Anda di halaman 1dari 4

Tiga generasi itu mewakili generation gap yang menjadi tugas saya

untuk menjembataninya. Bahkan di luar negeri, eksekutifnya terdiri


dari empat generasi. Yang satu bilang tulis (write me generation),
yang lain bilang telepon saya (call me), sedangkan dua generasi
lainnya bilang email saya (email generation) dan text me (SMS
generation). Harap maklum, rata-rata usia pegawai di BUMN
perusahaan minyak nasional kita adalah 49 tahun. Di TVRI, dugaan
saya, rata-rata sudah 51 tahun. Di sebagian besar BUMN sudah 50
tahunan.
Apalagi di sektor-sektor yang relatif stabil dan sektor komoditi
(kehutanan, perkebunan, semen, baja, kereta api, jalan tol,
perdagangan, perkapalan, dan seterusnya). Yang generasinya
agak mudaan ada di perbankan, telekomunikasi, consumer goods, jasa,
dan tentu saja airlines. Selebihnya, inilah saatnya di mana generasi
muda Indonesia (generasi yang menggenggam Android Samsung)
bertarung menghadapi generation gap. Bertarung menghadapi
generasi yang kata mereka relatif berwatak feodal.
Berwatak Feodal?
Kaget juga saya, mendengar ucapan anak-anak muda di banyak
industri tentang senior-senior mereka. Feodal, takut menghadapi
perubahan, bicaranya satu arah,meeting-nya lama dan tak ada
keputusan, semua serba uang, lamban, berubahnya pelan-pelan. Itu
artinya tidak ada perubahan sama sekali. Feodal, ujar mereka.
Tetapi bagi orang yang dituding feodal, sebaliknya anak-anak muda
ini dianggap sebagai self-centered, bahkan narsis dan asyik sibuk
sendiri. Mereka punya dunia yang sulit dimengerti, dinilai kurang
gigih, kurang berdisiplin dan perilakunya kutu loncat. Sebuah studi
yang dilakukan oleh badan riset Kronos menyebutkan generasi baru
ini dibesarkan dalam kultur yang berbeda: Sebanyak 13% dilahirkan
di luar negerinya, menuntut kebebasan yang lebih besar, 40%
pekerja muda bekerja dari rumah, 77% memiliki akun FB, 93%
menggunakan ponsel, dan 26% berbicara lebih dari satu bahasa
asing.
Rata-rata pegawai yang saya temui di sebuah instansi memang
sudah meninggalkan Nokia dan Blackberry, sementara senior-
seniornya baru belajar memakai BB. Senior-senior itu sering
bertanya apa itu Ipod, apa itu Apps, dan bagaimana melakukan copy-
paste, download, belanja online dan seterusnya. Sementara generasi
Samsung sudah menghabiskan sekitar US$ 4.12 Miliar
belanja online di negeri ini. Mereka belanja gadget, fashion, kamera,
barang-barang hobi, pakaian anak-anak, keperluan bayi, vitamin,
sampai buku, dan tiket. Mereka rapat di kedai-kedai kopi yang
dilengkapi Wifi, sedangkan generasi tua yang masih memegang
posisi-posisi penting di banyak pabrik dan kantor masih bisa
membeli sate dan tongseng di tepi-tepi jalan.
Di Cina, minggu lalu saya mendapat kabar, Android telah menguasai
pasar cina dengan market share di atas 90% (meningkat dari 58,2%
tahun lalu). Sementara generasi sebelumnya yang masih
menggenggam Nokia, terus mengalami penurunan yang tajam
menjadi tinggal 2.4%. Apalagi Ipod dan Ipad. Ini berarti generasi tua
di Cina mulai beralih pula, belajar menjelajahi dunia baru dengan
cara-cara baru. Namun, mampukah mereka mengubah watak feodal
yang bersifat satu arah dan merasa benar sendiri?
Inilah persoalan terbesar dalam generation gap yang dihadapi
berbagai bangsa. Rata-rata perusahaan di Indonesia, berhenti
merekrut pegawai sejak krisis moneter menerpa ekonomi Indonesia
(1997-2007). Birokrasi kita bahkan lebih lama lagi (sejak awal 1990),
sudah melakukan prinsip zero growth. Praktis birokrasi dan dunia
usaha sama-sama mengalami kegalauan, tak tahu apa yang harus
diperbuat.
Sudah hampir pasti banyak senior menutup pintu terhadap
kehadiran generasi baru. Di Eropa, hal serupa juga dilakukan dunia
usaha dan birokrasi dalam 3 tahun terakhir ini. Demikian juga di
Amerika Serikat. Padahal kaum muda adalah sumber inovasi
dan change. Di tangan merekalah pembaharuan dibebankan. Maka
ketika muncul orang yang benar-benar muda, apakah mereka tiba-
tiba menjadi CEO, GM, profesor, staf khusus, menteri, atau apa saja
jabatan elit lainnya, kalangan tua umumnya menyambut dengan
sinis dan dingin. Persis seperti anak-anak kita yang lama dibesarkan
tanpa adik dan tiba-tiba mendapat adik baru. Adik baru itu bukan
dibimbing, malah bisa jadi dicemburui, dicubit, dan disepak.
Generasi baru ini secara demografis disebut generasi M,
atau Millennium generation. Secara psikografis disebut generasi C
(connected generation) dan berada dalam lintas cohort. Namun, bisa
juga mereka disebut generasi Android (Samsung) karena dibesarkan
dalam teknologi yang menembus generasi baru. Kata Samsung
masih terasa janggal bagi sebagian orang yang kini masih gandrung
dengan Apple yang bertahan dengan produk-produk canggih
peninggalan mendiang Steve Jobs: Ipad dan Ipod. Mereka sering
menyindir, Jangan samakan dong BMW dengan KIA!
Santap malam di Pendopo Aceh bersama Gubernur, Dr. H. Zaini
Abdullah (9/11/2012 lalu) sungguh mengasyikkan. Dokter keluarga
lulusan Universitas Sumatera Utara (1972) dan spesialis dari
Kerolinska Universiteits Swedia berusia 72 tahun ini menghabiskan
lebih dari 20 tahun hidupnya di Swedia. Ia menawarkan saya durian
dan penganan khas Aceh, timpan sebagai penutup hidangan. Di
kepala meja, duduk mentroe (sebutan bagi menteri negara) Tengku
Malik Mahmud (73) yang ikut memberikan pandangan-pandangan
dan berbagi cerita.
Keduanya adalah tokoh karismatis Aceh, orang tua yang suaranya
sangat didengar. Dari mulut keduanya saya bisa menyimpulkan
betapa sejuk Aceh di tangan mereka. Keduanya visioner, dan bagi
mereka syariat Islam adalah penegakkan keadilan dan
kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Itu sebabnya keduanya
menginginkan merit system (sistem kepegawaian berbasiskan
kecepatan) dalam proses kerja pemerintahannya.

Anda mungkin juga menyukai