Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
C,
nilai pH awal 4, konsentrasi etanol 5% (v/v), inokulum 10% (v/v), dengan
kecepatan pengadukan terbaik 400 rpm dengan hasil asam asetat 4.24%. Ebner
(1983) dan Standardisasi Nasional (1990) menjelaskan cuka yang baik minimal
harus mengandung 4% asam asetat.
Produksi asam asetat dapat ditingkatkan dengan cara pemberian aerasi dan
agitasi serta pengaturan suhu fermentasi pada suhu optimum pertumbuhan bakteri
asam asetat. Produksi asam sangat bergantung pada tingkat kesuburan
pertumbuhan sel bakteri dan tingkat kesuburan tersebut menurun seiring dengan
peningkatan kadar etanol substrat (Soedarini et al. 1998).
Pudjiraharti et al. (1998) menyimpulkan bahwa pembuatan asam cuka dari
sari buah jambu mete telah dilakukan dalam fermentor Biostat B skala 2 liter.
Fermentasi berlangsung pada suhu 35
C.
pH
Kondisi medium seperti pH mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroorganisme. Tingkat pH
medium juga mempengaruhi produk yang dibentuk, selain mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh kebenyakan bakteri pada kondisi
anaerob cenderung membentuk produk yang bersifat netral selama pertumbuhan
pada pH rendah, sementara pada pH alkalis berubah membuat produk bersifat
asam. Hal ini mengakibatkan pengontrolan pH selama bioreaktor merupakan hal
yang sangat penting.
Aerasi dan Agitasi
Pada fermentasi alkohol hasil fermentasi limbah cair pulp kakao oleh
A. aceti B
127
secara kultur batch dengan kondisi suhu 30
C nilai pH awal 4,
konsentrasi etanol 5.0% v/v, inokulum 10% v/v, diperoleh kecepatan pengadukan
terbaik adalah 400 rpm dengan hasil asam asetat 4.24% dengan efisien 71.20%.
Berdasarkan kinetika produksi asam asetat dari etanol hasil fermentasi limbah cair
pulp kakao oleh A. aceti B
127
dengan kecepatan aerasi 1.0 vvm sebesar 4.24%
lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan aerasi 0.5 vvm dan 1.5 vvm
(Effendi 2002).
Roukas (1996) menyimpulkan bahwa, kultur fed-batch membuktikan
proses fermentasi untuk produksi etanol lebih baik dibanding kultur batch. Kultur
fed-batch dengan atau tanpa immobilisasi sel S. cerevisiae menghasilkan
konsentrasi etanol maksimum 53 g/l dengan konsentrasi gula awal 250 g/l dengan
feeding rate 250 ml/jam. Pada repeated fed-batch kultur, secara keseluruhan sel
imobilisasi S. cerevisiae memberikan konsentrasi etanol tertinggi.
Kinetika Proses Fermentasi
Pertumbuhan sel dan pembentukan produk oleh mikroorganisme
merupakan proses biokonversi dengan nutrien kimiawi yang diumpankan pada
fermentasi dikonversi menjadi metabolit. Setiap tahap konversi tersebut dapat
dikuantitatifkan oleh suatu koefisien hasil yang dinyatakan sebagai massa sel atau
produk yang terbentuk persatuaan massa sel atau produk yang terbentuk per-unit
massa nutrien yang dikonsumsi yaitu Y x/s untuk sel dan Y p/s untuk produk.
Hubungan kinetika di antara pertumbuhan dan pembentukan produk
tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Dua buah kinetik yang
umum digunakan adalah kinetika yang menggambarkan sintesis produk selama
pertumbuhan, dan kinetika yang menggambarkan sintesis produk selama
pertumbuhan terhenti (Said 1987).
Menurut Darwis dan Sunarti (1991) produk-produk yang dihasilkan pada
pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk biasanya merupakan
produk-produk langsung dari suatu jalur katabolit seperti pada fermentasi anaerob
glukosa menjadi etanol, atau produk-produk tersebut dihasilkan sebagai
metabolit-metabolit primer dan hubungannya dengan pertumbuhan dinyatakan
dalam persamaan berikut :
Laju pertumbuhan spesifik
Peningkatan jumlah biomassa (dx) (b/v) selama interval waktu yang sangat
kecil sebanding dengan jumlah biomassa yang ada dan interval waktu :
dt dx = (1)
dengan adalah laju pertumbuhan spesifik (jam
-1
).
Xt = X
0
e
t
(2)
Growth Yield etanol / asam asetat
Growth yield (Y x/s) didefinisikan sebagai peningkatan jumlah biomassa (x)
sebagai akibat penggunaan substrat (s).
ds
dx
s
x
Y = (3)
Growth Yield diasumsikan konstan dan dapat berubah jika terlampaui fase
pertumbuhan yang berasosiasi dengan fermentasi.
) (
) (
0
0
s s
x x
s
x
Y
= (4)
Dengan s dan s
0
masing-masing adalah substrat akhir dan substrat awal.
Product yield (Y p/s) dapat dihitung dari persamaan berikut ini :
... (5)
dengan p dan p
0
masing-masing adalah konsentrasi produk akhir dan
konsentrasi produk awal.
) (
) (
0
0
s s
p p
Y
s
p
=
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan November
2008 di Laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi-Bogor dan
Laboratorium Bioindustri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan sebagai substrat utama dalam pembuatan
etanol dan asam asetat dari pulp kakao jenis lindak dari perkebunan rakyat Bone,
Makassar, sukrosa, gula, enzim selulase Penicillium nalgiovense SS240, PDA
(agar-agar kentang-dekstrosa) miring, PDB (kentang-dektrosa cair),
Saccharomyces cerevisiae koleksi IPB dan Balitnak, Acetobacter aceti BTCC-
618 koleksi LIPI Cibinong, dinitrosalicylic acid (DNS), glukosa, etanol absolute,
K
2
Cr
2
O
7
, Na asetat, asam sulfat, Na
2
CO
3
, NaCl, aquades, medium Mandels.
Peralatan yang digunakan adalah erlenmeyer volume 250 ml, tabung reaksi,
gelas ukur, autopipet 1000-5000 l, inkubator bergoyang, vorteks,
spektrofotometer, cawan conway, autoclave, pengaduk magnetik, bioreaktor
berkapasitas 2 liter (Gambar 3).
Gambar 3. Penampang bioreaktor berkapasitas 2 liter.
Metode Penelitian
Pembuatan Media Agar Miring (Agar-Agar Kentang-Dekstrosa)
Bahan-bahan pembuatan media agar miring meliputi : aquades 150 ml,
yeast extract 0.6 gr, potato dextrose agar 6 gr. Bahan-bahan tersebut dicampur dan
dilarutkan dalam aquades dan dimasak selanjutnya dituang dalam tabung reaksi
sebanyak 3 ml, kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121
C selama
15 menit.
Pembuatan Media Cair untuk Aktivasi (Kentang-Dektrosa Cair)
Bahan-bahan pembuatan media cair untuk aktifasi meliputi : kentang
200gr, aquades 500 ml, sukrosa 10gr. Bahan-bahan tersebut dimasak dalam
aquades kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer (volume 500 ml) sebanyak
100 ml selanjutnya disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121
C selama
15 menit.
Persiapan Inokulum
S. cerevisiae koleksi IPB dan Balitnak serta A. aceti dibiakkan pada PDA
(agar-agar kentang-dekstrosa) miring selama 2 hari pada suhu ruang dalam tabung
reaksi disuspensikan dengan NaCl sebanyak 5 ml selanjutnya dipindahkan
sebanyak 2.5 ml dalam 50 ml PDB (kentang-dektrosa cair). PDB diinkubasi
dalam inkubator bergoyang 150 rpm pada 30
C
selama 120 jam.
Penentuan Aerasi dan Kadar Gula Total pada Medium Mandels
Penentuan Aerasi Kultur Fed-Batch dan Batch
Mengkaji fermentasi alkohol pada medium Mandels dengan kadar gula
total 6% (b/v) dan pengaturan aerasi fed-batch (anaerob ; anaerob dan aerob ;
anaerob), batch (anaerob) . Substrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer (volume
250 ml) sebanyak 200 ml, 10% (v/v) inokulum S. cerevisiae koleksi Balitnak.
Pada jam ke-48 ke dalam kultur ditambahkan (fed) media baru dan diinkubasikan
selama 120 jam.
Peningkatan Optimasi Kadar Gula pada Substrat
Pada kondisi terbaik percobaan pengaturan aerasi penelitian dilanjutan
dengan meningkatkan kadar gula total 6, 12 dan18 % (b/v) dengan kondisi kultur
fed-batch secara anaerob ; anaerob. Substrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer
(volume 250 ml) sebanyak 200 ml. Pada jam ke-48 ke dalam kultur ditambahkan
(fed) media baru dan diinkubasikan selama 120 jam.
Penelitan Utama
Fermentasi Alkohol dan Fermentasi Asam Asetat
Kultur Batch
Perlakuan terbaik dari penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan
penelitian utama dimana sebanyak 1000 ml substrat (pulp kakao diencerkan 3x
dengan medium Mandels) (Lampiran 1) ditambahkan sukrosa hingga total
padatan terlarut 18% Brix). Inokulasi S. cerevisiae ke dalam substrat sebanyak
10% (v/v) (Lampiran 2) selanjutnya diinkubasi selama 48 jam.
Pada fermentasi alkohol beberapa perlakuan yang dilakukan pada kultur
batch ini meliputi :
o Kultur batch tanpa penambahan enzim selulase
o Kultur batch dengan penambahan enzim selulase 13.8 U/l medium
fermentasi pada jam ke-0
Etanol yang dihasilkan dari fermentasi alkohol pada jam ke-48 dilanjutkan
dengan fermentasi asam asetat dimana ke dalam bioreaktor ditambahkan
inokulum A. aceti sebanyak 10% (v/v) (Lampiran 2) diinkubasi selama 96 jam
dengan kecepatan agitasi 300 rpm dan aerasi 1.0 vvm.
Kultur Fed-Batch
Sebanyak 1000 ml substrat (pulp kakao diencerkan 3x dengan medium
Mandels) (Lampiran 1) ditambahkan sukrosa hingga kadar gula total substrat 18%
Brix). Inokulasi S. cerevisiae ke dalam substrat sebanyak 10% (v/v) (Lampiran 2)
selanjutnya diinkubasi selama 96 jam. Pada jam ke-48 dilakukan pemanenan
sebanyak 500 ml selanjutnya ke dalam kultur tersebut ditambahkan kembali
substrat sebanyak 500 ml sehingga total substrat menjadi 1000 ml.
Pada fermentasi alkohol beberapa perlakuan yang dilakukan pada kultur
fed-batch ini meliputi :
o Kultur fed-batch tanpa penambahan enzim selulase
o Kultur fed-batch dengan penambahan enzim selulase 13.8 U/l medium
fermentasi pada jam ke-48
Etanol yang dihasilkan dari fermentasi alkohol pada jam ke-96 dilanjutkan
dengan fermentasi asam asetat dimana ke dalam bioreaktor ditambahkan
inokulum A. aceti sebanyak 10% (v/v) (Lampiran 2) diinkubasi selama 96 jam
dengan kecepatan agitasi 300 rpm dan aerasi 1.0 vvm. Bagan alir produksi asam
asetat dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian produksi asam asetat dari pulp kakao.
Fermentasi alkohol pada medium pulp kakao secara batch
dengan penambahan sukrosa 3.3% (b/v) dan inokulum 10%
(v/v) S. cerevisiae koleksi IPB dan Balitnak
Fermentasi alkohol pada medium Mandels
(gula 6% (b/v)) secara kultur fed-batch (anaerob ; anaerob
dan aerob ; anaerob) dan peningkatan optimasi kadar gula
pada substrat 6, 12, dan 18% (b/v)
Fermentasi alkohol pada media pulp kakao secara kultur
batch dan fed-batch (anaerob) diencerkan 3x dengan
medium Mandels, total padatan terlarut substrat 18% Brix
Fed-batch Batch
Penambahan
enzim selulase jam
ke-0
Tanpa penambahan
enzim selulase jam
ke-0
Fed & Penambahan
enzim selulase jam
ke-48
Fed & Tanpa
penambahan enzim
selulase jam ke-48
Etanol jam ke-96 Etanol jam ke-96 Etanol jam ke-48 Etanol jam ke-48
Asam Asetat Asam Asetat
Penambahan 10% (v/v) inokulum
A. aceti, kecepatan agitasi 300
rpm, kecepatan aerasi 1.0 vvm
Penambahan 10% (v/v) inokulum
A. aceti, kecepatan agitasi 300
rpm, kecepatan aerasi 1.0 vvm
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati meliputi :
1. Analisis kadar gula reduksi pada fermentasi alkohol (Lampiran 3).
2. Total padatan terlarut.
3. Analisis kadar alkohol pada fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat
(Lampiran 3).
4. Dry weight pada fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat
(Lampiran 3).
5. pH substrat pada fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat.
6. Kadar asam asetat pada fermentasi asam asetat (Lampiran 3).
7. Kenetika Fermentasi
maks
(jam
-1
), Y x/s, dan Y p/s.
Rancangan Percobaan
Urutan pengerjaan penelitian pada proses fermentasi alkohol yang
kemudian dilanjutkan dengan fermentasi asam asetat dilakukan mengikuti
Rancangan Percobaan Acak Lengkap Faktorial (Sudjana 1994). Faktor yang
diamati pengaruhnya adalah kultur batch dan fed-batch (S
1
, S
2
) serta faktor
penambahan enzim selulase 0, 13.8 U/l medium fermentasi (E
1
,
E
2,
). Replikasi
ditetapkan sebanyak 2 kali. Model matematis dari rancangan yang digunakan
adalah sebagai berikut :
Y
ijk
= + S
i
+ E
j
+ (SE)
ij
+
ijk
... ( 6 )
Keterangan :
Y
ijk
= nilai variabel respon unit percobaan yang dikenai taraf ke-i faktor kultur
dan taraf ke-j faktor penambahan enzim selulase dengan ulangan ke-k
= rata-rata umum
S
i
= pengaruh kultur substrat ke-i (i = 1, 2, 3)
E
j
= pengaruh penambahan enzim selulase ke-j (j = 1, 2, 3, 4)
(SE)
ij
= pengaruh kultur ke-i dengan penambahan enzim selulase ke-j
ijk
= error pada unit percobaan yang dikenai faktor S taraf ke-i, faktor E taraf
ke-j dengan ulangan ke-k.
Hipotesa dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. H
1
; (S
1
) 0 (i = 1, 2, 3), dimana H
0
berarti tidak ada pengaruh faktor kultur
yang digunakan terhadap respon yang diamati. H
1
berarti ada pengaruh faktor
kultur yang digunakan terhadap respon yang diamati.
2. H
2
; (E
1
) 0 (j = 1, 2, 3, 4), dimana H
0
berarti tidak ada pengaruh faktor
penambahan enzim selulase terhadap respon yang diamati. H
1
berarti ada
pengaruh faktor penambahan enzim selulase terhadap respon yang diamati.
3. H
3
; (SE)
ij
0, dimana H
0
berarti tidak ada pengaruh interaksi antara taraf
ke-i faktor kultur yang digunakan dan taraf ke-j faktor penambahan enzim
selulase terhadap respon yang diamati. H
1
berarti ada pengaruh interaksi
antara taraf ke-i faktor kultur yang digunakan dan taraf ke-j faktor
penambahan enzim selulase terhadap respon yang diamati.
H
1
dan H
2
menyatakan bahwa faktor S dan faktor E berpengaruh dalam
eksperimen. H
3
menyatakan bahwa terdapat pengaruh interaksi faktor S dan faktor
E terhadap respon yang diamati. Jika nilai F
hitung
> F
dengan
merupakan taraf
signifikasi, maka hipotesa akan diterima. Uji jarak berganda Duncan (Duncan
Multiple Range Test) dilakukan bila terdapat perbedaan yang signifikan dari
faktor perlakuan yang dicobakan atau hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan
berpengaruh nyata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Galur S. cerevisiae untuk Produksi Etanol
Khamir yang sering digunakan pada proses fermentasi alkohol adalah
S. cerevisiae sedangkan beberapa bakteri juga mampu membentuk etanol sebagai
produk utamanya seperti Clostridium dan Zymomonas (Purawisastra et al. 1994).
Pada penelitian ini menggunakan galur S. cerevisiae dari koleksi IPB dan Balitnak
dalam proses fermentasi alkohol.
Sebelum dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan bioreaktor,
maka terlabih dahulu perlu dilakuan penentuan galur S. cerevisiae dengan
penambahan sukrosa pada medium fermentasi untuk meningkatkan kadar etanol
pada skala erlenmeyer. Galur S. cerevisiae koleksi balitnak dengan penambahan
sukrosa 3.30% (b/v) menunjukkan produksi etanol tertinggi pada setiap hari
pengamatan dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 5).
0
1
2
3
4
5
6
0 2 3 4 5
Waktu Fermentasi (Hari)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
(-) sukrosa & Biakan IPB (-) sukrosa & Biakan Balitnak
(+) sukrosa & Biakan IPB (+) sukrosa & Biakan Balitnak
Gambar 5. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium pulp
kakao dengan dan tanpa penambahan sukrosa serta galur S. cerevisiae.
0
1
2
3
0 2 3 4 5
Waktu Fermentasi (Hari)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
(-) sukrosa & Biakan IPB (-) sukrosa & Biakan Balitnak
(+) sukrosa & Biakan IPB (+) sukrosa & Biakan Balitnak
Gambar 6. Penurunan gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium pulp
kakao dengan dan tanpa penambahan sukrosa serta galur S. cerevisiae.
Galur S. cerevisiae koleksi balitnak dapat memanfaatkan substrat pada
medium pulp kakao dengan baik ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar
gula reduksi pada medium pulp kakao (Gambar 6). Galur S. cerevisiae koleksi
balitnak (Gambar 6) memperlihatkan konsumsi substrat dalam hal ini gula reduksi
pada hari ke-3 sangat cepat dibandingkan dengan galur S. cerevisiae koleksi
koleksi IPB.
Penentuan Aerasi Kultur Batch dan Fed-Batch
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, maka penelitian fermentasi
alkohol dilanjutkan dengan menggunakan biakan S. cerevisiae koleksi Balitnak
serta penambahan konsentrasi gula ditingkatkan, sehingga diharapkan kadar
etanol yang dihasilkan juga dapat diperoleh hasil yang optimum dimana menurut
Barlina dan Lay (1994), kadar gula dalam substrat fermentasi etanol 10-12%
menghasilkan etanol sebesar 5-6%.
Pada penelitian ini dilakukan fermentasi alkohol dengan meningkatkan
gula total dari penelitian sebelumnya sebesar 6% (b/v) dengan pengaturan aerasi
kultur batch (anaerob) dan fed-batch (aerob ; anaerob dan anaerob ; anaerob).
S. cerevisiae merupakan khamir anaerob fakultatif, sehingga pada penelitian ini
bertujuan menentukan kondisi aerasi pada kultur batch dan fed-batch yang terbaik
dalam produksi etanol. Gambar 7 menjelaskan bahwa etanol yang diproduksi hari
ke-5 pada kultur fed-batch dengan aerasi secara anaerob menghasilkan kadar
etanol tertinggi (5%) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Etanol yang
dihasilkan pada perlakuan kultur fed-batch dengan aerasi secara aerob-anaerob
hari ke-2 sebesar 5% lebih tinggi dari kedua perlukuan lainnya, dimana kondisi
aerob menyebabkan sel S. cerevisiae lebih cepat dalam pembelahan sel, namun
etanol yang dihasilkan hari ke-5 terlihat menurun dibandingkan secara anaerob.
Kondisi aerob atau konsentrasi glukosa tinggi sel S. cerevisiae dapat tumbuh
dengan baik, namun etanol yang dihasilkan rendah dibandingkan secara anaerob.
Pada kondisi anaerob, pertumbuhan sel lambat dan piruvat dari jalur katabolik
dipecah oleh enzim piruvat dikarbosilase menjadi asetaldehid dan karbon dioksida
(Hartoto 1991).
0
1
2
3
4
5
6
0 2 3 4 5
Waktu Fermentasi (Hari)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
Fed-batch (Anaerob-Anaerob) Fed-batch (Aerob-Anaerob) Batch (Anaerob)
Gambar 7. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium Mandels
dengan pengaturan aerasi dan kultur batch, fed-batch.
Perlakuan batch secara anaerob dari hari ke-2 hingga ke-5 tidak terjadi
perubahan dalam produksi etanol. Berbeda halnya dengan perlakuan fed-batch,
kultur batch tidak dilakukan penambahan substrat yang dapat diubah menjadi
etanol. Gambar 8 menjelaskan gula reduksi pada kultur batch terus menurun
selama inkubasi sesuai pendapat Roukas 1996, menyatakan bahwa kultur fed-
batch dibandingkan dengan kultur batch konvensional memiliki beberapa
keuntungan yaitu rendahnya konsentrasi gula tereduksi, tingginya konsentrasi
oksigen terlarut di dalam media dan penurunan waktu fermentasi sehingga dapat
meningkatkan produktivitas.
Fed
0
0.0008
0.0016
0.0024
0.0032
0.004
0 2 3 4 5
Waktu Fermentasi (Hari)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
&
b
/
v
)
Fed-batch (Anaerob-Anaerob) Fed-batch (Aerob-Anaerob) Batch (Anaerob)
Gambar 8. Penurunan kadar gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium
Mandels dengan pengaturan aerasi dan kultur batch dan fed-batch.
Jika dilihat dari kadar etanol yang dihasilkan, maka perlakuan fed-batch
anaerob menghasilkan etanol tertinggi (5%) bila dibandingkan dengan perlakuan
lain (4%). Perlakuan anaerob dengan adanya penambahan substrat mempengaruhi
pembelahan sel untuk pemanfaatan substrat yang tersedia dalam meningkatkan
produksi etanol (Gambar 7). Berbeda halnya dengan fermentasi sistem batch,
selama inkubasi tidak dilakukan lagi penambahan substrat ke dalam fermentor,
kecuali pemberian oksigen, antibuih dan asam atau basa untuk pengaturan pH.
Karena itu pada sistem tertutup ini, dengan semakin lamanya waktu fermentasi,
laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme semakin menurun sampai akhirnya
pertumbuhan berhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan disebabkan
karena semakin bertambahnya waktu fermentasi, sumber nutrisi dalam medium
semakin berkurang yang menurunkan laju pertumbuhan (Rahman 1992).
Peningkatan Optimasi Kadar Gula pada Substrat
Peningkatan optimasi kadar gula substrat dilakukan dengan mencari
konsentrasi optimal dimana galur S. cerevisiae dapat melakukan metabolisme
serta menghasilkan kadar etanol yang maksimal. Kadar gula total yang dicobakan
pada penelitian ini adalah 6, 12, 18% (b/v). Menurut Higins et al. (1984)
konsentrasi gula yang terbaik untuk fermentasi etanol adalah 16 25% yang akan
menghasilkan etanol sebesar 6 12%. Menurut Judoamidjojo (1990), jika
konsentrasi gula terlalu tinggi, maka akan berakibat buruk bagi khamir yang
Fed
digunakan, sehingga waktu fermentasi akan lebih lama, serta sebagian gula tidak
dapat dikonversi. Akibat apabila konsentrasi gula terlalu tinggi adalah dapat
menyababkan dehidrasi sel dalam larutan yang pekat.
0
2
4
6
8
10
12
0 2 3 4 5 6
Waktu Fermentasi (Hari)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
Fed-batch anaerob 6% Fed-batch anaerob 12% Fed-batch anaerob 18%
Gambar 9. Pembentukan etanol selama fermentasi alkohol pada medium Mandels
dengan kadar gula total 6, 12, dan 18% pada kultur fed-batch
(anaerob).
Gambar 9 memperlihatkan perbedaan etanol yang dihasilkan pada ketiga
perlakuan tersebut. Terlihat bahwa kadar gula total sebesar 18% menghasilkan
etanol sebesar 10.35% sedangkan total gula 6 dan 12% etanol yang dihasilkan
masing-masing sebesar 2.05 dan 6.02%. Pada perlakuan gula total 18% hari ke-4
terlihat bahwa etanol yang dihasilkan terus meningkat hingga hari ke-6.
Gula reduksi pada perlakuan gula total 18% pada hari ke-4 (Tabel 3)
terlihat substrat yang tersedia semakin menurun namun produksi etanol hari ke-4
masih berjalan. Diduga sel S. cerevisiae tidak memanfaatkan substrat untuk
melakukan proses pembelahan dan peningkatan jumlah sel melainkan digunakan
untuk pembentukan produk akhir dalam hal ini etanol. Penurunan jumlah gula
reduksi yang digunakan pada medium menunjukkan bahwa pada kondisi
yang tidak terdapat suplai oksigen (anaerob), khamir akan melakukan proses
fermentasi yang akan merubah gula reduksi menjadi etanol dan CO
2
(Judoamidjojo et al. 1989).
Fed
Tabel 3. Penurunan kadar gula reduksi selama fermentasi alkohol pada medium
Mandels pada tiga kadar gula total dengan kultur fed-batch (anaerob)
Waktu
Fermentasi
(Hari)
Fed-batch anaerob
6%
Fed-batch anaerob
12%
Fed-batch anaerob
18%
% (b/v)
2 0.0052 0.0615 0.1265
4 0.0023 0.0020 0.0418
Penetapan kadar gula total ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi
total gula yang optimum untuk menghasilkan kadar etanol. Berdasarkan
Gambar 8, yang menunjukan bahwa kadar gula total 18% menghasilkan etanol
tertinggi, dengan demikian penelitian selanjutnya menggunakan bioreaktor, akan
dilakukan dengan peningkatan konsentrasi substrat sebesar 18%.
Penelitian Utama
Fermentasi Alkohol
Kultur Batch
Fermentasi alkohol menggunakan kultur batch, dilakuan dengan perlakuan
penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) pada jam ke-0.
Hasil dari proses fermentasi yang dilakukan pada sistem batch ini dapat dilihat
pada Gambar 10 dan 11, sedangkan untuk data awal pada perlakuan ini dapat
dilihat pada Lampiran 4.
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
20
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
Gambar 10. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan
biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium
pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan
sistem batch.
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
20
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
Gambar 11. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan
biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium
pulp kakao dengan penambahan enzim selulase serta menggunakan
sistem batch.
Pada Gambar 10 dan 11 terlihat bahwa pola pertumbuhan dari
S. cerevisiae yang digunakan berbeda. Pada Gambar 10 dapat dijelaskan bahwa
fase stasioner terjadi pada jam ke-12 sedangkan pada Gambar 11 fase stasioner
terjadi pada jam ke-24. Adanya penambahan enzim selulase menyebabkan
perbedaan pertumbuhan sel S. cerevisiae, dimana enzim selulase berperan dalam
pemanfaatan biokonversi selulosa untuk membentuk monosakaridanya yaitu
glukosa, oleh karena itu terdapat perbedaan konsentrasi gula reduksi dalam
medium yang mempengaruhi pertumbuhan sel (dry weight) dan pembentukan
etanol. Sejalan dengan pendapat Irawadi (1999) yang menjelaskan bahwa, gula
reduksi hasil degradasi enzim selulase dapat digunakan oleh S. cerevisiae untuk
pertumbuhan sehingga pada jam ke-24 sel berada pada fase eksponensial. Pada
fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat
tumbuhnya seperti kandungan nutrient dalam hal ini gula reduksi (Gambar 12
dan 13 ).
Perlakuan batch tanpa penambahan enzim selulase (Gambar 10) pada jam
ke-12 sel memasuki fase stasioner dimana pada fase ini jumlah populasi sel tetap
karena jumlah sel tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Aktivitas
metabolisme dari sel mulai menurun, sedangkan produksi metabolit masih
berjalan walaupun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan
berjalan walaupun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan
dengan fase sebelumnya. Hal ini dikarenakan habisnya nutrient yang dibutuhkan,
fase stasioner ini kemudian akan diikuti dengan fase kematian.
Hasil yang diperoleh berdasarkan uji lanjut Duncan 5% (Tabel 4)
menunjukkan bahwa perlakuan dengan dan tanpa penambahan enzim selulase
pada kultur batch tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar
etanol (% b/v) yang dihasilkan pada jam ke-48. Kadar etanol yang dihasilkan
tidak berbeda disebabkan oleh selang pada kadar gula reduksi tidak terlalu besar
pada kedua perlakuan sehingga etanol yang dihasilkan juga hampir sama.
Medium fermentasi pulp kakao dengan total gula 18% brix yang di
inkubasi selama 48 jam pada Gambar 10 menghasilkan etanol sebesar 8.16% (b/v)
sedangkan Gambar 11 sebesar 8.32% (b/v). Hasil yang diperoleh pada penelitian
ini lebih efisien dalam penggunaan gula sebagai substrat dimana pada penelitian
lainnya yang menggunakan substrat pulp kakao dan S. cerevisiae, kadar etanol
yang dihasilkan sebesar 8% (b/v) dengan total gula sebesar 20% brix lama
fermentasi 48 jam (Asep 2008).
Etanol merupakan produk utama pada fermentasi anaerob, tetapi etanol ini
merupakan racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi untuk itu
konsentrasi substrat awal harus diperhatikan agar dapat di metabolisme oleh
khamir dengan baik. Fungsi utama khamir adalah mengubah gula dalam substrat
menjadi etanol dan karbondioksida. S. cerevisiae yang digunakan pada penelitian
ini menghasilkan enzim invertase yang berfungsi sebagai pemecah sukrosa
menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa) serta enzim zimase yang mengubah
monosakarida tersebut menjadi etanol pada proses fermentasi. Purawisastra et al.
(1994) menyimpulkan bahwa medium gula pasir dengan biakan
Zymomonas mobilis dan penambahan enzim invertase dapat meningkatkan
konsentrasi etanol yang dihasilkan.
Pengukuran kadar gula reduksi perlu dilakukan untuk membandingkan
perubahan total padatan terlarut selama proses fermentasi sehingga dapat
diketahui konversi substrat menjadi produk akhir fermentasi serta pengaruh yang
ditimbulkan dari penambahan enzim selulase terhadap kadar gula reduksi.
Perbandingan gula reduksi dan total padatan terlarut pada perlakuan batch tanpa
Perbandingan gula reduksi dan total padatan terlarut pada perlakuan batch tanpa
enzim selulase dan perlakuan batch dengan penambahan enzim selulase dapat
dilihat pada Gambar 12 dan 13.
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48
Waktu Fermentasi (jam ke-)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
0
4
8
12
16
20
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
Gula Reduksi (% b/v) TPT (%Brix)
Gambar 12. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan
terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa
penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem batch.
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48
Waktu Fermentasi (jam ke-)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
0
4
8
12
16
20
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
Gula Reduksi (% b/v) TPT (%Brix)
Gambar 13. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan
terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan
penambahan enzim selulase dan menggunakan sistem batch.
Gambar 12 dan 13 menjelaskan bahwa kadar gula reduksi pada jam ke-36
telah habis seiring dengan pertumbuhan sel S. cerevisiae (dry weight) yang sudah
menurun namun sel tidak memanfaatkan substrat untuk melakukan proses
pertumbuhan serta peningkatan jumlah sel melainkan digunakan untuk
pembentukan produk akhir. Penurunan jumlah gula reduksi sejalan dengan
penurunan total padatan terlarut pada kedua perlakuan, dimana penurunan jumlah
substrat yang digunakan pada media menunjukkan bahwa pada kondisi yang tidak
terdapat suplai oksigen, khamir akan melakukan proses fermentasi yang akan
merubah gula menjadi alkohol dan CO
2
(Judoamidjojo 1989), lebih lanjut Hardjo
et al. (1991) menyatakan gula merupakan komponen terbesar total padatan
terlarut, peningkatan konsentrasi gula akan meningkatkan total padatan terlarut.
Pada kedua perlakuan terjadi penurunan pH, dapat dilihat pada
Gambar 14. Penurunan pH ini diduga disebabkan oleh akumulasi dari asam-asam
yang dihasilkan pada fermentasi alkohol tersebut.
3
4
5
6
0 12 24 36 48
Waktu fermentasi (jam ke-)
p
H
Batch tanpa selulase Batch dengan selulase
Gambar 14. Perubahan nilai pH medium fermentasi alkohol menggunakan sistem
batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase.
Pada awal fermentasi pH yang digunakan adalah 4.8 5.2
(Romli et al. 2000). Gambar 14 memperlihatkan bahwa penurunan pH ini
kemungkinan disebabkan oleh akumulasi dari asam-asam yang dihasilkan pada
fermentasi alkohol. Asam piruvat yang terbentuk selama proses metabolisme
dimanfaatkan oleh sel S. cerevisiae untuk pembentukan etanol.
S. cerevisiae mampu mengkonsumsi substrat gula reduksi. Secara umum,
S. cerevisiae ini dapat tumbuh dan memfermentasi gula reduksi secara efisien
pada pH 3.5-6.0 dan suhu 28-35
C (Ratledge 1991).
Kultur Fed-Batch
Sama halnya dengan sistem batch, pada sistem fed-batch juga di lakukan
dengan 2 perlakuan yaitu dengan dan tanpa penambahan enzim selulase. Namun
pada kultur fed-batch diinkubasi selama 96 jam dan dilakuan penambahan substrat
baru ke dalam medium fermentasi pada jam ke-48, yang disertai dengan perlakuan
penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi).
Hasil fermentasi yang dilakukan pada kultur fed-batch ditunjukkan oleh Gambar
15 dan 16, sedangkan untuk data awal pada perlakuan ini dapat dilihat pada
Lampiran 5. Dari kedua perlakuan tersebut dapat terlihat bahwa pada awal
fermentasi terjadi penurunan total padatan terlarut dan gula reduksi (Gambar 17
dan 18). Penurunan konsentrasi total padatan terlarut ini disebabkan sel
menggunakan substrat untuk melakukan metabolisme untuk pertumbuhan dan
pembentukan sel baru (dry weight) serta memproduksi etanol, sejalan dengan
Judoamidjojo et al. 1989 yang menyimpulkan bahwa pada fase eksponensial,
semua sel mempunyai kemampuan untuk berkembang biak sehingga nutrien yang
ada banyak digunakan untuk pertumbuhan serta pembentukan sel baru.
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
20
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
20
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
20
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
20
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
Gambar 15. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan
biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium
pulp kakao tanpa penambahan enzim selulase dengan menggunakan
sistem fed-batch.
Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed.
Fed
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
0
4
8
12
16
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
Gambar 16. Pembentukan etanol, penurunan total padatan terlarut dan perubahan
biomassa sel (dry weight) selama fermentasi alkohol pada medium
pulp kakao dengan penambahan enzim selulase serta menggunakan
sistem fed-batch.
Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed
Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 15 fase ekponensial
terjadi pada jam ke-0 hingga jam ke-24 sedangkan Gambar 16 fase eksponensial
terjadi lebih singkat pada jam ke-0 hingga jam ke-12. Setelah penambahan
medium baru (fed) pada Gambar 15 terlihat bahwa, sel S. cerevisiae (dry weight)
kembali meningkat. Fase eksponesial terjadi 30 menit setelah penambahan
medium baru (fed) hingga jam ke-72. Sedangkan pada Gambar 16 terlihat bahwa
fase eksponensial terjadi 30 menit setelah penambahan medium baru (fed) hingga
jam ke-60.
Menurut Fiechter (1982), produktivitas sel S. cerevisiae merupakan fungsi
dari konsentrasi glukosa, suhu dan pH. Glukosa merupakan reaktan dasar untuk
metabolisme khamir. Fungsi utama khamir dalam pembuatan etanol adalah
mengubah gula dalam substrat menjadi alkohol dan CO
2
. Frazier (1977),
berpendapat enzim yang dihasilkan S. cerevisiae adalah enzim ivertase yang
berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa),
serta enzim zimase yang mengubah monosakarida tersebut menjadi etanol pada
proses fermentasi.
Fed + Selulase
Berdasarkan Gambar 15 dan 16, etanol yang dihasilkan pada jam
ke-96 berturut-turut sebesar 9.07% (b/v) dan 9.70% (b/v). Uji Duncan 5%
terhadap interaksi kultur batch dan fed-batch dan penambahan enzim selulase
tidak berbeda nyata terhadap kadar etanol demikian halnya dengan faktor tunggal
penambahan enzim selulase. Namun kadar etanol pada perlakuan kultur batch
(8.23%) berbeda nyata terhadap kultur fed-batch (9.38%). Hasil selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 4.
Uji Duncan 5% menunjukkan penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l
medium fermentasi) tidak berbeda nyata terhadap pembentukan kadar etanol. Hal
ini disebabkan oleh masih tersedianya gula reduksi yang cukup banyak pada
substrat sewaktu penambahan enzim selulase yang menyebabkan enzim selulase
tidak aktif. Kondisi ini dikenal sebagai efek inhibisi, namun enzim selulase tidak
terikat oleh substrat sehingga dapat kembali aktif memproduksi gula reduksi saat
persediaan gula pereduksi pada medium telah habis. Pada penelitian ini gula
reduksi habis pada jam ke-72 (Gambar 18) sedangkan perlakuan penambahan
enzim dilakukan pada jam ke-48 sehingga penambahan enzim selulase kurang
efektif yang disebabkan oleh inkubasi yang terlalu lama. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Darwis (1995) bahwa konsentrasi yang tinggi dari selobiosa atau
sumber karbon yang dapat cepat di metabolisme seperti glukosa dapat
menghambat aktivitas selulase. Lebih lanjut Koesnandar (2001) menyatakan
bahwa proses hidrolisis enzimatis secara bertahap dari selulosa menjadi glukosa di
pengaruhi faktor penghambat yang sangat menentukan di dalam biokonversi
selulosa menjadi etanol. Faktor penyebab utamanya ialah adanya penghambatan
produk terutama selobiosa dan glukosa terhadap semua tahapan hidrolisis
(Gambar 1).
Irawadi (1999), mengemukakan bahwa tujuan utama dari hidrolisis
enzimatik substrat adalah menghasilkan glukosa sebanyak mungkin. Enzim
selulase yang ditambahkan ke dalam pulp kakao mampu menghidrolisis serat
yang terkandung dalam pulp kakao menjadi gula reduksi sebesar 0.66% (b/v)
dengan penambahan enzim selulase 0.2 ml (Lampiran 6). Namun pada penelitian
ini penambahan enzim selulase belum efektif dalam menghasilkan glukosa yang
digunakan sebagai substrat untuk produksi etanol.
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
0
4
8
12
16
20
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
Gula Reduksi (% b/v) TPT (%Brix)
0
4
8
12
16
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
0
4
8
12
16
20
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
Gula Reduksi (% b/v) TPT (%Brix)
Gambar 17. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan terlarut
selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao tanpa
penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch.
Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
Gula Reduksi (% b/v) TPT (%Brix)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
T
P
T
(
%
B
r
i
x
)
Gula Reduksi (% b/v) TPT (%Brix)
Gambar 18. Perbandingan penurunan kadar gula reduksi dan total padatan
terlarut selama fermentasi alkohol pada medium pulp kakao dengan
penambahan enzim selulase dengan menggunakan sistem fed-batch.
Keterangan 48+ : 30 menit setelah fed
Penurunan kadar gula reduksi selama proses fermentasi sejalan dengan
penurunan total padatan terlarut seperti terlihat pada Gambar 17 dan 18. Dari
gambar total padatan terlarut terlihat bahwa setelah penambahan substrat baru,
semakin lama fermentasi total padatan terlarut akan semakin menurun hingga
Fed
Fed + selulase
semakin lama fermentasi total padatan terlarut akan semakin menurun hingga
mencapai titik konstan. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin banyaknya gula
yang difermentasi sebanding dengan lamanya waktu fermentasi.
Dari hasil penelitian penambahan medium baru (Gambar 17 dan 18) untuk
perlakuan fed-batch sebaiknya dilakukan antara jam ke-24 dan 36 dimana pada
selang waktu tersebut substrat gula reduksi terlihat sudah habis untuk efisiensi
waktu inkubasi dan sel dari S. cerevisiae yang selanjutnya dapat memanfaatkan
substrat yang ditambahkan (fed) sehingga proses fermentasi dapat berlangsung
dengan efisien. Wang et al. (1979) mengatakan bahwa, bila penambahan substrat
sangat lambat maka kadar etanol dan biomassa sel juga akan semakin rendah
karena adanya pembatasan substrat.
Dari setiap perlakuan, pH awal disesuaikan dengan pH medium berkitar
antara 4.8 5.2 (Romli et al. 2000). pH awal ini diatur pada kisaran tersebut agar
penurunan pH selama fermentasi tidak sampai di bawah pH 3.0 karena keasaman
di bawah 3.0 kecepatan proses fermentasi akan berkurang. Nilai pH selama proses
fermentasi dapat dilihat pada Gambar 19.
3
4
5
6
0 12 24 36 48 48+ 60 72 84 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
p
H
Fed-batch tanpa selulase Fed-batch dengan selulase
Gambar 19. Perubahan nilai pH medium fermentasi alkohol menggunakan sistem
fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase.
Berdasarkan hasil pengukuran pH sebelum dan sesudah penambahan
medium baru, pH cenderung menurun untuk setiap perlakuan. Fiechter (1982)
menyatakan bahwa, konsentrasi glukosa akan mempengaruhi pH terhadap
Fed
pertumbuhan khamir. Hal ini dapat diartikan bahwa pada penelitian ini
konsentrasi glukosa yang cukup (tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah) maka
khamir akan menggunakan glukosa tersebut untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel serta untuk menghasilkan produk-produk metabolisme seperti
etanol, karbondioksida dan asam-asam organik seperti asam piruvat, asam
suksinat, asam laktat yang dapat menurunkan nilai pH.
Kinetika Fermentasi Alkohol
Pertumbuhan sel merupakan puncak aktivitas fisiologis yang saling
mempengaruhi secara beraturan. Proses pertumbuhan ini sangat kompleks
mencakup pemasukan nutrien dasar dari lingkungan ke dalam sel, konversi bahan-
bahan nutrien menjadi energi dan berbagai konstituen sel. Hubungan antara massa
sel atau hasil terbentuknya per satuan massa nutrien yang dikonsumsi dinyatakan
dengan Y x/s dan Y p/s dapat dilihat pada Tabel 4.
Anova (Lampiran 7) menunjukkan bahwa interaksi antara kultur (batch
dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase serta perlakuan tambahan enzim
selulase tidak berbeda nyata terhadap parameter kinetika , Y x/s, Y p/s, dan
kadar etanol, namun faktor tunggal kultur (batch, fed-batch) berbeda nyata pada
parameter kinetika , Y x/s, dan kadar etanol.
Tabel 4. Perhitungan kinetika fermentasi alkohol
Parameter Kinetika Kultur
Tambahan Enzim Selulase pada Medium
0 U/l 13.8 U/l Rata-rata
maks
(jam
-1
)
Batch 0.03 0.04 0.03 a
Fed-batch 0.01 0.02 0.01 b
Rata-rata 0.02 A 0.03 A
Y x/s
Batch 0.55 0.74 0.65 c
Fed-batch 0.26 0.35
0.31 d
Rata-rata 0.41 B 0.55 B
Y p/s
Batch 0.53 0.61 0.57 e
Fed-batch 0.50 0.55 0.53 e
Rata-rata 0.51 C 0.58 C
Kadar Etanol
(% b/v)
Batch 8.14 8.32
8.23 f
Fed-batch 9.07 9.70 9.38 g
Rata-rata 8.60D 9.01 D
Keterangan : Angka-angka yang ditandai dengan huruf besar yang sama ke arah
horizontal dan dengan huruf kecil yang sama ke arah vertikal
berarti tidak berbeda menurut uji Duncan = 0.05
Yield produk (Y p/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per substrat
yang dikonsumsi. Y p/s terbesar diperoleh pada fermentasi menggunakan
perlakuan batch dengan penambahan enzim selulase yaitu 0.61, terkecil diperoleh
pada fermentasi menggunakan perlakuan fed-batch tanpa penambahan enzim
selulase sebesar 0.50. Namun berdasarkan uji statistika terhadap parameter Y p/s
diperoleh hasil bahwa perlakuan kultur batch dan fed-batch dengan perlakuan
penambahan enzim selulase serta interaksi keduanya tidak menunjukkan pengaruh
yang berbeda nyata.
Kadar etanol yang dihasilkan meningkat dengan penambahan enzim
selulase pada kultur fed-batch (9.01% b/v) jika dibandingkan dengan kultur batch
(8.60% b/v), walaupun berdasarkan uji Duncan 5% tidak berbeda, hal tersebut
dikarenakan selang antara gula reduksi yang tidak terlalu besar dari kedua
perlakuan
Yield biomassa (Y x/s) adalah rendemen biomassa yang terbentuk
persubstrat yang dikonsumsi. Y x/s terbesar diperoleh pada fermentasi
menggunakan perlakuan batch dengan penambahan enzim selulase yaitu 0.74,
terkecil diperoleh pada fermentasi menggunakan perlakuan fed-batch tanpa
penambahan enzim selulase sebesar 0.26. Berdasarkan uji statistika terhadap
parameter Y x/s diperoleh hasil bahwa perlakuan penambahan enzim selulase
serta interaksi penambahan enzim dan kultur batch dan fed-batch tidak
menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, namun perlakuan kultur batch dan
fed-batch berpengaruh nyata.
Kecilnya nilai Y x/s pada perlakuan fed-batch dengan dan tanpa
penambahan enzim selulase, menunjukkan bahwa subsrat yang ditambahkan
hanya sedikit yang digunakan untuk pembentukan sel, namun dengan biomassa
yang sedikit tersebut mampu membentuk etanol dalam konsentrasi tinggi, hal ini
dapat dilihat dari nilai kadar etanol yang tinggi sebesar 9.07% dan 9.70%
menunjukkan bahwa pada perlakuan ini, cukup baik dalam membentuk etanol.
Dari pola kinetika pada fase eksponensial pada penelitian ini didapat data
terukur besaran kinetika fermentasi alkohol pada medium pulp kakao (Tabel 4)
terlihat bahwa nilai , Y p/s dan Y x/s pada penelitian ini jauh lebih baik
dibandingkan dengan Effendi (2002) dimana , Y p/s dan Y x/s yang dihasilkan
dibandingkan dengan Effendi (2002) dimana , Y p/s dan Y x/s yang dihasilkan
dari fermentasi alkohol menggunakan pulp kakao dengan penambahan gula
hingga 15% sebesar 0.03, 0.29 dan 0.07.
Kadar etanol yang dihasilkan pada perlakuan batch sebesar 8.23%
sedangkan perlakuan fed-batch 9.38%, jika dilihat dari kadar etanol yang
dihasilkan pada perlakuan fed-batch cukup efisien. Melalui penelitian ini pulp
kakao yang diencerkan 3x dengan medium Mandels dapat menghasilkan etanol
sebanyak 130 ml sedangkan kultur batch sebanyak 80 ml. Namun penggunaan
kultur fed-batch dapat lebih efisien dalam pemakaian inokulum.
Fermentasi Asam Asetat
Pada penelitian ini, fermentasi asam asetat dilakukan dengan cara
menginkubasi substrat hasil fermentasi alkohol dengan inokulum bakteri A. aceti
10 % (v/v) selama 96 jam dengan kecepatan agitasi 300 rpm dan aerasi 1.0 vvm.
Medium pulp kakao yang difermentasi dengan inokulum S. cerevisiae 10% (b/v)
untuk produksi etanol yang akan digunakan sebagai substrat pada fermentasi asam
asetat. Etanol hasil fermentasi alkohol secara kultur (batch dan fed-batch) dengan
penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi) dilanjutkan
dengan fermentasi asam asetat.
Asam asetat merupakan produk utama pada proses fermentasi asam asetat.
Asam asetat yang dihasilkan merupakan hasil oksidasi etanol oleh A. aceti. Kadar
asam asetat menurut standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional
(1996) adalah 4%.
Produksi Asam Asetat dari Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol
dengan Perlakuan Batch dan Penambahan Enzim Selulase
(0 dan 13.8 U/l medium fermentasi)
Fermentasi asam asetat dilakukan pada substrat etanol hasil fermentasi
alkohol dengan perlakuan batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase
(0 dan 13.8 U/l medium fermentasi). Hasil dari proses fermentasi asam asetat
tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21, sedangkan untuk data awal pada
perlakuan ini dapat dilihat pada Lampiran 8.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 24 48 72 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
A
s
a
m
A
s
e
t
a
t
(
%
b
/
v
)
0
2
4
6
8
10
12
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) Asam asetat (% b/v) Dry Weight (g/l)
Gambar 20. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan
berat kering (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada
medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch tanpa
penambahan enzim selulase.
0
2
4
6
8
10
0 24 48 72 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
A
s
a
m
A
s
e
t
a
t
(
%
b
/
v
)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) Asam asetat (% b/v) Dry Weight (g/l)
Gambar 21. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan
biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada
medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch dengan
penambahan enzim selulase.
Gambar 20 dan 21 terlihat bahwa pola pertumbuhan dari A. aceti yang
digunakan berbeda. Dari Gambar 21 terlihat bahwa pada jam ke-0 sampai jam ke-
48 sel masih berada pada fase adaptasi sehingga asam asetat yang diproduksi juga
belum optimal. Berbeda halnya pada Gambar 20 terlihat bahwa sel A. aceti pada
jam ke-24 sudah memasuki fase stasioner. Pada saat memasuki fase stasioner ini,
nilai dari biomassa sel (dry weight) mencapai kondisi yang paling maksimal.
Asam asetat adalah produk yang dihasilkan dari dua proses fermentasi
berturut-turut yaitu fermentasi alkohol yang mengubah gula menjadi alkohol dan
fermentasi asam asetat oleh A. aceti (Ranken dan Kill 1993). Kadar etanol dalam
medium fermentasi pada Gambar 20 dan 21 terlihat menurun seiring dengan
lamanya waktu fermentasi. Gambar 20 menjelaskan bahwa, pada jam ke-96 sisa
etanol sebesar 2.59% sedangkan pada Gambar 21 pada jam ke-96 sisa etanol
sebesar 2.15%. Sesuai dengan pendapai Desrosier (1988), menyatakan bahwa
pembuatan asam asetat dihasilkan dari oksidasi alkohol oleh bakteri asam cuka
dengan adanya oksigen. Dengan adanya penambahan aerasi sebesar 1.0 vvm
mampu meningkatkan pertumbuhan sel A. aceti dalam mengkonversi atau
merombak etanol menjadi asam asetat.
Penurunan kadar etanol ini disebabkan substrat (etanol) dioksidasi oleh
bakteri asam asetat (A. aceti) menjadi asam asetat dan air selama fermentasi
berlangsung. Substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan perlakuan tunggal
kultur (batch dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase berdasarkan uji
Duncan 5% (Tabel 5) berbeda nyata terhadap produksi kadar asam asetat,
sedangkan interaksi antara kedua perlakuan tidak berbeda pada uji Duncan 5%.
Berdasarkan Tabel 5 asam asetat yang dihasilkan dari substrat etanol hasil
fermentasi alkohol tanpa penambahan enzim selulase lebih baik yaitu 6.79%
dibandingkan dengan substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan penambahan
enzim selulase sebesar 5.07%. Hal ini mungkin diduga akibat adanya penambahan
enzim selulase yang menjadi inhibitor. Serta penurunan pH larutan (Gambar 24)
pada perlakuan penambahan enzim selulase yang sangat kecil. Dimana
Hardjo et al. (1991) mengemukakan bahwa produksi asam asetat dipengaruhi oleh
perlakuan lama fermentasi serta penurunan pH larutan hingga 2.8-3.8.
Produksi Asam Asetat dari Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol
dengan Perlakuan Fed-Batch dan Penambahan Enzim Selulase
(0 dan 13.8 U/l medium fermentasi)
Fermentasi asam asetat dilakukan pada substrat etanol hasil fermentasi
alkohol dengan perlakuan fed-batch dengan dan tanpa penambahan enzim selulase
(0 dan 13.8 U/l medium fermentasi). Hasil dari proses fermentasi asam asetat
dapat dilihat pada Gambar 22 dan 23.
0
2
4
6
8
10
0 24 48 72 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
A
s
a
m
A
s
e
t
a
t
(
%
b
/
v
)
0
2
4
6
8
10
12
14
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) Asam asetat (% b/v) Dry Weight (g/l)
Gambar 22. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan
biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada
medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara fed-batch
tanpa penambahan enzim selulase.
0
2
4
6
8
10
12
0 24 48 72 96
Waktu Fermentasi (Jam ke-)
E
t
a
n
o
l
(
%
b
/
v
)
A
s
a
m
A
s
e
t
a
t
(
%
b
/
v
)
0
2
4
6
8
10
D
r
y
W
e
i
g
h
t
(
g
/
l
)
Etanol (% b/v) Asam asetat (% b/v) Dry Weight (g/l)
Gambar 23. Pembentukan asam asetat, penurunan substrat etanol dan perubahan
biomassa sel (dry weight) selama fermentasi asam asetat pada
medium pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara fed-batch
dengan penambahan enzim selulase.
Gambar 22 dan 23 menunjukkan bahwa asam asetat yang terbentuk pada
jam ke-48 hingga jam ke-96 terus meningkat, namun asam asetat yang dihasilkan
dengan perlakuan tanpa penambahan enzim selulase (Gambar 22) pada saat
fermentasi alkohol lebih tinggi dibandingkan dengan adanya penambahan enzim
selulase pada saat fermentasi alkohol (Gambar 23).
Substrat etanol dalam media pada kedua perlakuan tersebut (Gambar 22
dan 23) menunjukkan penurunan seiring dengan pembentukan asam asetat dan
lama fermentasi. Substrat etanol yang terus menurun disebabkan oleh aktifitas
A. aceti yang melakukan metabolisme dalam pembelahan sel sehingga sel
bertambah hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya dry weight dari medium
fermentasi. Jam ke-48 sel telah berada pada fase stasioner dan jam ke-72 sel
berada pada fase kematian. Demikian halnya dengan pendapat Stanbury dan
Whitaker (1993) yang menyatakan bahwa pada fase stasioner, persedian substrat
(nutrien) yang tersedia akan berkurang serta terjadi akumulasi zat-zat metabolik
yang menghambat pertumbuhan.
Asam asetat merupakan produk fermentasi yang bersifat asam dan
memiliki pH rendah 3-4 (Waluyo, 1986). Perubahan pH substrat selama inkubasi
96 jam dapat dilihat pada Gambar 24.
3
4
5
6
0 24 48 72 96
Waktu Fermentasi (jam ke-)
p
H
Batch tanpa selulase Batch dengan selulase
Fed-batch tanpa selulase Fed-batch dengan selulase
Gambar 24. Perubahan Perubahan nilai pH fermentasi asam asetat pada medium
pulp kakao melalui fermentasi alkohol secara batch dan fed-batch
dengan penambahan enzim selulase.
Gambar 24 menunjukkan bahwa pH larutan fermentasi dari keempat
perlakuan berkisar antara 4.3-5.1. Pengontrolan pH awal penting dilakukan karena
menurut Fiechter (1982) produktivitas bakteri salah satunya dipengaruhi oleh pH,
dimana pH optimum fermentasi menurut Hardjo et al. (1991) produksi asam
asetat dipengaruhi oleh perlakuan lama fermentasi serta penurunan pH larutan
hingga 2.8-3.8. Pada penelitian ini pH larutan belum sesuai dengan pendapat
Hardjo et al. (1991). Hal ini disebabkan karena pada saat proses fermentasi juga
terbentuk senyawa yang bersifat basa yang dapat menetralkan ion H
+
asam pada
medium fermentasi, selain itu menurut Prijanto et al. (1983), bila media
fermentasi mempunyai kapasitas buffer yang tinggi hasil fermentasi terbaik
tercapai pada pH awal 4.0-4.5 sedangkan bila kapasitas buffer rendah maka pH
awal tebaik adalah 5.5.
Kinetika Fermentasi Asam Asetat
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka fermentasi yang dilakukan
dengan pengaturan kondisi operasi asam asetat diamati perhitungan kinetika , Y
x/s, Y p/s pada substrat etanol hasil fermentasi alkohol dengan perlakuan kultur
(batch dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase. Nilai dari parameter
kinetika fermentasi asam asetat dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Perhitungan kinetika fermentasi asam asetat yang dilanjutkan dari
perlakuan fermentasi alkohol
Parameter Kinetika Kultur
Tambahan Enzim Selulase pada Medium
0 U/l 13.8 U/l Rata-rata
maks
(jam
-1
)
Batch 0.01 0.01 0.01 a
Fed-batch 0.01 0.01 0.01 a
Rata-rata 0.01 A 0.01A
Y x/s
Batch 0.35 0.30 0.32 b
Fed-batch 0.32 0.28 0.30 b
Rata-rata 0.34 B 0.29 B
Y p/s
Batch 0.40 0.10 0.25 c
Fed-batch 0.86 0.68 0.77 d
Rata-rata 0.63 C 0.39 D
Kadar Asam Asetat
(% b/v)
Batch 5.11 2.93 4.02 e
Fed-batch 8.47 7.21 7.84 f
Rata-rata 6.79 E 5.07 F
Keterangan : Angka-angka yang ditandai dengan huruf besar yang sama ke arah
horizontal dan dengan huruf kecil yang sama ke arah vertikal
berarti tidak berbeda menurut uji Duncan = 0.05.
Anova (Lampiran 9) menunjukkan bahwa interaksi antara kultur (batch
dan fed-batch) dan penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium
fermentasi) tidak berbeda nyata terhadap parameter kinetika , Y x/s, Y p/s, dan
kadar asam asetat. Sedangkan faktor tunggal perlakuan kultur (batch dan fed-
batch) dan perlakuan penambahan enzim berpengaruh nyata terhadap parameter
kinetika Y p/s dan kadar asam asetat.
Efisiensi pemanfaatan substrat pada parameter kinetika Y p/s berdasarkan
uji Duncan 5% (Tabel 5) berbeda nyata untuk faktor tunggal perlakuan substrat
etanol hasil fermentasi secara kultur (batch dan fed-batch) sedangkan faktor
tunggal perlakuan penambahan enzim tidak berbeda nyata. Sesuai dengan kadar
asam asetat yang terbentuk dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol perlakuan
kultur fed-batch menghasilkan asam asetat tertinggi sebesar 7.84%.
Selama fase pertumbuhan, laju pertumbuhan spesifik () meningkat pada
waktu tertentu saat tercapai nilai konstan pada fase eksponensial. Pada Tabel 5
dapat dilihat bahwa parameter kinetika untuk terlihat hampir mendekati nol
untuk semua perlakuan. Dari hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Hartoto
(1989) yang menyatakan bahwa cenderung mendekati nol bila berkurangnya
nutrien esensial. Berdasarkan uji Duncan 5% parameter kinetika tidak berbeda
untuk perlakuan substrat etanol hasil fermentasi secara kultur dan perlakuan
penambahan enzim pada fermentasi alkohol.
Kadar asam asetat yang dihasilkan pada substrat etanol hasil fermentasi
alkohol secara kultur fed-batch cukup menarik sebab pada kultur ini hasil
fermentasi dapat dipanen dua kali. Dimana panen pertama dapat dilakukan untuk
produksi etanol sebesar 8.97% (b/v) atau 44.85 ml selanjutnya panen kedua
dilakukan untuk produksi asam asetat sebesar 7.80% (b/v) atau 78 ml.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini disimpulkan :
1. S. cerevisiae dapat digunakan untuk fermentasi alkohol pada substrat pulp
kakao yang mengandung kadar gula reduksi sebesar 9.53% (b/v) dengan total
padatan terlarut sebesar 18% brix, sedangkan A. aceti BTCC-618 dapat
digunakan untuk fermentasi asam asetat.
2. Kultur fed-batch dalam fermentasi alkohol pada medium pulp kakao
merupakan perlakuan terbaik dimana etanol yang dihasilkan sebesar
9.38% (b/v) dengan
max
0.01, Y p/s 0.53 dan Y x/s 0.31, sedangkan etanol
yang dihasilkan pada kultur batch sebesar 8.23% (b/v) dengan
max
0.03,
Y p/s 0.57 dan Y x/s 0.65.
3. Produksi asam asetat dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol pada
medium pulp kakao secara kultur fed-batch merupakan perlakuan terbaik yang
menghasilkan asam asetat sebesar 7.84% (b/v) dengan
max
0.01, Y p/s 0.77
dan Y x/s 0.30.
4. Kombinasi penambahan enzim selulase (0 dan 13.8 U/l medium fermentasi)
pada kultur batch (jam ke-0) dan fed-batch (jam ke-48) dalam medium pulp
kakao tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar etanol dan
produksi asam asetat, demikian halnya dengan
max
, Y p/s dan Y x/s.
Saran
Kultur fed-batch pada medium pulp kakao dapat diterapkan dalam skala
industri, dimana kelebihan kultur fed-batch ini dapat dilakuan pemanenan dua
kali, panen pertama untuk produksi etanol selanjutnya panen kedua untuk
produksi asam asetat. Produksi etanol dan asam asetat ini dapat digabungkan
untuk produksi etil asetat. Namun demikian waktu penambahan substrat harus
dioptimasi, yang diperkirakan berada antara jam ke-24 dan jam ke-36.
DAFTAR PUSTAKA
Asep P. 2008. Karakteristik Proses Fermentasi Pulp Kakao untuk Produksi Etanol
pada Bioreaktor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Amaria, Isnawati, Rini P, Tukiran. 2001. Biomassa Saccharomyces cerevisiae dari
limbah buah dan sayur sebagai sumber vitamin B. Himpunan Makalah
Seminar Nasional Teknologi Pangan, Semarang 9 10 Oktober 2001.
Atmawinata O, Muloto S, Widyotomo S, Yusianto. 1998. Teknik pra-pengolahan
biji kakao segar secara mekanis untuk mempersingkat waktu fermentasi
dan menurunkan kemasaman biji. Pelita Perkebunan 14:48-62.
Adomoko D. 1984. Some Conversion Technologies for the Utilization of Cocoa
Wastes. Dalam Tosida ET. 2002. Optimasi Biokonversi Lendir Biji Kakao
untuk Produksi Senyawa Pemberi Citarasa (Flavouring Agent). [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Badan Standardisasi Nasional. 1996. Cuka Fermentasi. (SNI 01-4371-1996).
Barlina R, Lay. 1994. Pengolahan nira kelapa untuk fermentasi nata de coco,
alkohol dan asam cuka. J Pen Kelapa 7:21-23.
Birch GG, Cameron AG, Spencer M. 1978. Food Science 2
nd
edition. Pergamon
Press. Oxford.
Chandra A, Jenie BSL. 1990. Pemanfaatan limbah kulit pisang untuk produksi
cuka fermentasi. Bul Pen Ilmu Tek Pangan 1:1-11.
Damanhuri. 2004. Pola Fermentasi Alkohol dan Asam Asetat dari Madu
Rambutan Afkir [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Darwis AA, Sailah I, Irawadi TT, Safriani. 1995. Kajian kondisi fermentasi pada
produksi selulase dari limbah kelapa sawit (tandan kosong dan sabut) oleh
Neurospora sitophila. J Teknol Ind 5(3):199-207
, Sukara E. 1989. Teknologi Mikrobial. Laboratorium Bioindustri
Pusat Antar Universitas Bioteknilogi, Institut Pertanian Bogor.
, Sunarti TC. 1991. Petunjuk Laboratorium Teknologi Mikrobial. Pusat
Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Effendi MS. 2002. Kinetika fermentasi asam asetat (vinegar) oleh bakteri
Acetobacter aceti B
127
dari etanol hasil fermentasi limbah cair pulpa
kakao. J Teknol Ind Pert 13:125-135.
Ebner H. 1983. Vinegar. Di dalam Reed, G. Prescott and Dunns Industrial
Microbiology. AVI Pub. Co. Inc., Westport, Connecticut.
Fiechter A. 1982. Advances in Biochemical Engineering. Springer-Verlag, Berlin.
Frazier WC. 1977. Food Microbiology. Tata Mc Graw-Hill. Publ.Co.Ltd, New
Delhi.
Hardjo S, Hartoto L, Widjaja I. 1991. Disain proses pembuata anggur (wine)
pisang. J Teknol Ind Pert 3:55-71.
Hartoto L. 1991. Petunjuk Laboratorium Teknologi Fermentasi. Pusat Antar
Universitas Bioteknilogi, Institut Pertanian Bogor.
, Sailah I. 1989. Sistem Bioreaktor. Pusat Antar Universitas
Bioteknilogi, Institut Pertanian Bogor.
Hustsberger DV, Billingsley P. 1987. Elements of Statistical Inference. Allyn and
Bacon Inc. Boston.
Judoamidjojo RM. 1990. Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi. Bogor.
, Said EG, Hartoto L. 1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas
Bioteknologi. Bogor.
Ghani BA, Rickard AD. 1990. Enzymztic hydrolysis of lignocellulose
contribution of -glucosidase. Asean Food J 5:51-70.
Irawadi TT. 1999. Kajian hidrolisis enzimatik limbah lignoselulosa dari industri
pertanian. J Teknol Ind Pert 8:124-134.
Koesnandar. 2001. Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol menggunakan
ko-imobilisasi sel Lipomyces starkeyi dan Saccharomyces cerevisiae by
fed-batch sytem. J Mikrobiol Indones 6:15-18.
Luwihana SD. 1998. Studi awal ammobilisasi bakteri asam asetat. Prosiding
Seminar Teknologi Pangan, Bandung 19-21 Oktober 1998.
Machfud, Said EG, Krisnani. 1989. Fermentor. Pusat Antar Universitas Pangan
dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Minihane BJ, Brown DE. 1986. Fed-batch culture technology. Biotech Adv
4: 207-218.
Mandels M, Anderotti R, Roche C. 1976. Measurement of Saccharifying
Cellulose. Biotech Bioeng Symposium.
Nurika I, Hidayat N. 2001. Pembuatan asam asetat dari air kelapa secara
fermentasi kontinyu menggunakan kolom bio-oksidasi. J Teknol Pert
2:51-57.
Opeke LK. 1984. Optimising economic returns (profit) from cocoa cultivation
trough economic efficient use of cocoa by product. Dalam Sulistyowati,
Atmawinata O, Muloto S, Yusianto. 1998. Pemenfaatan limbah bubur
pulpa kakao untuk pembuatan nata kakao. Pelita Perkebunan
14: 63 75.
Purwadaria T, Kumalasari A, Haryati T, Ketaren PP, Sinurat A. 2004. Optimation
of cellulase production with Penecillium nalgiovense S11 grown on
pretreated wheat pollard. Biotropia 23 : 1-12.
Pujiraharti S, Thelma AB, Linar ZU, Karossi AT. 1998. Effect agitation velocity
on acetic acid production from cashew apple juice by Acetobacter aceti
ATCC 15973. Prosiding Seminar Teknologi Pangan, Bandung 19-21
Oktober 1998.
Purawisastra S, Gumbira-Said E, Doelle HW. 1994. Peningkatan etanol hasil
fermentasi Zymomonas mobilis dengan enzim invetase. J Mikrobiol
Indones 2:31-35.
Pettipher GL. 1986. Analysis of cocoa pulp and the formulation of a standardised
artifisial cocoa pulp medium. J Sci Food Agric 37:297-309.
Prijanto B, Karyanto L, Sajugo. 1983. Perbaikan Fermentasi CIU (Alkohol) dan
Proses Penyulingan. Balai Pustaka. Jakarta.
Ratledge C. 1991. Yeast Physiology a micro-synopsis. Bioprocess Eng
6:195-203.
Romli M, Darmajana DA, Daulay AM. 2000. Pengaruh jenis khamir dan
penambahan serbuk kulit ubi kayu pada onggok tapioka terhadap hasil
fermentasi etanol. J Teknol Ind Pert 10:13-21.
Roukas T. 1996. Ethanol production from non-sterilized beet molasses by free and
immobilized Saccharomyces cerevisiae cells using fed-batch culture. J
Food Eng 27:87-96.
Ranken MD, Kill RC. 1993. Food Industries Manual. 23
rd
Edition. Blockie
Academic and Professional. London.
Rahman A. 1992. Teknologi Fermentasi Industrial: Produksi Metabolit Primer.
Penerbit Arcan. Jakarta.
Scragg AH. 1991. Bioreactors in Biotechnology, A Practicial Approach. Ellis
Horword, New York.
Soedarini, Kapti RK, Harmayani E. 1998. Acetobacter pasteurianus INT-7 acid-
ethanol tolerant yang diisolasi dari vinegar tradisional Indonesia sebagai
agensia fermentasi asam asetat yang potensial. Prosiding Seminar
Teknologi Pangan, Bandung 19-21 Oktober 1998.
Susijahadi, Neran, Kurniawan MF. 1998. Pengendalian fermentasi dengan
pengaturan konsentrasi gula hasil hidrolisis onggok tepung tapioka untuk
menghasilkan alkohol. Prosiding Seminar Teknologi Pangan, Bandung 19-
21 Oktober 1998.
Suryatmi RD. 1995. Mekanisme fermentasi kakao lindak. Bahan Penyuluhan
Pascapanen Kakao di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan, Kaji Terap Iptek
BPP Teknologi, 25-27 September 1995.
Sudjana. 1994. Desain dan Analisis Eksperimen. Tarsito, Bandung.
Sudaryati Y, Sastraatmaja DD. 1993. Seleksi strain Aspergillus spp. untuk
menghasilkan enzim selulase dalam media dedak. J Mikrobiol Indones
2:30-32.
Said G. 1987. Bioindustri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Stanbury A, Whitaker A. 1993. Principles of Fermentation Technology. Pergamon
Press. New York.
Wardani SM, Rahman A. 1991. Percobaan produksi vinegar menggunakan
generator sistem aliran lambat (Genevin IUC-FN 88) dengan beberapa
jenis bahan pembawa. Bul Penelitian Ilmu dan Teknol Pangan 2:17-28.
Wirakartakusumah MA, Thenawidjaja M, Jenie BSL, Pontoh J, Nuraida L,
Bakar A, Suprayatmi M, Marwini, Hairita I, Soekopitojo S. 1987. Isolasi
dan karakteristik enzim dari Aspergillus niger serta pemanfaatan dalam
pembangunan industri gula cair. Laporan Akhir. Direktorat Pembinaan
Penelitian dan Pengembangan pada Masyarakat. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wood BE, Ingram LO. 1992. Ethanol production from cellobiose, amorphous
cellulose, and crystalline cellulose by recombinant Klebsiella oxytoca
containing chromosomally and plasmids expressing thermostable cellulase
genes from Clostridium thermocellum. Dalam Koesnandar. 2001.
Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol menggunakan ko-
imobilisasi sel Lipomyces starkeyi dan Saccharomyces cerevisiae by fed-
batch sytem. J Mikrobiol Indones 6:15-18.
Whitaker A. 1980. Fed-batch culture. Proc Biochem 15:10-15.
Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunnill P, Humphrey AE, Lilly MD. 1979.
Fermentation and Enzyme Technology. New York: John Wiley & Sons.
Yoshida F, Yamane T, Nakamoto K. 1973. Fed-batch Hydrocarbon Fermentation
with Colloidal Emulsion Feed. Biotech Bioeng 15:257-270.
L A M P I R A N
Lampiran 1. Komposisi Medium dan Larutan
Medium Mendels
Untuk membuat 1 L medium Mendels, dipipet larutan-larutan di bawah ini,
kemudian ditambah 0.075% bacto pepton, 0.3% yeast extract. Selanjutnya volume
larutan ditetapkan 1 L dengan aquades.
Larutan Stok Volume (ml)
14% (b/v) (NH
4
)
2
SO
4
10
20% (b/v) KH
2
PO
4
10
3% (b/v) MgSO
4
.7H
2
O 10
3% (b/v)Urea 10
30% (b/v) CaCl
2
1
0.5% (b/v) FeSO
4
.7H
2
O 1
1.6% (b/v) MnSO
4
.H
2
O 1
1.4% (b/v) ZnSO
4
.7H
2
O 1
2% (b/v) CoCl
2
1
Larutan Buffer Na Asetat
Larutan buffer asetat 0.05 M dibuat dengan mencampurkan asam asetat
0.05 M dengan natrium asetat 0.05 M sampai mencapai pH yang diinginkan.
Pereaksi Dinitro Salicylic Acid (DNS)
Pereaksi DNS dibuat dari 10 gr NaOH, 182 gr KNa-tartrat, 10 gr DNS,
2 gr fenol, dan 0.5 gr Na
2
SO
3
yang dimasukkan secara berurutan ke dalam
erlenmeyer yang berisi aquades sambil diaduk dengan stirer. Setelah semua larut
dipindahkan ke dalam labu takar dan volume larutan ditepatkan menjadi 1 L dengan
aquades.
Larutan Kalium Dikromat
Larutan kalium dikromat dibuat dari 0.36 gr K
2
Cr
2
O
7
dilarutkan dalam 15 ml
aquades. Tambahkan secara perlahan-lahan sambil diaduk dengan stirer 28 ml asam
sulfat pekat. Encerkan sampai mencapai 50 ml.
Lampiran 2. Nilai Absorbansi dan Volume Inokulum yang Ditambahkan
Perlakuan
Absorban sel Jumlah Inokulum (ml)
S. cerevisiae A. aceti S. cerevisiae A. aceti
Batch tanpa selulase 0.793 1.353 100 100
Batch dengan selulase 0.705 1.14 88.90 84.26
Fed-batch tanpa selulase 0.757 1.322 95.46 97.71
Fed-batch dengan selulase 0.741 1.946 93.44 143.82
Lampiran 3. Prosedur Analisis Parameter Fermentasi
Analisis Kadar Gula Reduksi
Analisis kadar gula reduksi dilakukan dengan metode dinitrosalicylic acid
(DNS). Sampel yang telah diencerkan dengan beberapa tingkat pengenceran
diambil sebanyak 0.5 ml ditambah 0.5 ml aquades, 1.5 ml DNS divorteks. Blanko
terdiri dari 0.5 ml buffer Na asetat, 1.5 DNS. Sampel dan blanko dipanaskan
dalam air mendidih selama 15 menit, diukur pada panjang gelombang 540 nm
dengan alat spektrofotometer.
Standar Glukosa (DNS)
y = 0.0042x - 0.368
R
2
= 0.9981
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
0 100 200 300 400 500 600
Konsentrasi glukosa (g/ml)
A
b
s
o
r
b
a
n
Analisis Kadar Alkohol
Cawan conway disiapkan diisi dengan 2 ml larutan K
2
Cr
2
O
7
pada bagian
tengah, 1 ml K
2
CO
3
jenuh dan 1 ml sampel yang telah diencerkan terlebih dahulu
pada bagian lingkaran luar. Cawan conway dibiarkan selama 2 jam pada suhu
ruang. Larutan kromat yang positif pada bagian tengah dipindahkan pada tabung
spektro dan diukur pada panjang gelombang 605 nm dengan alat
spektrofotometer.
Standar Alkohol
y = 1.6238x + 0.0459
R
2
= 0.9983
0
0.2
0.4
0.6
0.8
0 0.08 0.16 0.24 0.32 0.4
Konsentrasi Alkohol (ml/ml)
A
b
s
o
r
b
a
n
Analisis dry weight (Scragg 1991)
1. Dry weight diukur berdasarkan berat kering sel. Sebanyak 10 ml cairan
kultivasi disentrifuse selama 10 menit, kecepatan 3000 rpm dalam tabung
yang telah dikeringkan dalam oven dan ditimbang sebelumnya. Setelah
supernatan dibuang, secara hati-hati ditimbahkan 5 ml larutan NaCl 0.9% ke
pelet sel lalu disentrifuse ulang pada kondisi yang sama dengan sebelumnya.
2. Endapan sel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 90
C selama 20
jam atau sampai beratnya konstan. Kemudian tabung berisikan sel kering
dimasukkan segera ke desikator. Setelah dingin tabung berisi sel kering di
timbang.
3. Berat kering sel dapat dihitung sebagai berikut :
ml/l 1000
(ml) sampel volume
(g) kosong ng berat tabu - (g) kering sel berisi ng Berat tabu
(g/l) kering Berat =
Analisis Asam Asetat
Untuk mengetahui kadar asam asetat dilakukan dengan metode titrasi.
kadar asam asetat ditentukan dengan cara melarutkan 2 ml sampel dalam 10 ml
aguades kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N (yang telah distandarisasi) dan
indikator phenolphtalein.
Asam asetat (%) = vol. Titer (NaOH) x N NaOH x 60 x 100
Vol. sampel x 1000
Lampiran 4. Data Awal Fermentasi Alkohol Menggunakan Kultur Batch dengan Penambahan Selulase
Kultur Selulase Jam Ke- Gula Reduksi (% b/v) Etanol (% b/v) pH TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
Batch
tanpa
selulase
0 13.613 0.494 5.5 17.7 5.85
12 8.618 3.382 4.2 11.9 11.90
24 2.398 6.764 4.3 7.5 12.30
36 0.210 6.884 4.3 5.5 11.30
48 0.158 8.136 4.3 5.3 8.35
dengan
selulase
0 13.613 0.063 5.1 17.4 5.55
12 6.252 2.731 4.1 12.4 9.30
24 1.167 6.653 4.1 7.0 13.55
36 0.206 6.944 4.3 6.0 11.45
48 0.164 8.316 4.5 5.5 9.70
Lampiran 5. Data Awal Fermentasi Alkohol Menggunakan Kultur Fed-batch dengan Penambahan Selulase
Kultur Selulase Jam Ke- Gula Reduksi (% b/v) Etanol (% b/v) pH TPT (%Brix) Dry Weight (g/l)
Fed-batch
tanpa
selulase
0 13.613 0.083 5.2 17.0 5.00
12 9.206 4.056 4.4 10.9 11.70
24 0.444 7.553 4.3 6.0 15.00
36 0.215 7.808 4.3 5.4 12.45
48 0.138 8.925 4.4 5.3 11.45
48+ 6.726 5.036 4.7 11.0 11.95
60 4.073 6.714 4.6 8.0 12.85
72 0.734 8.168 4.5 5.9 13.70
84 0.143 9.202 4.5 5.8 11.40
96 0.148 9.066 4.9 5.0 9.15
dengan
selulase
0 13.613 0.099 4.9 17.5 5.20
12 8.311 4.338 4.5 11.0 12.05
24 1.709 7.469 4.1 6.0 12.80
36 0.195 8.704 4.2 5.2 9.25
48 0.153 9.008 4.2 5.2 9.30
48+ 6.202 4.813 4.5 11.2 10.95
60 4.017 6.075 4.3 9.0 11.50
72 0.748 7.826 4.3 7.5 9.05
84 0.296 8.990 4.7 5.5 8.80
96 0.209 9.702 4.7 5.0 7.30
Lampiran 6. Analisis Sakarifikasi Enzim Selulase Terhadap Pulp Kakao
Pulp kakao sebanyak 1 ml dicuci menggunakan aquadest sebanyak 2x
selanjutnya disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan
dibuang dengan hati-hati kemudian endapan ditambahkan buffer Na-asetat pH 5.8
sebanyak 3 ml dan enzim selulase SS240 sebanyak 0.1 ml, 0.2 ml, dan 0.4 ml.
Selanjutnya diinkubasi selama 2 jam dalam waterbath pada suhu 30
C. Aktivitas
enzim dihentikan dengan cara dipanaskan pada penangas air selama 10 menit
kemudian disentrifuse kembali selama 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
Supernatan diambil untuk diukur kadar glukosa yang terbentuk.
0.2245
0.6554
0.8154
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0.1 0.2 0.4
Selulase (ml)
G
u
l
a
R
e
d
u
k
s
i
(
%
b
/
v
)
Lampiran 7. Analisa Statistik Keragaman Fermentasi Alkohol
Respon pada Parameter Etanol
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon
Source
Type III
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .001(a) 3 .000 8.968 .030
Intercept .005 1 .005 126.247 .000
Kultur .001 1 .001 24.164 .008
Enzim 9.80E-005 1 9.80E-005 2.685 .177
Kultur*Enzim 2.00E-006 1 2.00E-006 .055 .826
Error .000 4 3.65E-005
Total .006 8
Corrected Total .001 7
a R Squared = .871 (Adjusted R Squared = .773)
Kultur Means
Batch 0.034
Fed-batch 0.014
Penambahan Enzim Means
Enzim selulase 0.027591
Tanpa enzim selulase 0.020
Y x/s
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y x/s
Source
Type III
Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model .276(a) 3 .092 16.393 .010
Intercept 1.813 1 1.813 322.743 .000
Kultur .232 1 .232 41.287 .003
Enzim .039 1 .039 6.930 .058
Kultur*Enzim .005 1 .005 .963 .382
Error .022 4 .006
Total 2.111 8
Corrected Total .299 7
a R Squared = .925 (Adjusted R Squared = .868)
Kultur Means
Batch 0.646
Fed-batch 0.306
Penambahan Enzim Means
Tanpa enzim selulase 0.335
Enzim selulase 0.321
Y p/s
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y p/s
Source
Type III
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .013(a) 3 .004 .200 .891
Intercept 2.409 1 2.409 109.765 .000
Kultur .003 1 .003 .142 .725
Enzim .009 1 .009 .428 .549
Kultur*Enzim .001 1 .001 .031 .868
Error .088 4 .022
Total 2.510 8
Corrected Total .101 7
a R Squared = .131 (Adjusted R Squared = -.521)
Kultur Means
Batch 0.568
Fed-batch 0.529
Penambahan Enzim Means
Tanpa enzim selulase 0.514
Enzim selulase 0.583
Kadar Etanol
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Kadar Etanol
Source
Type III
Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Corrected Model 3.119(a) 3 1.040 3.079 .153
Intercept 620.154 1 620.154 1836.608 .000
Kultur 2.682 1 2.682 7.943 .048
Enzim .333 1 .333 .986 .377
Kultur*Enzim .104 1 .104 .308 .609
Error 1.351 4 .338
Total 624.623 8
Corrected Total 4.469 7
a R Squared = .698 (Adjusted R Squared = .471)
Kultur Means
Fed 9.384
Batch-batch 8.226
Penambahan Enzim Means
Enzim selulase 9.009
Tanpa enzim selulase 8.601
Lampiran 8. Data Awal Fermentasi Asam Asetat Menggunakan Substrat Etanol Hasil Fermentasi Alkohol dengan Perlakuan
Kultur (Batch dan Fed-batch) dan Penambahan Selulase
Sistem Selulase Jam Ke- Etanol (% b/v) Asam asetat (% b/v) pH Dry Weight (g/l)
Batch
tanpa
selulase
0 8.089 2.935 4.3 8.35
24 5.878 4.109 4.6 10.20
48 4.694 4.528 4.5 10.00
72 3.811 5.786 4.5 8.60
96 2.595 5.115 4.4 8.55
dengan
selulase
0 8.316 2.516 4.5 11.45
24 5.422 3.228 4.7 9.70
48 3.834 3.438 4.7 11.00
72 3.086 3.438 4.6 13.65
96 2.153 2.935 4.6 13.50
Fed-batch
tanpa
selulase
0 9.066 2.234 4.9 9.15
24 6.404 4.530 4.8 11.25
48 5.046 3.860 4.8 12.60
72 3.253 5.870 4.7 11.45
96 1.945 8.469 4.5 11.45
dengan
selulase
0 9.702 2.404 4.7 7.30
24 6.027 2.851 5.1 7.55
48 4.628 3.019 5.0 9.30
72 3.376 5.199 4.9 8.25
96 2.550 7.127 4.8 5.90
Lampiran 9. Analisa Statistik Keragaman Fermentasi Asam Asetat
Respon pada Parameter Asam Asetat
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon
Source
Type III
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1.94E-
005(a)
3 6.46E-006 .906 .513
Intercept .000 1 .000 61.070 .001
Kultur 1.51E-005 1 1.51E-005 2.123 .219
Enzim 1.13E-006 1 1.13E-006 .158 .711
Kultur*Enzim 3.12E-006 1 3.12E-006 .439 .544
Error 2.85E-005 4 7.12E-006
Total .000 8
Corrected Total 4.79E-005 7
a R Squared = .405 (Adjusted R Squared = -.042)
Kultur Means
Batch 0.009
Fed-batch 0.006
Penambahn Enzim Means
Tanpa enzim selulase 0.008
Enzim selulase 0.007
Y x/s
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y x/s
Source
Type III
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .007(a) 3 .002 .365 .783
Intercept .860 1 .860 132.170 .000
Kultur .005 1 .005 .807 .420
Enzim .000 1 .000 .067 .809
Kultur*Enzim .001 1 .001 .220 .664
Error .026 4 .007
Total .893 8
Corrected Total .033 7
a R Squared = .215 (Adjusted R Squared = -.374)
Kultur Means
Batch 0.354
Fed-batch 0.302
Penambahan Enzim Means
Tanpa enzim selulase 0.335
Enzim selulase 0.321
Y p/s
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Y p/s
Source
Type III
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .664(a) 3 .221 64.672 .001
Intercept 2.094 1 2.094 611.701 .000
Kultur .540 1 .540 157.821 .000
Enzim .116 1 .116 34.002 .004
Kultur*Enzim .008 1 .008 2.192 .213
Error .014 4 .003
Total 2.772 8
Corrected Total .678 7
a R Squared = .980 (Adjusted R Squared = .965)
Kultur Means
Fed-batch 0.772
Batch 0.252
Penambahan Enzim Means
Tanpa enzim selulase 0.632
Enzim selulase 0.391
Kadar Asam Asetat
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: respon Asam Asetat
Source
Type III
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 35.443(a) 3 11.814 19.655 .007
Intercept 281.556 1 281.556 468.397 .000
Kultur 29.108 1 29.108 48.425 .002
Enzim 5.910 1 5.910 9.832 .035
Kultur*Enzim .425 1 .425 .707 .448
Error 2.404 4 .601
Total 319.404 8
Corrected Total 37.848 7
a R Squared = .936 (Adjusted R Squared = .889)
Kultur Means
Fed-batch 7.840
Batch 4.025
Penambahan Enzim Means
Tanpa enzim selulase 6.792
Enzim selulase 5.073