Konsorsium LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) dengan Fakultas
Kehutanan IPB melakukan kegiatan penelitian dan pendampingan masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sejak tahun 1993. Kegiatan tersebut merupakan contoh kasus penerapan manajemen kolaboratif. Deskripsi berikut ini merujuk laporan Aliadi (1996), LATIN (1999), dan Kaswinto et.al. (1999).
Identifikasi 1. Identifikasi Stakeholder : Pengelolaan TNMB : menjalankan manajemen sentralistik sesuai dengan perannya sebagai perpanjangan tangan Departemen Kehutanan dan Perkebunan ; berkepentingan untuk menjaga kelestarian kawasan TNMB Pemerintahan Daerah Tingkat II Jember : penguasa wilayah administratif Kabupaten Jember (termasuk di dalamnya adalah kawasan TNMB) ; berkepentingan untuk mengembangkan ekonomi wilayah melalui pendukungan ekonomi masyarakat (termasuk di sekitar kawasan TNMB). Polisi Hutan : aparat TNMB ; bertugas untuk menghalau perambah, yaitu pencuri kayu jati dalam kawasan TNMB dan mengendalikan pemanen tanaman obat. Masyarakat : berkepentingan untuk dapat menangkap manfaat yang diberikan oleh TNMB, terdiri atas : (1). Masyarakat pemanen tanaman obat; (2) Pengrajin industri rumah tangga jamu tradisional; (3) Pencuri kayu; dan (4) Masyrakat yang berdekatan dekatan kawasan tapi domisilinya di luar perkampungan masyarakat butir (1) dan (2).
2. Identifikasi Kelembagaan Lokal : Masyarakat setempat memiliki pengetahuan yang baik tentang jenis dan teknik budidaya tanaman obat di dalam kawasan TNMB. Masyarakat setempat memiliki pengetahuan yang baik tentang proses pengolahan tanaman obat menjadi jamu siap minum. Masyarakat setempat memiliki pengetahuan yang baik tentang nilai ekonomi setiap jenis tanaman obat di dalam kawasan TNMB. Terdapat tatanilai dan kebiasaan yang mendukung kegiatan kolektif. 3. Identifikasi Konflik : Konflik antara pemerintah daerah dengan Pengelola TNMB, menyangkut masalah koordinasi dan orientasi kegiatannya. Konflik Pengelola TNMB menganggap masyarakat sebagai perambah yang merusak kelestarian TNMB. Konflik antara Polisi Hutan dengan masyarakat. Polisi Hutan menganggap masyarakat sebagai pencuri. Konflik antara masyarakat, karena ada persaingan yang tidak sehat dalam pemanenan tanaman obat di dalam kawasan TNMB berkaitan dengan meningkatnya permintaan terhadap tanaman obat sementara kelimpahan sumberdayanya semakin menurun. Studi teknik budidaya spesie terpilih. Studi ini diarahkan bagi upaya perbaikan kualitas dan kuantitas kemukus, cabe jawa, kedawung, dan pule pandak. Persiapan pengembangan masyarakat, antara lain bertujuan untuk (a) Mengetahui masalah dan kondisi social ekonomi desa-desa disekitar TNMB dan memilih desa untuk dijadikan pilot project (ujicoba); (b) Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat tentang TNMB ; (c) Mengembangkan suatu mekanisme hubungan dan interaksi antara masyarakat dengan pengelola TNMB, pemerintah daerah, dan stakeholder lain yang terkait ; dan (d) Mengembangkan suatu model pengelolaan TNMB yang kolaboratif. 4. Tahap Ujicoba. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 1995-1998 mencakup komponen kegiatan sebagai berikut : Agroforestry pada kawasan seluas 7 ha didalam zona rehabilitasi, yang melibatkan 47 KK petani. Pada kawasan ini ditanam 3000 batang tanaman pokok asli TNMB dengan jarak tanam rapat yaitu kedaung, keluek (Pangium edule), kemiri (Aleurites molluccana), dan trangbesi (Ptecolobium saman). Di sela-sela tanaman pokok, petani melakukan tumpangsari palawijaya dan empon-empon. Hasil dari tumpangsari tersebut mampu memberikan kontribusi 40 %- 50% dari total pendapatan yang diterima oleh petani. Pola tanam ini identik dengan kasus Sesaot. Hasil evaluasi terpenting dari kegiatan ini adalah: (a) Kegiatan agroforestry dan tumpangsari mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan sekaligus sesuai dengan tuntutan konservasi; dan (b) Perlu dicoba untuk melakukan penanaman tanaman pokok dengan jarak lebih renggang, agar kegiatan tumpangsari dapat dilakukan sepanjang masa. Pembinaan industry rumahtangga pembuatan jamu tradisional. Bersama-sama dengan agroforestry, kegiatan ini dijadikan sebagai kegiatan perekat. Penguatan kelembagaan local, yang diarahkan agar masyarakat mampu menjalankan kegiatan usaha produktif secara mandiri dengan tetap tunduk pada kepentingan pelestarian. Menjalin komunikasi dan koordinasi yang intensif dengan stakeholder terkait terutama pihak pengelola TNMB dan Pemerintah Daerah. Pengembangan apresiasi pemerintah terhadap masyarakat lokal. Kegiatan ini antara lain berupa pembentukan dan pengaktifan Forum Koordinasi Pengelola Zona Penyangga TNMB (FKPZP) di tingkat kabupaten (yang melibatkan Pemerintah Daerah, Pengelola TNMB, Universitas Jember dan Konsorsium Fahutan IPB- LATIN) dan Forum Koordinasi Antar Warga Desa (FKAWD) di tingkat kecamatan. FKAWD ini merupakan forum komunikasi dan pembahasan rencana kegiatan tingkat desa secara partisipatif; hasilnya diusulkan kepada FKPZP yang pada gilirannya FKPAP akan membahasnya secara lintas sektoral. Pada bulan Juli 1998 dilakukan juga suatu Seminar Pengembangan Potensi Sumberdaya Lokal di Jember yang dihadiri (80 orang) Bappeda Tingkat II Jember, Pengelola TNMB, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Departemen Kesehatan, FKAWD, anggota kelompok dampingan, Universitas Jember, mahasiswa pecinta alam, dan sebagainya.
Kegiatan ini memberikan hasil yang positif, antara lain: (a) Terbentuk pemahaman yang sama di antara stakeholder tentang pemanfaatan TNMB yang lestari; (b) Terbentuk pemahaman Pemerintah Daerah dan Pengelola TNMB bahwa masyarakat itu bukan merupakan eksternalitas melainkan dapat diarahkan untuk menjadi asset produktif yang dapat turut mengelola dan menjaga kelestarian kawasan TNMB; (d) Pemerintah Daerah menyadari bahwa pengembangan wilayah dan perekonomian masyarakat yang berbasis pada potensi sumberdaya lokal dan kebutuhan masyarakat itu merupakan pilihan terbaik, yang antara lain ditunjukkan dengan upaya untuk melibatkan motivator LATIN di lapangan untuk turut mereplikasikan proses perencanaan partisipatif di daerah lainnya; (e) Meningkatnya kepercayaan diri masyarakat, bahwa memanfaatkan kawasan zona rehabilitas TNMB dengan cara pilihan itu ternyata mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan keluarga secara signifikan. Muncul indikasi yang kuat bahwa konflik dapat diresolusi dengan baik, dan kegiatan pencurian kayu jati disekitar kawasan yang dikoelola oleh masyarakat terhenti meski masyarakat petani tanaman obat tidak melakukan penjagaan dan pengawasan secara langsung.
5. Tahap pemassalan , yang dimulai pada tahun 1998. Kegiatan ini merupakan replikasi dari ujicoba diatas pada skala yang lebih luas. Pada tahap awal akan melibatkan ratusan KK di tiga desa yang mencakup ratusan hektar zona rehabilitasi yang secara sistematik diproyeksikan untuk dikembangkan pada zona rehabilitasi TNMB seluas 5,470 ha. Pada tahapan ini, tidak terjadi perubahan yang mendasar kecuali introduksi dua hal sebagai berikut: (a) Mengujicobakan jarak tanam tanaman pokok yang lebih renggang untuk memberikan kesempatan bertumpangsari kepada petani dalam kurun waktu yang panjang; dan (b) menggalang partisipasi pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan pada masyarakat diluar pengguna tanaman obat, misalnya melalui introduksi program pengembangan ternak kambing.