Anda di halaman 1dari 3

1 2

2 2
1 2
1 2
X X
S S
n n
thit

=
+

No Nama
Lokasi
Wilayah Peruntukan Ketinggian
(m)
1 Walikota
madya
Jakarta
Timur
(JAF1)
Penggilingan Pemukiman 3.0
2 Kemayoran
(JAF2)
Kemayoran pemukiman 6.0
3 Masjid
Pondok
Indah (JAF3)
Pondok
Indah
Campuran 3.0
4 Walikota
madya
Jakarta Barat
(JAF4)
Kembangan Perkantoran 3.0
5
(H
0
) pernyataan benar dan hipotesis alternatif
(H
1
) adalah pernyataan salah.
Untuk melakukan uji t yang dilakukan
adalah:
menentukan hipotesis nol (H
0
) dan
hipotesis tandingannya (H
1
) untuk
alternatif dua sisi
menghitung nilai rata-rata ( ) X dan
standar deviasi (s) masing-masing data
dengan rumus:

2
( )
2
1
1
n
X X
i
i
S
n

=
=



........... (2)


menghitung t hitung dengan menggunakan
rumus:
Gambar 2. Peta lokasi stasiun dan data
display ISPU di DKI Jakarta
(Sumber : BPLHD, 2006)



........... (3)





menghitung derajat bebas (v) dengan
rumus:

Gel. Senayan
(JAF5)
Senayan Sarana
Olahraga
3.0
(Sumber : BPLHD, 2006).

.......... (4)



menetapkan level toleransi , nilai yang
biasa digunakan adalah 5% dengan tingkat
kepercayaan 95% serta daerah kritis
(daerah penolakan H
0
) dan titik kritis (titik
batas suatu hipotesis H
0
akan diterima atau
ditolak) mengggunakan kurva distribusi t

kesimpulan berupa penolakan H
0

jika nilai t hitung > t tabel
(Iriawan dan Astuti, 2006).




III. METODOLOGI

3.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Data ambien ozon (O
3
) dan partikulat 10
(PM
10
) selama 30 menitan. Lokasi stasiun
dapat dilihat pada Gambar 2 dan
peruntukannya pada Tabel 2.
2. Data Indeks Standar Pencemar Udara
(ISPU).
3. Data meteorologi, yaitu radiasi matahari,
suhu udara, kelembaban udara, serta
kecepatan dan arah angin selama 30
menitan.
( ) ( )
2 2 2
1 / 1 2 / 2
2 2
2 2
1 / 1 2 / 2
1 1 2 1
S n S n
v
S n S n
n n
+
=
+


4. Data curah hujan. Data curah hujan hanya
digunakan untuk menentukan bulan


Tabel 2. Lokasi pemantauan kualitas udara ambien
di provinsi DKI Jakarta
















7
terbasah dan bulan terkering, tidak dianalisa
secara langsung bagaimana pengaruhnya
terhadap konsentrasi dan persebaran polutan
karena lokasi stasiun yang berbeda dengan
lokasi stasiun pengukur polutan ambien.
Data ambien dan data ISPU serta data
meteorologi kecuali curah hujan didapatkan
dari BPLHD Jakarta di stasiun JAF1 sampai
JAF5. Data curah hujan didapatkan dari BMG
Ciputat. Seluruh data merupakan data pada
tahun 2002-2004 serta 2006. Tahun 2005 tidak
dianalisis karena data tidak tersedia.
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah seperangkat personal computer yang
didukung oleh perangkat lunak Microsoft
Office (Word dan Excell), Minitab 14, Arc
View GIS 3.3, dan Surfer 8.

3.2 Metode
3.2.1 Korelasi Konsentrasi Polutan dan
Faktor Meteorologi
Data polutan dan meteorologi
diinformasikan melalui grafik terhadap waktu
dengan data polutan sebagai respons dan faktor
meteorologi sebagai prediktor. Grafik ini untuk
melihat pengaruh masing-masing faktor
meteorologi terhadap konsentrasi polutan
dengan melihat nilai R
2
.
Untuk melihat pengaruh faktor
meteorologi secara bersama-sama digunakan
metode regresi berganda dengan menggunakan
minitab 14. Analisis regresi linier berganda
dilakukan untuk memperoleh hubungan empat
faktor meteorologi secara bersama-sama
terhadap konsentrasi polutan, sehingga dapat
diketahui hubungan faktor meteorologi dan
konsentrasi polutan secara umum. Akan tetapi
jika ada korelasi antarfaktor meteorologi maka
perlu dilakukan analisis selanjutnya yaitu
regresi stepwise.
Regresi stepwise dilakukan karena ada
korelasi antarfaktor meteorologi. Cara
menentukan ada korelasi atau tidak adalah
dengan membuat korelasi antarfaktor
meteorologi, yang ditandai dengan nilai
korelasi mendekati 1. Kedua, tanda koefisien
korelasi antara konsentrasi polutan dengan
faktor meteorologi pada hasil korelasi dengan
regresi berganda berbeda tanda (Iriawan dan
Astuti, 2006). Analisis regresi stepwise
dilakukan jika ada korelasi antarfaktor
metorologi maka tidak semua faktor
meteorologi, dalam hal ini adalah radiasi
matahari, suhu udara, kelembaban udara, dan
kecepatan angin dimasukkan dalam persamaan.
Hasil analisis korelasi antara faktor
meteorologi dengan konsentrasi polutan ,untuk
membuktikan bahwa hasil korelasi lebih
meyakinkan, perlu dilakukan uji korelasi.
Hipotesis yang dibuat adalah:
H
0
: Tidak ada koelasi antarvariabel ( r
ij
= 0)
H
1
: Ada korelasi antarvariabel (r
ij
0)
dengan nilai yang digunakan adalah 5%. Jika
p value > , maka tolak H
o
. Artinya ada korelasi
antarvariabel.

3.2.2 Perhitungan Indeks Standar Pencemar
Udara (ISPU)
Indeks Standar Pencemar Udara atau
ISPU adalah angka yang tidak mempunyai
satuan yang menggambarkan kondisi kualitas
udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang
didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan
manusia, nilai estetika dan makhluk hidup
lainnya (Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun
1999).
Pedoman Teknis Perhitungan dan
Pelaporan serta Informasi Indeks standar
pencemar udara diperlukan sebagai pedoman
teknis dalam pelaksanaan perhitungan,
pelaporan dan sistem informasi indeks standar
pencemar udara bagi instansi terkait dan
Gubernur Kepala Daerah tingkat I, serta Bupati
atau Walikota.
Indeks Standar Pencemar Udara dapat
digunakan sebagai bahan informasi kepada
masyarakat tentang kualitas udara ambien
dilokasi dan waktu tertentu dan bahan
pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam melaksanakan pengelolaan dan
pengendalian pencemaran udara.
Perhitungan ISPU menggunakan metode
yang ditetapkan melalui Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No.
Kep-107/KABAPEDAL/11/1997, yaitu :

( ) +
Ia Ib
I Xx Xb Ib
Xa Xb

...(5)

Dimana
I = ISPU terhitung
Ia = ISPU batas atas
Ib = ISPU batas bawah
Xa = Ambien batas atas
Xb = Ambien batas bawah

8
ISPU 24 jam PM
10
g/m
3

24jam SO
2
g/m
3

8 jam CO
g/m
3

1 jam O
3
g/m
3

1 jam NO
2
g/m
3

50 50 80 5 120 (2)
100 150 365 10 235 (2)
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 3000
500 600 2620 57.5 1200 3750
(Sumber : Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999).
Tabel.3 Batas ISPU menurut Keputusan Kepala BPLHD No. KEP-107/KABAPEDAL/11/1997











Xx = Konsentrasi ambien nyata hasil
pengukuran
3.2.4 Uji t
Nilai Ia, Ib, Xa, dan Xb dapat dilihat pada tabel
3.

3.2.3 Analisa Persebaran Pencemar Udara
Persebaran Polutan O
3
dan PM
10

hanya berdasarkan data konsentrasi dari lima
stasiun yang ada di Jakarta serta kategori
kualitas udara berdasarkan ISPU. Arah angin
juga dipetakan untuk melihat pengaruhnya
terhadap persebaran polutan. Analisis
persebaran pencemar udara menggunakan
distribusi frekuensi dan selanjutnya dilakukan
pemetaan distribusi pencemar dengan langkah-
langkah sebagai berikut.
1. Penyediaan peta dasar, yaitu peta DKI
Jakarta serta peta administratif dan data
konsentrasi polutan O3 dan PM10 serta
data arah angin.
2. Digitasi peta dasar menggunakan Arc
View 3.3.
3. Memplot titik stasiun pengukuran
berdasarkan lintang dan bujur di peta yang
sudah dilakukan digitasi.
4. Membuat peta persebaran pencemar udara.
5. Peta persebaran pencemar udara
ditumpangtindihkan (overlaping) dengan
peta administrasi DKI Jakarta
menggunakan Arc View 3.3.
6. Selanjutnya membuat isoplet peta yang
telah ditumpangtindihkan sehingga dapat
diketahui wilayah yang terkena pencemar
udara paling berat.
7. Memetakan arah angin menggunakan
Surfer 8.
8. Menumpangtindihkan peta arah angin
dengan peta persebaran pencemar udara
dan peta administrasi DKI Jakarta.















Uji t dua sampel bebas dilakukan
dengan menggunakan minitab 14. Uji ini untuk
mengetahui apakah konsentrasi O
3
dan PM
10

berbeda nyata atau tidak antara bulan terbasah
dan bulan terkering. Hipotesis yang digunakan
pada uji ini adalah:
H
0
: 1 = 2
H
1
: 1 2
keterangan : 1 = rata-rata konsentrasi polutan
pada bulan terbasah
2 = rata-rata konsentrasi polutan
pada bulan terkering.
Jika |t hit| > t tabel atau nilai p-value <
nilai maka H
0
akan ditolak, artinya
konsentrasi polutan antara bulan terbasah dan
bulan terkering berbeda nyata. Nilai yang
digunakan dalam penelitian adalah 5%, karena
pada umumnya nilai 5% yang banyak
digunakan. Nilai t tabel adalah nilai dari |t
/2
|
dengan derajat bebas (n 1) adalah dan nilai t
tabelnya adalah 1.96.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Konsentrasi Polutan O
3
dan PM
10
pada
Bulan terbasah dan Bulan terkering
Berdasarkan Gambar 3 didapatkan
bahwa bulan terbasah terjadi pada bulan Januari
2002, Februari 2003 dan 2004, serta Januari
2006, sedangkan bulan terkering terjadi pada
bulan Agustus 2002, Juli 2003, serta September
2004 dan 2006. Tahun 2005 tidak dianalisa
karena data tidak tersedia selama lebih dari
enam bulan. Pengambilan sampel data pada
bulan terbasah berupa empat hari hujan berurut-
turut, sedangkan pada bulan terkering dilihat
dari empat hari tidak hujan berturut-turut.



9

Anda mungkin juga menyukai