Anda di halaman 1dari 10

A.

PERKEMBANGAN EKONOMI DAN FISKAL



1. Terdapat peningkatan kinerja perekonomian yang didorong oleh pertumbuhan
sektor jasa dan ekspor neto
Perekonomian Indonesia pada kuartal IV-2013 sedikit membaik dengan
mencatat laju pertumbuhan year-on-year menjadi 5,72% meski lebih rendah jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 6,18%. Hal ini
terutama disebabkan oleh tekanan pada transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar
rupiah yang dibarengi dengan kenaikan laju inflasi. Tekanan pada transaksi berjalan
yang mengalami defisit selama tiga kuartal terakhir mendorong peningkatan suku
bunga acuan sehingga menekan investasi. Meski defisit transaksi berjalan menurun
signifikan dari USD 8,5 miliar pada kuartal sebelumnya menjadi USD 4 miliar pada
kuartal IV-2013, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2013 hanya mencapai 5,78% lebih
rendah dari laju pertumbuhan ekonomi tahun 2012 yang mencapai 6,23%.
Sektor Jasa masih dominan dalam mendorong pertumbuhan pada kuartal IV-
2013. Meskipun demikian, sektor ini mengalami penurunan laju pertumbuhan
dan sektor Primer dan sektor Industri mulai merangkak naik. Sektor Jasa
menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat, dengan pertumbuhan yang
hanya tercatat sebesar 6,48% lebih rendah jika dibandingkan dengan kinerja
kuartal IV-2012 yaitu 7,66%. Sementara itu, sektor Primer tumbuh mencapai
3,86% (y-o-y). Hal itu didorong oleh pertumbuhan pada sektor Pertambangan dan
Penggalian yang tercatat sebesar 3,91% (y-o-y). Meskipun sektor Primer
mengalami peningkatan, laju pertumbuhan sektor Primer lambat laun semakin
rendah. Selanjutnya, sektor Industri juga menunjukkan pertumbuhan yang tercatat
sebesar 5,60% (y-o-y) sejalan dengan laju pertumbuhan ekspor terutama pada
ekspor non-migas. Secara keseluruhan, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor
Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 10,32% (y-o-y), diikuti oleh sektor
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 6,79% (y-o-y) dan sektor Konstruksi
6,68% (y-o-y).
Pada sisi pengeluaran, penggerak pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-
2013 didominasi oleh kenaikan tingkat ekspor neto, menggeser peranan
pengeluaran domestik yang melambat. Kenaikan tingkat ekspor neto pada
kuartal IV-2013 disebabkan karena nilai ekspor tumbuh tinggi yang tercatat
sebesar 7,40% (y-o-y) dan pertumbuhan nilai impor yang menurun menjadi -
0,60% (y-o-y). Hal ini didorong oleh meningkatnya ekspor non-migas ke negara-
negara mitra dagang terutama Cina, Amerika Serikat dan Jepang. Selanjutnya,
pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan investasi
menurun masing-masing menjadi 5,25% (y-o-y), 6,45% (y-o-y) dan 4,37 (y-o-y).
Padahal pada kuartal sebelumnya, konsumsi rumah tangga, konsumsi
pemerintah dan investasi dapat tumbuh masing-masing sebesar 5,48% (y-o-y)
8,91% (y-o-y) dan 4,54% (y-o-y). Perlambatan investasi tersebut di antaranya
terkait dengan kebijakan BI dalam meningkatkan suku bunga acuan dari 7,25%
pada Oktober 2013 menjadi 7,50% pada November 2013 dan ketidakpastian
politik terkait dengan Pemilu.

2. Masih terdapat tantangan dalam perdagangan internasional
Setelah surplus selama tiga bulan berturut-turut (Oktober - Desember 2013),
pada Januari 2014 neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit.
Sepanjang tahun 2013, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD
4,06 miliar. Angka tersebut menunjukkan secara tahunan kinerja neraca perdagangan
Indonesia juga memburuk. Pada tahun 2012, defisit neraca perdagangan Indonesia
hanya sebesar USD 1,66 miliar. Membesarnya defisit neraca perdagangan Indonesia
pada tahun 2013 dikarenakan kenaikan surplus neraca perdagangan non-migas tidak
mampu mengimbangi kenaikan defisit neraca perdagangan migas. Secara month-to-
month, besaran nilai neraca perdagangan Indonesia turun sebesar 128% dari surplus
USD 1,53 miliar di bulan Desember 2013 menjadi defisit USD 0,43 miliar pada
Januari 2014. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan karena penurunan ekspor
Indonesia yang lebih besar daripada penurunan impornya yakni 14% berbanding 3%.
Neraca perdagangan migas sepanjang tahun 2013 memburuk. Neraca
perdagangan migas yang defisit USD 5,6 miliar pada tahun 2012, naik menjadi defisit
USD 12,6 miliar pada tahun 2013. Memburuknya neraca perdagangan migas pada
tahun 2013 disebabkan karena jumlah ekspor migas yang lebih kecil dan impor migas
yang lebih besar dibanding tahun 2012. Sementara itu, pada Desember 2013, defisit
perdagangan migas sebesar USD 0,82 miliar dan meningkat tipis menjadi USD 1,06
miliar pada Januari 2014. Kenaikan defisit dikarenakan ekspor migas turun sebesar
USD 0,9 miliar sedangkan impor migas turun lebih kecil sebesar USD 0,7 miliar.
Ekspor migas pada Januari 2014 menurun. Secara month-to-month, ekspor
migas turun dari USD 3,41 miliar pada Desember 2013 menjadi USD 2,5 miliar pada
Januari 2014. Perubahan terbesar terjadi pada ekspor minyak mentah yang menurun
sebanyak 42,1%. Kemudian diikuti dengan ekspor hasil minyak dan gas yang masing-
masing turun sebesar 23,28% dan 16,66%. Secara keseluruhan ekspor migas turun
26,7% pada Januari 2014. Pada Desember 2013, impor migas Indonesia tercatat
sebesar USD 4,22 miliar. Namun nilainya menurun pada Januari 2014 menjadi USD
3,56 miliar (nilai impor turun 15,7% antara Desember 2013 dan Januari 2014).
Seiring dengan neraca perdagangan migas, kinerja neraca perdagangan non
migas juga memburuk. Pada kuartal IV-2013, kinerja neraca perdagangan non-migas
sempat menunjukkan tren positif. Namun seiring dengan menurunnya ekspor non-
migas dan naiknya impor non-migas, surplus perdagangan non-migas turun sebesar
73,1% pada Januari 2014. Semula suplus perdagangan non-migas Desember 2013
adalah sebesar USD 2,34 miliar. Kemudian jumlah tersebut turun menjadi USD 0,63
miliar pada bulan berikutnya.
Secara year-on-year, transaksi berjalan memperlihatkan perbaikan kinerja.
Pada tahun 2012 di kuartal yang sama, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit
USD 7,8 miliar. Kuartal IV-2013, defisit transaksi berjalan turun sebesar 48,7%
menjadi USD 4 miliar. Kinerja transaksi berjalan Indonesia pada kuartal IV-2013
membaik. Hal ini terlihat dari menurunnya besaran defisit dari USD 8,5 miliar pada
kuartal III-2013 menjadi USD 4 miliar di kuartal IV- 2013. Perbaikan kinerja terjadi
karena surplus neraca perdagangan barang dan transfer berjalan lebih besar daripada
defisit neraca perdagangan jasa dan neraca pendapatan.

3. Fiscal space pemerintah masih ketat dan kemampuan membayar hutang
melemah
Realisasi pendapatan dan hibah negara mencapai 5,5% dari target dalam
APBN 2014 sebesar IDR 1.667,1 triliun dan realisasi belanja negara per Januari 2014
sebesar 5,3%. Target pendapatan dan hibah tersebut terdiri atas penerimaan dalam
negeri sebesar IDR 1.665,78 triliun dan hibah IDR 1,36 triliun. Sejauh ini penerimaan
perpajakan sudah mencapai 6,5% dari target IDR 1.280,4 triliun dan penerimaan
bukan pajak baru 2% dari IDR 385,4 triliun. Total belanja negara dalam APBN 2014
sejumlah IDR 1.842,5 triliun dengan rincian IDR 1.249,9 triliun untuk belanja
pemerintah pusat dan IDR 592,6 triliun untuk transfer ke daerah. Belanja pemerintah
pusat yang sudah terealisasi per Januari 2014 sebesar 3,2%, sedangkan transfer daerah
sudah mencapai 9,6%. Pembayaran utang dan bantuan sosial sejauh ini merupakan
komponen belanja yang tertinggi realisasinya, masing-masing sebesar 10,8% dan
10,1%.
Termasuk dalam belanja negara adalah transfer ke daerah yang salah satunya
berupa pemberian dana otonomi khusus dan penyesuaian yang dalam APBN 2014
meningkat 24,8% dari tahun sebelumnya. Porsinya terhadap total transfer ke daerah
pun meningkat menjadi 17,66%. Salah satu yang baru adalah dana keistimewaan yang
resmi dianggarkan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejumlah IDR 520
miliar. Namun, jika dibandingkan dengan daerah-daerah penerima dana otonomi
khusus, jumlah tersebut masih jauh lebih kecil.
Debt Service Ratio yang menunjukkan tren yang meningkat telah mengalami
peningkatan tajam pada kuartal IV-2013. Pada kuartal terakhir 2013 ini DSR
Indonesia mencapai 52,7%. Angka yang tinggi ini menunjukkan kemampuan
membayar utang Indonesia melemah dari kuartal ke kuartal yang menyebabkan
peningkatan risiko pada perekonomian Indonesia.

4. Tingkat kemiskinan dan pengangguran memburuk
Meskipun secara keseluruhan perekonomian pada kuartal-IV 2013 mengalami
sedikit peningkatan, namun justru terjadi peningkatan angka pengangguran pada
Agustus 2013. Tingkat pengangguran terbuka naik menjadi 6,3% pada Agustus 2013
dari 6,1% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Di samping itu, menurut
publikasi BPS, jumlah angkatan kerja di Indonesia naik 150.000 orang dari 118,05
juta orang menjadi 118,19 juta orang. Dari sisi gender, tingkat partisipasi laki-laki
maupun perempuan dalam lapangan kerja menurun, dimana pada Agustus 2012
tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 84,42% dan
51,39% yang berubah menjadi 83,58% dan 50,28% pada Agustus 2013. Sementara
itu, jika dibandingkan dengan laki-laki, tingkat partisipasi perempuan masih lebih
rendah.
Sejalan dengan meningkatnya tingkat pengangguran terbuka, tingkat
kemiskinan juga bertambah. Penduduk miskin pada September 2013 berjumlah 28,55
(11,47% dari jumlah penduduk) meningkat dibandingkan dengan jumlah penduduk
miskin pada Maret 2013 yaitu 28,07 juta orang (11,37% dari jumlah penduduk).
Lonjakan angka kemiskinan tersebut salah satunya disebabkan laju inflasi pasca
kenaikan harga BBM pada bulan Juni 2013 dan tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia yang mencapai 6,3% pada Agustus 2013, mengalami peningkatan
dibandingkan Februari 2013 yaitu sebesar 5,9%. Bertambahnya angka kemiskinan
tahun ini diperparah dengan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan
masyarakat atau Gini Ratio, yaitu 0,413 dari 0,410 pada tahun 2012. Hal ini
mencerminkan pemerataan ekonomi di Indonesia bermasalah. Ketidakmerataan
pendapatan masyarakat terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus lebih memfokuskan kepada pemerataan
pembangunan dan bukan hanya sekedar pertumbuhan ekonomi.

B. SITUASI MONETER DAN PASAR KEUANGAN

1. Nilai rupiah menurun
Tingginya tekanan inflasi di Indonesia seringkali dipicu oleh faktor non-
moneter seperti infrastruktur yang buruk, banjir, serta bencana alam. Serangkaian
kejadian ini mendorong naiknya harga pangan, akibatnya inflasi Januari 2014
melonjak dibandingkan inflasi Desember 2013 yang tercatat sebesar 8,08% (y-o-y).
Selain itu, naiknya harga komoditi yang diatur pemerintahseperti naiknya harga gas
LPG di awal tahunturut mendorong terjadinya lonjakan inflasi.
Pada bulan Februari 2014, tingkat inflasi mampu ditekan pemerintah, tercatat
sebesar 7,75% (y-o-y), menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai
8,22% (y-o-y). Terkendalinya inflasi di bulan Februari 2014 tidak lepas dari upaya
pemerintah menerapkan kebijakan kuota impor pangan dengan sistem buka tutup
yang masih diberlakukan hingga saat ini. Kuota impor pangan terus dijalankan hingga
harga-harga cukup stabil. Jika pasokan pangan telah mencukupi, kuota impor kembali
ditutup.
Meskipun dalam tekanan inflasi dan pelemahan rupiah, Bank Indonesia
memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat BI rate. Berdasarkan Rapat Dewan
Gubernur Bank Indonesia pada 13 Februari 2014, BI rate tetap dipertahankan pada
level 7,5%. Kebijakan ini melanjutkan komitmen Bank Indonesia untuk
mengendalikan inflasi dan memperbaiki neraca pembayaran Indonesia. Sebagai
catatan, BI rate terakhir kali berubah pada November 2013 dengan kenaikan sebesar
0,25 basis poin.
Perkembangan tingkat suku bunga secara umum pada Januari dan Februari di
tahun 2014 juga relatif tidak banyak berubah dibanding pada Desember 2013. Tingkat
suku bunga penjaminan LPS naik 0,25 basis poin menjadi 7,5% (denominasi rupiah)
dan 1,5% (denominasi mata uang asing) pada Januari 2014 dan tetap dipertahankan
pada Februari 2014. Kenaikan tersebut sebagai upaya LPS menjamin simpanan
nasabah perbankan di tengah kenaikan tingkat suku bunga secara umum di bulan
Desember 2013. Di sisi lain, suku bunga deposito berjangka tiga bulan bergerak terus
naik hingga melebihi tingkat suku bunga penjaminan serta BI rate. Pada bulan
Desember 2013, tingkat suku bunga deposito berjangka ada pada level 7,61%.
Sedangkan pada Januari 2014 meningkat menjadi 7,96%. Hal ini bisa menjadi
sinyalemen perbankan sedang menghadapi masalah likuiditas.

2. Pasar keuangan menunjukan optisme di akhir tahun
Di pasar finansial, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan
pergerakan positif, dan obligasi Surat Utang Negara bergerak fluktuatif di bulan
Januari dan Februari 2014. IHSG meningkat 3,38% ke level 4.418,757 (Desember
2013 Januari 2014) kemudian 4,56% ke level 4.620,216 (Januari Februari 2014).
Penguatan IHSG pada Januari dan Februari 2014 bisa menjadi sinyal investor asing
mulai masuk ke Indonesia. Di sisi lain, pergerakan imbal hasil (yield) obligasi SUN di
pasar fluktuatif di kisaran 8,6% (Desember 2013), 9,01% (Januari 2014), dan terakhir
8,4% (Februari 2014). Hal tersebut dikarenakan yield SUN mengikuti perkembangan
tingkat inflasi. Yield akan naik ketika inflasi meningkat, seperti yang terjadi pada
bulan Januari 2014, dan menurun pada Februari 2014. SUN dengan tenor menengah,
seperti tenor 10 tahun, menjadi favorit investor sebagai investasi aman sebagai
antisipasi terjadinya sentimen negatif di pasar finansial, selain cukup likuid di pasar
sekunder.

C. GAMA LEI DAN KONSENSUS PROYEKSI EKONOMI

1. GAMA Leading Economic Indicator
Leading Economic Indicator merupakan salah satu model early warning
system untuk memprediksi arah siklus ekonomi di masa depan. GAMA Leading
Economic Indicator (GAMA LEI) merupakan model peramalan yang dikembangkan
oleh Tim Macroeconomic Dashboard FEB UGM. Titik balik serta
kenaikan/penurunan garis pada model GAMA LEI diharapkan mampu memprediksi
siklus pergerakan perekonomian Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. GAMA
LEI dibentuk berdasarkan uji kuantitatif dan kualitatif untuk menghasilkan peramalan
terbaik.
GAMA LEI mampu meramalkan siklus perekonomian (PDB) Indonesia
dengan cukup akurat pada beberapa waktu sebelumnya. Peramalan model GAMA
LEI mampu memprediksi arah siklus perekonomian Indonesia selama ini dengan
baik. Pada saat ini GAMA LEI melihat adanya peningkatan kinerja pada beberapa
indikator kunci perekonomian Indonesia yang menyebabkan perkembangan positif
pergerakan siklus perekonomian (PDB). Dalam edisi ini, GAMA LEI memprediksi
siklus perekonomian Indonesia dalam menghadapi tahun politik 2014.
GAMA LEI pada edisi ke-5 ini memprediksi masih terdapat kecenderungan
penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia. Meskipun demikian, dilihat dari
pergerakan dan pola perekonomian baik year-on-year maupun quarter-to-quarter
keduanya mengindikasikan adanya kenaikan tipis pada pertumbuhan ekonomi di
2014:Q1. Jika pemerintah tidak menjaga pertumbuhan ekonomi yang telah tercatat
meningkat secara year- on-year di 2013:Q4, maka momentum perbaikan ekonomi
tersebut akan terlewatkan.

2. Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi
Hasil konsensus menunjukkan nilai ketiga indikator makro utama Indonesia
yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar bergerak membaik dari tahun
2014 ke 2015. Konsensus diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan oleh tim
Macroeconomic Dashboard dengan responden dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomika dan Bisnis UGM.
Secara umum, pada tahun 2014 pertumbuhan PDB riil tidak jauh berbeda
dengan tahun 2013. PDB riil (y-o-y) diprediksi tumbuh sebesar 5,85% 0,14% pada
kuartal I-2014 dan 5,86% 0,14% pada kuartal II- 2014. Adapun secara tahunan,
prediksi pertumbuhan PDB riil 2014 dan 2015 masing-masing sebesar 5,91% 0,14%
dan 6,3% 0,3% .

D. ASEAN: MERAIH POTENSI PEREKONOMIAN OPTIMUM DI TENGAH
INSTABILITAS GLOBAL DAN REGIONAL

Secara umum dengan berakhirnya tahun 2013, perekonomian kawasan negara-
negara anggota ASEAN (Association of South East Asian Nations) mencatatkan
pertumbuhan ekonomi yang relatif masih lambat dan belum memenuhi potensi
perekonomian yang dimiliki. Perekonomian kawasan yang masih belum optimal ini
terutama didorong oleh capaian perekonomian Indonesia dan Thailand, dua negara
yang memiliki andil perekonomian yang besar di kawasan yang tercatat masih lebih
rendah pada tahun 2013 dibandingkan dengan capaian yang diperoleh pada tahun
2012 lalu. Berdasarkan pertumbuhan year-on-year, pada tahun 2013 ini secara
berturut-turut Indonesia dan Thailand mencatatkan pertumbuhan perekonomian
sebesar 5,8% dan 2,9% lebih rendah daripada capaian perekonomian pada tahun 2012
yang secara berturut-turut tercatat 6,2% dan 6,4%. Situasi ini cukup meresahkan
mengingat sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi Asia, ASEAN hanya
mampu mencatatkan rerata pertumbuhan perekonomian sebesar 5% dalam satu
dekade terakhir yang masih sangat rendah dibandingkan potensi perekonomian yang
dimiliki di tengah tantangan perekonomian untuk memasuki komitmen bersama
terkait ASEAN Economic Community 2015 yang akan datang.
Pertumbuhan secara tipis yang terjadi di pasar saham ASEAN sebagaimana
yang telah diulas sebelumnya ternyata tidak berbanding lurus dengan situasi yang
tercatat pada pasar uang. Hal itu sebagaimana yang diwujudkan dalam pertumbuhan
negatif seluruh nilai tukar mata uang negara anggota di kawasan sepanjang tahun
2013. Penurunan tersebut paling besar dialami oleh Indonesia Rupiah dengan
depresiasi sebesar 26,92% dan Myanmar Kyat yang mengalami depresiasi sebesar
14,93% sebagai dua negara yang utama yang belum mampu mengendalikan
penurunan nilai tukar mata uang di bawah 10%, layaknya yang dialami oleh negara-
negara lainnya di kawasan selama tahun 2013.

E. ECONOMIC OUTLOOK

Stabilitas ekonomi makro Indonesia yang membaik di awal tahun 2014 masih
menghadapi potensi instabilitas yang tinggi seiring dengan kebijakan tapering off dari
bank sentral Amerika Serikat ataupun pelemahan pertumbuhan ekonomi di Jepang,
China ataupun India, juga dampak yang bisa timbul dari perkembangan masalah
Ukraina. Apalagi cadangan devisa yang meningkat banyak didukung oleh hasil
penerbitan Surat Berharga Negara global sebesar USD 4 miliar pada Januari 2014.
Demikian juga laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat tipis pada kuartal IV-2013
sehingga mencapai 5,72% masih akan menghadapi tantangan dan ancaman yang berat
karena neraca perdagangan barang yang sejak Oktober hingga Desember 2013 surplus
mulai defisit lagi yang disebabkan oleh karena kebijakan pelarangan ekspor minerba
mentah serta defisit neraca perdagangan migas yang meningkat, serta surplus neraca
perdagangan non-migas yang menurun lagi pada Januari 2014. Apalagi pertumbuhan
investasi juga mengalami tekanan pada kuartal-IV 2013 seiring dengan mendekatnya
Pemilu. Meskipun laju pertumbuhan sektor Industri Pengolahan mulai meningkat lagi.
Penyelenggaraan Pemilu sendiri juga akan mendorong peningkatkan belanja
konsumsi sehingga akan meningkatkan permintaan.
Berbagai perkembangan politik dan ekonomi terakhir diperkirakan
akan membuat instabilitas ekonomi Indonesia ke depan masih menghadapi
ancaman volatilitas yang tinggi meskipun demikian menurut GAMA LEI
pertumbuhan ekonomi akan meningkat tipis. Namun demikian proses dan hasil
Pemilu akan banyak memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia ke depan. Jika
Pemilu berjalan lancar, aman dan damai, serta hasil Pemilu legislatif
menghasilkan wakil rakyat yang diyakini akan mampu membawa perbaikkan
bagi Indonesia, maka kita bisa berharap bahwa instabilitas ekonomi makro akan
semakin membaik, demikian juga laju pertumbuhan ekonomi meningkat
dengan signifikan karena investasi akan tumbuh lagi. Oleh karena itu, kita
doakan saja agar Pemilu 2014 berjalan dengan lancar, aman, dan damai serta
menghasilkan wakil rakyat yang diyakini bisa membawa perbaikkan pada
Indonesia, sehingga ekonomi akan tumbuh dan berkembang, bangsa Indonesia
akan semakin maju, adil dan sejahtera.


General Business Environment
Monetary & Fiscal Policies
Industry & Sectoral Policies




INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK
M. Edhie Purnawan Drs., M.A., Ph.D




Kresna Nandhityo




REGULER 34 JKT
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

Anda mungkin juga menyukai