Anda di halaman 1dari 11

AUTISME

Oleh
Novita M2A005 055
Mahasiswa Fakultas Psikologi Undip

Autisme ditemukan oleh seorang psikiatris dari Harvard, Leo Kanner pada tahun
1943. Pada awalnya autisme dianggap sama dengan permulaan schizophrenia pada
anak karena keduanya menunjukkan penarikan diri dari lingkungan social dan
keterlibatan yang tidak sesuai. Akan tetapi pada penderita autis tidak terdapat
halusinasi maupun delusi, dan mereka tidak tumbuh menjadi schizophrenia ketika
dewasa.
Dalam DSM IV autisme dikategorikan sebagai pervasive developmental disorder,
sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada masalah psikologis berat terutama
saat kanak-kanak, melibatkan masalah pertumbuhan kognitif, social ,perilaku, dan
emosional anak yang berat sehingga dapat menyebabkan masalah pada proses
perkembangannya (Kendall, h. 510, 1998).
Jumlah pelaporan kasus autisme meningkat secara dramatis selama satu decade.
Menderita autisme bukan berarti tidak mampu untuk mengaktualisasikan diri,
ternyata banyak dari mereka menjadi sukses dalam hidupnya. Penderita autis banyak
yang menjadi pakar pada bidang sains, matematika, komputer, dan lain-lainnya.

I. DEFINISI
Autis berasal dari kata “autos” yang artinya segala sesuatu yang mengarah pada
diri sendiri. Dalam Kamus Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan sebagai (1) cara
berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, (2)
menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, menolak realitas, dan
(3) keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri (Chaplin, h. 46, 2005).
Dalam DSM IV autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas
perkembangan pada interaksi social dan komunikasi serta ditandai dengan terbatasnya
aktifitas dan ketertarikan. Munculnya gangguan ini sangat tergantung pada tahap
perkembangan dan usia kronologis individu. Autistic disorder kadang-kadang

1
dianggap early infantile autism, childhood autism, atau Kanner’s autism (American
Psychiatric Association, h. 70, 2000).
Perilaku autistic digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif
(berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku
eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit,
mencakar, memukul, dsb. Di sini juga sering terjadi anak menyakiti dirinya sendiri
(self-abused). Perilaku deficit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku social
kurang sesuai, deficit sensori sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi
yang tidak tepat, misalnya tertawa-tawa tanpa sebab, menangis tanpa seba, dan
melamun.
World Health Organization's International Classification of Diseases (ICD-10)
mendefinisikan autisme (dalam hal ini khusus childhood autism) sebagai adanya
keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga
tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interkasi social,
komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (World Health Organozation, h. 253,
1992). WHO juga mengklasifikasikan autisme sebagai gangguan perkembangan
sebagai hasil dari gangguan pada system syaraf pusat manusia.
Autisme dimulai pada awal masa kanak-kanak dan dapat diketahui pada minggu
pertama kehidupan. Dapat ditemukan pada semua kelas social ekonomi maupun pada
semua etnis dan ras. Penderita autisme sejak awal kehidupan tidak berhuungan
dengan orang lain dengan cara yang biasa. Sangat terbatas pada kemampuan bahasa
dan sangat terobsesi agar segala sesuatu tetap pada keadaan semula (sama).
Delapan puluh persen anak autis memiliki IQ dibawah 70 (Davison, h. 436-437,
1998) yang bisa digolongkan juga sebagai retardasi mental. Akan tetapi autisme
berbeda dengan retardasi mental. Penderita retardasi mental menunjukkan hasil yang
memprihatinkan pada semua bagian dari sebuah tes inteligensi. Berbeda dengan
penderita autis, mereka mungkin menunjukkan hasil yang buruk pada hal yang
berhubungan dengan bahasa tetapi mereka ada yang menunjukkan hasil yang baik
pada kemampuan visual-spatial, perkalian empat digit, atau memiliki long term
memory yang baik. Mereka mungkin memiliki bakat besar yang tersembunyi.

2
Prevalensi nya adalah 5 : 10.000 dengan perbandingan antara anak laki-laki dan
perempuan adalah 4 : 1. Jadi anak laki-laki memiliki kemungkinan mengidap autisme
lebih esar disbanding anak perempuan.

II. KARAKTERISTIK
Menurut kriteria diagnostic dalam DSM IV karakteristik penderita adalah
(American Psychiatric Association, h. 75, 2000) :
A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari
(1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik.
a. Tak mampu menjalin interaksi social yang cukup memadai : kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang
tertuju
b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya
c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
d. Kurangnya hubungan social dan emosional yang timbal balik
(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (dan tidak ada
usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)
b. Bila bisa bicara, bicara tidak dipakai untuk komunikasi
c. Sering menggunakan bahasa aneh yang diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif,kurang imajinatif, dan kurang isa meniru
(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat, dan
kegiatan.
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan
berlebih-lebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada
gunanya
c. Ada gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda

3
B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang:
a. Interaksi social
b. Bicara dan berbahasa
c. Cara bermain yang kurang variatif
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegrasi Masa Kanak

Penderita autisme secara umum mengalami tiga jenis kesulitan, yang sering disebut
the triad of impairments, yaitu (http://www.nas.org.uk/nas/jsp/polopoly.jsp?d=211) :
A. Interaksi social (kesulitan dalam menjalin hubungan social, contohnya menjauh
atau bersikap dingin dan tidak menghiraukan orang lain )
B. Komunikasi social (kesulitan dalam komunikasi baik verbal maupun non-verbal,
contohnya tidak mengerti arti dari isyarat yang umum, ekspresi wajah, dan nada
suara)
C. Imajinasi social (kesulitan dalam mengembangkan permainan interpersonal dan
imajinasi, seagai contoh mempunyai hanya sedikit aktifitas imajinatif, meniru,
dan hanya mengulang-ulang)
Selain ketiga kesulitan tersebut, pola perilaku yang diulang-ulang (obsesif-
kompulsif dan perilaku ritual, seperti jalan berjinjit-jinjit, diam seperti batu, dsb) dan
menolak adanya perubahan pada hal rutin juga merupakan karkteristik penderita.

Sensori-motorik
Indikasi adanya autisme juga termasuk oversensitifitas atau kelambatan reaksi
untuk menyentuh, gerakan, penglihatan, tidak merawat diri, body awareness yang
rendah, perilaku verbal dan fisik yang impulsive.

Autisme dan Retardasi Mental


Pada usia dua tahun, anak normal biasanya sudah mampu untuk menyusun
kalimat dari dua kata untuk menekspresikan pikirannya yang kompleks. Anak dengan
autisme 50 % dari mereka tidak pernah belajar sama sekali. Biasanya yang mereka
lakukan adalah echolalia dan pronoun reversal. Echolalia biasanya adalah

4
pengulangan yang luar biasa dan monoton terhadap apa orang lain katakana.
Misalnya mendengar siaran berita di televise, selang beberapa jam kemudian mereka
ada yang bisa menirukan. Pronoun reversal adalah menyebut diri mereka sendiri
dengan dia atau nama mereka sendiri (Davison, h. 440, 1998 ).

Kesendirian yang Ekstrim


Penderita autisme tidak pernah menarik diri dari masyarakat, mereka tidak pernah
ikut bergabung di dalamnya. Pada usia tiga ulan anak dengan perkembangan normal
sudah mempunyai perilaku kelekatan dengan ibunya, pada penderita autisme
kelekatan tidak muncul bahkan menolak afeksi dari orang tua. Mereka sama
sekalitidak memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang lain, sehingga tidak
memberi respon. Melihat kenyataan ini orang tua sering salah mengira bahwa anak
mereka tuli.

III. PENYEBAB
Menurut Bruno Bettelheim, dengan pendekatan Psikoanalisis dia berpendapat
bahwa ketika seorang anak berhadapan dengan sebuah dunia yang tidak responsive
yaitu yang merusak dan menyebabkan frustrasi, anak akan menarik diri darinya dan
dari orang lain (Kendall, h. 514, 1998). Tapi pendapat ini tidak banyak memberikan
bukti ilmiah yang dibutuhkan untuk mendukung teori tersebut.
Melalui pendekatan behaviorisme, Ferster mengemukakan pendapat bahwa
dikarenakan ketidakpedulian orang tua, khususnya ibu, menghentikan pembangunan
hubungan yang menjadi reinforcerment bagi manusia untuk bersosialisasi (Davison,
h. 444, 1998).
Akan tetapi autisme tampaknya tidak disebabkan oleh tigkah laku orang tua yang
dingin, tidak peduli, maupun perilaku patologis lainnya. Menurut sebuah penelitian
yang dilakukan oleh David Hansen dan Irving Gottesman dapat disimpulkan bahwa
tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa factor genetic tidak sepenuhnya
berperan dalam perkembangan autisme (Kendall, h. 514, 1998). Memang ditemukan
kelainan kromosom pada anak autis, namun kelainan itu tidak selalu pada kromosom
yang sama (Handojo, h. 14, 2003).

5
Diyakini bahwa gangguan tersebut terjadi pada fase pembentukan organ-organ
(organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0-4 bulan. Organ otak sendiri baru
terbentuk pada usia kehamilan setelah 15 minggu. Pada kehamilan trisemester
pertama yaitu 0-4 bulan factor pemicu autisme biasanya terdiri dari infeksi
toxoplasma, rubella, candida, logam berat (Pb, Al, Hg, Cd), zat aditif (MSG,
pengawet, pewarna), obat-obatan, jamu peluntur, muntah-muntah yang hebat
(hiperemesis), pendarahan berat, dll (Handojo, h. 15, 2003).
Pada proses kelahiran yang lama di mana terjadi ganggua nutrisi dan oksigenasi
pada janin ataupun pemakaian forsep juga dapat memicu terjadinya autisme. Sesudah
lahir atau post-partum, autisme juga dapat terjadi karena pengaruh infeksi pada bayi,
imunisasi MMR, dan hepatitis B, logam berat, zat pewarna, MSG, zat pengawet,
protein susu sapi (kasein), dan protein tepung terigu (gluten) (Handojo, h. 15, 2003).
Pada sebuah studi, subjek autisme menunjukkan pengurangan aktifitas otak, otak
penderita autisme sedikit lebih lebar dan berat daripada orang normal, dan syaraf-
syarafnya dideskripsikan sebagai tidak berkembang dengan matang (Kendall, h. 514,
1998).
Dari penelitian yang dilakukan para pakar dari banyak Negara ditemukan beerapa
fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus patietalis cerebellum dan system
limbiknya. 43 % penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis
otaknya yang menyebabkan anak tidak peduli dengan lingkungannya. Kelainan juga
ditemukan pada otak kecil yang berfungsi pada proses sensoris, daya ingat, berfikir,
belajar berbahasa, dan proses atensi yaitu pada lobus ke VI dan VII (Handojo, h. 14,
2003).
Sel purkinye juga sangat sedikit sehingga terjadi gangguan keseimbangan
serotonin dan dopamine yang mengakiatkan terjadinya gangguan penghantaran
impuls di otak. Selain itu ditemukan kelainan yang khas di dalam system limbic yang
disebut hipokampus dan amigdala yang mengakibatkan gangguan fungsi control
terhadap agresi dan emosi (Handojo, h. 14, 2003).
Hipokampus berpengaruh pada fungsi belajar dan daya ingat sehingga bila
hipokampus terganggu maka terjadi kesulitan menyimpan informasi baru. Perilaku

6
yang berulang-ulang, aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hipokampus
(Handojo, h. 14, 2003).

Penyebab autisme menurut hasil penelitian antara lain


(http://harry.sufehmi.com/archives/2006-10-17-1302/):
A. Vaksin yang mengandung Thimerosal : Thimerosal adalah zat pengawet
yang digunakan di berbagai vaksin. Karena banyaknya kritikan, kini sudah
banyak vaksin yang tidak lagi menggunakan Thimerosal di negara maju.
B. Televisi : Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi antara anak -
orang tua semakin berkurang karena berbagai hal. Sebagai kompensasinya,
seringkali TV digunakan sebagai penghibur anak. Ternyata ada kemungkinan
bahwa TV bisa menjadi penyebab autisme pada anak, terutama yang menjadi
jarang bersosialisasi karenanya. Dampak TV tidak dapat dipungkiri memang
sangat dahsyat, tidak hanya kepada perorangan, namun bahkan kepada
masyarakat dan/atau negara.
C. Genetik : Ini adalah dugaan awal dari penyebab autisme; autisme telah
lama diketahui bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Namun
tidak itu saja, juga ada kemungkinan variasi-variasi lainnya. Salah satu
contohnya adalah bagaimana anak-anak yang lahir dari ayah yang berusia lanjut
memiliki peluang lebih besar untuk menderita autisme. (walaupun sang ayah
normal / bukan autis)
D. Makanan : Pada tahun 1970-an, Dr. Feingold dan kolega-koleganya
menyaksikan peningkatan kasus ADHD dalam skala yang sangat besar. Sebagai
seseorang yang pernah hidup di era 20 / 30-an, dia masih ingat bagaimana
ADHD nyaris tidak ada sama sekali di zaman tersebut. Pada intinya, berbagai
zat kimia yang ada di makanan modern (pengawet, pewarna, dll) dicurigai
menjadi penyebab dari autisme pada beberapa kasus. Ketika zat-zat tersebut
dihilangkan dari makanan para penderita autisme, banyak yang kemudian
mengalami peningkatan situasi secara drastis

7
E. Radiasi pada janin bayi : Sebuah riset dalam skala besar di Swedia
menunjukkan bahwa bayi yang terkena gelombang Ultrasonic berlebihan akan
cenderung menjadi kidal. Dengan makin banyaknya radiasi di sekitar kita, ada
kemungkinan radiasi juga berperan menyebabkan autisme. Yang sudah jelas
mudah untuk dihindari adalah USG - hindari jika tidak perlu.
F. Folic Acid : Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil untuk mencegah
cacat fisik pada janin. Dan hasilnya memang cukup nyata, tingkat cacat pada
janin turun sampai sebesar 30%. Namun di lain pihak, tingkat autisme jadi
meningkat. Pada saat ini penelitian masih terus berlanjut mengenai ini.
Sementara ini, yang mungkin bisa dilakukan oleh para ibu hamil adalah tetap
mengkonsumsi folic acid - namun tidak dalam dosis yang sangat besar
(normalnya wanita hamil diberikan dosis folic acid 4x lipat dari dosis normal).

IV. TREATMENT
Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini autisme
masa kanak-kanak dapat dikoreksi. Tatalaksana koreksi harus dilakukan pada usia
sedini mungkin. Dengan beberapa metode yang pernah dicoba, 47 % penderita
autisme murni dapat menjadi normal. Berikut beberapa jenis terapi
(http://www.autisme.or.id/berita/article.php?article_id=68) :
1) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan
didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi
pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement
(hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya . Saat ini terapi inilah yang
paling banyak dipakai di Indonesia.
2) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan
berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic
yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang
bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya

8
untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan
berbahasa akan sangat menolong.
3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar.
4) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu
autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-
kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan
tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak
menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam
keterampilan berkomunikasi dua arah, membuat teman dan main bersama ditempat
bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka
untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.
6) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara,
komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam
hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7) Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak
memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka
banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila
mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar
belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan

9
merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki
perilakunya.
8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap
sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan
tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan
intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA
yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
9) Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual
thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar
komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS ( Picture
Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk
mengembangkan ketrampilan komunikasi.
10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam
DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik.
Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini
diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan
fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan,
darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan,
sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami
kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari
dalam tubuh sendiri (biomedis).

10
Daftar Pustaka

American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder. Washington DC : APA
Davison, Gerald C. 1998. Abnormal Psychology. New York : John Wiley and
Sons. Inc
Handojo, Y. 2003. Autisma : Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk
Mengajar Anak Normal, Autis, dan Perilaku Lain. Jakarta : Bhuana Ilmu
Populer
Kendall, Philip C. 1998. Abnormal Psychology : Understanding Human
Problems. Boston : Houghton Mifflin Company
World Health Organization. 1992. The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorder. Genewa : WHO

http://www.autisme.or.id/berita/article.php?article_id=68
http://harry.sufehmi.com/archives/2006-10-17-1302/
http://www.nas.org.uk/nas/jsp/polopoly.jsp?d=211

11

Anda mungkin juga menyukai