaja
perempuan, maka dari itu novel ini bisa dikatakan merupakan novel yang dibuat oleh
remaja perempuan untuk remaja perempuan lain.
Kehadiran jenis karya fiksi ini mengundang banyak kontroversi. Banyak
orang berpendapat bahwa hadirnya novel teenlit memicu minat baca serta antusiasme
remaja terhadap sastra, lebih dari itu, hal tersebut juga mendorong para remaja untuk
menulis dan menciptakan karya sastranya sendiri, maka bisa dikatakan novel teenlit
membawa pengaruh positif bagi kesusastraan di Indonesia. Tetapi, di lain pihak,
banyak yang mempertanyakan kualitas dari jenis fiksi tersbebut. Kritik-kritik
terhadap novel teenlit bermunculan dari segi kelonggaran nilai moral yang
terkandung di dalamnya, gaya penulisan yang memiliki banyak kecacatan di mana-
mana, serta variasi plot dan ide cerita yang murah dan cenderung dangkal.
2 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?


Kemunculan Teenlit

Novel teenlit muncul di Indonesia pada awal tahun 2000-an. Novel teenlit
sebenarnya bukanlah kebudayaan yang berasal dari Indonesia. Perkembangannya
didasari oleh masuknya novel-novel teenlit impor yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Karena karya fiksi jenis ini masih cenderung baru di
kalangan masyarakat Indonesia, kehadirannya pun mendapat antusiasme yang baik
dari masyarakat. Selain itu, hal lain yang mendorong kepopuleran teenlit adalah
bahasanya yang ringan dibandingkan novel-novel yang sudah ada di Indonesia
sebelumnya, yang cenderung merupakan novel serius.
Novel teenlit dapat dikategorikan sebagai novel populer atau karya sastra
populer. Kemunculah sastra populer tidak lepas kaitannya dengan kebudayaan
populer. Kemunculan kebudayaan populer dikaitkan dengan Revolusi Industri di
Eropa. Dengan dilatarbelakangi trauma anarki akibat Revolusi Prancis ketika massa
menjadi begitu dominan, kebudayaan populer muncul sebagai alternatif lain dari
bentuk reproduksi massal (Mahayana, 2005: 320)
Karena termasuk novel populer, maka perkembangan novel teenlit pun
dipengaruhi oleh massadalam hal ini pembaca. Kehadiran pembaca menjadi aspek
yang penting bagi novel teenlit. Karena itulah terdapat aspek kepentingan komersial
di dalamnya. Karyanya sendiri dibuat hanya untuk tujuan hiburan, bahasa yang
digunakan di dalamnya di buat se-ringan mungkin agar mudah dipahami oleh
pembacanya.
Istilah teenlit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Gramedia, pada
tahun 2002 ketika mulai menerbitkan novel-novel teenlit terjemahan. Dilandasi oleh
suksesnya novel-novel teenlit terjemahan seperti The Princces Diaries karya Meg
Cabot Gramedia mulai memberi komisi pada penulis lokal untuk membuat karya
yang sama serta melakukan pencarian penulis-penulis yang memiliki talenta untuk
3 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

membuat novel teenlit. Dari hasil itu, munculah buku berjudul Gadis Mal karya
Hilman Hari Wijaya yang terbit pada tahun 2004. Buku tersebut secara mengejutkan
memperoleh sukses yang melebihi kesuksesan novel teenlit terjemahan, sehingga
lebih jauh, mereka akhirnya bisa meng-klain bahwa teenlit menyumbang penjualan
fiksi terbesar di tahun 2005 (Simamora, 2005). Berdasarkan sukses tersebut,
Gramedia semakin giat menyemangati para remaja agar tidak hanya membaca, tetapi
juga menulis novel mereka sendiri.

Kontroversi teenlit

Kehadiran novel teenlit, tidak dapat dipungkiri sudah mempengaruhi
perkembangan kesusastraan di Indonesia. Perkembangan sastra sendiri bukan hanya
dilihat dari meningkatnya presentase masyarakat yang semakin gemar membaca,
peningkatan rasa antusiasme masyarakat terhadap sastra atau semakin cepatnya
produksi-produksi sastra di Indonesia, tetapi lebih dair itu, perkembangan sastra juga
dilihat dari segi kualitasnya, apakah dari peningkatan kuantitas karya sastra yang
diproduksi diiringi pula dengan peningkatan kualitas di dalamnya? Apakah dari
peningkatan presentase pembaca juga diiringi dengan meningkatnya tingkat
kepahaman dan kecerdasan terhadap sastra-sastra berkualitas?
Kemunculan novel teenlit di Indonesia membawa suatu genre karya sastra
baru di Indonesia. Hal itu tentu saja merupakan dampak positif. Sebagaimana hal
baru pada umumnya, novel teenlit juga pertama kali dilirik karena sifatnya yang baru
dan berbeda dari karya-karya sastra sebelumnya. Didukung bahasanya yang ringan
serta ilustrasi penceritaan yang mudah dipahami, kepopuleran novel teenlit meningkat
secara pesat.
Penggunaan bahasa yang ringan dan tema kehidupan yang sesuai dengan
lingkunagan remaja merupakan dua faktor penting yang mendasari kepopuleran novel
teenlit. Menurut Sumardjo (1982, p 64) Karena yang menulis juga remaja atau yang
4 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

masih dekat dengan usia itu, maka gaya bahasa, sudut penglihatan, cepat dicerna oleh
pembacanya.
Masalah-masalah yang terdapat dalam novel teenlit pun cenderung ringan dan
dapat dikatakan dangkal, meskipun begitu, banyak remaja yang berpendapat bahwa
masalah-masalah seperti itulah yang sangat dekat dengan kehidupan mereka.
masalah-masalah tentang pacaran, lingkungan sekolah, pertemanan membuat mereka
semakin mudah memahami isi novel tersebut. Bandingkan saja novel teenlit Eiffel
Im in Love (2001) yang ditulis oleh Rachmania Arunita saat berusia 15 tahun
dengan novel serius seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dari segi
permasalahan yang diangkat di dalamnya, sudah jelas kalau Ronggeng Dukuh
Paruk mengangkat permasalahan yang jauh lebih berat dan jauh lebih beragam
ketimbang permasalahan yang ada di novel Eiffel Im in Love.
Banyak permasalah yang diangkat di novel Ronggeng Dukuh Paruk, mulai
dari perasaan Rasus terhadap Srintil yang terkadang seperti cinta kepada pacar,
kepada teman, dan kadang juga seperti cinta kepada emak-nya; masalah Srintil dalam
menyikapi dirinya sebagai ronggang di Dukuh Paruk; masalah warga Dukuh Paruk
dalam menyikapi perubahan jaman, sedangkan permasalahan yang diangkat di novel
Eiffel Im in Love hanya sekedar permasalahan cinta antara Tita dan Adit.
Pengangkatan masalah kehidupan pada novel teenlit semacam inilah yang
banyak dikritisi oleh orang yang kontra terhadap munculnya novel teenlit. Dari sini
bisa dilihat, sebenarnya bukan hanya masalah yang diangkat novel teenlit cukup
dangkat, tetapi dari masalah yang disajikan sendiri sudah jauh tidak se-Indonesia
novel-novel yang sudah terbit sebelumnya.
Mengambil pendapat Gita Romadhona pada Debat Sastra yang
diselenggarakan di Universitas Nasional pada 7 September 2005, Beliau menjelaskan
bahwa Tokoh dan gaya hidup yang terlihat di dalam teenlit terjemahan adalah tokoh
dengan gaya hidup Barat dimana remaja dari usia 11 tahun sudah terbiasa dengan hal
berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, dan pergi ke pesta-pesta. Pada
usia 15 tahun mereka sudah terbiasa dengan hubungan seks.
5 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

Dengan gaya penceritaan seperti itu, lalu penulis lokal kita mencoba menulis
novel teenlit ala Indonesia, yang sayangnya gaya kehidupan kebarat-baratan yang ada
dalam novel terjemahan juga ikut terbawa latah masuk dalam yang ada dalam teenlit
tersebut. inilah yang menyebabkan permasalahan novel teenlit tidak se-Indonesia
novel-novel sebelumya. Pengarang-pengarang novel teenlit Indonesia menganggap
bahwa gaya kehidupan ala barat itulah yang ideal, yang umum untuk masyarakat
Indonesia.
Mungkin masalah ini tidak akan seberapa bila presentase pembaca
kebanyakan orang dewasa, yang bisa menyaring informasi yang didapatnya dengan
lebih bijaksana, sayangnya, kebanyakan pembaca novel teenlit adalah remaja, yang
pada masa-masa itu bisa dikatakan sedang mencari jati diri, maka kehidupan ala barat
yang mereka baca di novel teenlit itulah yang mereka anggap penting. Rok pendek
dan baju ketat menjadi tren baru, sehingga dapat meningkatkan tindakan kriminalitas
perkosaan dan maraknya free sex di Indonesia.
Gambaran kehidupan dalam novel teenlit sudah bukan lagi gambaran
kehidupan masyakat Indonesia. Lihat saja kehidupan tokoh-tokoh dalam novel teenlit
yang kebanyakan kaya, tampan, cantik, punya mobil pribadi, liburan ke Luar negeri.
Saya sendiri tidak begitu yakin bahwa inilah gambaran umum kehidupan masyarakat
Indonesia. Sastra sudah tidak berpihak lagi pada masyarakat. Di mana cerita yang
mengangkat masalah tentang kehidupan kolong jembatan? para korupsi?
kesenjangan sosial? kemiskinan di Indonesia? Karya sastra seperti novel teenlit
sepertinya tidak begitu peka terhadap masalah-masalah yang sebenarnya terjadi di
kehidupan, masalah multidimensional yang riil, dan malah cenderung
memperlihatkan sisi manis kehidupan yang tidak realistis pada remaja, dengan
liburan ke luar negeri atau bersantai-santai di caf atau salon.
(Sumardjo dan Saini, 1991:9) mengatakan bahwa Karya sastra merupakan
cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya sastra yang
baik memiiki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang
selalu ada selama manusia masih ada Selanjutnya pernyataan tersebut didukung oleh
6 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

Taine (dalam Endraswara, 2008:17) dengan menyatakan bahwa sastra tidak hanya
sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula merupakan
cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu
dilahirkan. Dari dua pernyataan ahli tersebut maka kita ketahui bahwa dalam sastra
terkandung suatu rekaman kebudayaan masyarakat tertentu. Dalam hal ini, masih
diragukan apakah novel teenlit dalam hal ini memiliki kualifikasi untuk dimasukkan
dalam kategori sastra yang demikian atau tidak.
Meskipun kebanyakan para pengarang novel teenlit tidak begitu peka terhadap
permasalahan-permasalahan yang mendasar Sitta Karina, salah satu penulis novel
teenlit sadar akan rasa tanggung jawabnya terhadap karya yang sudah ia buat. Ia
mengatakan Seorang penulisteenlit sampai sastrahendaknya meluangkan
tempat di nuraninya untuk memikirkan tanggung jawab moral dan sosial, dampak
dari karyanya yang kini sudah jadi milik publik anggapan seperti inilah yang
merupakan contoh yang baik bagi perkembangan sastra di Indonesia, harapannya,
nantinya akan lebih banyak pengarang karya sastra yang memiliki pandangan yang
sama, yaitu membangun kehidupan Indonesia lewat sastra.
Hal lain, yang juga merupakan kekurangan dari teenlit adalah pemakaian
bahasa yang kebanyakan tidak sesuai kaidah dan cenderung merusak tata Bahasa
Indonesia. Sebelumnya emmang sudah disepakati bahwa dialog yang ada dalam
karya sastra merupakan ragam lisan yang ditulis, tetapi banyak juga yang berpendapat
bahwa ragam lisan yang dimaksud tentu masih memiliki aturan-aturan tertentu
shingga ragam lisan tersebut masih memiliki nilai didik yang baik. Lihat saja contoh
dari novel di Bawah Lindungan Kabah (1938) karya Hamka yang kalimatnya
begitu tersetruktur dengan baik, mengikuti kaedah namun secara bersamaan juga
indah dan menimbulkan suasana yang terjalin dengan baik.
" Abang Hamid!" katanya.
Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat
gembiranya melihat kedatangan saya. Baru sekali itu dan baru saat itu selama
hidup saya melihat mukanya demikian, yang tak pernah saya gambarkan dan
7 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

tuturkan dengan susunan kata, pendeknya wajah yang memberikan saya penuh
pengharapan.
" Bang Hamid!" katanya menyambung perkataannya, " Sudah lama
benar abang tak kemari, lupa agaknya abang kepada kami!"
Gugup saya hendak menjawab; saya pintar mengarang khayal dan
angan-angan tetapi bila sampai di hadapannya saya menjadi seorang yang
bodoh.

Lalu perhatikan pemakaian bahasa pada novel teenlit Dealova (2006)
karya Nuranindya :

Hampir semua pekerjaan bisa dia lakukan. Nyapu, ngepel, masak,
nyuci Ah, itu sih biasa banget! Jahit, nyanggul rambut, dan nyetrika? Itu juga
masih biasa. Tapi kalau benerin antenna di genteng, manjat pohon kelapa,
benerin atap rumah, dan ngangkat lemari baju sendirian, itu baru luar biasa.

Dalam novel tersebut, Karatokoh protagonistsedang
mendeskripsikan pembantu rumah tangganya, Bi Minah, menggunakan bahasa
informal seperti nyapu, ngepel, biasa banget, dll, yang merupakan dialeg
Jakarta / Betawi. Hal tersebut tidak mengharuskan bahwa pemakaian bahasa
yang seperti itu jelek, pengarangnya juga menggunakanya mungkin dengan
maksud agar pembaca mengenal karakter Kara lebih jauh, dan bagaimana
hubungan Kara dengan Bi Minah.
Hal itulah yang menurut Tasai menarik dan menggelisahkan kita
terhadap bahasa yang dipakai di dalam novel teenlit. Bahasa gaul dan dialek
Jakarta (Betawi) merupakan bahasa yang utama. Keberadaan bahasa Indonesia
di dalamnya tidak terencana, tidak terpola dengan baik, apa saja bisa masuk.
Baik pada percakapan (dialog) maupun pada deskripsi, bahasa yang dipakai
adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, yang hanya dimengerti oleh
8 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

anak remaja. Keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat
dipola dan hampir tidak terkendali.


Kesimpulan

Teenlit sudah dapat dipastikan merupakan sebuah karya sastra.
Bagaimanapun cara memandanganya, suatu kemunduran ataupun kemajuan, kita
tetap harus mengolah jenis karya sastra tersebut dengan lebih baik. Suatu hal
yang baik jarang ditemukan begitu saja, suatu hal yang baik kebanyakan
dibentuk, dibangun dari hal yang semula tidak begitu baik. Kita tidak seharusnya
mengadili jenis karya sastra secara umum, biarpun saat ini kebanyakan cerita
dalam novel teenlit memiliki gaya hidup ke-barat-baratan, tapi bukan berarti
semua pengarang seperti itu. Malah, sebenarnya di situlah tantangan para
sastrawan untuk menuntun sebuah medium berupa pengarang teenlit
kebanyakan ini agar menjadi medium yang lebih baik untuk mencipakan sastra
yang lebih Indonesia.
Antusiasme para remaja di belakang kehadiran novel teenlit merupakan
suatu hal yang luar biasa, jangan sampai hal tersebut sia-sia. Hal penting penting
yang kemudian harus diperhatikan adalah bagaimana cara mengolah semangat
para remaja itu, menuntun mereka kearah sastra berkualitas lebih baik. Di lain
pihak, kehadiran penerbit juga seharusnya bukan hanya sekedar memotivasi,
tetapi juga menyaring dan bersamaan dengan itu meningkatkan mutu karya
sastra yang diterbitkan dengan menuntun para penulis-penulis lokal ke arah
sastra yang menjadi cita-cita Indonesia.



9 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?






Daftar Pustaka

Anggoro, Donny. 2004. ChickLit: Buku Laris Penulis Manis, dalam Sastra yang
Malas: Obrolan Sepintas Lalu. Solo: Tiga Serangkai.
Arunita, R. (2001), Eiffel .. Im in Love, Terrant Books, Jakarta.
Djenar, Dwi Noverini. 2012. ALMOST UNBRIDLED: INDONESIAN YOUTH
LANGUAGE AND ITS CRITICS. South East Asia Research, March 2012.
Dytia88 (2011). Novel Metropop, Kebaruan dalam Novel Populer? (1). From
http://syirabiru.wordpress.com/2011/03/08/novel-metropop-kebaruan-dalam-
novel-populer-1, 16 April 2014
Dytia88 (2011). Novel Metropop, Kebaruan dalam Novel Populer? (2). From
http://syirabiru.wordpress.com/2011/03/09/novel-metropop-kebaruan-dalam-
novel-populer-2/, 16 April 2014
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:CAPS
Karina (2010). Teenlit yang tidak picisan. From
http://sittakarina.posterous.com/teenlit-yang-tidak-picisan.
Nuranindya, D. (2006), Dealova, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi
Kritik. Jakarta: Bening Publishing.
Sumardjo, J. (1982), Novel Populer Indonesia, CV Nur Cahaya, Yogyakarta.
10 | T e e n l i t , s u a t u k e m a j u a n a t a u k e m u n d u r a n ?

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT
Gramedia.
Tasai, S. A. (2006), Teenlit, masalah baru pernovelan Indonesia, Republika Online,
12. From http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=Vw4HWgJRVQEA,
15 April 2014

Anda mungkin juga menyukai