Anda di halaman 1dari 6

Penatalaksanaan Gagal Ginjal

1) Transfusi
Transfusi darah adalah pemasukan darah lengkap atau komponen-komponen
darah secara langsung ke dalam aliran darah. Definisi lain menyebutkan, transfusi
darah adalah pemindahan darah lengkap atau komponen-komponennya dari seseorang
(donor) kepada orang lain (resipien). Akan tetapi, transfusi darah tidak boleh serta
merta dilakukan secara sembaragan, harus ada indikasi yang jelas dan pemeriksaan
tersendiri sebelum dilakukannya transfusi darah, seperti pemeriksaan golongan darah,
kadar komponen darah, dan sebagainya.
Transfusi darah berdasarkan sumber donor darah dibedakan menjadi dua:
Allotransfusi: darah berasal dari orang lain
Autotransfusi: darah berasal dari diri sendiri
Tujuan dilakukan transfusi adalah:
Meningkatkan oksigenasi jaringan
Memperbaiki fungsi hemostatis
Koreksi hipovolemik
Meningkatkan fungsi leukosit
Macam-macam transfusi darah adalah sebagai berikut:
a) Darah lengkap (whole blood). Mengandung semua komponen darah secara
utuh, baik plasma maupun sel darahnya. Terbagi dua, yakni (1) darah segar (fresh
blood), yang disimpan kurang dari 6 jam, masih lengkap dengan trombosit dan
faktor pembekuannya; dan (2) darah yang disimpan (stored blood), yang disimpan
lebih dari 6 jam (darah hanya bisa disimpan sampai 35 hari, jumlah trombosit dan
faktor pembekuan sudah menurun). Diberikan pada indikasi dimana tubuh
kekurangan semua komponen darah, baik eritrosit, leukosit, trombosit dan plasma.
Biasanya keadaan semacam ini terjadi setelah adanya kehilangan darah yang banyak
dalam waktu yang singkat, misalnya pasca perdarahan akut > 20% volume darah.
Atau pada neonatus yang menderita eritroblastosis fetalis, dimana semua darahnya
harus diganti dengan jalan transfusi. Kontraindikasi pada pasien dengan anemia
kronik yang normovolemik.
b) Packed Red Cells (PRC). Sebagian besar terdiri dari sel darah merah/ eritrosit,
akan tetapi masih mengandung sedikit sisa-sisa leukosit dan trombosit. Indikasi
pemberiannya adalah pada pasien anemia, dengan syarat: akan dilakukannya operasi
besar, tetapi Hb < 10; atau anemia yang menimbulkan keluhan dan mengancam
keselamatan.
c) Washed Red Cells (WRC). Bedanya dengan PRC adalah, kadar sisa leukosit
dan trombositnya jauh lebih rendah. Indikasinya adalah untuk mencegah terjadinya
febris (demam) atau alergi akibat aktifitas leukosit maupun trombosit. Misalnya
pada penderita thalassemia yang sering dilakukan transfusi, jika bukan WRC yang
diberikan, bisa saja terjadi reaksi hipersensitifitas pada pasien tersebut akibat
pemaparan leukosit asing yang berulang.
d) Deep Freezing Red Cells. Yaitu eritrosit yang didinginkan, untuk mencegah
adanya virus, akan tetapi belum menjamin sepenuhnya.
e) Trombosit konsentrat. Terdiri dari komponen trombosit saja, dan hanya
bertahan paling lama sekitar 3 hari. Diberikan pada pasien yang mengalami
trombositopenia berat dengan kadar trombosit <100.000/mm3 dan ditemukannya
perdarahan serta sindroma perdarahan (ptekie, purpura, ekimosis, pendarahan gusi,
dll). Atau juga diberikan pada pasien trombositopenia sangat berat dengan kadar
trombosit <40.000/mm3 dengan atau tanpa perdarahan, karena ditakutkan akan
terjadinya perdarahan serebral.
f) Granulosit konsentrat. diberikan pada kasus netropenia berat, dengan kadar
neutrofil < 0,5 x 109/L.
g) Plasma. Jenisnya ada 7 macam: (1) Plasma Protein Fraction: mengganti
plasma yang hilang pada luka bakar, kedaruratan abdomen dan jika ada trauma yang
luas. (2) Fresh frozen plasma: mengandung faktor pembekuan VIII dan V, pada
pasien dengan gangguan hemostasis yang labil. (3) Kriopresipitat: mengandung
F.VIII, faktor von willebrand, F.XIII, fibronektin dan fibrinogen. Indikasi untuk
pasien hemofilia A, penyakit von willebrand, dan sindroma defibrinektin akut. (4)
Faktor VIII konsentrat, untuk terapi hemofilia A. (5) Faktor IX-protrombin
kompleks konsentrat, untuk hemofilia B. (6) Fibrinogen konsentrat: untuk pasien
DIC. (7) Imunoglobulin konsentrat pada pasien defisiensi imunoglobulin.
Sebelum melakukan transfusi darah, diperlukan persiapan sebagai berikut:
a) Cari pendonor dengan golongan darah yang cocok dengan resipien. Terutama
golongan darah mayor: ABO dan Rh.
b) Pendonor harus bebas dari penyakit menular, untuk itu dilakukan pemeriksaan
skrining terhadap antibodi dalam serum donor dengan tes antiglobulin indirek
(tes Coombs indirek), dan tes serologik untuk mendeteksi apakah adanya infeksi
hepatitis, HIV, sifilis dan CMV.
c) Dilakukan crossmatch, yaitu suatu uji kompatibilitas donor dan resipien darah.
Ada dua macam: (1) mayor crossmatch: sel darah merah donor ditempatkan
dalam serum resipien (untuk mendeteksi antibodi resipien). (2) minor
crossmatch: sel darah merah resipien ditempatkan dalam serum donor
(mendeteksi antibodi donor). Jika terjadi aglutinasi, maka tidak boleh dilakukan
transfusi.
d) Pemeriksaan klerikal. Setelah langkah 1-3 terpenuhi, lakukan pengambilan darah
donor, bawa ke dalam ruangan khusus. Jika sudah tersedia darah sebelumnya,
pastikan label darah resipien dan donor benar-benar cocok, baik etiket, nama,
golongan darah, dan umur pendonor. Jangan sampai tertukar (faktanya di
lapangan banyak yang kurang teliti karena hal ini).
e) Hangatkan darah yang akan ditransfusi, dengan suhu lebih kurang sama dengan
suhu tubuh.
f) Catat nadi, tensi, suhu dan respirasi resipien.
Saat melakukan transfusi:
a) Pasang infus dengan infus set darah (dengan alat penyaring), pertama diberi dulu
larutan NaCl fisiologik.
b) Kemudian teteskan darah pelan-pelan pada 5 menit pertama, awasi jika ada reaksi
alergi seperti urtikaria, bronkospasme, rasa tidak enak dan menggigil. Tanda vital
resipien harus dipantau secara ketat.
c) Perhatikan kecepatan transfusi setelah 5 menit pertama: (1) untuk syok
hipovolemik, beri tetesan cepat. (2) normovolemik, tetesan 500 ml/6 jam. (3)
pasien anemia kronis, penyakit jantung dan paru, tetesan lambat yakni 500 ml/24
jam.
d) Jika terjadi reaksi yang tidak diinginkan, langsung stop transfusi, dan cari
penyebab reaksi tranfusi yang terjadi.
Reaksi transfusi darah yang sering terjadi:
Reaksi demam: Menyertai reaksi hemolitik
(pirogen, kontaminasi bakteri, alergi)
Reaksi alergi/anafilaksis Hipersensitifitas terhadap protein donor
Gejala: gatal, urtikaria, sesak nafas (broncospasme), serak (edem laring), syok.
Reaksi hemolitik
Reaksi penularan penyakit Hepatitis, malaria, sifilis, AIDS
Reaksi overload normal: maksimal 20 tetes/menit
Reaksi keracunan sitrat/kalium sel darah merah yang disimpanlebih dari 10
hari menyebabkan kalsium keluar dalam plasma, sehingga kalsium plasma
meningkat yang berbahaya pada penyakit ginjal. Sitrat mengikat plasma dalam
metabolisme dalam hepar, menyebabkan hipokalsemia sehingga dapat terjadi
kejang.
Reaksi hemosiderosis
2) Cuci Darah
Cuci darah atau Hemodialisis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti
ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang
berisi membrane yang selektif permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi
zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi. Hemodialisa dilakukan pada keadaan gagal
ginjal dan beberapa bentuk keracunan.
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di
dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang
memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialisat yang konsentrasinya rendah. Air
yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran
air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan: dengan kata lain, air
bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang
lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negatif yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif
diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi
pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini
diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan
cairan).
Indikasi Hemodialisa
Indikasi segera
Koma, perikarditis, atau efusi pericardium, neuropati perifer, hiperkalemi,
hipertensi maligna, over hidrasi atau edema paru, oliguri berat atau anuria.
Indikasi dini
Gejala uremia
Mual, muntah, perubahan mental, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan seks dan perubahan kulitas hidup.
Laboratorium abnormal
Asidosis, azotemia (kreatinin 8-12 mg %) dan Blood Urea Nitrogen (BUN) :
100 120 mg %, TKK : 5 ml/menit.
Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi dialisa bervariasi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang
tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu.
Program dialisis dikatakan berhasil jika:
penderita kembali menjalani hidup normal
penderita kembali menjalani diet yang normal
jumlah sel darah merah dapat ditoleransi
tekanan darah normal
tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif
Komplikasi terapi dialisis dapat mencakup hal-hal berikut:
Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh.
Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi. Dan muncul sebagai
serangan kejang.
3) Asupan nutrisi
Kebutuhan kalori 30 Kal/kgBB ideal/hari pada GGA tanpa komplikasi.
Kebutuhan ditambah 15-20% pada GGA dengan komplikasi.
Kebutuhan protein 0,6-0,8 g/kgBB ideal/hari pada GGA tanpa komplikasi, 1-
1,5 g/kgBB ideal/hari pada GGA dengan komplikasi
Perbandingan karbohidrat dan lemak 70:30
Suplementasi asam amino tidak dianjurkan.
4) Asupan cairan: tentukan status hidrasi pasien, monitor cairan yang masuk dan
keluar tiap hari bila mungkin, dan pengukuran tekanan wena sentral bila ada
fasilitas.
Hipovolemia: rehidrasi sesuai kebutuhan
Normovolemia: cairan seimbang (input=output)
Hipervolemia: restriksi cairan (input<output)
Fase anuria/oliguria: cairan seimbang
Fase poliuria: 2/3 cairan yang keluar
Dalam keadaan insensible water loss yang normal, pasien membutuhkan 300-500
ml electrolyt free water per hari sebagai bagian dari total cairan yang diperlukan.
5) Koreksi gangguan asam basa
6) Kereksi gangguan elektrolit
Batasi asupan kalium <50 mEq/hari. Hindari makanan yang banyak
mengandung kalium, obat yang mengganggu ekskresi kalium dan diuretic
hemat kalium, cairan dan nutrisi perenteral yang mengandung kalium
Atasi hipokalsemia ringan dengan koreksi per oral 3-4 g/hari kalsium
karbonat, bila imbul tetani beri kalsium glukonas 10% IV.
Atasi hiperfosfatemia dengan memberikan pengikat fosfat, seperti alumunium
hidroksida atau kalsium karbonat yang diminum bersamaan dengan makan.
7) Pemberian furosemid dan dopamine dapat membantu mengatasi pemeliharaan
fase nonoligurik, tetapi harus dihentikan bila tidak memberi hasil yang
diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai