Anda di halaman 1dari 16

Kurniawati, S.

Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 Jatinangor,
Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
1

GAMBARAN GANGGUAN TIDUR PADA PASIEN SISTEMIK LUPUS
ERITEMATOSUS DI SALAH SATU RS KOTA BANDUNG

Kurniawati
1
Kusman Ibrahim
1
Nursiswati
1
1
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran

ABSTRAK
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang
disebabkan oleh produksi antibodi dan pelengkap deposit kompleks imun yang
menghasilkan kerusakan jaringan, umumnya pasien SLE mengalami gangguan
tidur yang mengakibatkan gangguan kualitas hidup dan gangguan fungsi kognitif.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kuantitas tidur, jenis gangguan
tidur yang terjadi, dan intensitas terjadinya gejala gangguan tidur. Jenis penelitian
yaitu deskriptif kuantitatif dengan mememodifikasi The Sleep-50 Questionnaire.
Teknik sampel yaitu purposive sampling. Hasil penelitian dari 75 responden
didapatkan 46,67% terjadi penurunan kuantitas tidur sebelum dan setelah terkena
penyakit SLE. Berdasarkan jenis gangguan tidur, 26,67% mengalami apne tidur,
30,67% mengalami insomnia, 42,67% mengalami narkolepsi, 20% mengalami
restless legs syndrome. Berdasarkan intensitas, 61,33% tidak pernah mengalami
gejala apne tidur, 56% jarang mengalami gejala insomnia, 54,67% tidak pernah
mengalami gejala narkolepsi, dan 70,67% tidak pernah mengalami gejala restless
legs syndrome. Simpulan ditemukan jenis gangguan tidur yang terjadi yaitu
insomnia, apne tidur, narkolepsi dan restless legs syndrome.
Kata kunci : gangguan tidur, intensitas gejala gangguan tidur, kuantitas tidur,
SLE

ABSTRACT
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) is a multysystem disease that is
caused by antibody production and complement fixing immune complex
deposition that result in tissue damage, SLE patients commonly experience sleep
disturbances that lead to impaired quality of life and impaired cognitive function.
Type of research was descriptive quantitative with modification of The Sleep-50
Questionnaire. Engineering samples was purposive sampling. Sampling technique
was purposive sampling. Results obtained from 75 was 46.67% decreased in the
quantity of sleep before and after exposure to SLE disease. Based on the type of
sleep disorder, 26.67% had Sleep Apnea, 30.67% had insomnia, 42.67% had
narcolepsy, 20% had restless legs syndrome. Based on the intensity, 61.33% had
never experienced symptoms of sleep apnea, 56% rarely experience symptoms of
insomnia, 54.67% had never experienced symptoms of narcolepsy, and 70.67%
never experienced symptoms of restless legs syndrome. Conclusions found sleep
disturbance types was insomnia, sleep apnea, narcolepsy and restless legs
syndrome.
Keywords : SLE, sleep disorders, sleep quantity, sleep disorder symptom
intensity

Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
2
PENDAHULUAN
Sistemik lupus eritematosus adalah penyakit multisistem yang disebabkan
oleh produksi antibodi dan pelengkap deposit kompleks imun yang menghasilkan
kerusakan jaringan. Potensial terjadinya banyak autoantibodi yang diproduksi
pasien SLE, perbedaan target organ spesifik pada antibodi dapat disebabkan oleh
lebar spektrum klinis yang dikarakteristikkan dengan remisi dan eksaserbasi
(Tutuncu, et al., 2007).
Pada umumnya pasien dengan SLE mengalami gangguan tidur (Lahita, et
al., 2010). Gangguan tidur tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan kuantitas
tidur pada pasien SLE. Menurut Costa (2008) bahwa terjadi penurunan waktu
total tidur pada pasien SLE dibandingkan dengan orang yang normal. Menurut
Valencia (2004) 21,4% mengalami gangguan henti tidur dengan intensitas sedang,
28,6% mengalami sedikit kelainan pada pernapasan saat tidur dan 35,7% dari
sampel memenuhi kriteria objektif untuk gangguan gerakan saat tidur. Beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan tidur pada pasien SLE yaitu
aktivitas penyakit, persepsi rasa nyeri, cacat fungsional dan depresi
(Chandrasekhara, et al., 2009).
Kebutuhan tidur sangat diperlukan pada pasien SLE untuk
mempertahankan status kesehatan dan peningkatan kualitas hidup pasien SLE.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Beatriz, et al. (2006) dijelaskan bahwa
kurang tidur dapat mempercepat produksi sirkulasi ANA. Percepatan produksi
ANA dapat mempengaruhi produksi autoantibodi pada SLE (Gunarson, et al.,
2000).
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
3
Mekanisme yang mempengaruhi kekurangan tidur pada sistem kekebalan
tubuh tidak sepenuhnya dipahami, tetapi sistem yang mengatur aktivitas
kekebalan tubuh juga dipengaruhi oleh kekurangan tidur, seperti sistem endokrin.
Misalnya, Everson dan Crowley (2004) percaya bahwa penurunan aktivitas
kekebalan setelah kekurangan tidur adalah karena penurunan sekresi hormon
pertumbuhan (GH) dan prolaktin (PRL). Lange dan rekan (2003) mengamati
bahwa penelitian mengenai kekurangan tidur menunjukkan rendahnya produksi
GH dan PRL. Oleh karena itu, gangguan tidur dapat mempercepat terjadinya
penyakit lupus dan meningkatkan produksi ANA. Hal ini menekankan
pentingnya tidur yang cukup pada pasein SLE (Beatriz, et al. 2006).
Adapun dampak lain dari gangguan tidur pada SLE yaitu mengakibatkan
kelelahan (Iaboni, et al., 2006). Kelelahan adalah salah satu yang paling sering
dilaporkan gejala dari SLE (Krupp, Larocca, Muir, & Steinberg, 1990). Efek
jangka panjang kelelahan dapat mengakibatkan terganggunya kualitas hidup
pasien SLE (Avina, 2007).
Selain itu, hasil survei yang dilakukan pada 12 orang pasien SLE
menyatakan lima diantaranya tidak memiliki gangguan tidur. Sedangkan tujuh
orang lainnya menyatakan keluhan tentang gangguan tidur yang diderita. Adapun
gangguan tidur yang dialami yaitu kesulitan memulai tidur, sering terbangun
ditengah tidur dan sulit untuk tidur kembali setelah terbangun ditengah tidur
sebanyak empat orang. Dampak yang terjadi dari gangguan yang dialami oleh
ketujuh pasien tersebut yaitu merasa kelelahan sepanjang hari, mudah jengkel dan
kesulitan untuk berkonsentrasi.
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
4
Dari hasil studi pendahuluan diatas menunjukkan bahwa penyakit SLE
berdampak pada kuantitas dan kualitas tidur. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran gangguan tidur pada
pasien SLE.
Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran gangguan tidur pada pasien
Sistemik Lupus Eritematosus, meliputi kuantitas tidur pasien sebelum dan sesudah
terkena SLE, jenis gangguan tidur yang dialami oleh pasien SLE dan intensitas
gejala gangguan tidur yang terjadi.
Kegunaan penelitian bagi rumah sakit dan perawat yaitu memberikan
informasi sehingga hasilnya digunakan sebagai pertimbangan untuk membentuk
tim perawat khusus dalam penanganan gangguan tidur dan pelatihan kepada
tenaga keperawatan mengenai penanganan gangguan tidur yang tepat pada pasien
SLE. Bagi peneliti selanjutnya dapat digunakan sebagai referensi dan data dasar
untuk penelitian selanjutnya mengenai gangguan tidur pada pasien SLE.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien SLE yang
memeriksakan kesehatannya. Sampel diambil dengan teknik purpossive sampling,
kriterianya yaitu berumur 21 sampai 60 tahun, merupakan pasien tetap, tidak
overlap syndrome, pasien masih mengingat pengalaman mengenai gangguan tidur
yang terjadi dan bersedia menjadi sampel penelitian.Variabel yang ingin diteliti
dalam penelitian ini yaitu gangguan tidur dengan dimensi jenis gangguan tidur,
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
5
kuantitas tidur pasien SLE sebelum terdiagnosa SLE dan sesudah terdiagnosa SLE
serta intensitas gejala gangguan tidur pada pasien SLE.
Instrumen yang digunakan dalam pengambilan data pada penelitian ini
yaitu modifikasi instrumen The Sleep-50 Questionnaire dan pertanyaan tertutup
mengenai kuantitas tidur. Komponen pada instrumen penelitian ini yaitu
mengenai data demografi pasien, kuantitas tidur sebelum dan setelah terkena SLE,
jenis gangguan tidur yang terjadi dan intensitas gejala gangguan tidur yang terjadi.
Adapun uji validitas dan reliabilitas dari instrumen The Sleep-50 Questionnare
yaitu konsistensi internal 0,85 dan uji reliabilitas-tes ulang sebesar 0,78 (Shahid,
Wilkinson, Marcu, and Shapiro, 2012).
Teknik analisis data pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu
kuantitas tidur, jenis gangguan tidur dan intensitas gejala gangguan tidur.
Kuantitas tidur yaitu perbandingan antara total jumlah jam tidur (siang dan malam
hari) sebelum dan setelah terkena SLE. Hasilnya yaitu apabila menurun maka
jumlah jam tidur sebelum terkena SLE > jumlah jam tidur setelah terkena SLE,
meningkat bila jumlah jam tidur sebelum terkena SLE < jumlah jam tidur setelah
terkena SLE, sedangkan normal bila jumlah jam tidur sebelum terkena SLE =
jumlah jam tidur setelah terkena SLE.
Jenis gangguan tidur dapat dinilai melalui nilai cutt-off dari instrumen The
Sleep-50 Questionnare yaitu jika nilai item 2-9 bernilai 15 dan item 45-51
bernilai 15 maka terkena apne tidur, jika nilai item 10-17 bernilai 19 dan item
45-51 bernilai 15 maka terkena insomnia, jika nilai item 18-22 bernilai 7 dan
item 45-51 bernilai 15 maka terkena narkolepsi dan jika nilai item 23-26
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
6
bernilai 7 dan item 45-51 bernilai 15 maka terkena restless legs syndrome/
periodic limb movement disorder. Intensitas gejala gangguan tidur dapat dilihat
dari penjumlahan pengisian mengenai intensitas terjadinya gejala gangguan tidur
yang terjadi yaitu tidak pernah, jarang, sering dan sangat sering.
Hasil akhir analisis data berupa prosentase mengenai data demografi,
kuantitas tidur, jenis gangguan tidur dan intensitas terjadinya gangguan tidur.
Adapun interpretasi hasil yaitu 0% (tidak seorangpun dari responden), 1-25%
(sebagian kecil responden), 26-49% (hampir setengahnya dari responden), 50%
(sebagian responden), 51-75% (sebagian besar responden), 76-99% (hampir
seluruh responden), 100% (seluruh responden). (Arikunto,2006).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=75)
Variabel f %
1. Umur
Dewasa Awal (21-40)
Dewasa Tengah (41-60)

51
24

68
32

2. Indeks Masa Tubuh
BB Kurang ( IMT <18,5)
BB Normal (18,5>IMT<22,9)
Kelebihan BB (23>IMT<24,9)
Beresiko Obesitas (25>IMT<29)
Obesitas (IMT >30)

6
22
6
9
32

8
29
8
12
42,67

3. Pekerjaan
PNS
Pegawai swasta/Wirausaha
Ibu Rumah Tangga
Lain-Lain

16
10
41
8

21,33
13,33
54,67
10,67


4. Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki

73
2

97,33
2,67




Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
7
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=75)(lanjutan)
Variabel f %
5. Lokasi Tinggal
Pemukiman penduduk yang padat
Di pinggir jalan umum/jalan raya
Lain-Lain

33
22
20

44
29,33
26,67

6. Status Pernikahan
Belum Menikah
Menikah
Janda/Duda

14
60
3

18,6
80
4

7. Teman Sekamar
Sendiri
1-2 Orang
3-4 Orang
Lebih dari 4 Orang

13
56
4
2

17,33
74,67
5,33
2,67

8. Pendidikan
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi

0
6
16
53

0
8
21,4
70,6
Berdasarkan Tabel 1, pasien SLE menunjukkan sebagian besar umur
responden masuk dalam kategori dewasa awal yaitu sebanyak 51 responden
(68%), indeks masa tubuh diketahui sebanyak 32 responden (42,67%) mengalami
obesitas, jenis kelamin diketahui hampir seluruh responden sebanyak 73
responden (97,33%) berjenis kelamin perempuan, lokasi tinggal diketahui
sebanyak 33 responden (44%) bertempat tinggal di pemukiman penduduk yang
padat, pekerjaan diketahui sebagian besar responden sebanyak 41 responden
(54,67%) sebagai ibu rumah tangga, teman sekamar diketahui sebagian besar
responden sebanyak 56 responden (74,67%) mempunyai teman sekamar sebanyak
1-2 orang, status pernikahan diketahui hampir seluruh responden sebanyak 60
responden (80%) sudah menikah dan pendidikan hampir seluruh responden
sebanyak 53 responden (70,6%) pendidikan terakhirnya yaitu perguruan tinggi.
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
8
Berdasarkan kuantitas tidur, pasien SLE mengalami penurunan kuantitas
tidur sebelum dan setelah terkena SLE sebesar 35 responden (46,67%). Adapun
rincian mengenai kuantitas tidur dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kuantitas Tidur Sebelum dan
Sesudah Terkena SLE
Kuantitas Tidur f %
Menurun
Meningkat
Normal
35
15
25
46.67
20
33,33
Jumlah 75 100


Berdasarkan jenis gangguan tidur, pasien SLE menunjukkan sebagian
besar responden yaitu 55 responden (73,33%) tidak terkena apne tidur, sebagian
besar responden yaitu 52 responden (69,33%) tidak terkena insomnia, sebagian
besar responden yaitu 43 responden (57,33%) tidak terkena narkolepsi dan hampir
seluruh responden yaitu 60 responden (80%) tidak terkena restless legs
syndrome/periodic limb movement disorder. Adapun rincian mengenai jenis
gangguan tidur dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Gangguan Tidur
(n=75)
Jenis Gangguan Tidur f %
1. Apne Tidur
Tidak
Ya

55
20

73,33
26,67
2. Insomnia
Tidak
Ya

52
23

69,33
30,67
3. Narkolepsi
Tidak
Ya
43
32
57,33
42,67
4. RLS/PLMD Tidak
Ya

60
15

80
20


Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
9
Berdasarkan intensitas gejala gangguan tidur, pasien SLE menunjukkan
61,33% tidak pernah mengalami apne tidur, 56% jarang mengalami insomnia,
54,67% tidak pernah mengalami gejala narkolepsi dan 70,67% tidak pernah
mengalami gejala Periodic Limb Movement Disorder/ Restless legs syndrome.
Adapun rincian mengenai jenis gangguan tidur dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah
ini.
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Intensitas Gejala Gangguan
Tidur (n=75)
Intensitas
Apne tidur Insomnia Narkolepsi RLS/PLMD
f % F % f % f %
Tidak
pernah
46 61,33

16

21,33

41

54,67

53

70,67

Jarang 26 34,67 42 56 31 41,33 17 22,67
Sering 2 2,67 13 17,33 3 4,00 3 4,00
Sangat
sering
1 1,33 4 5,33 0 0 2 2,67

Hasil penelitian menjelaskan bahwa hampir setengah dari responden
kuantitas tidurnya sebelum dan setelah terkena penyakit SLE terjadi penurunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Costa, et al. (2005) terjadi penurunan waktu total
tidur pada pasien SLE dibandingkan dengan orang yang normal. Berdasarkan
literatur dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat kesamaan hasil
pada kuantitas tidur pasien SLE yaitu terjadi penurunan.
Adapun faktor yang berkaitan dengan hasil penelitian yaitu faktor
kebisingan dan depresi. Timbulnya kebisingan berdasarkan penelitian yaitu
karena lokasi tinggal dan teman sekamar (Buchari, 2007). Hasil penelitian
didapatkan hampir setengah responden lokasi tempat tinggalnya berada di daerah
pemukiman penduduk yang padat dan sebagian besar responden tidur dengan 1-2
orang dalam satu kamar. Namun, berdasarkan hasil kuesioner terdapat 66,7%
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
10
responden tidak merasa lingkungan sekitar berisik pada malam hari. Hal ini
mengakibatkan meskipun pemukiman penduduk tersebut padat dan mempunyai
teman sekamar namun bila responden merasa nyaman tidak berpengaruh pada
tidurnya. Selain itu hasil penelitian menunjukkan adanya gejala depresi (53,3%
responden jarang merasakan dan 41% responden jarang kurang tertarik dengan
kegiatan sehari-hari).
Selain kuantitas tidur, pembahasan lainnya yaitu mengenai jenis gangguan
tidur. Jenis-jenis gangguan tidur diantaranya apne tidur, insomnia, dan narkolepsi
(Perry & Potter, 2010). Salah satu jenis gangguan tidur yang terjadi pada SLE
antara lain apne tidur dengan prosentase hampir setengah dari responden
(26,67%). Adapun prevalensi apne tidur yang terjadi pada SLE berdasarkan
literatur yaitu 20-25% (Smith, et al., 2008). Hasil penelitian dan literatur
disimpulkan bahwa terdapat kesamaan. Faktor tejadinya apne tidur yaitu hampir
setengah dari responden memiliki indeks massa tubuh lebih dari 30 (obesitas). Hal
ini dapat menghasilkan jaringan berlebih pada tenggorokan bagian belakang yang
mengakibatkan terjadinya kesulitan bernapas saat tidur (Hanger, 2003). Gangguan
tidur berikutnya yaitu insomnia dengan prosentase hampir setengah dari
responden (30,67%). Faktor yang mempengaruhi terjadinya kesulitan dalam
mempertahankan tidur pada pasien SLE yaitu gangguan pernapasan, gangguan
gerak selama tidur (Costa, 2008), umur (Perry & Potter, 2010), depresi (Berk,
2009), dan durasi tidur (Chandrasekhara, et al., 2009).
Berdasarkan penelitian prosentase terjadinya gangguan pernapasan pada
pasien SLE yaitu 26,67% dan gangguan gerak selama tidur yaitu 20%, prosentase
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
11
umur berdasarkan karakteristik responden yaitu 32% pasien SLE masuk pada
kategori dewasa tengah, pada penelitian tidak memperhatikan lama terkena
penyakit, berdasarkan hasil di kuesioner terdapat gejala depresi (53,3% responden
jarang merasakan kesedihan dan 41% responden jarang kurang tertarik dengan
kegiatan sehari-hari).
Selain apne tidur dan insomnia, adapula jenis gangguan tidur narkolepsi
dengan prosentase hampir setengah dari responden (42,67%). Pada penelitian
yang dilakukan oleh Iaboni, et al. (2006) dilaporkan terdapat satu orang pasien
SLE yang mengalami narkolepsi dengan katapleksi. Penelitian yang dilakukan
oleh Iaboni, et al. menunjukkan adanya kesenjangan dengan hasil penelitian.
Faktor yang menyebabkan terjadinya narkolepsi yaitu genetik, lingkungan (seperti
infeksi dan trauma kepala) dan perubahan kebiasaan pola bangun-tidur (Zeitzer, et
al., 2008). Namun, dilapangan peneliti hanya menemukan mengenai perubahan
kebiasaan pola bangun-tidur yaitu kesulitan untuk memulai tidur dan
mempertahankan tidur (insomnia) sebesar 30,6% pasien, selain itu terdapat
26,67% terkena apne tidur serta terdapat 20% terkena restless legs syndrome.
Kesimpulan terdapat gangguan tidur yang bervariasi walaupun prevalensinya
rendah. Hal ini dapat berefek pada perubahan pola bangun-tidur sehingga dapat
memengarui terjadinya prevalensi yang cukup tinggi pula pada kejadian
narkolepsi.
Gangguan tidur lainnya yaitu restless legs syndrome dengan prosentase
sebagian kecil dari responden (20%). Prosentase kejadian restless legs syndrome
berdasarkan literatur yaitu 25-35% (Smith, et al., 2008). Berdasarkan hasil
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
12
penelitian dan literatur dapat disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara hasil
penelitian dan literatur. Faktor yang mempengaruhi terjadinya restless legs
syndrome berdasarkan hasil penelitian yaitu umur, indeks masa tubuh, kebiasaan
merokok (Hassan, et al., 2011) dan aktivitas penyakit. Berdasarkan umur
didapatkan bahwa persentase paling tinggi yaitu 68% pada dewasa awal (20-40
tahun), berat badan didapatkan hasil 42,67% responden yang memiliki IMT >30
(obesitas), dan kebiasaan merokok dari hasil penelitian didapatkan hampir 97,33%
responden tidak pernah merokok. Faktor-faktor yang terjadi mempunyai
prosentase yang rendah pada umur yang harusnya lebih banyak terjadi pada umur
dewasa akhir (Perry&Potter, 2010), berat badan, dan kebiasaan merokok yang
dapat dikategorikan baik sehingga prosentase terjadinya restless legs syndrome
rendah.
Salah satu intensitas gejala tidur yaitu apne tidur. Hasil penelitian
menunjukkan sebagian besar responden tidak pernah mengalami apne tidur,
namun penelitian Valencia, et al. (2004) menunjukkan intensitas apne tidur yang
terjadi pada tingkat sedang (kuantitas indeks gangguan bernapas antara 10 dan
30). Hasil intensitas gejala apne tidur menurut penelitian di tempat lain dan hasil
penelitian memperlihatkan perbedaan hasil. Intensitas gejala tidur berikutnya
yaitu intensitas gejala insomnia dengan prosentase sebagian besar responden
jarang mengalami kesulitan tidur (insomnia). Penelitian yang dilakukan oleh
Gudbjornsson & Hetta (2001) menjelaskan frekuensi terjadinya kesulitan memulai
tidur yaitu cukup rendah dibandingkan dengan orang yang normal. Pada hasil
penelitian dan literatur dapat disimpulkan terdapat kesamaan hasil.
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
13
Selain apne tidur dan insomnia, adapula intensitas gejala narkolepsi
dengan prosentase sebagian besar responden (54,67%) tidak pernah mengalami
gejala narkolepsi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Iaboni, et al. (2006) melaporkan bahwa hanya terdapat satu orang pasien
dari penelitiannya yang mengalami narkolepsi-katapleksi. Hasil penelitian ini
sesuai dengan literatur yang ada.
Intensitas gejala gangguan tidur lainnya yaitu restless legs syndrome
dengan prosentase sebagian besar pasien tidak mengalami restless legs syndrome,
namun penelitian Iaboni, et al. (2006) menunjukkan hasil rata-rata terjadinya
periodic limb movement disorder dengan menggunakan alat polysomnography
dalam satu malam didapatkan hasil indeks yaitu 31,1 (intensitas pada tingkat
ringan) (Chiong, 2006). Berdasarkan hasil penelitian dan penelitian lain mengenai
hal ini dapat disimpulkan terjadi perbadaan hasil.

SIMPULAN
Hasil penelitian dari 75 responden didapatkan penurunan kuantitas tidur
sebelum dan setelah terkena penyakit SLE (46,67%). Jenis gangguan tidur,
26,67% apne tidur, 30,67% insomnia, 42,67% narkolepsi dan 20% restless legs
syndrome. Intensitas gejala gangguan tidur, 61,33% tidak pernah mengalami
gejala apne tidur, 56% jarang mengalami gejala insomnia, 54,67% tidak pernah
mengalami gejala narkolepsi, dan 70,67% tidak pernah mengalami gejala restless
legs syndrome.

Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
14
SARAN
Saran bagi keperawatan yaitu memberikan asuhan keperawatan yang tepat
mengenai penanganan gangguan tidur. Sedangkan bagi peneliti selanjutnya yaitu
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi gangguan tidur
pada pasien SLE.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, direktur rumah sakit
yang telah memberikan izin penelitian, kepala poliklinik, responden dan perawat
ruangan yang telah banyak membantu dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Posedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi V.
Jakarta: Rineka Cipta.
BC Lupus Society Symposium. 2007. The Importance of Fatigue in Lupus. Avina,
Antonio. ed. Kanada.
Beatriz, Duarte Palma., Alexandre Gabriel, Jr., Fernando A. B. Colugnati &
Sergio Tufik. 2006. Effects of Sleep Deprivation on The Development of
Autoimmune Disease on an Experimental Model of Systemic Lupus
Erythematosus Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 291:1527-1532.
Berk, Micheal. (2009) Sleep and Depression: Theory and Practice Australian
Family Physician 38: 302-304.
Buchari. 2007. Kebisingan Industri & Hearing Conservation Program. USU
Medan.
Chandrasekhara, PKS., J. Nambiar Veettil., R. Liza., T. Joe & W. Gumdal. 2009.
The Prevalence and Associations of Sleep Disturbances in Patient with
Systemic Lupus Erythematosus Modern Rheumatology 19:407-415.
Chiong, Teofilo Lee. 2006. Sleep: A comprehensive Handbook. New Jersy: John
Wileys Sons.
Costa, Deborah Da. 2008. Sleep and Systemic Lupus Erythematosus. in: Joris C.
Vester., S.R. Pandi-Perumal. & David L. Streiner. Sleep and Quality of
Life in Medical Illness, pp. 433-440. Humanan Press, New York..
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
15
Everson CA & Crowley WR. 2004. Reductions in Circulating Anabolic
Hormones Induced by Sustained Sleep Deprivation in Rats Am J Physiol
Endocrinol Metab 286: E1060E1070.
Gudbjornsson, B & J. Hetta. 2001. Sleep Disturbances in Patients with Systemic
Lupus Erythematosus: A Questionnaire Based Study Clin Exp Rheumatol
19:50914.
Gunarson, I., Nordmark, B., Hassan Bkri, A., Grondal, G., Larsson, P. Forslid, J.
et al. 2000. Development of Lupus-Related Side-Effects in Patients with
Early Ra during Sulphasalazine Treatment-The Role of Il-10 and HLA
Rheumatology 38:886-893.
Hanger, Nancy C. 2003. A Patient. Expert Walks You Through Everything You
Need to Learn and Do The First Year Lupus: an Essential Guide for The
Newly Diagnosed. New York: Marlowe & Company.
Hassan, Christian A , Noura., Ann E, Pineau., Vinet, Clarke Evelyne., Ng,
Ryan & Bernatsky, Sasha. 2011. Systemic Lupus and Risk of Restless Legs
Syndrome. The Journal of Rheumatology.
Iaboni, A., Ibanez D., DD. Gladman., MB. Urowitz. & H. Moldowfskt. 2006.
Fatigue in Systemic Lupus Erythematosus: Contributions of Disordered
Sleep, Sleepiness and Depression J Rheumatology 33: 1-5.
Krupp, L.B., LaRocca, N.G., Muir, J., & Steinberg, A.D. 1990. A Study of Fatigue
in Systemic Lupus Erthyematosus Journal of Rheumatology 17: 1450-
1452.
Lahita, Robert G., Tsokos, George., Buyon, Jill P. 2010. Systemic Lupus
Erythematosus Fifth Edition. British: Academic Press.
Lange T., Perras B., Fehm HL, & Born J. 2003. Sleep Enhances The Human
Antibody Responses to Hepatitis a Vaccination Psychosom Med 65: 831
835.
Perry, A.G & Potter, P.A. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses dan Praktik, Volume 2, Edisi 4. Jakarta: EGC.
Shahid, Azmeh., Wilkinson, Kate., Marcu, Shai. & Shapiro, Colin M. 2012. Stop,
that and One Hundred Other Sleep Scales. New York: Spinger.
Smith, Harold R., Comella, Cynthia L., Hgl, Birgi. 2008 . Sleep Medicine. UK:
Cambtidge University Press.
Tutuncu, ZN. & K. Kenneth C. 2007. The Definition and Classification of
Systemic Lupus Erythematosus. In : Wallace, D.J., Hahn, Bevra. &
Dubois, Edmund L. Dubois Lupus Erythematosus Seventh Edition, p.
16. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Valencia-Flores, M,. Cardiel, M H., Santiago, V., Resendiz, M., Castao, V A.,
Negrete, O. et al . 2004 Prevalence and Faactors Associated with
Fibromyalgia in Mexican Patients with Systemic Lupus Erythematosus
Lupus 13: 4-10.
Zeitzer JM., Bourgin P. & Mignot E. 2008. CSF Hypocretin-1 Assessment in
Sleep and Nuerological Disorders Lancet Neurol 7: 649-6.
Kurniawati, S.Kep
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. (Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21
Jatinangor, Sumedang). Email penulis : nea_derlannisa@yahoo.com
16

Anda mungkin juga menyukai