Anda di halaman 1dari 9

Pancasila sebagai sebuah ideologi tidak pernah mati.

Seperti halnya dengan ideologi-ideologi yang


lain, perjalanan Pacasila sebagai ideologi negara Indonesia terkadang muncul , terkadang mundur,
dan terkadang bangkit kembali. Jika melihat perjalanan Indosesia saat ini dan dihadapkan pada
pelbagai permasalahan bangsa saat ini terasakan bahwa Pancasila sebagai ideologi mengalami
kemunduruan. Kemunduran ini mungkin dirasakan karena bangsa ini sedang mengalami poses transisi
menjadi dewasa. Ketika jaman Soeharto, Pancasila telah menjadi alat propaganda pemerintah
sehingga Pancasila sebagai ideologi yang dihidupi dan dihayati bangsa Indonesia dengan sukarela dan
semangat membangun bangsa ke arah tujuan negara ini didirikan ( Pembukaan UUD 1945 alinea 4)
menjadi ideologi yang dipaksakan dan mengancam warga negara. Akhirnya Pancasila kehilangan
maknanya. Reformasi pun bergulir seiring dengan tumbangnya Soeharto. Pamor ideologi Pancasila
yang diklaim mengalami kemajuan pada jaman orde baru secara tiba-tiba mengalami kemunduruan
paska reformasi seiring denga euforia kebebsan dan meningkatnya liberalisasi yang membonceng
dibalik demokrasi.

Seharusnya setelah reformsi bergulir, terdapat ruang yang lebar bagi Pancasila menjadi dasar
politik[1] yang mengatur negara dan mengarahkan segala kegiatan yang berkaiatan dengan hidup
kenegaraan, seperti pemerintahan , perundang-undangan, perekonomian nasional, hidup berbangsa,
hubungan warga negara dan negara, usaha menciptakan kesejahteraan bersama, keamanan dan
pembangunan nasional. Denga kata lain, Pancasila harus menjadi operasional dalam penetuan
kebijakan-kebijakan bidang-bidang tersebut dan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi bangsa dan negara Indonesia. Namun 10 tahun reformasi berjalan, tak ada kemajuan berarti
pada bangsa ini. Kondisi negeri ini terasa stagnan dan tersasa berjalan ke arah yang lebih buruk.

Perayaan 10 tahun reformasi ditandai dengan lonjakan harga komoditas pertanian di pasar dunia
yang menggila pada semester pertama tahun 2008. Indonesia pun tak luput dari dampak kenaikan
harga komuditas pertanian tersebut. Para pengusaha kecil yang mengandalkan bahan baku kedelai,
terigu, dan jagung menjerit dan banyak gulung tikar bahkan beras yang telah menjadi makanan pokok
dan tanaman primadona negeri ini seakan-akan hilang di pasaran. Sebuah ironi jika mengingat nagara
ini adalah negara agraris. Mengapa negara ini yang terkenal dengan tanahnya yang subur mengalami
krisis pangan bahkan pada bulan Sepetember 2008 masih ditemukan kasus busung lapar di beberapa
daerah? Apa kebijakan pemerintah terkait sektor pertanian? Apakah semua itu dampak dari
globalisasi?

Tulisan singkat ini mau membahas problem pangan di Indonesia terutama apakah dampak Globalisasi
bagi permasalahan pangan di Indonesia? Relevasinya dengan Pancasila terkait dengan sila
kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu
Pancasila sebagai dasar politik bagi para pengambil kebijakan negeri ini juga dipertanyakan.

II. Pengertian Globalisasi

Ada beberapa pengertian tentang globalisasi. Menurut pengamat hubungan internasional,[2]
globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan,
investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas
suatu negara menjadi bias. Dari pengertian ini ada beberapa ciri yang dapat diambil dari
globalisasi.Pertama, perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan ini disebabkan oleh
perkembangan pesat sektor teknologi yang berdampak pada cepatnya arus komunikasi. Kedua,
peningkatan interaksi kultural. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya arus media massa. Informasi
dari negara A dapat diketahui beberapa detik saja dari negara B. Ketiga, terjadinya arus barang dan
jasa antar negara. Dengan kata lain globalisasi memberikan ciri pasar dan produksi ekonomi dari tiap-
tiap negara memiliki ketergantungan dan ketersalingan hubungan.

Dari ketiga ciri globalisasi dapat diambil pengertian lain globalisasi adalah pengeintegrasian
internasional individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial, dan
politik yang terjadi secara cepat dan mendalam.[3]

Berdasar ciri dan pengertian di atas muncul pertanyaan. Apakah globalisasi hasil proses alami
manusia atau bukan? Dari pertanyaan tersebut didapat sebuah jawaban bahwa globalisasi dapat
dikatakan proses alami manusia dalam kerangka bahwa globalisasi hasi dari proses perkembangan
akal budi dan pengetahuan manusia yang tak terbatas. Akal budi manusia dengan pengetahuan yang
dimiliki mendorong manusia ingin mengetahui yang terjadi di luar wilayahnya. Dapat pula globalisasi
merupakan hasil dari interaksi perdagangan entah dengan di awali imperialisme atau bukan yang
akhirnya menciptakan suatu kondisi keterikatan dan ketersalinggantungan suatu negara.

Melihat realitas yang demikian terjadinya globalisasi disebabkan dan digerakkan oleh kekauatan atau
tekanan yang besar. Tidaklah mungkin kelompok petani kecil di daerah Bantul memberikan pengaruh
pada dunia yang terjadi malahan mereka terkena pengaruh bahkan korban dari globalisasi. Kekuatan
dan tekanan yang besar pada sat ini mengacu pada perusahaan-perusahaan multinasional atau dalam
kata lain pelaku-pelaku bisnis lintas negara, dan lembaga yang memudahkan kegiatan yang mereka
lakukan semisal WTO, IMF, lembaga paten internasioanl, Bank Dunia, dll. Ketiga lembaga itu,
meskipun merupakan lembaga inrenasional dapat dikatakan sebagai pembuka atau penghalus jalan
bagi terlaksananya globalisasi. Inilah corak globalisasi yang juga mempengaruhi perjalanan Indonesia
sampai sekarang.

III. Berawal dari Revolusi Hijau hingga Liberalisasi Sektor Pertanian

Globalisasi memang membuat batas negara menjadi bias. Perusahaaan-perusahaan
trans/multinasional seakan-akan kekuasaannya melebihi negara itu sendiri. Gambaran yang diperoleh
dari hal tersebut adalah globalisasi tampak tidak peduli dengan negara tapi mau tidak mau negara
menanggung akibat dampak dari globalisasi. Di sektor pertanian dampak globalisasi mulai terjadi
ketika dimulainya revolusi hijau.

III.A. Revolusi Hijau

Permasalahan yang dihadapi Indonesia pada tahun 1960-an adalah minimnya produksi pangan
terutama oleh konflik. Untuk mengatasinya maka pemerintahan orde baru mengambil kebijakan
Revolusi Hijau[4] ; sebuah jargon politik yang diusulkan oleh William S. Goud tahun 1968.[5] Revolusi
Hijau adalah modernisasi pertanian dengan mengandalkan zat/pupuk kimiawi dan irigasi. Dua hal
tersebut dimasukkan ke dalam kultur bertanam yang cocok dengan tanaman pokok di Indonesia yaitu
padi.

Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut adalah penggunaan bibit padi hasil silang dan pemuliaan dan
bibit unggul. Modernisasi ini juga berlanjut pada penggunaan traktor menggantikan cara baja
tradisional dan penggilingan padi. Perubahan teknologo itu juga dibarengi perubahan cara tanam
yang lebih efisien seperti petani yang biasa memanen sendiri atau gotong royong dengan warga
berganti dengan sistem tebasan[6] dan borongan[7] . Keseluruhan sitem pertanian pun mengalami
perubahan. Bibit disediakan dan disubsidi oleh pemerintah. Pupuk kimia dan pestisida yang
digunakan mendapat subsidi dari pemerintah. Penanaman padi dan perawatannya harus menuruti
petugas pemerintahan di lapangan. Harga gabah dan beras diatur pemerintah berikut operasi pasar
supaya harga stabil. Lumbung-lumbung padi di desa digantikan oleh koperasi dan Bulog diberi kuasa
untuk memonopoli beras. Sacara ringkas revolusi hijau di Indonesia dapat dikenali dari program
intensifikasi pertanian, intensifikasi ini dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu: penggunaan bibit
unggul, pemberantasan hama, pemupukan, pengaturan irigasi dan teknik pengolahan lahan
pertanian.

Dampak positifnya adalah keberhasilan Indonesia dalam swasembada beras lima tahun berturut-turut
sejak tahun 1985 ( kecuali tahun 1989 ).[8] Namun, kesuksesan itu hanyalah sesaat dibanding dampak
yang dihasilkan yang jauh lebih besar. Revolusi hijau yang diharapkan menjadi sarana bagi petani
untuk meningkatkan kesejahteraannya hanya angan-angan belaka, betapa tidak dengan revolusi hijau
ini petani, mau tidak mau dihadapkan pada persoalan tentang pemenuhan sarana produksi yang
harus dibeli petani dengan harga yang cukup mahal kepada perusahaan-perusahaan skala besar,
bahkan multi nasional yang memiliki hak paten atas produk tersebut. Untuk benih misalnya, benih
hasil revolusi hijau tidak melakukan penyerbukan sendiri sehingga petani mau tidak mau harus
membeli benih tiap tahun dari perusahaan pembenihan. Bahkan, rekayasa bioteknologi pada
tumbuhan (benih) sudah sampai pada tingkat merek-merek individu. Lebih jauh lagi saat ini
perusahaan agrokimia sedang merekayasa benih untuk merespon hanya pada pupuk, dan pestisida
dari merek dagang tertentu. Belum lagi dampak dari revolusi hijau terhadap lingkungan yang justru
lebih membahayakan. Produktivitas tanah yang menggunakan pupuk kimia lama kelamaan menurun
dan tanah menjadi keras. Pestisida yang digunakan justru memunculkan hama baru dikemudian hari.

Di sini tampak bahwa petani diikatkan oleh pemerintah pada perusahaan multinasional. Biaya
produksi yang semula diharapkan rendah justru menjadi mahal dan tidak sebanding dengan harga
penjualan yang sudah direkayasa oleh pemain ekonomi ( dari tingkat tengkulak sampai spekulan
beras besar). Tidak ada alternatif tanaman lain karena semua ini diwajibkan termasuk di Indonesia
bagian timur.[9] Padahal biaya hidup yang harus ditanggung petani semakin besar. Hal ini masih
ditambah kenaikan harga gabah dan beras terasa tidak berarti karena dilakukan sebelum panen yang
berakibat harga lainnya naik terlebih dahulu. Jadinya kenaikan itu hanya semu belaka. Petani di
Indonesia seperti sengaja dibuat tidak berdaya dan dibiarkan terjerembab dengan kondisi kemiskinan.

Berhadapan dengan situasi di atas maka petani dengan lahan yang sangat luaslah atau yang
mempunyai modal besarlah yang mampu bertahan. Petani-petani kecil akhirnya entah dengan
seluruh anggota keluarga atau sebagian terutama perempuan memutuskan merantau ke kota dan
menjadi buruh. Jalan lain yang diambil adalah menjual sawah mereka untuk dijadikan lokasi indistri
atau perkebunan sehingga terjadi alih fungis lahan pertanian. Lagi-lagi petani yang sudah dikalahkan
ini berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar ( transnasioanal). Petani tidak puny apilihan
lain kecuali terkubur dalam pusaran globalisasi.

Akibat yang jauh lebih besar dari kebijakan ini adalah krisis pangan yang melanda Indonesia. Jumlah
permintaan yang besar tidak sebanding dengan produksi pangan yang dihasilkan. Bagi orang
mampu/kaya mereka masih dapat menjangkau harga pangan di pasaran tapi bagi orang kecil yang
sebagian besar mereka adalah produsen , harga pangan yang tinggi memaksa mereka mengurangi
asupan gizi yang memadai bagi kesehatan mereka, bahkan akses terhadap pangan pun tertutup.

III.B. Liberalisasi Sektor Pertanian

Krisis ekonomi yang mulai melanda tahun 1997 dengan ditandai nota kesepahaman pemerintahan
Indonesia dengan IMF memasukkan Indonesia dalam pusaran dalam liberailsme ekonomi tak
terkecuali sektor pertanian ( pangan ). Dengan mengadakan kesepakatan dengan IMF , Indonesia
harus melakukan tiga hal : liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Denga kata lain tiga hal ini
merupakan pilar dari konsep pemulihan ekonomi yang untuk negara-negara berkembang yang dikenal
dengan Washinton Consensus. [10] Kesepakatan ini akhirnya menggiring negara mengejar strategi
pertumbuhan melalui orientasi ekspor seperi perkebunan kelapa sawit yang malah merusak
ekosistem dan mengabaikan kecukupan pangan. Kecukupan pangan ini diambil dengan instan dengan
memilih impor dari pada memenuhi kebutuhan sendiri. Memang dapat dikatakan bahwa berlarut-
larutnya permasalahan pertanian dapat dikatakan kesalahan kebijakan sejak penerapan Revolusi
hijau pada tahun 1970-an. Akan tetapi kondisi yang runyam itu semakin tak karuan dengan ditanda
tangani letter of intent dengan IMF dan lembaga donor yang lain sebagai syarat peminjaman uang
yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis.

Kebijakan liberalisasi pertanian ini diwujudkan dengan penyingkiran BULOG, liberalisasi pupuk lewat
penyingkiran PUSRI dan pengurangan subsidi pertanian, dan pembebasan bea masuk pertanian. Hal
ini masih diperparah dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah yang tidak memihak dan
melindungi sektor pertanian dan pangan. UU No. 25/2000 tentang Paten,[11] UU No. 29 /2000
tentang Varietas Tanaman, [12]UU No. 31/2000 tentang Desain Industri,[13] UU No. 4 Tentang
Sumberdaya Air, Perpres No. 36 dan 65 /2006 tentang Penggunaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum,[14] UU No. 18 tentang Perkebunan dan UU 25 tentang Penanaman Modal. Situasi semakain
buruk dengan desakan WTO untuk menghapuskan hambatan tarif dan non tarif serta membiarkan
korporasi negara-negara maju untuk mengekspor hasil pertanian yang mereka subsidi ke negara
berkembang termasuk Indonesia. Dengan demikian Indonesia telah menjadi pasar bebas pertanian
dan produksi pangan oleh petani berubah menjadi industri pengan oleh perusahaan-perusahaan
besar.

Pemerintah sendiri pun akhinya menanggung beban dari kebijakan yang diterapkannya, yaitu dalam
kurun waktu 10 tahun ( 1996-2005) pemerintah menghabiskan devisa minimal Rp. 14,7 triliun per
tahun untuk mengimpor pangan. Pengeluaran dana yang sangat besar yang seharusnnya bisa
digunakan untuk memulihkan sektor pertanian. Ketika terjadi lonjakan harga komoditi pangan
pangan semester pertama 2008, seharusnya negara ini dengan tanah suburnya dapat mendulang
jutaan dolar devisa. Kenyataannya negara ini justru terjerembab dan kalang kabut berhadapan
dengan krisis tersebut. Sontak dengan kejadian tersebut, banyak orang sadar bahwa negara ini
menghadapi ancaman serius soal pangan. Pangan menjadi pertaruhan perjalanan bangsa ini.

Berawal dari Revolusi hijau telah menghilangkan unsur kemandirian/ketahanan pangan dan dengan
ditetapkan liberalisasi pertanian, negara kini tidak punya kedaulatan lagi atas pangan, negara tidak
punya kontrol atas pangan. Komoditas-komoditas pangan telah menjadi barang permainan yang
dapat diguankan seenaknya oleh para pelaku besar ekonomi. Selain menjadi permainan, perubahan
arah produksi pertanian ke tujuan ekspor dan menunjukkan seolah manusia berlomba denga mesin
memperebutkan makanan. Berarti pula karena pangan adalah elemen primer hidup manusia dan
menjadi salah satu hak asasi manusia, permainan pangan oleh perusahaan besar ini adalah
perendahan akan martabat hidup manusia. Ibaratnya, dengan liberalisasi sektor pertanian dan
pangan rakyat kecfil dan petani sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mereka menjadi voice of
voiceless . Pemerintah harus bertanggung jawab akan hal ini.

IV. Ke Pusaran Pancasila sebagai Dasar Politik

Kenyataan di atas telah menunjukkan bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia tak terlepas dari
pengaruh globalisasi. Negara sudah tidak berkuasa lagi untuk mengatur pangan guna melindungi
warga negaranya. Dampak yang dirasakan bagi Indonesia tujuan bangsa yang dicita-citakan dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea 4 seperti sebuah utupia karena penderitaan rakyat kecil terus-menerus
yang seharusnya menjadi kewajiban negara untuk melindunginya. Penerapan sistem pasar bebas
dalam sektor peranian dan pangan menunjukkan bahwa pemerintah tidak menggunakan Pancasila
sebagai dasar politiknya. Pancasila hanay menjadi hiasan bibir para elit negeri ini ketika berbicara
untuk meraih simpati rakyat sedangkan hati mereka adalah liberal.

Ke Pusaran Pancasila sebagai Dasar Politik berarti pemerintah, bangsa dan negara Indonesia kembali
lagi menggali dan menghayati Pancasila sebagai kekuatan yang menyatukan dan membangun kita.
Pancasila kembali menjadi dasar politik yang mengatur dan mengarahkan negara lepas dari tekanan
asing termasuk perusahaan-perusahaan multi nasioanal. Kemanusia yang adil dan beradab serta
keadilan sosial bagi seluruh Indonesia harus ditegagkan.

IV. A. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Krisis pangan yang melanda negeri ini membawa pada perendahan akan martabat hidup manusia
Indonesia. Kegagalan negara dalam melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya yang juga
bisa berarti pelanggaran hak asasi manusia. Dalam undang-undang HAM no. 39 tahun 1999 Pasal 9
sampai Pasal 66 menegaskan beberapa jaminan terhadap hak-hak dasar manusia termasuk dalam
menjaga pemenuhan kebutuhan pangan seperti salah satu point dalam hak sosial ekonomi yaitu right
to food (hak mendapatkan makanan).[15]

Dalam konteks ke-indonesia-an, konstitusi[16] yang sudah diamendemen menjamin setiap orang
untuk mengembankan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya yaitu pangan serta pemerintah
memberikan kemerdekaan terhadap rakyat untuk menanam jenis tanaman pangan tertentu sesuai
dengan kearifan lokal masing-masing daerah serta memberi akses ekonomis rakyatnya. Semisal,
rakyat digerakkan/dibangkitkan kembali untuk membangun lumbung desa sebagai jalan keluar
mengatasi krisis pangan. Pengembangan tanaman makanan pokok selain padi di wilayah Indonesia
Timur, kemampuan untuk pembenihan secara mandiri dibangkitkan kembali sesuai dengan kearifan
lokal yang dimiliki serta pembangkitan kembali pengetahuan spiritual dalam bertani karena dari hal
tersebut muncul kearifan untuk menjaga ekologi.

Oleh karena itu pemerintah harus benar-benar menentukan kebijakan-kebijakan konkrit dan pro
rakyat, yang tepat terhadap akar persoalan dan menyentuh sisi manusiawi para petani, tidak semata-
mata hubungan fungsional seperti meningkatkan kualitas hasil pertanian dengan modal pengelolaan
yang murah dengan memberikan kembali subsidi pupuk termasuk subsidi pengembangan tanaman
pertanian organik, benih, menciptakan sistem multikultural pangan, serta dibentuk kembali
kelompok-kelompok petani yang dapat membuat kebijakan pertanian mereka sendiri.. Pemerintah
harus benar-benar bisa melindungi hak rakyat atas pangan. Dari kebijkan ini yang diharapkan adalah
pemulihan maratabat manusia Indonesia tercipta denga kembalinya hak rakyat atas pangan.

IV.B. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Konsep keadilan Indonesia adalah mengarah pada kesejahteraan rakyat. Berarti tidak satu pun rakyar
Indonesia dibiarkan dalam kondisi tidak sejahtera. Untuk dapat mewujudkannya maka peran negara
dalam mengatur ekonomi Indonesia tetap dibutuhkan termasuk soal pertanian dan pangan. Karena
akses sederhana ( jual-beli )terhadap pangan tidaklah cukup maka dibutuhkan akses penunjang
lainnya yaitu: tanah, air, dan sumber daya. Rakyat yang merasakan dampaknya harus berhak
mengetahui dan menentukan kebijakan pangan. Pangan terlalu penting untuk diserahkan kepada
pasar global dan manipulasi perusahaan-perusahaan karena pangan dapat berpengaruh pada situasi
sosial masyarakat. Keadilan sosial ini mefokuskkan diri pada perhatian pada struktur masyarakat yang
paling bawah dengan usaha mengangkat kesejateraan mereka. Karen akalau tidak, rakyat yang
kelaparan akan membuat tergangunya stabilitas sebuah negara.

Pancasila dan Konstitusi tercantum tujuan yang pasti yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyart
Indonesia dan bagaimana negara mempunyai kewajiban untuk membantu warga negara meraihnya.
Konstitusi[17] memberi ruang pada pemerintah untuk ikut campur dalam ekonomi negara demi
tercapainya cita-cita bersama Indonesia yaitu negara kesejahteraan. Setiap warga negara harus
mampu mencapai taraf kehidupan ekonomi yang layak bagi marabat kemanusiaan, paling tidak
menciptakan kesempatan yang sama bagi setiap warga negra untuk menggunakan haknya. Campur
tangan negara harus ada dalam kebijakan pangan karena Pangan nilai fundamental dari sebuah
program yang dijalankan suatu pemerintahan semisal restrukturisasi peran BULOG menjadi lumbung
pangan nasional dan menjaga distribusi pangan secara adil. Namun demikian tidaklah berarti bahwa
kebebasan individu dilarang. Kebebasan individu termasuk dalam sektor pertanian dan pangan
diperbolehkan sejauh tidak bertentangan dan merugikan masyarakat umum

Ungkapan yang tepat untuk menjembatani tegangan antara individu denga kelompok adalah gotong
royong atau satu untuk semua. Prinsip ini terasa cocok untuk menjadi semangat negara
kesejahteraan. Gotong royong adalah ciri khas yang dimiliki bangsa ini, sebuah konsep dinamis yang
mementingkan relasi individu untuk tercapainya cita-cita bersama. Prinsip ini tumbuh dari lingkungan
desa dan dapat menjadi semnagat berdsama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian, perkembangan pertanian dan pangan tergantung dari kondisi pedesaaan. Desa harus
dijadikan sebagai basis pembangunan karena memiliki keterkaitan yang efektif dengan individu-
individu yang terlibat.

Hal yang mendesak berkaiatan dengan hal ini adalah menuntaskan agenda reformasi agraria (land
reform) agar tanah sebagai alat produksi pangan bisa merata dan berkeadilan. Reformasi agraria ini
perlu karena sebagaian besar petani saat ini adalah petani buruh. Selain itu selama jaman orde baru
dan tidak tertutup kemungkinan paska reformasi telah terjadi perampasan tanah oleh rakyat. Dengan
pelaksanaan reformasi agaria akan tercipta sebuah sistem yang adil dengan memberikan kemudahan
kepada masyarakat petani maupun masyarakat konsumen pangan perkotaan.

Jika semua hal dapat diwujudkan maka akan tercapai kedaulatan pangan.[18] Pertama, terjaminnya
agar tiap orang mendapat akses terhadap pangan yang aman, bergizi dan pantas secara budaya
dengan kuantitas dan kualitas yang cukup untuk mempertahankan kehidupan sehat dan harga diri
penuh manusia. Kedua, Kepemilikan faktor produksi oleh rakyat tanpa lahan dan petani terutama
perempuan kepemilikan dan kontrol terhadap lahan tempat mereka bekerja dan mengembalikan
wilayah-wilayah pada penduduk asli serta bebas menentukan kebijakan pertanian sesuai dengan
kebutuhan. Ketiga, menjamin perawatan dan penggunaan sumber daya alam, terutama tanah, air dan
benih.Dengan demikian bebas dari campur tangan kekuatan global ( WTO dan perusahaan-
perusahaan dibelakanganya).

Akhirnya globalisasi harus diarahkan pada kemitraan bersama/global dalam aspek kemanusian serta
disertai dengan perdagangan /pertukatran arus infiormasi dan teknologi yang adil. Tidak ada kata
terlambat untuk kembali merestorasi Pancasila sebagai pijakan bangsa dalam melangkah lepas dari
bayang-bayang liberal yang bersembunyi dibalik globalisasi. Hanya, hal yang dibutuhkan oleh elemen
bangsa ini terutama para pemangku kebijakan adalah berani melangkah.

Anda mungkin juga menyukai