Anda di halaman 1dari 17

Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

( Beberapa waktu terakhir )


Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja
maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-
undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan pelanggaran hak asasi
manusia, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh
pemerintah maupun masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1. Pembunuhan masal (genisida)
2. Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
3. Penyiksaan
4. Penghilangan orang secara paksa
5. Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain

Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan
berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran hak
asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan
masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat
pemerintah dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah
dan masyarakat Indonesia, seperti :

a. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari
masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana
terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.

b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim
(1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera
Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban
pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.

c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas
yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.

d. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak
aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur
politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.

e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang
menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang
lainnya masih hilang).

f. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-
luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal)
dan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang
luka-luka).

g. Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur
secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.

h. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat kemasala
SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan
yang memakan banyak korban.

i. Kasus Poso (1998 2000)
Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.

j. Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak
korban dari kedua belah pihak.


k. Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan
penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak dibayar.

m. Kasus-kasus lainnya
Selain kasusu-kasus besar diatas, terjadi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti
dilingkungan keluarga, dilingkungan sekolah atau pun dilingkungan masyarakat.
Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:
1. Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya (tentang masuk sekolah,
memilih pekerjaan, dipaksa untuk bekerja, memilih jodoh).
2. Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.
3. Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang tuanya sendiri.
4. Majikan dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya sewenang-wenang
dirumah.

Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :
1. Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan kepintaran, kekayaan, atau
perilakunya).
2. Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara fisik (dijewer, dicubit,
ditendang, disetrap di depan kelas atau dijemur di tengah lapangan).
3. Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.
4. Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.
5. Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya ataupun dengan siswa dari
sekolah yang lain.
Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat antara lain :
1. Pertikaian antarkelompok/antargeng, atau antarsuku(konflik sosial).
2. Perbuatan main hakim sendiri terhadap seorang pencuri atau anggota masyarakat yang
tertangkap basah melakukan perbuatan asusila.
3. Merusak sarana/fasilitas umum karena kecewa atau tidak puas dengan kebijakan yang
ada.


Bom Bali I ( 12 Oktober 2002 )

Bom Bali terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan Kuta di pulau
Bali, Indonesia, mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209 yang lain, kebanyakan
merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini sering dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah
dalam sejarah Indonesia.

Beberapa orang Indonesia telah dijatuhi hukuman mati karena peranan mereka dalam
pengeboman tersebut. Abu Bakar Baashir, yang diduga sebagai salah satu yang terlibat dalam
memimpin pengeboman ini, dinyatakan tidak bersalah pada Maret 2005 atas konspirasi serangan
bom ini, dan hanya divonis atas pelanggaran keimigrasian.

Korban Bom Bali I

* Australia 88
* Indonesia 38 (kebanyakan suku Bali)
* Britania Raya 26
* Amerika Serikat 7
* Jerman 6
* Swedia 5
* Belanda 4
* Perancis 4
* Denmark 3
* Selandia Baru 3
* Swiss 3
* Brasil 2
* Kanada 2
* Jepang 2
* Afrika Selatan 2
* Korea Selatan 2
* Ekuador 1
* Yunani 1
* Italia 1
* Polandia 1
* Portugal 1
* Taiwan 1

Pelaku Bom Bali I

* Abdul Goni, didakwa seumur hidup
* Abdul Hamid (kelompok Solo)
* Abdul Rauf (kelompok Serang)
* Abdul Aziz alias Imam Samudra, terpidana mati
* Achmad Roichan
* Ali Ghufron alias Mukhlas, terpidana mati
* Ali Imron alias Alik, didakwa seumur hidup
* Amrozi bin Nurhasyim alias Amrozi, terpidana mati
* Andi Hidayat (kelompok Serang)
* Andi Oktavia (kelompok Serang)
* Arnasan alias Jimi, tewas
* Bambang Setiono (kelompok Solo)
* Budi Wibowo (kelompok Solo)
* Dr Azahari alias Alan (tewas dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu tanggal 9 November
2005)
* Dulmatin
* Feri alias Isa, meninggal dunia
* Herlambang (kelompok Solo)
* Hernianto (kelompok Solo)
* Idris alias Johni Hendrawan
* Junaedi (kelompok Serang)
* Makmuri (kelompok Solo)
* Mohammad Musafak (kelompok Solo)
* Mohammad Najib Nawawi (kelompok Solo)
* Umar Kecil alias Patek
* Utomo Pamungkas alias Mubarok, didakwa seumur hidup
* Zulkarnaen

Bom Bali II ( 1 Oktober 2005 )

Pengeboman Bali 2005 adalah sebuah seri pengeboman yang terjadi di Bali pada 1 Oktober
2005. Terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang
tewas dan 196 lainnya luka-luka.

Pada acara konferensi pers, presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan telah
mendapat peringatan mulai bulan Juli 2005 akan adanya serangan terorisme di Indonesia. Namun
aparat mungkin menjadi lalai karena pengawasan adanya kenaikan harga BBM, sehingga
menjadi peka.

Tempat-tempat yang dibom:

* Kaf Nyoman
* Kaf Menega
* Restoran R.AJAs, Kuta Square

Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
(Menko Polhukam), Inspektur Jenderal (Purn.) Ansyaad Mbai, bukti awal menandakan bahwa
serangan ini dilakukan oleh paling tidak tiga pengebom bunuh diri dalam model yang mirip
dengan pengeboman tahun 2002. Serpihan ransel dan badan yang hancur berlebihan dianggap
sebagai bukti pengeboman bunuh diri. Namun ada juga kemungkinan ransel-ransel tersebut
disembunyikan di dalam restoran sebelum diledakkan.

Komisioner Polisi Federal Australia Mick Keelty mengatakan bahwa bom yang digunakan
tampaknya berbeda dari ledakan sebelumnya yang terlihat kebanyakan korban meninggal dan
terluka diakibatkan oleh shrapnel (serpihan tajam), dan bukan ledakan kimia. Pejabat medis
menunjukan hasil sinar-x bahwa ada benda asing yang digambarkan sebagai "pellet" di dalam
badan korban dan seorang korban melaporkan bahwa bola bearing masuk ke belakang tubuhnya

Korban Bom Bali II

23 korban tewas terdiri dari:

* 15 warga Indonesia Flag of Indonesia.svg
* 1 warga Jepang Flag of Japan.svg
* 4 warga Australia Flag of Australia.svg
* tiga lainnya diperkirakan adalah para pelaku pengeboman.

Pelaku Bom Bali II

Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, seorang pejabat anti-terorisme Indonesia melaporkan
kepada Associated Press bahwa aksi pengeboman ini jelas merupakan "pekerjaan kaum teroris".

Serangan ini "menyandang ciri-ciri khas" serangan jaringan teroris Jemaah Islamiyah, sebuah
organisasi yang berhubungan dengan Al-Qaeda, yang telah melaksanakan pengeboman di hotel
Marriott, Jakarta pada tahun 2003, Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004, Bom
Bali 2002, dan Pengeboman Jakarta 2009. Kelompok teroris Islamis memiliki ciri khas
melaksanakan serangan secara beruntun dan pada waktu yang bertepatan seperti pada 11
September 2001.

Pada 10 November 2005, Polri menyebutkan nama dua orang yang telah diidentifikasi sebagai
para pelaku:

* Muhammad Salik Firdaus, dari Cikijing, Majalengka, Jawa Barat - pelaku peledakan di Kaf
Nyoman
* Misno alias Wisnu (30), dari Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawunganten, Cilacap, Jawa
Tengah - pelaku peledakan di Kaf Menega

Kemudian pada 19 November 2005, seorang lagi pelaku bernama Ayib Hidayat (25), dari
Kampung Pamarikan, Ciamis, Jawa Barat diidentifikasikan.

Tragedi Semanggi

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan
agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal
dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi
Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi
Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa
dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar
jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat
melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah
penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu
juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah
Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban
meninggal pertama di hari itu.

Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat
kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah
Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas
Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong
rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari
jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa
di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya.

Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang
mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru
dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal
mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru
Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko
(Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi,
Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.

Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban,
yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar
SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4
orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami
luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul.
Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat
lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil
berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.

Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada aksi-aksi mahasiswa.

Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat
memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan
militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama
menentang diberlakukannya UU PKB.

Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan
Universitas Atma Jaya.

Kasus Marsinah

Marsinah (10 April 1969?Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra
Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada
8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong
Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai
kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik
RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.

Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992
yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan
memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut
dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban
pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT.
CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700
menjadi Rp 2250.

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk
rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat
yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil)
setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus
menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per
hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam
kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15
orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah
karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul
10 malam, Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim
Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah
membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi,
mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu
dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan
Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Kasus Munir ( Pejuang HAM )

Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 meninggal di Jakarta
jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang
juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga
Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.

Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-
orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi
korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi
alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.

Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.

Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar
mengungkap kasus pembunuhan ini.

Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor
kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam
menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10
waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi
oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang
menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo
Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia
adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun
demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan
kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa

Kasus Babeh Baekuni

Nama Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi, lelaki berusia 50 tahun
itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi anak-anak jalanan di Jakarta. Ada yang
dibuang di Jakarta, sebagian dikubur di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak Desa
Mranggen, Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu.

Sebelum namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya hanya dikenal
di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat anak-anak jalanan. Di mata anak-
anak itu, yang sebagian kini beranjak dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan saja dia
menyediakan tempat menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02, Pulogadung, Jakarta
Timur tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. Pernah suatu hari, teman saya bernama Diki,
dipalak laki-laki bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan lebih besar dibandingkan Diki.

Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam, kata Anggi
Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe. Perkenalan Anggi dengan Babe
terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang
mengamen di pintu tol Cakung, ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya akrab
dengan seorang pria penjual rokok. Anak-anak itu memanggilnya Babe, kenang Anggi.

Sejak itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap hari empat hingga
lima anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya bisa bertambah hingga 15 anak. Kata
Anggi, semua anak diperlakukan sama. Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek, rambut
anak-anak jalanan itu. Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan panjang, dan dipangkas
habis di bagian belakang. Karena air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu dimandikan
Babe.

Biasanya kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak itu direntangkan.
Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen. Sabun cuci itu juga digunakan
sebagai sampo. Nunduk, nunduk, Anggi masih ingat kata-kata Babe saat 10 tahun lalu
memandikannya. Ketika anak-anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya bangun dan
mencuci baju anakanak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan rokok, dan
kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan anakanak. Sarapan pagi sudah
disediakan Babe.

Menunya menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam hari, Babe
mengajak patungan membeli mi instan. Dia juga memasok nasi goreng untuk kami, kata
Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang
mengobati mereka. Biasanya, kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. Dia disayangi
anakanak, dan saya menganggap sebagai orang tua sendiri, kata Anggi yang masih punya orang
tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13 tahun yang juga pernah tinggal di
kontrakan Babe bercerita, Babe selalu mengajarkan anak-anak itu agar uang hasil mengamen
dikumpulkan dan diberikan kepada orang tua masing-masing.

Sebagian anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih memiliki orang tua,
termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut, misalnya, Babe mengancam mereka agar
tidak tinggal bersamanya. Sering pula Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat asal
Babe. Sebelum berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos. Sehari lima
ribu rupiah. Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah menabung selama satu bulan, kata
Deni.

Mungkin karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu Babe pernah
menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat kehidupan anakanak jalanan
termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe. Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi
dan diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi, Babe
mengaku membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan keterangannya.
Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga korban Babe bisa lebih 15 orang.
Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak jalanan yang dikoleksi Babe.

Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia (Babe), kata
Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua pembunuhan sadis itu? Polisi menunjukkan foto-
foto korban. Babe enggak mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan bilang enggak kenal,
kata Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe, Rangga bercerita, Babe
membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali plastik. Biasanya, Babe
membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi tali plastik. Tangan kanan Babe kemudian
mendorong kepala korban ke depan, dan tangan kirinya menarik tali ke belakang.

Dia menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik bocah itu meregang
nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe, kata Rangga. Jika korban sudah meninggal,
barulah Babe menggauli bocah-bocah itu. Korbannya pasti berkulit bersih dan putih, karena
sewaktu anak-anak, kulit Babe juga bersih, kata Rangga. Babe bukan tidak menyesal
melakukan pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh korbannya, Babe
selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe, karena itu, juga seolah selalu
memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera terungkap.

Caranya, setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air mineral. Sehari-hari
dia kan berdagang rokok, dan air mineral, kata Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru diketahui
polisi, awal Januari silam: Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan tubuh seorang
bocah, yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau yang dikenal juga
dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya. Dari mulut Babe, belakangan
muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya bisa lebih 10 orang. Semuanya dimasukkan
dalam kardus air mineral. Saya percaya dan tidak percaya dia jadi pembunuh, kata Anggi. _
rangga prakoso.
KASUS KASUS YANG LAIN SEPERTI :
1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI

Umumnya terjadi pada masa pemerintahan PresidenSuharto, dimana (dikemudian hari berubah
menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI
mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat
semakin keras.



2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan;
untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil,
sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru)
sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan,
beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah
terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan
operasinya di daerah daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan
masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah.
Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya
dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi
sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara
tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka luka, ribuan
rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000 jiwa
sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya upaya penyelesaian konflik yang
dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon
dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila Darurat
Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di
Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang
terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar
kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik
jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan
kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban sendiri dan
membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam
melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada
aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang
muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi
penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur jalur distribusi barang ini
biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam danKristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang
tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak anak korban langsung/tidak langsung dari konflik
karena banyak diantara mereka sudah sulit untukmengakses sekolah, masih dalam keadaan
trauma, program PendidikanAlternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental
anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu
masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat obatan tidak
dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal;
puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi.
Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh
media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada
media yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat
Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan
MuslimMaluku).

3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA

Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun
gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita
melupakan kasih, yaitu kasih yang menjadi atribut Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat
dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja difilmkan. Salah
satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang
menghakimi seorang pezinah dan kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe
Magdalene Sisters, juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, The Name of the Rose ,
dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul
Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini cukup memberi jaminan bahwa film
yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYAs GOST.
Mungkin saja film GOYAs GOST ini akan membuat marah sebagian kelompok, namun apa
yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana kekejaman Inkuisisi telah tercatat
dalam sejarah hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan
karya Seniman Spanyol Francisco Goya (17461828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film
GOYAs GOST ini.
Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam
lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity)
entah itu Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama agama yang suci mereka melakukan
pelecehan yang tidak suci kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21, akhir-
akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia yang beragama melanggar
hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan sejenisnya menteror dengan bom, dan
olehnya mungkin sebagian dari kita telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar
kita sama jahatnya dengan kelompok Al-Qaeda. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai
polisi dunia sering memakai isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda untuk melancarkan
macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain
yang disinyalir ada terorisnya. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak
berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang super-canggih
menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur dalam perang-kota, ini
mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di
Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya,
Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri
karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti
tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam
Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak menutup
kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George Bush adalah juga seorang Fundamenalis
dalam Agama yang dianutnya, karena gaya Bush yang sering secara implisit terbaca dimana
ia menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari para teroris
Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung fundamentalis entah itu
Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah isu anti terorisme (Islam), sutradara Inggris, Ridley Scott
memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk
menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan katacrusades dalam pidatonya. Film
The Kingdom of Heaven adalah sebuah otokritik bagi Kekristenan, dan sajian ironisme dari
ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu
bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.
Dibawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan dibawah payung Agama, bukan berniat
melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu, melainkan sebagai perenungan apakah perlakuan
seseorang melawan/menindas orang lain yang tidak seagama itu tujuannya membela Allah?
membela tradisi? membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?

4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM

Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi
vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga
menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa
keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat
Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa
hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.

Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-
Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer)
disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun
sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama
dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan
vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.

Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam
mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah
melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak
terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan diskriminatif dengan keputusan terhadap
terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari
anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose
Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor
Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak
pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, Bagi
saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang
akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia

5. Kontroversi G30S

Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal
menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani
kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang
memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah
rekonsiliasi. Anggaplah kasus ini selesai, jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba
menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore
harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit kecuali
Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI
sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu
kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber
yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah
diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban
berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. Mereka menggunakan
alat pisau atau golok, urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga
tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya.
Ciri lain, menurutnya, Kejadian itu biasanya malam. Proses pembunuhan berlangsung cepat,
hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah
melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya
amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis
dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang
diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang
menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula
menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal,
menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu
hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok
sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu
dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara.
Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah
adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan
militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit
militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. Atau militer setidaknya
memberi contoh, ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk
menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam
penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali
PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia
23 September 2000 dengan tema Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah,
secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara
peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada
taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan
banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.

Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide
dengan hasil pertemuan Belgia. Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. saya pernah mewawancarai seorang
putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang
anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan
dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari
rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.
Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku
pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan
pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan
menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika
tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya
meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, Apakah Anda menyimpan dendam? Sang anak
menjawab, Semula Ya. Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang.
Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya. Mereka, tambah
Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus
memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.

Anda mungkin juga menyukai