Anda di halaman 1dari 19

1 | P a g e

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas berkah-Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial
dengan lancar dan menyusun laporan hasil diskusi ini tepat pada
waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Hadian Rahman atas
bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi. Kami juga
mengucapkan terima kasih para pakar serta teman-teman yang membantu
kami dalam proses tutorial skenario ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas
kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata
karena kurangnya pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus kami
lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di
kemudian hari.


Mataram, 12 Mei 2014


Kelompok 3



2 | P a g e


DAFTAR ISI

Kata pengantar...........1
Daftar isi.........2
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Skenario 4.....3
1.2 Learning Objectives......4
1.3 Mind Map......5
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Definisi Filariasis...6
2.2 Epidemologi dan Insiden Filariasis6
2.3 Etiologi Filariasis...7
2.4 Patogenesis Filariasis........................11
2.5 Manifestasi klinis Filariasis...............15
2.6 Diagnosis Filariasis....15
2.7 Penatalaksanaan Filariasis..16
2.8 Pencegahan Filariasis..17
2.9 KomplikasiFilariasis.......17
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan.....18
DAFTAR PUSTAKA....19

3 | P a g e


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 SKENARIO IV :

Seorang laki-laki berusia 20 tahun dibawa keluarganya ke Puskesmas dengan
keluhan bengkak pada tungkai bawah kiri hingga ke lutut sejak kurang lebih 3
minggu lalu. Bengkak dapat berkurang apabila pasien mengganjal tungkai bawahnya
sehingga posisi tungkai lebih tinggi dari tubuh. Keluhan juga disertai pembengkakan
pada kantung buah zakar yang nyeri dengan penekanan dan pembengkakan pada
daerah selangkangan.Pasien juga mengaku mengalami demam tidak terlalu tinggi
disertai menggigil, nyeri kepala, lemah, dan nyeri pada otot seluruh tubuh.
Pasien mengaku sudah beberapa kali mengalami keluhan yang sama dalam 1
tahun terakhir. Keluhan biasanya berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu.
Pasien pernah tinggal di Flores selama 4 tahun untuk bekerja, sebelum akhirnya
memutuskan pindah kembali 1 minggu lalu karena merasa sering mengalami
serangan keluhan seperti yang dialaminya sekarang selama tinggal di sana. Pasien
mengaku beberapa rekan kerjanya di Flores juga pernah mengalami keluhan serupa.


















4 | P a g e

1.2 LEARNING OBJECTIVE

1. Epidemologi Filariasis
2. Penatalaksanaan Filariasis
3. Komplikasi Filariasis
4. Prognosis Filariasis
























5 | P a g e

Filariasis
Epidemologi
Etiologi Patogenesis
Prosedur
Diagnostik
Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik
Penegakan
Diagnostik
Penatalaksanaan
Pemeriksaan
Penunjang
Pencegahan
Komplikasi
dan
Prognosis
1.3 MIND MAP





























6 | P a g e

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Filariasis

Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di
wilayah tropika seluruh dunia. Penyebab filariasis adalah infeksi oleh sekelompok
cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang
umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah
(kaki) dan kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal
sebagai penyakit kaki gajah (elephantiasis). Filariasis limfatik di Indonesia
disebabkan oleh W. bancrofti, B. malayi dan B. timori, menyerang kelenjar dan
pembuluh getah bening. Penularan terjadi melalui vektor nyamuk Culex spp.,
Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp.
Filariasis adalah masalah global, masalah kesehatan masyarakat yang terjadi
di India, Cina dan Indonesia. Ketiga negara selama kurang lebih dua-pertiga dari total
jumlah penduduk dunia diperkirakan terinfeksi. Di daerah endemik, 10% mungkin
menderita filariasis. Di India, filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria
bancrofti, vektor yang adalah nyamuk Culex quinquefasciatus (C. fatigans).

2.2. Epidemiologi Filariasis

Filariasis ditemukan di berbagai daerah dataran rendah yang berawa dengan
hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di pedesaan di luar Jawa-Bali. Filariasis
brugia hanya ditemukan di pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di
perkotaan. Prevalensi filariasis bervariasi antara 2% sampai 70% pada tahun 1987.
Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada
tahun 1889. Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000
wilayah Indonesia yang menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah
Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-
masing 1908 dan 1706 kasus kronis.
7 | P a g e

Selain ke tiga wilayah kepulauan tersebut diatas sebagaimana yang termuat
didalam modul eleminasi penyakit kaki gajah yang di terbitkan oleh Depkes. RI
melalui Ditjen PPM & PLDirektorat P2B2 Subdit Filariasis dan Schistosomiasis
(2002) endemisitas kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa propinsi lainya di
Indonesia, diantaranya Kabupaten Bekasi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten
Pekalongan Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lebak Tangerang Propinsi Banten,
Batam Propinsi Riau, Lampung Timur Propinsi Lampung, Mamuju Propinsi Sulawesi
Selatan, Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Kab. Pontianak Propinsi Kalimantan
Barat, Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kota Baru Propinsi
Kalimantan Selatan.

2.3. Etiologi Filariasis

Penyakit kaki gajah di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugiatimori, sedangkan vektor
penyakitnya adalah nyamuk. Nyamuk yang menjadi vektor filaria di Indonesia
hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari genus Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres. Menurut Soedarto (1989) sejumlah nyamuk
yang termasuk dalam genus Culex dikenal sebagai vektor penyakit menular. Culex
gunguefasciatus atau Culex fatigans menyukai air tanah dan rawa-rawa sebagai
tempat berkembang biaknya, vektor ini dapat menularkan demam kaki gajah pada
manusia.
2.3.1. Pengelompokan Filariasis

Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian
tubuh atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis
subkutan (bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity).
Filariasis limfatik disebabkan Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya)
sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori diketahui jarang
8 | P a g e

menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta
alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika),
Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing
guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis
filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella
ozzardi, yang menghuni rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk
atau lalat pengisap darah, atau, untuk Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea).

2.3.2. Morfologi Filaria
Larva stadium I panjangnya 147 mikron, bentuk seperti sosis dengan ekor
yang panjang dan lancip.
Larva stadium II panjangnya 450 mikron, bentuk lebih gemuk dan panjang
daripada bentuk stadium I, ekornya pendek seperti kerucut.
Larva stadium III pajangnya 1200 mikron, bentuk langsing pada ekor
terdapat tiga buah papil.
Microfilaria panjangnya 250 mikron, bersarung pucat (pewarnaan
haematoxylin), lekuk badan halus, panjang ruang kepala sama dengan
lebarnya, inti halus dan teratur, tidak ada inti tambahan.
Cacing dewasa (makrofilaria) bentuk halus panjang seperti benang, berwarna
putih kekuningan.
Cacing jantan panjangnya 40 mm, ekornya melingkar dan mempunyai dua
spikula.
Cacing betina panjangnya 60 mm- 100 mm, ekor lurus dengan ujung timpul.







9 | P a g e

2.3.3. Siklus Hidup Filraria

Siklus hidup Wuchereria bancrofti


10 | P a g e

Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk
tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga
mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh nyamuk.
Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk,
kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks).
Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu
kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan
panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya larva
berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi lebih panjang dan
kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga
larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke
kepala dan alat tusuk nyamuk.
Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka
mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut
masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah dalam
tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe.
Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh
menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V.
Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan
menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Cacing filaria sendiri
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih
kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti benang
berwarna putih susu.
2. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65-100 mm dan ekornya
lurus berujung tumpul. Untuk makrofilaria yang jantan memiliki panjang kurang
lebih 40 mm dan ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria memiliki panjang kurang
lebih 250 mikron, bersarung pucat.
11 | P a g e

3. Tempat hidup makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar limfe.
Tetapi pada malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi sedangkan pada
siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat-alat dalam seperti paru-paru, jantung
dan hati.

2.4. Patogenesis Filariasis

Pada filariasis sistim imun yang berperan adalah sistim seluler dan humoral,
kedua sistim ini berjalan dan saling berkoordinasi karena pengaruh sitokin. Respon
imun filariasis yang humoral maupun seluler terhadap mikrofilaria terlihat lebih baik
pada kelompok amikrofilaremik dibandingkan kelompok mikrofilaremik.
2.4.1. Respon Seluler

Respon imun seluler filariasis telah banyak dipelajari. Peran sel limfosit pada
respon seluler sangat penting. Hilangnya mikrofilaria di peredaran darah dan di
organ-organ tempat parasit tinggal disebabkan oleh peristiwa ADCC (Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity). Secara in vitro telah dibuktikan bahwa bila terdapat
antibodi spesifik yang menempel di permukaan badan mikrofilaria, sel-sel limfosit
terangsang untuk menempel di permukaan badan mikrofilaria, disusul matinya
mikrofilaria. Proses ini diperkirakan merupakan mekanisme pertahanan pada
filariasis. Kegagalan respon seluler dapat terjadi pada penyakit yang telah berjalan
lama (menahun); parasit berhasil hidup dan mempertahankan diri di dalam tubuh
hospes. Dalam usaha beradaptasi diri, parasit mengeluarkan antigen yang dapat
mempengaruhi respon imun, dan ratio jumlah sel limfosit supresor (CD8+) dan sel
limfosit helper (CD4+) berubah. Sel CD4+ yang jumlahnya rendah mengakibatkan
produksi antibodi spesifik rendah.
2.4.2. Respon Imunoglobulin

Penelitian respon humoral pada filariasis, menunjukkan bahwa secara
kuantitatif penduduk daerah endemis yang amikrofilaremik pada umumnya
12 | P a g e

mempunyai kandungan IgG anti filaria yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penduduk yang mikrofilaremik. Secara kualitatif gambaran yang ditunjukkan lebih
kompleks; yaitu pada penderita filariasis bancrofti yang mikrofilaremik, IgG anti
filaria yang ada mengenal komponen protein cacing dewasa terutama pada berat
molekul < 80 Kd; pada penderita elefantiasis terutama pada berat molekul 180 Kd -
20 Kd pada penderita tropical eosinophilia (TPE) komponen protein yang dikenal
berat molekul 200 Kd - 25 Kd. Pada penderita filariasis malayi IgG anti filaria dari
penduduk yang amikrofilaremik dengan gej ala klinis mengenal komponen protein
mikrofilaria malayi pada berat molekul 125 Kd secara mencolok, sedangkan
penduduk amikrofilaremik tanpa gejala klinis IgG yang ada mengenal komponen 75
Kd dan 25 Kd.
Empat macam subkelas IgG mempunyai struktur bentuk, fungsi dan derajat
partisipasi pada respon imun yang masing-masing sangat berbeda; hal ini memberi
indikasi bahwa perbedaan tipe respon imun yang terjadi pada perjalanan penyakit
filariasis ditentukan oleh masing-masing subkelas IgG yang berperan. Secara
kuantitatif kadar IgG 1 pada penderita elephantiasis lebih tinggi dibandingkan pada
penderita yang mikrofilaremik. Secara kualitatif pola pengenalan yang ditunjukkan
sangat berbeda. Komponen protein cacing dewasa B. malayi yang dikenal oleh IgGl
dan IgG3 dari penderita elephantiasis adalah berat molekul > 68 Kd, sedangkan pada
penderita yang mikrofilaremik komponen protein yang dikenal < 68 Kd.
IgG3 mempunyai kemampuan mengikat komplemen paling besar di antara
subkelas yang lain. Bila terjadi ikatan IgG3 dengan antigen baik spesifik atau
nonspesifik dapat menyebabkan teraktivasinya sistim komplemen dengan serangkaian
reaksi, hal ini dapat menyebabkan rusaknya antigen tersebut. Hasil ini menimbulkan
dugaan bahwa peran IgG3 pada filariasis adalah sebagai imunoprotektor. Tentunya
hal ini perlu didukung oleh penelitian lebih lanjut.
Peran IgG2 pada filariasis masih sangat diragukan, mengingat kemampuan IgG2
untuk mengikat komplemen sangat rendah, di samping ternyata IgG2 juga
mempunyai kemampuan kuat mengikat polisakharida.

13 | P a g e

2.5. Gejala Klinis Filariasis

2.5.1 Stadium Gejala Klinis
Perjalanan penyakit tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi
bila diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi :
1. Masa prepaten
Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di
daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik
inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok
ini termasuk kelompok yang asimtomatik amikrofi laremik dan asimtomatik
mikrofilaremik.
2. Masa inkubasi
Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis
berkisar antara 816 bulan.
3. Gejala klinik akut
Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan
malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis
akut dapat amikrofi laremik maupun mikrofilaremik.
Filariasis bancrofti, pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul
funikulitis, epididimitis dan orchids. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering
bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 315 hari
dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun. Filariasis brugia, limfadenitis
paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras.
Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan
nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki.
4. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 1015 tahun setelah serangan akut pertama.
Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih
14 | P a g e

dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu
aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Filariasis bancrofti hidrokel paling banyak ditemukan. Di dalam cairan
hidrokel ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh
tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran
di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi
pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan.
Filariasis brugia elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan
bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya.
2.5.2. Klasifikasi Filariasis
Limfedema tungkai dapat dibagi dalam 4 tingkat:
a) tingkat I: edema piting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila
tungkai diangkat, kulit masih normal
b) tingkat II: piting/non piting edema yang tidak dapat kembali normal (iireversibel)
bila tungkai diangkat, kulit sudah mulai menebal
c) tingkat III: edema non piting, tidak dapat kembali normal bila tungkai diangkat,
kulit menjadi tebal
d) tingkat IV: edema non piting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit (
elefantiasis)

2.6. Diagnosis Filariasis

2.6.1. Diagnosis Klinik
Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik
penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic
Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam
diagnosis filariasis adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis
berulang dan gejala menahun.

15 | P a g e

2.6.2. Diagnosis Parasitologik
Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari.
Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100
mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria. Pada
keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia
dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen
dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi,
tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi
metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis
parasitologik, antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang
cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.
2.6.3. Diagnosis Epidemiologik

Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan
microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate
(CDR) dengan memeriksa sedikitnya 10% dari jumlah penduduk. Pendekatan praktis
untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalui penemuan penderita
elefantiasis. Dengan ditemukannya satu penderita elephantiasis diantara 1000
penduduk, dapa diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang
mikrofilaremik.

2.6.4. Diagnosis Radiologis

Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe
inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial
dance sign). Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin
yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan adanya abnormalitas sistem
limfatik, sekalipun pada penderita yang mikrofilaremia asimtomatik.

16 | P a g e

2.6.5. Diagnosis Imunologi

Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi,
amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi
dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang
diagnosis. Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan
mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen
merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih
mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monoklonal terhadap O. gibsoni
menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua
New Guinea.

2.7. Penatalaksanaan Filariasis

2.7.1. Pengobatan
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk
filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal.
Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi
samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat
simtomatik. Dietilkarbamasin tidak dapatdipakai untuk khemoprofilaksis.
Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak
6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis malayi diberikan 5 mg/kg berat
badan selama 10 hari. Pada occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg BB selama 23
minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia, gejala
akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih
dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan hydrocele
memerlukan penanganan ahli bedah.
Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik berupa demam, sakit kepala, sakit
pada otot dan persendian, mual, muntah,menggigil, urtikaria, gejala asma bronkial
17 | P a g e

sedangkan gejala lokal berupa limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus, funikulitis,
epididimitis, orchitis dan limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam
setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 25 hari dan lebih sering terjadi pada
penderita mikrofilaremik.

2.8. Pencegahan Filariasis
2.8.1. Mass Drug Administration (MDA)
World Health Organization (WHO) Global Program untuk mengeliminasi
filariasis limfatik melalui MDA dengan menggunakan dua obat kombinasi yaitu DEC
dengan Albendazole atau Ivermectin dengan Albendazole yang diberikan satu kali
pertahun selama 5 tahun.

2.9. Komplikasi Filariasis

2.9.1. Tropical Pulmonary Eosinofilia (Occult Filariasis)
Bentuk ini terjadi karena hipersensitivitas sistem imun penderita terhadap
mikrofilaria. Pada keadaan ini filarial telah sampai ke paru sehingga muncul gejala
klinis berupa batuk, sesak nafas teutama waktu malam dengan dahak yang kental dan
mukopurulen.
Sindrom ini ditandai dengan kadar eosinofil darah tepi yang sangat tinggi >
3000/ ml, adanya gejala menyerupai asma, penyakit paru restriktif, kadar antibodi
spesifik antifilaria (IgE) tinggi, dan respon pengobatan yang baik dengan DEC.
Beberapa keadaan klinis lain seperti arthritis, tenosynovitis, fibrosis endomiokardial,
glomerulonephritis kadang-kadang merupakan manifestasi klinis dari occult
filariasis.
2.9.2. Chyluria
Chyluria terjadi apabila terdapat kenaikan tekanan pada saluran limfe renal
yang mengalami sumbatan, kemudian pecah sehingga cairan limfe masuk ke dalam
traktus urinarius dan menimbulkan chyluria. Chyluria sering terlihat nyata pada pagi
hari dan bersifat intermitten.
18 | P a g e



BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebakan oleh cacing
filaria. Filariasis di Indonesia dapat disebabkan oleh tiga jenis spesies cacing filaria,
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi cacing ini bila
tidak mendapatkan pengobatan dapat menyebabkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik pada laki-laki maupun perempuan.




























19 | P a g e



DAFTAR PUSTAKA


Aru W. Sudoyo dkk, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Behrman RE, Kliegman PM, Jenson HB, eds. 2007.Nelson Textbook of Pediatrics.
18
th
edition. Philadelphia: WB Saunders Company.

Braunwald E et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17 edition. New York:
McGraw-Hill. Medical Publishing Division.

Depkes R.I 2009 available at: pppl.depkes.go.id/_asset/_download/mengenal_
filariasis_1 pdf accesed 11 May 2014.

Sutanto, I, et al, 2008. Parasitologi Kedokteran FKUI edisi ke IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai