Anda di halaman 1dari 8

Sy a h r u l P en g em b a n g a n; P r of esi; Kom p et en si Gu r u ; B er b a si s; M or a l; Ku l t u r

A. Pendahuluan
Pendidikan nasional kita masih
menghadapi aneka persoalan. Karena itu
perhatian masyarakat terhadap masalah
pendidikan tidak pernah surut. Persoalan itu
tidak akan pernah selesai, karena substansi
yang ditransformasikan selama proses
pendidikan dan pembelajaran selalu berada di
bawah kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan kemajuan
masyarakat. Beberapa persoalan pendidikan
yang masih menonjol saat ini adalah
rendahnya mutu proses dan luaran
pendidikan. Lebih mendasar lagi apabila yang
diperbincangkan itu adalah mengenai mutu
atau kualitas pendidikan, dimana mutu
pendidikan di Indonesia memang belum
memuaskan atau rendah. Indikator
































rendahnya mutu pendidikan nasional dapat
dilihat pada prestasi siswa, seperti nilai Ujian
Nasional (UN) rata-rata masih rendah. Selama
bertahun-tahun kemerosotan mutu
pendidikan di Indonesia sudah terasa, dan
untuk kesekian kalinya kurikulum dituding
sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin
dengan adanya upaya mengubah dan
menyempurnakan kurikulum, mulai
kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum
1984, kemudian diganti lagi dengan
kurikulum 1994, kurikulum berbasis
kompetensi 2004, dan terakhir adalah
Kurilum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Tudingan tersebut tidaklah sepenuhnya
benar. Nasanius (1998) mengungkapkan
bahwa kemerosotan pendidikan bukan
PENGEMBANGAN PROFESI DAN KOMPETENSI GURU
BERBASIS MORAL DAN KULTUR


Syahrul
Dosen Fakultas Teknik UNM
Email: syahrulab@yahoo.co.id

Abstrak


Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena
guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik, melainkan juga membentuk sikap
dan jiwa untuk mampu bertahan dalam era kompetisi. Sebagai pekerjaan
professional, seorang guru diharuskan memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai
fasilitator, motivator, informator, komunikator, agen pembaharu, inovator, konselor,
evaluator, dan administrator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Untuk
melaksanakan tugas yang berat seperti itu guru harus tetap membangun moral dan
kultur yang baik, seperti berbudi luhur, jujur, beriman; kemampuan
mengaktualisasikan diri seperti disiplin, tanggung jawab; kemampuan
mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, dan lain-lain. Kenyataan
sudah membuktikan bahwa kultur yang baik akan menjadi kunci kesuksesan
sebagaimana yang terjadi dinegara-negara maju di Asia. Dengan memegang dan
membangun kultur dan moral yang baik dalam melaksanakan profesi sebagai guru
maka langsung atau tidak langsung kualitas pendidikan akan dapat ditingkatkan.

Kata Kunci: Pengembangan; Profesi; Kompetensi Guru; Berbasis; Moral; Kultur

Jurnal MEDTEK, Vo l u m e 1, N om o r 1, A p r i l 20 0 9

diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh
kurangnya kemampuan profesionalisme guru
dan keengganan belajar siswa. Sumargi (1996)
mengemukakan bahwa profesionalisme guru
masih belum memadai utamanya dalam hal
bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi
dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun
guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia.
Memang jumlah tenaga pendidik secara
kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu
dan profesionalisme belum sesuai dengan
harapan. Banyak diantaranya yang tidak
berkualitas dan menyampaikan materi yang
keliru sehingga mereka tidak atau kurang
mampu menyajikan dan menyelenggarakan
pendidikan yang benar-benar berkualitas
(Dahrin, 2000). Kedua pendapat di atas sama-
sama mengakui bahwa profesionalisme guru
masih belum memadai sebagaimana
diharapkan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka
dalam beberapa tahun terakhir pemerintah
senantiasa berupaya meningkatkan
profesionalisme guru. Guru sebagai tenaga
profesional telah ditetapkan dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 39 Ayat 2.
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) Nomor 19/ 2005
meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan
guru sebagai jabatan dan atau pekerjaan
professional, namun di sini disebutkan
seorang guru sebagai agen pembelajaran
diharuskan memiliki kompetensi profesional,
di samping kompetensi lainnya: kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial (Pasal 28 Ayat 3). Dalam
UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, pengertian kata profesional (Pasal 1
Ayat 4) adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu
atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi. Rumusan ini tidak
memberikan spesifikasi mengenai guru
professional, namun tentu saja dalam UU ini
adalah pekerjaan atau jabatan guru dan
dosen.
Sebagai jabatan professional maka
kepada guru diberlakukan akuntabilitas
publik, yang mengacu pada pemenuhan
kriteria kelayakan profesi guru. Sehubungan
dengan hal tersebut, uji kompetensi guru
adalah langkah awal yang dilakukan
pemerintah untuk menentukan langkah
selanjutnya dalam perbaikan kualitas
pendidikan. Dengan uji kompetensi, maka
dapat ditentukan standard kompetensi guru,
yaitu suatu ukuran yang ditetapkan bagi
seorang guru dalam menguasai seperangkat
kemampuan agar berkelayakan menduduki
salah satu jabatan fungsional guru, sesuai
bidang tugas dan jenjang pendidikannya.
Standardisasi kompetensi guru diperoleh dari
uji kompetensi bertujuan untuk
memformulasikan peta kemampuan guru
secara nasional, memformulasikan peta
kebutuhan dan peningkatan mutu guru, dan
menumbuhkan kreativitas guru yang
bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan
bertanggung jawab, serta menumbuhkan
kultur dan moral yang tinggi.


B. Faktor-faktor Penyebab Rendahnya
Profesionalisme Guru.

Seiring dengan di tetapkannya Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, tuntutan profesionalisme guru
terus didengungkan oleh berbagai kalangan
di masyarakat kita, termasuk kalangan guru
sendiri melalui berbagai organisasi guru yang
ada. Mereka berharap, untuk meningkatkan
mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia,
diperlukan seorang guru yang profesional
dalam mendidik siswa-siswinya di sekolah.
Hal ini jelas menunjukkan masih adanya
perhatian masyarakat terhadap peningkatan
mutu pendidikan nasional. Namun
sebagaimana telah dikemukakan di atas
bahwa profesionalisme guru pada berbagai
jenjang dan jenis pendidikan masih rendah.
Dalam mewujudkan tuntutan
kemampuan profesionalisasi guru seringkali
dihadapkan pada berbagai permasalahan
yang dapat menghambat perwujudannya.
Masih rendahnya tingkat profesionalisme
Sy a h r u l P en g em b a n g a n; P r of esi; Kom p et en si Gu r u ; B er b a si s; M or a l; Ku l t u r



guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor
yang berasal dalam diri guru itu sendiri
(internal), dan permasalahan yang ada di luar
diri guru (eksternal). Permasalahan internal
menyangkut sikap guru yang masih
konservatif, rendahnya motivasi guru untuk
mengembangkan kompetensinya, dan guru
kurang/ tidak mengikuti berbagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sedangkan permasalahan eksternal
menyangkut sarana dan prasarana yang
terbatas.
Dari sisi internal, masih banyak guru
yang memiliki sikap konservatif. Guru
cenderung mempertahankan cara yang biasa
dilakukan dari waktu ke waktu dalam
melaksanakan tugas, atau ingin
mempertahankan cara lama (konservatif),
mengingat cara yang dipandang baru pada
umumnya menuntut berbagai perubahan
dalam pola-pola kerja. Guru-guru yang masih
memiliki sikap konservatif, memandang
bahwa tuntutan semacam itu merupakan
tambahan beban kerja bagi dirinya. Selain itu,
masih banyak guru yang tidak menekuni
profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya guru yang bekerja di luar jam
kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, sehingga waktu untuk membaca
dan menulis untuk meningkatkan diri tidak
ada. Guru kurang berminat untuk menambah
wawasan sebagai upaya meningkatkan
tingkat profesionalisme. Selain daripada itu,
guru kurang termotivasi guru dalam
meningkatkan kualitas diri karena guru tidak
dituntut untuk meneliti sebagaimana yang
diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Dari sisi eksrternal, rendahnya
profesionalisme guru kemungkinan
disebabkan sarana dan prasarana yang
kurang memadai dan mendukung bagi proses
pembelajaran baik. Sarana dan prasarana itu
tidak harus berupa berbagai peralatan yang
canggih, melainkan disesuaikan dengan
kebutuhan yang memungkinkan untuk
diwujudkan. Betapa pun lengkap dan
canggihnya sarana yang tersedia, jika masih
ada masalah-masalah seperti gurunya
konservatif tidak mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknolgi serta motivasi
untuk meningkatkan kinerja lemah, maka ada
kecenderungan pengadaan sarana dan
prasarana kurang bermanfaat. Sebaliknya, jika
masalah-masalah itu dapat diatasi, tetapi
sarana dan prasarananya terbatas, maka tidak
akan mendukung keberhasilan pendidikan
atau pembelajaran.
Selain itu, adanya perguruan tinggi
swasta sebagai pencetak guru yang
lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan
outputnya kelak di lapangan, maka tidaklah
heran jika banyak guru yang tidak patuh
terhadap etika profesi keguruan, disamping
belum adanya standar profesional guru
sebagaimana yang berlaku di negara-negara
maju.
Akadum (1999) juga mengemukakan
bahwa ada lima penyebab rendahnya
profesionalisme guru; (1) masih banyak guru
yang tidak menekuni profesinya secara total,
(2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru
terhadap norma dan etika profesi keguruan,
(3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan
keguruan masih setengah hati dari
pengambilan kebijakan dan pihak-pihak
terkait. Hal ini terbukti dari masih belum
mantapnya kelembagaan pencetak tenaga
keguruan dan kependidikan, (4) masih belum
smooth-nya perbedaan pendapat tentang
proporsi materi ajar yang diberikan kepada
calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI
sebagai organisasi profesi yang berupaya
secara makssimal meningkatkan
profesionalisme anggotanya.
Dengan melihat adanya faktor-faktor
yang menyebabkan rendahnya
profesionalisme guru, pemerintah berupaya
untuk mencari alternatif untuk meningkatkan
profesi guru. Walaupun guru dan pengajar
bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan, profesionalisasi
harus dipandang sebagai proses yang terus
menerus. Oleh karena itu profesionalisme
guru harus tetap dan selalu dikembangkan.



Jurnal MEDTEK, Vo l u m e 1, N om o r 1, A p r i l 20 0 9

C. Pengembangan Profesi dan Kompetensi
Guru Berbasis Moral dan Kultur

Kompetensi guru erat kaitannya dengan
profesionalisasi guru. Profesi keguruan
merupakan jabatan yang dilandasi oleh
berbagai kemampuan dan keahlian yang
bertalian dengan keguruan. Untuk memahami
tugas pekerjaan guru, maka dapatlah
dilakukan pengenalan terhadap
kompetensinya. Kompetensi profesional guru
menggambarkan tentang kemampuan yang
dituntutkan kepada seseorang yang
memangku jabatan sebagai guru. Artinya
kemampuan yang ditampilkan itu menjadi
ciri keprofesionalannya. Oleh karena itu,
pengembangan profesionalisme guru menjadi
perhatian secara global, sebab guru memiliki
tugas dan peran bukan hanya memberikan
informasi-informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada peserta didik, melainkan
juga membentuk sikap dan jiwa untuk
mampu bertahan dalam era kompetisi. Tugas
guru adalah membantu peserta didik agar
mampu melakukan adaptasi terhadap
berbagai tantangan kehidupan serta desakan
yang berkembang dalam dirinya.
Pemberdayaan peserta didik ini meliputi
aspek-aspek kepribadian terutama aspek
intelektual, sosial, emosional, dan
keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat
karena bukan saja guru harus mempersiapkan
generasi muda memasuki abad pengetahuan,
melainkan harus mempersiapkan diri agar
tetap eksis, baik sebagai individu maupun
sebagai profesional.
Supriadi (1998) mengutip jurnal
Educational Leadership 1993 bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut
untuk memiliki lima hal: (1) Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses
belajarnya, (2) Guru menguasai secara
mendalam bahan/ mata pelajaran yang
diajarkannya serta cara mengajarnya kepada
siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau
hasil belajar siswa melalui berbagai cara
evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis
tentang apa yang dilakukannya dan belajar
dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya
merupakan bagian dari masyarakat belajar
dalam lingkungan profesinya. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Arifin (2000)
mengemukakan guru yang profesional
dipersyaratkan mempunyai; dasar ilmu yang
kuat, menguasai kiat-kiat profesi berdasarkan
riset dan praksis pendidikan, serta melakukan
pengembangan kemampuan profesional
berkesinambungan.
Apabila syarat-syarat profesionalisme
guru terpenuhi, maka akan mengubah peran
guru yang tadinya pasif menjadi guru yang
kreatif dan dinamis. Semiawan (1991)
mengemukakan bahwa pemenuhan
persyaratan guru profesional akan mengubah
peran guru yang semula sebagai orator yang
verbalistis menjadi berkekuatan dinamis
dalam menciptakan suatu suasana dan
lingkungan belajar yang invitation learning
environment. Dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan, guru harus memahami
berbagai fungsi yang diembannya, yaitu
sebagai fasilitator, motivator, informator,
komunikator, transformator, agen perubahan,
inovator, konselor, evaluator, dan
administrator. Para guru sepatutnya
menyadari, bahwa menduduki jabatan
profesional sebagai guru, tidak semata-mata
menuntut pelaksanaan tugas sebagaimana
adanya, tetapi juga memperdulikan apa yang
seharusnya dicapai dari pelaksanaan
tugasnya. Dengan adanya keperdulian
terhadap apa yang seharusnya dicapai dalam
melaksanakan tugas, dapat diharapkan
tumbuh sikap inovatif, yaitu kecenderungan
untuk selalu berupaya memperbaiki hasil
yang selama ini telah dicapai, sehingga tugas-
tugas yang menjadi tanggung jawabnya selalu
dilaksanakan dan diupayakan untuk selalu
meningkat.
Pengembangan profesi dan kompetensi
guru dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan berbagai sarana dan
prasarana yang ada di sekolah, seperti
meningkatkan dan mengefektifkan kegiatan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP),
meningkatkan budaya membaca bagi guru-
guru, dan juga meningkatkan kemampuan
berbahasa asing terutama bahasa Inggris dan
kemampuan menggunakan berbagai media
teknologi informasi (TI), dan sebagainya.
Sy a h r u l P en g em b a n g a n; P r of esi; Kom p et en si Gu r u ; B er b a si s; M or a l; Ku l t u r



Beberapa yang disebutkan di atas
merupakan sebagian kecil alternatif yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
dan profesionalisme guru. Mustahil KBK bisa
berhasil tanpa diimbangi dengan kompetensi
gurunya terlebih dahulu sebagai ujung
tombak (front liner). Guru yang profesional
dan sekolah yang kondusif akan menjadi jalan
mulus untuk mencapai cita-cita pendidikan
nasional kita. Oleh karena itu profesionalisme
guru harus tetap dan selalu dikembangkan.
Terkait dengan profesinya, guru
dituntut memiliki kompetensi yang memadai
sesuai dengan standard kompetesi yang harus
dimiliki oleh seorang guru. Terdapat
beberapa pendapat tentang pengelompokkan
kompetensi guru. Dalam UU Sisdiknas, dan
UU Guru dan Dosen, kompetensi guru
dikelompokkan ke dalam empat rumpun,
yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional. Menurut Depdiknas
dalam buku Standar Kompetensi Guru
Pemula SMK, kompetensi guru dapat
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) rumpun,
yaitu: penguasaan bidang studi, pemahaman
peserta didik, penguasaan pembelajaran yang
mendidik, dan pengembangan Kepribadian
dan Keprofesionalan. Di samping itu, Paul
Suparno (2003) mengelompokkan kompetensi
guru kedalam tiga rumpun, yaitu kompetensi
pribadi, kompetensi bidang studi, dan
kompetensi dalam pembelajaran/ pendidikan.
Dari ketiga pendapat di atas tampaknya tidak
ada yang saling bertentangan melainkan
saling memperkuat.
Kompetensi kepribadian mencakup
kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur,
dewasa, beriman, bermoral; kemampuan
mengaktualisasikan diri seperti disiplin,
tanggung jawab, peka, objektif, luwes,
berwawasan luas, dapat berkomunikasi
dengan orang lain; kemampuan
mengembangkan profesi seperti berpikir
kreatif, kritis, reflektif, mau belajar sepanjang
hayat, dapat ambil keputusan dan lain-lain.
Kemampuan kepribadian lebih menyangkut
jadi diri seorang guru sebagai pribadi yang
baik, tanggungjawab, terbuka, dan terus mau
belajar untuk maju. Yang pertama ditekankan
adalah guru itu bermoral dan beriman. Hal ini
jelas merupakan kompetensi yang sangat
penting karena salah satu tugas guru adalah
membantu anak didik bertakwa dan beriman
serta menjadi anak yang baik.
Kompetensi dalam bidang studi
memuat pemahaman akan karakteristik dan
isi bahan ajar, menguasai konsepnya,
mengenal metodologi ilmu yang
bersangkutan, memahami konteks bidang itu
dan juga kaitannya dengan masyarakat,
lingkungan dan dengan ilmu lain. Jadi guru
tidak cukup hanya mendalami ilmunya
sendiri tetapi termasuk bagaimana dampak
dan relasi ilmu itu dalam hidup masyarakat
dan ilmu-ilmu yang lain. Maka guru
diharapkan punya wawasan yang luas.
Kompetensi dalam pembelajaran atau
pendidikan memuat pemahaman akan sifat,
ciri anak didik dan perkembangannya,
mengerti beberapa konsep pendidikan yang
berguna untuk membantu siswa, menguasai
beberapa metodologi mengajar yang sesuai
dengan bahan dan perkembangan siswa, serta
menguasai sistem evaluasi yang tepat dan
baik yang pada gilirannya semakin
meningkatkan kemampuan siswa.
Persoalan yang melekat dengan guru
dan menarik untuk dicermati adalah
persoalan kultur guru. Kenyataan sudah
membuktikan bahwa kultur yang baik akan
menjadi kunci kesuksesan. Keberhasilan
negara-negara maju di Asia, seperti Jepang,
Singapura, dan Korea Selatan tidak lain dan
tidak bukan karena mereka memegang dan
membangun kultur yang baik.
Menurut Mochtar Lubis, bangsa
Indonesia -tentu saja termasuk guru- memang
terkenal dengan kultur yang kurang baik.
Misalnya tidak suka bekerja keras, tidak jujur,
tidak disiplin, mudah putus asa, malu
mengakui kesalahan, senang jalan pintas,
tidak rasional. Jika kultur itu tidak dapat
berubah pada diri seorang guru, penulis
pesimistis akan keberhasilan pelaksanaan
KBK seperti harapan insan pendidikan
khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Jurnal MEDTEK, Vo l u m e 1, N om o r 1, A p r i l 20 0 9

Pelaksanaan KBK menjadikan beban
yang cukup berat pada sosok guru. Mulai dari
pencermatan standar kompetensi, menyeleksi
kompetensi dasar yang harus dipelajari siswa,
membuat silabus, memilih pendekatan,
memperhatikan pengalaman belajar,
mengetahui secara personal setiap anak
didiknya, sampai pada tahap pelaksanaan
evaluasi yang begitu "renik" hingga
pemberian remedi bagi yang belum tuntas
penguasaan kompetensi dasar yang harus
dikuasai. Untuk melaksanakan tugas yang
berat seperti itu guru hendaknya mau
membangun kultur yang baik. Tanpa kerja
keras dan etos kerja yang tinggi tidak
mungkin seorang guru mau berusaha untuk
mencermati kompetensi dasar yang sesuai
bagi siswanya, membuat silabus sebelum
masuk ruang kelas, mencari sebuah
pendekatan yang relevan, memilih model
pembelajaran yang cocok, membuat evaluasi
yang rinci, dan seterusnya.
Kultur kejujuran juga harus dibangun
lewat penilaian terhadap anak didik.
Pemberian nilai tidak asal memberi angka
yang sementara ini banyak dilakukan teman-
teman guru. Di samping itu, tanggung jawab
guru dalam proses pembelajaran juga perlu
diperhatikan. Di manakah letak tanggung
jawab guru bila kelas sering kosong,
sementara guru duduk-duduk di kantor atau
"ngopi" di warung? Kita tidak boleh gampang
melimpahkan tanggung jawab kepada orang
lain, sehingga kita sering "cuci tangan" bila
terjadi permasalahan. Dan, jangan lupa bahwa
guru merupakan model bagi siswanya.
Berangkat dari berbagai pengalaman
yang lalu, kita sebenarnya tahu bahwa
kegagalan dalam dunia pendidikan bukan
hanya karena perangkat dan pelaksananya
tidak menguasai perangkat yang digunakan.
Akan tetapi, berpulang kepada mental
pelaksana yang ada di lapangan. Kita semua
tahu bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme itu
tidak baik, tetapi karena kegiatan itu sudah
menjadi kultur bangsa kita maka kita sulit
untuk menghilangkannya. Jika kultur
bersantai-santai, malas, suka bohong, tidak
malu dengan kesalahan yang dilakukan, suka
jalan pintas, gampang melimpahkan
tanggung jawab kepada orang lain, dan
sebagainya yang sudah terpatri di dalam jiwa
bangsa Indonesia -termasuk guru- tidak
dikikis sedikit demi sedikit, maka sulit bagi
kita mengharapkan keberhasilan pelaksanaan
pendidikan yang berkualitas.
Sebagai individu yang berkecimpung
dalam pendidikan, guru harus memiliki
kepribadian yang mencerminkan seorang
pendidik. Sebagai pendidik, guru harus yang
menjadi tokoh panutan dan identilikasi bagi
para peserta didik, dan lingkungannya. Guru
sering dijadikan panutan oleh masyarakat,
untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai
yang dianut dan berkembang di masyarakat
tempat melaksanakan tugas dan bertempat
tinggal. Oleh karena itu, guru harus memiliki
standar kualitas pribadi tertentu, yang
mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri,
dan disiplin.
Berkaitan dengan tanggung jawab; guru
harus mengetahui, serta memahami nilai,
norma moral, dan sosial, serta berusaha
berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai
dan norma tersebut. (guru juga harus
bertanggung jawab terhadap segala
tindakannya dalam pembelajaran di sekolah,
dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berkenaan dengan wibawa; guru harus
memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai
spiritual, emosional, moral, sosial, dan
mtelektual dalam pribadinya, serta memiliki
kelebihan dalam pcmahaman ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai
dengan bidang yang dikembangkan.
Guru juga harus mampu mengambil
keputusan secara mandiri (independent),
terutama dalam berbagai hal yang berkaitan
dengan pembelajaran dan pembentukan
kompetensi, serta bertindak sesuai dengan
kondisi peserta didik, dan lingkungan. Guru
harus mampu bertindak dan mengambil
keputusan secara cepat, tepat waktu, dan
tepat sasaran, terutama berkaitan dengan
masalah pembelajaran dan peserta didik,
tidak menunggu perintah atasan atau kepala
sekolah.
Sedangkan disiplin; dimaksudkan
bahwa guru harus mematuhi berbagai
peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas
Sy a h r u l P en g em b a n g a n; P r of esi; Kom p et en si Gu r u ; B er b a si s; M or a l; Ku l t u r



kesadaran professional, karena guru bertugas
mendisiplinkan para peserta didik di sekolah,
terutama dalam pembelajaran. Oleh karena
itu, dalam menanamkan disiplin guru harus
memulai dari dirinya sendiri, dalam berbagai
tindakan dan perilakunya. Kita tidak begitu
yakin dengan paradigma "jika guru
mendapatkan imbalan yang memadai akan
bekerja dengan baik" kalau tanpa didukung
dengan kultur yang baik. Dengan demikian,
agar pelaksanaan pendidikan (pembelajaran)
berjalan sukses, marilah kita bersama-sama
membangun kultur yang baik.


D. Penutup

Guru sebagai tenaga profesional telah
ditetapkan dalam berbagai Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah (UU Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru
dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah tentang
Standar Nasional Pendidikan. Sebagai
pekerjaan professional, seorang guru
diharuskan memiliki berbagai kompetensi
antara lain kompetensi professional,
kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, dan kompetensi sosial.
Disamping itu, guru juga memiliki multi
fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator,
informator, komunikator, transformator,
change agent, inovator, konselor, evaluator,
dan administrator dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk melaksanakan tugas yang berat
seperti itu guru harus tetap membangun
moral dan kultur yang baik, seperti berbudi
luhur, jujur, beriman, kemampuan
mengaktualisasikan diri seperti disiplin,
tanggung jawab; kemampuan
mengembangkan profesi seperti berpikir
kreatif, kritis, dan lain-lain. Kenyataan sudah
membuktikan bahwa kultur yang baik akan
menjadi kunci kesuksesan sebagaimana yang
terjadi dinegara-negara maju di Asia. Dengan
memegang dan membangun kultur dan moral
yang baik dalam melaksanakan profesi
sebagai guru maka pelaksanaan Kurikulum
Berbasis Kompetensi berjalan sukses,
sehingga kualitas pendidikan akan
meningkat.
Upaya-upaya guru untuk meningkatkan
profesionalismenya, diperlukan adanya
dukungan dari semua pihak yang terkait agar
benar-benar terwujud, seperti PGRI,
pemerintah dan juga masyarakat.
Sebagai saran, pengembangan
profesionalisme guru seharusnya sudah
dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu,
perlu didukung fasilitas yang memadai,
perbaikan kesejahteraan guru merupakan
agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan.


DAFTAR PUSTAKA

Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki
Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan.
(Online) (http:/ / www.suara
pembaharuan.com).

Anderson, S. and Ball, S. 1978. The Profession
and Practice of Program Evaluation. San
Francisco: Jossey-Bass Publisher.

Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis
Wacana Reformasi Pendidikan dalam
Era Globalisasi. Simposium Nasional
Pendidikan di Universitas
Muhammadiyah Malang.

Maister, DH. 1997. True Professionalism. New
York: The Free Press.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional
Mcnciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, Cetakan kedua,
Bandung: Penerbit PT REMAJA
ROSDAKARYA.

Paul Suparno. 2003. Guru Demokrasi Di Era
Reformasi Pendidikan, Jakarta: Penerbit
PT Grasindo.

Samana, A. 1994. Profesionalisme Keguruan
(Kompetensi dan Pengembangannya):
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

Jurnal MEDTEK, Vo l u m e 1, N om o r 1, A p r i l 20 0 9

Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi
Pengembangan Pendidikan Nasional
Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan
Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.

Surya, H.M. 1998. Peningkatan
Profesionalisme Guru Menghadapi
Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi
& Profesi. I No. 7/ 1998.

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad
21. Magelang: Indonesia Tera.

Anda mungkin juga menyukai