Anda di halaman 1dari 18

7

II. TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Reklamasi dan Revegetasi Lahan Tambang
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya
energi dan mineral, baik berupa minyak dan gas bumi, emas, tembaga, nikel, dan
lain-lain. Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat
penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena
berhubungan dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat
bagi masyarakat di sekitar tambang. Perubahan lingkungan di sekitar
pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga manajemen pengelolaan yang
efektif menjadi indikator keberlanjutan pertambangan. Menurut Sumantri et al.
(2008) pengelolaan limbah pertambangan mineral (emas dan tembaga) yang telah
dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih belum mampu mengatasi
degradasi kualitas lingkungan bio-fisik dan masalah sosial kemasyarakatan,
meskipun beberapa kegiatan pertambangan telah berorientasi pada industri bersih
yang berwawasan lingkungan.
Kegiatan penambangan di Indonesia umumnya dilakukan dengan teknik
penambangan di permukaan (darat). Penambangan seperti ini menerapkan teknik
penambangan terbuka (open pit mining) yang diawali dengan pembukaan lahan,
pengikisan lapisan tanah atas, pengerukan dan penimbunan. Aktivitas ini dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi hutan terutama hutan lindung.
Dampak yang ditimbulkan terhadap fungsi hutan lindung adalah menghancurkan
ekosistem hutan (termasuk penghilangan vegetasi), meningkatnya laju erosi,
aliran permukaan (run-off), sedimentasi dan rusaknya wilayah penangkap air
(watershed areas) serta terganggunya tingkat stabilitas lahan dan berubahnya
iklim mikro. Dampak lainnya berupa gangguan terhadap status biodiversity jenis-
jenis tanaman lokal, habitat satwa dan rusaknya bentang alam yang asli
(fragmentasi habitat) (Setiadi 2006). Menurut Asad (2005) kegiatan
penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta biologi tanah melalui
pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian serta pembuangan
tailing. Penambangan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan
menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dengan bahaya erosi dan tanah
8

longsor karena hilangnya vegetasi penutup tanah. Hilangnya vegetasi hutan akibat
pertambangan dapat meningkatkan aliran permukaan (run off), vegetasi dapat
merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungannya dengan air, dapat
mempengaruhi kondisi permukaan tanah, sehingga mempengaruhi besar kecilnya
aliran permukaan (Asdak, 2004). Menurut Lau (1999) adanya aktivitas
pertambangan dapat memunculkan lahan terganggu, rusaknya drainase dan habitat
alami serta menimbulkan polusi.
Upaya mencegah kerusakan lingkungan yang lebih buruk dan berlanjut,
maka perlu dilakukan rehabilitasi, reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang.
Kepmenhutbun : 146/Kpts-II/1999 dijelaskan mengenai rehabilitasi lahan yaitu
usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang
rusak (kritis), agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi,
media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan.
Reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan
vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya. Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan
bekas tambang (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen
Kehutanan 1997).
Kegiatan reklamasi dan atau rehabilitasi lahan wajib dilakukan oleh
pengusaha tambang, sebagai tanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini
berdasarkan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Produk hukum tersebut diantaranya UU No 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan: 146/Kpts-II/1999 tentang, Pedoman Reklamasi Bekas
Tambang dalam Kawasan Hutan, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang,
UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kendala utama dalam melakukan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi pada
lahan-lahan terbuka pasca penambangan adalah kondisi lahan yang marginal.
tanah yang memadat, minimnya kandungan unsur hara, potensi keracunan
mineral, miskinnya bahan organik, status KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang
9



rendah dan minimnya populasi dan aktivitas mikroba tanah potensial, merupakan
faktor-faktor penyebab buruknya pertumbuhan tanaman dan rendahnya tingkat
keberhasilan rehabilitasi (Setiadi 2006).
Strategi menyeluruh dalam merehabilitasi lahan bekas tambang sangat
diperlukan diantaranya adalah perbaikan kondisi tanah yaitu dengan melakukan
perbaikan ruang tumbuh, pemberian top-soil dan bahan organik serta pemupukan
dasar dan pemberian kapur. Strategi dalam memilih spesies dimana secara
ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi
tidak untuk kondisi tanah. Diperlukan studi awal untuk melihat apakah spesies
tersebut cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat
tumbuh. Menurut Lugo (1997) penanaman pohon-pohon akan memberi
keuntungan bagi kegiatan rehabilitasi lahan, karena akan memungkinkan
terjadinya suksesi Jump-start (permulaan yang sangat cepat), memberikan
naungan dan modifikasi ekstrim dari kerusakan lahan. Keberhasilan dalam
merestorasi lahan bekas tambang ditunjang oleh usaha-usaha seperti perbaikan
lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang sesuai, aplikasi teknik silvikultur yang
benar dan penggunaan pupuk biologis.
Menurut Setiadi (2006) revegetasi mencakup re-establishment komunitas
tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan,
perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara
langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar,
biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air. Ada beberapa model revegetasi
lahan yang terdegradasi diantaranya adalah restorasi (memiliki aksentuasi pada
fungsi proteksi dan konservasi serta bertujuan untuk kembali ke kondisi awal),
reforestasi dan agroforestri (Setiadi 2006). Aktivitas dalam kegiatan revegetasi
meliputi beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii)
produksi bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik
penanaman, (vi) pemeliharaan, dan (vii) program monitoring.
Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adaptif,
tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca penambangan.
Adapun vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu adalah vegetasi yang termasuk
dalam klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat
10

mengendalikan erosi tanah. Famili Leguminoceae termasuk salah satu contoh
vegetasi lahan pacsa tambang yang mampu bersimbiosis dengan mikroorganisme
tanah dan memfiksasi nitrogen (Vogel 1987).
Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang
kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan
terkena erosi dan aliran permukaan yang deras, membangun habitat bagi
satwaliar, membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal, memperbaiki
produktivitas dan kestabilan tanah, memperbaiki kondisi lingkungan secara
biologis dan estetika serta menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis lokal
dan plasma nutfah (Setiadi 2006).

2.2. Reklamasi dan Revegetasi Area Tambang PT. Newmont Nusa Tenggara
PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) atau yang dikenal juga dengan
nama Tambang Batu Hijau merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar
yang berada di Nusa Tenggara Barat tepatnya di sebelah barat daya pulau
Sumbawa kecamatan Jereweh dan Sekongkang, kabupaten Sumbawa. PT NNT
mulai beroperasi penuh pada bulan Maret 2000 dengan melakukan penambangan
terbuka (open pit mine) yaitu bukaan yang dibuat di permukaan tanah, bertujuan
untuk mengambil bijih dan akan dibiarkan tetap terbuka (tidak ditimbun kembali)
selama pengambilan bijih yang mengandung tembaga-emas. PT NNT
menggunakan teknologi flotasi untuk menghasilkan konsentrat yang akan
dikapalkan ke pabrik peleburan untuk memperoleh kandungan logamnya. Sejak
tambang ini mulai beroperasi, telah melakukan reklamasi permanen secara
kumulatif sejak awal operasi tambang Batu Hijau hingga akhir tahun 2009 adalah
sebesar 689,43 hektar.
Reklamasi yang dilakukan PT NNT bertujuan untuk mengubah
penggunaan lahan terganggu kepenggunaan yang produktif, sesuai
peruntukannya. Menstabilkan secepatnya permukaan tanah lahan terganggu akibat
konstruksi, penambangan, atau penimbunan batuan. Meminimalkan erosi dan
sedimentasi dari lahan tereklamasi ke aliran air permukaan. Menumbuhkan
kembali vegetasi asli yang lestari, sesuai dengan struktur dan keragaman yang ada
11



sebelum penambangan. Jika memungkinkan, membantu kembalinya spesies
tanaman langka, berharga, atau memiliki arti penting bagi restorasi habitat satwa
liar. Dampak positif potensial yang diharapkan adalah kembalinya hutan dan
restorasi habitat satwa liar.
Revegetasi dengan operasional persemaian di PT NNT dilakukan dengan
cara perbanyakan pohon asli Batu Hijau di persemaian. Semai diperoleh melalui
cara generatif yaitu dengan perkecambahan biji dan secara vegetatif melalui
pengumpulan semai dengan cabutan dan puteran serta dari produksi stek pucuk.
Kegiatan persemaian meliputi pemindahan semai dari nursery shade ke hardening
bed, pemupukan dan penyiraman. Sedangkan penanaman dilakukan dengan jarak
tanam 2 x 3 meter. Semai yang di tanam terdiri dari 7 jenis pohon lokal klimaks
dan lokal cepat tumbuh. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan membersihkan
sekitar tanaman dari gulma untuk mengurangi persaingan antara tanaman pokok
dengan tanaman penutup. Pemeliharaan tanaman dengan pemupukan bertujuan
untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Kriteria kesuksesan revegetasi adalah penutupan vegetasi > 65%
penutupan efektip basal (basal effective cover) species tahunan dan > 85%
penutupan vegetasi tajuk (aerial vegetative cover) species tahunan. Kerapatan dan
keragaman species jenis pohon (1000 pohon / sampling per hektar dan > 10
species keragaman tanaman lokal (native species) per hektar dengan minimal 2
species A-stratum per hektar). Kegiatan pemantauan di daerah reklamasi meliputi
perhitungan persentase tutupan efektif basal dan tutupan vegetasi aerial,
potensi permudaan, tiang pancang dan pohon serta jumlah dan keragaman spesies.
Pemantauan reklamasi selama periode pelaporan terdiri dari inspeksi dan
observasi lanjutan terhadap area yang telah di reklamasi, area kumulatif reklamasi
sejak mulainya proyek Batu Hijau, area yang di reklamasi selama triwulan
terakhir, lokasi timbunan tanah pucuk dan subsoil serta area reklamasi yang
dianggap telah pulih kembali secara fungsional sesuai dengan tujuan program
reklamasi yaitu untuk mengembalikan area bekas tambang agar mendekati kondisi
semula, sehingga satwa liar setempat dapat kembali ke habitatnya (PT Newmont
Nusa Tenggara, 2008).

12

2.3. Tinjauan Umum Collembola Tanah
2.3.1. Ciri-ciri Umum Collembola
Berdasarkan ukuran panjang tubuhnya, fauna tanah diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok yaitu mikrofauna, mesofauna dan makrofauna (Brown 1980
dalam Suhardjono 1985). Diantara ketiga kelompok tersebut mesofauna
merupakan kelompok yang terpenting dalam lingkungan tanah. Collembola
termasuk kelompok mesofauna yang ukuran panjangnya berkisar 0,25-8,00 mm
dan ukuran terbesar yang hidup di tanah adalah 5 mm. Sebagai anggota
Arthropoda, bagian-bagian tubuh Collembola tersusun atas ruas-ruas dan dapat
dibedakan menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, toraks dan abdomen. Ciri lainnya
berupa antena beruas 4 dengan panjang bervariasi. Antena jantan kadang
mengalami modifikasi sebagai organ penjepit. Antena mempunyai seta
kemosensorik. Ujung antena bentuknya bervariasi. Toraks dibagi menjadi 3 ruas.
Pada toraks terdapat tiga pasang tungkai. Masing-masing tungkai dibagi menjadi
subkoksa, koksa, trokanter, femur, tibiotarsus dan pretarsus. Abdomen terdiri dari
enam ruas . pada bagian vetral ruas pertama terdapat tabung ventral (kolofor), ruas
ketiga terdapat retinakulum dan ruas keempat terdapat furka. Furka terdiri dari
bagian basal, manubrium, sepasang dens dan mukro berduri atau berlamela. Celah
genital jantan atau betina terdapat pada abdomen kelima, celah anal berada pada
abdomen keenam (Greenslade 1996).
Collembola merupakan Hexapoda yang tubuhnya dilengkapi seta tetapi
tidak bersayap (Apterigota). Bentuk tubuhnya bervariasi ada yang gilik, oval atau
pipih dorsal-ventral. Warna tubuhnya bervariasi, putih, kuning, jingga, merah
merona, hitam, abu-abu, dan bahkan ada yang berwarna polos, banyak pula yang
berbentik atau bernoda, bergaris-garis warna tertentu pada bagian tubuh tertentu
(Suhardjono 1992).
Menurut Greenslade (1991), Suhardjono (1992) dan Hopkin (1997)
Collembola telah dikelompokkan ke dalam klas yang berbeda dengan insekta.
Klas Collembola memiliki 3 ordo yaitu Arthropleona, Symphypleona dan
Neelipleona. Ordo Arthropleona terdiri dari sub ordo Produromorpha dan
Entomobryomorpha, sedangkan klasifikasi dua ordo yang lain tidak terdapat sub
ordonya (Jordana & Arbea 1989).
13



Collembola dikenal juga dengan istilah Springtail (Ekor pegas) karena
sifat dari ekor Collembola yang seperti pegas. Ekor pegas Collembola mempunyai
struktur bercabang (furka) pada bagian ventral ruas abdomen keempat. Saat
istirahat furka terlipat ke dapan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum
atau tenakulum merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian
ventral abdomen ke tiga. Ketika otot berkontraksi, furka kembali ke posisi tidak
lentur kemudian akan memukul substrat sehingga mendorong Collembola tanah
ke udara (Greenslade 1996).
Collembola tidak mengalami metamorphosis sempurna, tetapi hanya
terjadi pergantian kulit sebanyak 5-6 kali. Bentuk pradewasa dan dewasa mirip
satu dengan yang lainnya. Kedua bentuk stadia tersebut dibedakan oleh ukuran,
jumlah seta dan tidak adanya organ genitalia atau bidang genitalia pada stadia
pradewasa. Persamaan penampilan ini mempermudah pengenalan sampai taraf
takson tertentu. Pergantian kulit tetap berlangsung meskipun telah mencapai
kematangan alat reproduksi, Biasanya dapat berlangsung 3-12 kali. Kenyataan ini
sering menimbulkan permasalahan dalam taksonomi, karena pergantian kulit
tersebut Collembola mengalami perubahan nisbah ukuran organ-organ tertentu.
Periode perkembangan pertumbuhan Collembola beravariasi bergantung pada
jenisnya, berkisar dari beberapa hari sampai beberapa bulan (Suhardjono 1992).
Kebanyakan Collembola hidup di dalam tanah dan serasah (Suhardjono
1992). Collembola dapat juga hidup di tempat yang tersembunyi seperti pada
jamur, reruntuhan pohon, di bawah kulit kayu, kayu-kayu yang membusuk,
vegetasi tanaman, kanopi, gua guano kelelawar, laut, pesisir pantai dan air tawar
(Greenslade et al. 2000; Rahmadi et al. 2004; Triplehorn dan Jhonson 2005).

2.3.2. Lingkungan Abiotik dan Biotik Collembola Tanah
Keberadaan Collembola tanah dipengaruhi faktor lingkungan abiotik dan
lingkungan biotik. Faktor lingkungan abiotik dapat berupa faktor sifat fisik tanah
dan sifat kimia tanah serta iklim. Sedangkan faktor lingkungan biotik berupa
komposisi vegetasi, ketebalan serasah dan predator.
Faktor sifat fisik tanah diantaranya adalah suhu tanah, kelembaban tanah,
ketinggian atau elevasi dan tekstur tanah. Suhu dan penguapan dapat
14

mempengaruhi komunitas Collembola tanah. Setiap kenaikan suhu lebih dari 4
o
C
di hutan pinus Latvia utara kekayaan spesies Collembola tanah mengalami
penurunan (Jucevica & Meleis 2005). Menurut Christiansen (1964) dalam
Suhardjono (1992) pertumbuhan Collembola dipengaruhi oleh faktor luar yaitu
suhu.
Kelembaban tanah memainkan peranan penting dalam penyebaran
Collembola tanah. Menurut Holt (1985) kelembaban merupakan penyebab utama
rendahnya tingkat populasi Collembola pada bulan-bulan kering. Beberapa
spesies Collembola peka terhadap kelembaban tanah sehingga variasi komposisi
spesies dan populasi berbeda (Imler 2004). Isotomurus palustris Muller dan
Tomocerus minor Lubbock banyak terdapat dalam keadan kelembaban tinggi
(basah), sedangkan Hypogastrura armata Nicolet dan Folsomia quadrioculata
Tullberg lebih menyukai keadaan kering (Widyawati 2008). Dalam hubungannya
dengan kelembaban Collembola tanah dimungkinkan untuk menjadi indikator
keadaan air tanah. Kandungan air tanah akan mempengaruhi komposisi jenis
tertentu dari komunitas Collembola dalam tanah (Ananthakrisna 1978 dalam
Suhardjono 1992). Menurut Takeda (1981) jika terjadi kekeringan atau
kebanjiran, beberapa jenis Collembola melakukan migrasi ke lapisan tanah yang
lebih dalam.
Tekstur merupakan sifat fisik tanah yang turut mempengaruhi kelimpahan
Collembola tanah. Tekstur tanah berhubungan dengan persentase pasir, debu dan
liat. Tektur tanah berpengaruh pada jumlah ruang pori di dalam tanah termasuk
kadar air tanah. Kadar air di dalam tanah berpengaruh pada aktivitas dan distribusi
fauna tanah (Brown 1980). Pertumbuhan Collembola tanah juga meningkat
sejalan dengan naiknya proporsi tanah dan pasir di hutan, hal ini dapat dilihat dari
jumlah N biomassa, total C dan total N, respirasi tanah dan bahan C organik
(Kaneda dan Kaneko 2004).
Faktor sifat kimia tanah seperti pH tanah, bahan organik, nitrat dan
kandungan bahan kimia mempengaruhi keberadaan Collembola. Menurut Hazra
& Choudhuri (1983) konsentrasi nitrat dan bahan organik tanah mempunyai
korelasi positif terhadap sebaran populasi Collembola. Penurunan populasi dan
keanekaragamn taksa Collembola juga terjadi pada tanah-tanah masam. Penyebab
15



banyaknya Collembola yang mati pada tanah yang masam dikarenakan teracuni
oleh kation-kation yang larut dalam air tanah (Van Gestel & Mol 2003).
Penelitian Huston (1978) dalam Agus (2007) bahwa pH 5,3 menghasilkan
fekuiditas terbaik dan lama hidup individu dewasa Collembola terpanjang.
Menurut Loranger et al. (2001) Collembola yang hidup di dataran tinggi
umumnya toleran terhadap pH yang rendah. Suhardjono et al. (2000) menyatakan
bahwa saluran pencernaan Collembola (2/3 bagian depan ususnya) mempunyai
pH 5,4 6,9 yang memungkinkan Collembola dapat mengakumulasi logam berat
dalam tubuhnya. Geissen et al. (1997) mengungkapkan bahwa meningkatnya pH
tanah yang diakibatkan oleh pemupukan dan pengapuran berdampak menurunkan
keanekaragaman Collembola. Penggunaan pestisida dilaporkan oleh Framton
(1997) berdampak negatif terhadap kelimpahan Collembola.
Lingkungan biotik seperti komposisi vegetasi berpengaruh secara tidak
langsung terhadap Collembola. Menurut Rahmadi et al. (2004) keanekaragaman
vegetasi secara tidak langsung berpengaruh pada keanekaragaman Collembola
karena semakin tinggi keanekaragaman vegetasi akan semakin bervariasi pakan
yang tersedia. Semakin tinggi variasi pakan semakin beragam organisme yang
mengkonsumsi. Menurut Materna (2004) keanekaragaman dan kerapatan vegetasi
penutup tanah yang tinggi berpengaruh meningkatkan jumlah pori makro tanah
yang dapat dimanfaatkan oleh Collembola untuk tempat bersembunyi dari
pemangsa. Disamping itu, keanekaragaman vegetasi penutup permukaan tanah
dan kerapatannya dapat mengurangi terjadinya fluktuasi suhu dan kelembaban
tanah yang ekstrim, sehingga merupakan relung yang disukai oleh Collembola
(Hartzberg et al. 1994). Hagvar (1982) menyatakan bahwa terdapat korelasi
positif antara keanekaragaman vegetasi dan Collembola yang hidup di bawahnya.
Ketebalan serasah merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi keberadaan Collembola tanah. Serasah merupakan sumber
makanan dan tempat hidup bagi Collembola. Menurut (Wallwork 1970 dalam
Widyawati 2008) akumulasi serasah di permukaan tanah merupakan sumber
makanan untuk berbagai organisme terutama organisme yang berperan dalam
mendegradasi serasah. Disamping itu, kondisi serasah yang tebal dan lembab
16

menyediakan mikro habitat yang sesuai bagi Collembola tanah (Rahmadi et al.
2004).
Adanya predator turut mempengaruhi kelimpahan Collembola. Acarina
atau Tungau merupakan kelompok predator penting yang menentukan ukuran
populasi Collembola. Dilaporkan bahwa Acarina mampu memakan Collembola
paling banyak 14 ekor/hari, tatapi pada umumnya paling sedikit 2 ekor/hari
(Suhardjono 1992). Kelompok predator kedua adalah Pseudoscorpion,
Staphylinidae, Carabidae dan Centipedes. Kelompok predator ketiga adalah
semut, laba-laba dan hemiptera predator (Hopkin 1997). Populasi Collembola dan
pemangsanya selalu berada dalam keadaan seimbang. Apabila tampak terjadi
perubahan keseimbangan populasi Collembola dan pemangsanya berarti terjadi
perubahan atau gangguan keadaan tanah (Suhardjono 1985).

2.3.3. Distribusi Collembola Tanah
Distribusi Collembola sangat luas karena dapat ditemukan diberbagai
macam habitat seperti di daerah kutub, gurun, sub tropis dan daerah tropis
(Greenslade 1996). Pemencaran Collembola juga bisa dengan bantuan partikel
tanah dan bahan organik, bisa juga dengan bantuan angin atau air (Dunger et al.
2002 dalam Widyawati 2008). Collembola memiliki keanekaragaman pola
sebaran, baik pada taraf suku, marga maupun jenis. Beberapa marga diketahui
mempunyai sebaran terbatas, sedangkan beberapa jenis lainnya kosmopolitan.
Beberapa jenis Collembola yang hidup di darat bersifat endemik. Taraf
endemisme untuk setiap jenis atau kelompok jenis berbeda. Salah satu faktor
terjadinya endemisme yang cukup tinggi adalah adanya seleksi alam yang ketat.
Menurut Suhardjono (1992) endemisme Collembola dapat dimanfaatkan apabila
dikaitkan dengan keadaan tanah atau lingkungan setempat. Adanya endemisme
atau kekhasan pemilihan habitat, tidak tertutup kemungkinan bahwa pada keadaan
tanah tertentu dapat ditemukan jenis Collembola tertentu. Sebaliknya apabila
diketahui komposisi jenis Collembola tertentu dapat diduga keadaan tanahnya.
Namun pendayagunaan adanya endemisme ini harus didasarkan pengetahuan
pengenalan jenis secara rinci.
17



Collembola teresterial sangat terpengaruh oleh sifat tanah (Chordhuri &
Roy 1972 dalam Suhardjono 1992), sehingga pada keadaan tanah tertentu hanya
dapat hidup kelompok Collembola tertentu pula. Cara pemencaran Collembola
tanah terbatas, karena aktifitas perpindahan tempat terbatas dan tidak dapat
mencapai jangkauan yang luas. Collembola tanah hanya dapat tersebar bersama
tanah yang terbawa oleh sesuatu. Sebaliknya, pemencaran Collembola akuatik
lebih mudah karena dapat mengikuti pola garak arus air (Suhardjono 1992).
Collembola tanah mempunyai keanekaragaman sebaran vertikal mengikuti
kedalaman tanah. Lapisan tanah yang mengandung individu Collembola tanah
paling tinggi adalah permukaan tanah (0-2,5 cm) yang mengandung banyak
serasah dan humus. Pada lapisan ini paling banyak ditemukan jamur dan sisa
bahan organik sebagai pakan Collembola tanah. Kedalaman tanah yang berbeda
mempunyai keanekaragaman dan populasi Collembola tanah yang berbeda pula
(Choudhuri & Roy 1972).
Kedalaman tanah juga menentukan ciri morfologi yang berkaitan dengan
pemilihan habitat. Ukuran tubuh menentukan seleksi habitat yang dihuni
Collembola tanah. Berkurangnya ukuran rongga-rongga tanah pada lapisan yang
semakin dalam merupakan faktor pembatas bagi jenis yang berukuran tubuh besar
(>5-6 mm) seperti Tomocerus varius, Homidia Sp, Isotomo sensibilis dan Sinella
dubiosa (Takeda 1978 dalam Suhardjono 1992). Keanekaragaman dan ukuran
populasi Collembola tanah pada setiap lapisan tanah masih ditentukan oleh
banyak faktor diantaranya macam dan bentuk komunitas di lapisan atasnya.

2.3.4. Peranan Collembola Tanah
Collembola berperan di dalam siklus makanan sebagai perombak bahan
organik atau detrivor (Brown 1980; Greenslade 1996; Hopkin 1997; Triplehorn &
Jhonson 2005). Di dalam hidupnya Collembola memerlukan bakteri, hifa fungi,
spora fungi, polen, bahan organik yang mati, mineral tanah, alga dan atau jasad
renik lainnya sebagai sumber makanannya (Takeda & Ichimura 1983). Pada
saluran pencernaan Collembola paling banyak mengkonsumsi fungi dan potongan
bagian tumbuhan tinggi. Sehingga dari jenis pakan yang dikonsumsi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Collembola berperan dalam perombakan sarasah dan
18

humus. Fungi yang dimakan Collembola tidak dicerna seluruhnya dan hanya
lewat, dengan demikian, Collembola juga berperan sebagai penyebar fungi tanah
(Poole 1959 dalam Suhardjono 1992).
Collembola di dalam tanah tumbuh pada mikoriza dan sebagai pengontrol
penyakit fungi pada beberapa tanaman. Sebagian besar populasi Collembola
sebagai pemakan mikoriza akar sehingga dapat merangsang pertumbuhan simbion
dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Menurut Hopkin (1997) Collembola
penting dalam merangsang atau menekan simbiosis mikrobial di sekitar akar
tanaman. Collembola dapat meningkatkan sumber makanan secara langsung di
dalam pembusukan akar atau secara tidak langsung di dalam pembentukan hifa
fungi dekomposer (Sinka et al. 2007).
Pada saat mencari makan, Collembola bergerak kemana-mana. Biasanya,
pada tubuhnya menempel jasad-jasad renik. sehingga selama pergerakannya
berpindah tempat, Collembola membantu menyebarkan jasad renik. Penyebaran
jasad renik ini merupakan peran Collembola yang penting. Dengan aktifitasnya
Collembola membantu memperluas dan mempercepat perombakan bahan organik.
Perombakan bahan organik ini akan berlangsung terus-menerus sampai
terbentuknya tanah. Selama masih ada jasad renik Collembola masih aktif
membantu penyebaran.
Collembola dapat dipakai sebagai indikator tingkat kesuburan tanah. Pada
keadaan tanah yang berbeda, akan menunjukan angka populasi Collembola yang
berbeda pula. Sehingga ukuran populasi suatu tempat dapat menunjukan
sifat/keadaan tanah tempat tersebut (Suhardjono 1985). Collembola dapat
digunakan sebagai bioindikator terhadap perlakuan herbisida karena mudah
diidentifikasi dan dapat ditemukan dalam jumlah banyak. Penggunaan herbisida
ternyata dapat menurunkan populasi Collembola. Penurunan populasi Collembola
diikuti oleh penurunan populasi mikroarthropoda tanah lain yang memanfaatkan
Collembola sebagai sumber pakan (Shinder et al. 1985).
Di areal tambang, populasi Collembola tanah berpotensi dipergunakan
sebagai indikator kesuburan revegatasi tailing timah. Menurut Nurtjahya et al.
(2008) densitas populasi Collembola yang meningkat seiring dengan
19



meningkatnya umur revegetasi, diduga berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman,
ketebalan serasah, peningkatan kesuburan tanah dan perbaikan mikroklimat.

2.4. Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem komputer yang
ditujukan untuk pengumpulan, pemeriksaan, pemaduan dan analisis informasi
yang berkaitan dengan permukaan bumi (Rind 1988). SIG menggabungkan
analisis spasial dengan penjabaran deskriptif sehingga dalam perkembangannya
SIG banyak digunakan sebagai alat ataupun cara pandang dalam menyelesaikan
permasalahan di berbagai bidang. Informasi yang dihasilkan dalam SIG
memberikan gambaran yang komprehensif, menyeluruh, sekaligus memberikan
kemudahan dalam pendekatan terhadap fenomena. SIG menggunakan peta digital
dan data atribut sebagai dasar berbagai analisisnya. Awalin & Sukojo (2003)
menyatakan bahwa pemanfaatan SIG memberikan kemudahan bagi pengguna
maupun pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil,
khususnya kebijakan yang berkaitan dengan aspek spasial.
SIG dapat diaplikasikan untuk keperluan inventori dan monitoring
pengelolalaan hutan. Kendala utama dalam inventori dan monitoring adalah
keterbatasan dalam pengambilan data, karena luasnya area, sulitnya mencapai
area, panjangnya waktu yang diperlukan dan keterbatasan sumber daya manusia.
Melalui pemanfaatan SIG diharapkan dapat menjangkau area yang luas dengan
dukungan frekuensi yang cukup tinggi merupakan sebuah terobosan dalam aspek
inventori dan monitoring. Pemodelan hutan secara spasial menggunakan SIG
sangat membantu dalam perencanaan dan strategi penebangan, serta dalam upaya
untuk merehabilitasi hutan. SIG bisa membantu masalah rehabilitasi hutan dalam
tahap penelitian dan pemetaan lokasi, pemilihan spesies yang cocok, lokasi
pembibitan dan infrastruktur lain dan juga dalam tahap monitoring dan evaluasi
(Puntodewo et al. 2003). SIG juga dapat diaplikasikan untuk memonitoring
pergerakan satwa, melihat sebaran serangga, membuat model kesesuaian habitat
flora dan fauna serta untuk memantau keberhasilan revegetasi dan tingkat
kerawanan kebakaran hutan dan lahan. Muntasib (2002) mengaplikasikan SIG
untuk menemukan pola penggunaan ruang habitat badak jawa berdasarkan
20

komponen fisik, biologi dan sosial di Taman Nasional Ujung Kulon. Dewi (2005)
menganalisis tingkat kesesuaian habitat owa jawa (Hylobates moloch) dengan SIG
dan Puspaningsih (2011) mengaplikasikan SIG untuk monitoring reforestrasi
kawasan pertambangna Nikel di Surowako Sulawesi Selatan.
Dalam kegiatan pemetaan ada tiga dimensi data yang digunakan, yaitu
spasial, tematik dan temporal, dengan uraian sebagai berikut:
1. Dimensi spasial adalah merupakan data yang diamati dan diidentifikasi
menurut lokasi geografis yang digambarkan dalam satuan entity/keberadaan.
2. Dimensi tematik adalah data atribut sebagai informasi yang terhubung dengan
data spasial. Data tersebut merupakan karakteristik dari suatu entity atau
lokasi sehingga dapat diiterpretasikan sebagai peta yang mempunyai tema
tertentu (peta tematik). Contoh: nama jalan, nama kabupaten, jumlah
populasi, luas serangan, dan jarak.
3. Data temporal merupakan pengukuran entity berdasarkan waktu. Sehingga
memungkinkan dilakukan suatu penilaian mengenai perubahan kejadian.
Pengamatan-pengamatan yang dilakukan secara multitemporal
memungkinkan adanya penilaian perubahan, perkembangan, hubungan
keterkaitan, serta prediksi/peramalan.
Dari ketiga dimensi data di atas secara sederhana dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis data, yaitu data spasial dan non spasial.
1. Data spasial adalah data yang menyangkut ruang atau wilayah yang terukur
dalam bentuk peta luasan/penyebaran. Contoh: peta pewilayahan curah hujan,
peta kontur, dan peta system lahan.
2. Data non-spasial adalah data numerik atau tekstual yang menyertai dan
terhubung dengan lokasi tertentu sebagai atribut. Contoh: data laporan PHP
seperti luas serangan dan populasi OPT, serta data curah hujan sebagai atribut
wilayah pengamatan, namun tidak terukur secara tepat, baik luas, batas
maupun posisi geografisnya.
Data spasial secara sederhana dapat diartikan sebagai data yang memiliki
referensi keruangan (geografi). Setiap bagian dari data tersebut selain memberikan
gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat memberikan informasi
mengenai lokasi dan juga persebaran dari fenomena tersebut dalam suatu ruang
21



(wilayah). Apabila dikaitkan dengan cara penyajian data, maka peta merupakan
bentuk/cara penyajian data spasial yang paling tepat. Penyajian data dalam bentuk
peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah kartografis yang
pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa mengabaikan unsur
estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah kartografis yang
diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam proses visualisasi
data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta.

2.4.1. Analisis Spasial
Analisis spasial adalah proses mengekstraksi atau membuat informasi baru
tentang feature geografis (Jaya 2002). Menurut Johnston (1994) analisis spasial
merupakan prosedur kuantitatif yang dilakukan pada analisis lokasi. Tujuan utama
analisis spasial adalah menghasilkan informasi-informasi yang dapat dipakai
untuk mendukung pengambilan keputusan (decision making). Analisis spasial
berguna untuk melakukan peramalan, pendugaan dan pemecahan masalah
tertentu. Disamping itu, kemudahan akses, manipulasi dan duplikasi data
menyebabkan analisis data spasial menjadi mudah dilakukan (Budianto 2010).
Menurut Jaya (2002) analisis spasial sering juga disebut dengan pemodelan atau
modeling adalah proses pengujian dan interpretasi hasil dari model. Analisis
spasial ini adalah proses mengekstraksi atau membuat informasi baru tentang
feature geografis.
DeMers & Michael (1997) menyebutkan bahwa analisis spasial mengarah
pada banyak macam operasi dan konsep termasuk perhitungan sederhana,
klasifikasi, penataan, tumpang susun geometris, dan pemodelan kartografis.
Sedangkan Metode Analisis Spasial yaitu metoda penelitian yang menjadikan
peta, sebagai model yang merepresentasikan dunia nyata yang diwakilinya,
sebagai suatu media analisis guna mendapatkan hasil-hasil analisis yang memiliki
atribut keruangan. Analisis spasial ini penting untuk mendapatkan gambaran
keterkaitan di dalam permasalahan antar-wilayah dalam wilayah studi.
Data spasial diperlukan pada saat harus mempresentasikan atau
menganalisis berbagai informasi yang berkaitan dengan dunia nyata. Pengambilan
data yang sebanyak mungkin dari dunia nyata tersebut dapat menjelaskan tentang
22

variasi fenomena serta lokasi fenomena tersebut berada. Dunia nyata yang begitu
luas pada kenyataannya tidak mungkin diambil secara utuh menjadi data spasial.
Dengan demikian data spasial adalah sebuah gambaran sederhana dari dunia
nyata. Dalam system informasi geografis, data spasial menggambarkan sebaran
lokasi dan fenomena (Budianto 2010). Digitasi merupakan salah satu cara untuk
memperoleh data spasial. Sedangkan perolehan data spasial lain yang bersifat
pengukuran teresterial sering dilakukan menggunakan theodolith, GPS dan citra
satelit.
Fungsi analisis data spasial terdiri dari seleksi dan manipulasi data spasial.
Fungsi seleksi data spasial meliputi operasi yang diperlukan untuk menentukan
kumpulan variabel bagian lokasi dari database spasial. Kemampuan ini seperti
memperbesar, memperkecil, query dan menampilkan peta. Manipulasi data
spasial merupakan semua fungsi operasi untuk membuat data spasial baru.
Operasi ini dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu interpolasi,
penggabungan tabel dan overlay. Menurut Prahasta (2005) fungsi analisis spasial
adalah menampilkan data grid ketinggian, menampilkan histogram data grid,
menurunkan peta kemiringan, menurunkan peta garis kontur, menurunkan
hillshade dan aspek, membuat peta jarak, klasifikasi, konversi format raster grid
ke vector, konversi format vector ke raster grid, membuat grid permukaan,
analisis proximity, resume statistic dan histogram raster grid, analisa fungsi
densitas, pemilihan unsur-unsur pada raster grid, fungsi dan operator matematika
pada raster grid.
Analisis spasial dilakukan dengan menumpang susunkan (overlay) beberapa
data spasial untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai
unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data
atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga
analisis tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data
spasialnya untuk menghasilkan data spasial yang diinginkan.

2.4.2. Pemodelan Spasial
Pemodelan dalam SIG diartikan sama dengan analisis. Sebagaimana
diuraikan secara implisit dalam definisi analisis, pemodelan mempunyai makna
23



yang sama dengan SIG, perbedaannya adalah bahwa pemodelan mempunyai
ruang lingkup yang lebih sempit dibandingkan dengan analisis. Pemodelan
merupakan suatu proses yang dapat berupa simulasi, prediksi maupun deskripsi.
Pemodelan spasial adalah suatu proses untuk melihat karakteristik dari sejumlah
layer untuk setiap lokasi dalam rangka memecahkan masalah. Nilai dari masing-
masing grid saling tumpang tindih dengan nilai dari cover lainnya yang
menggambarkan atribut dari masing-masing lokasi (Jaya 2006).
Tujuan dari pembuatan model adalah membantu dalam pengambilan
keputusan ataupun analisis untuk memahami, menggambarkan dan
memperkirakan bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui
penyederhanaan fenomena maupun feature. Hasil dari permodelan ini dapat
digunakan untuk mengambil suatu keputusan, melakukan kegiatan ilmiah atau
memberi informasi umum (Jaya 2006).
Aplikasi pemodelam spasial sudah banyak dilakukan dalam kaitannya
dengan pengelolaan sumberdaya alam diantaranya untuk mengetahui tingkat
keberhasilan reforestrasi dan menentukan indikator kunci tingkat keberhasilan
reforestrasi (Puspaningsih, 2011), memprediksi umur dan luas area panen atau
produksi panen tanaman padi sawah irigasi (Sitanggang et al. 2006), menyusun
model perubahan penggunaan lahan dan arah arah penggunaan lahan yang
berwawasan lingkungan (Munihab, 2008) dan mendapatkan faktor-faktor utama
yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Samsuri, 2008;
Kayoman, 2010).
Ada 3 kategori fungsi pemodelan data spasial yang diterapkan pada obyek-
obyek data geografis dalam SIG, berdasarkan prosedur analisisnya, yaitu:
1. Model geometrik (geometric model): membuat buffer, menghitung luas (area),
keliling (perimeter) dan menghitung jarak Euclidean antar obyek.
2. Model koinsidensi (coincidence model): overlay poligon (identity, union dan
intersection), clipping dan pengurangan (erasing) serta updating.
3. Model kedekatan (adjacently model): pathtonding, redistriciting dan alokasi
Berdasarkan proses/teknik analisisnya, pemodelan dikelompokkan atas :
1. Pemodelan kartografi (cartographic modeling). Pada pemodelan ini
disarankan untuk membuat diagram alir (flow chart) yang detail dan
24

perencanaan yang teliti untuk menderivasi data-data yang diharapkan dan
bagaimana cara menggunakannya.
2. Pemodelan simulasi. Pemakai mencoba untuk melakukan simulasi terhadap
fenomena yang kompleks menggunakan kombinasi informasi spasial dan non-
spasial. Aspek ini memerlukan keahlian bagaimana suatu model dibangun
sebagai contoh adalah evaluasi kesesuaian habitat satwa liar. Para ahli dapat
menggunakan layer spasial yang mencakup informasi tentang vegetasi,
elevasi, aspek, slope, kepemilikan, jalan dan aliran sungai, selanjutnya
dilakukan pembobotan (prioritas layer). Model tersebut dapat digunakan untuk
menentukan areal yang baik untuk habitat atau areal yang perlu diperbaiki.
3. Pemodelan prediktif (Predictive modeling). Pada pemodelan ini biasanya
menggunakan tehnik statistik, umumnya analisis regresi untuk menyusun
suatu model. Tahap pertama adalah mengumpulkan informasi tentang
penomena yang diamati, selanjutnya satu set informasi tersebut digunakan
untuk membangun suatu model dengan melihat masing-masing layer dari
informasi spasial dan masing-masing komponen dari informasi non-spasial.

Anda mungkin juga menyukai