Skinner
Burrhus Frederic Skinner dilahirkan pada 20 Maret 1904, di Susquehanna,
Pennsylvania, anak pertama pasangan William Skinner dan grace Mange Burrhus
Skinner. Ayahnya adalah seorang pengacara dan politisi ternama, sementara ibunya
adalah ibu rumah tangga yang merawat kedua anak mereka.Skinner tumbuh dalam
sebuah rumah yang nyaman, bahagia dan berada dalam kelas sosial ekonomi
menengah ke atas, tempat orang tuanya mengajarkan nilai-nilai dari control,
pelayanan, kejujuran dan kerja keras. Keluarga Skinner adalah penganut aliran
Presbitarian, namun Fred ( ia hampir tidak pernah dipanggil Burrhus atau B.F.) mulai
kehilangan keyakinannya pada saat sekolah menengah atas dan kemudian tidak
pernah lagi mempraktikan kegiatan agama.
Adiknya, Edward, lahir saat Skinner berusia 2 tahun. Fred merasa bahwa
Ebbie (seperti bagaimana ia dikenal) lebih dicintai oleh kedua orang tuanya, namun
ia tidak merasa bahwa ia tidak dicintai. Ia hanya merasa lebih mandiri dan tidak
terlalu terikat secara emosional pada ayah dan ibunya. Akan tetapi, setelah Ebbie
meninggal secara tiba-tiba saat Skinner berada dalam tahun pertama kuliah, orang
tuanya secara bertahap mulai menjadi tidak terlalu rela melepaskan anak laki-laki
tertua mereka.Mereka menginginkannya untuk menjadi anak laki-laki keluarga dan
akhirnya berhasil membuatnya tetap bergantung secara finansial, bahkan sampai
setelah B. F. Skinner menjadi terkenal dalam psikologi Amerika (Skinner, 1979;
Wiener, 1996).
Saat masa kanak-kanak, Skinner memiliki kecenderungan terhadap bidang
musik dan sastra. Sejak usia dini, ia sangat berminat untuk menjadi penulis
professional, suatu tujuan yang akhirnya ia dapatkan dengan terbitnya Walden Two,
saat ia mulai memasuki usia 40-an.
Pada saat bersamaan dengan lulusnya Skinner dari sekolah menengah atas,
keluarganya pindah sejauh 30 mil ke Scranton, Pennsylvania. Akan tetapi, tidak lama
kemudian, ia memasuki Hamilton College, sekolah seni liberal di Clinton, New
York. Setelah mendapatkan gelar sarjananya dalam jurusan bahasa Inggris, Skinner
mulai mencari cara untuk merealisasikan ambisinya menjadi penulis kreatif. Saat ia
menulis kepada ayahnya, memberitahukan bahwa ia ingin menghabiskan waktu
selama satu tahun di rumah untuk tidak melakukan hal apa pun selain menulis,
permintaannya mendapatkan penerimaan yang tidak terlalu hangat. Memperingatkan
anaknya atas pentingnya untuk bekerja, William Skinner dengan setengah hati
menyetujui untuk mendukung anaknya selama satu tahun dengan syarat bahwa ia
akan mencari kerja apabila karier menulisnya tidak sukses. Balasan yang tidak terlalu
antusias ini kemudian diikuti oleh surat yang lebih menyemangati dari Robert Frost,
yang telah membaca beberapa tulisan Skinner.
Skinner pulang ke rumah orang tuanya di Scranton , membangun sebuah
ruang kerja di loteng dan setiap pagi ia pergi untuk menulis. Akan tetapi, tidak ada
yang terjadi. Usahanya menjadi tidak produktif karena ia tidak mempunyai apapun
untuk dikatakan dan tidak mempunyai posisi yang kuat dalam isu-isu yang sedang
berkembang. Tahun Kegelapan menjadi salah satu dari kebingungan identitas yang
kuat dalam kehidupan Skinner, tetapi seperti yang kan didiskusikan dalam sketsa
biografi ini, hal tersebut bukanlah krisis identitasnya yang terakhir.
Di akhir tahun kegelapan (sebenarnya 18 bulan) yang gagal ini, Skinner
dihadapkan dengan suatu tugas untuk mencari karier baru.Ia pun tertarik terhadap
psikologi. Setelah membaca beebrapa hasil studi dari Watson dan Pavlov, ia
kemudian memutuskan untuk menjadi pakar behaviorisme.Ia tidak pernah
melepaskan keputusan ini dan memasukkan dirinya sepenuh hati ke dalam
behaviorisme radikal. Elms (1981, 1994) menyatakan bahwa dedikasi total seperti itu
terhadap ideology ekstrem, cukup sering ditemui pada mereka yang mengalami krisis
identitas.
Walaupun Skinner tidak pernah mengambil kuliah psikologi dalam program
sarjananya, Harvard menerimanya sebagai mahasiswa pascasarjana dalam bidang
psikologi.Setelah menyelesaikan gelar Ph.D., pada tahun 1931, Skinner menerima
keanggotaan dari National Research Council untuk melanjutkan Penelitian
laboratoriumnya di Harvard. Setelah cukup percaya diri dengan identitasnya sebagai
penganut behaviourisme, ia membuat sebuah perencanaan untuk dirinya sendiri,
membuat gambaran atas tujuan-tujuannya untuk 30 tahun ke depan. Rencana ini juga
mengingatkannya untuk tetap bertahan dengan metodologi behavioristic dan untuk
tidak menyerah pada aspek fisiologis dari sistem saraf (Skinner, 1979, hlm.
115).Pada tahun 1960, Skinner telah mencapai fase-fase terpenting dari rencananya
tersebut.
Saat keanggotaannya selesai pada tahun 1933, untuk pertama kalinya Skinner
dihadapkan dengan tugas mencari pekerjaan tetap.Lowongan pekerjaan semakin
langka selama tahun depresi ini dan sepertinya tidak ada harapan untuknya.Akan
tetapi, tidak lama kemudian kecemasannya pun mulai memudar.Pada musim semi
tahun 1933, Harvard mendirikan Society of Fellows, suatu program yang dirancang
untuk memperkenalkan berpikir kreatif di antara pemuda-pemuda yang memiliki
kelebihan intelektual di unversitas.Skinner terpilih menjadi Kolega Junior dan
selama 3 tahun menghabiskan lebih banyak waktunya melakukan penelitian di
laboratorium.
Di akhir masa 3 tahun sebagai Kolega Junior, ia kembali mencari pekerjaan.
Hal yang menarik, ia hampir tidak mengetahui apa pun mengenai psikologi
tradisional secara teoritis dan tidak tertarik untuk mempelajarinya. Ia mempunyai
gelar Ph. D dalam psikologi, 5 tahun melakukan penelitian laboratorium tambahan,
tetapi tidak memiliki persiapan untuk mengajar psikologi dan tidak pernah sama
sekali membaca buku teks pasikologi secara keseluruhan (Skinner, 1979, hlm. 179).
Pada tahun 1936, Skinner mulai bekerja sebagai pengajar dan peneliti di
University of Minnesota, tempatnya bertahan selama 9 tahun. Tidak lama setelah
pindah ke Minneapolis dan setelah suatu hubungan cinta yang pendek dan aneh, ia
menikah dengan Yvonne Blue. Keluarga Skinner mempunyai dua orang anak
perempuan Julie, yang lahir pada tahun 1938 dan Deborah (Debbie) yang lahir
pada tahau 1944. Selama tinggal di Minnesota, Skinner menerbitkan buku
pertamanya, The Behavior of Organisms (1938), tetapi di satu sisi, ia terlibat dalam
dua dari proyeknya yang paling menarik perhatian proyek misil yang diarahkan
oleh burung dara dan pembangunan baby-tender untuk anak keduanya, Debbie.
Kedua proyek tersebut membawa rasa frustasi dan kekecewaan, emosi yang akhirnya
menghasilkan krisis identitas yang kedua.
Project Pigeon Skinner adalah suatu usaha yang pintar dalam mengondisikan
burung dara untuk menghasilkan patukan yang tepat, yang akan melakukan
maneuver misil peledak kepada target musuh. Hampir dua tahun sebelum Amerika
Serikat mulai berperang, Skinner membeli sekumpulan burung dara untuk melatih
mereka mengarahkan misil. Untuk bekerja sepenuhnya dalam Project Pigeon,
Skinner mendapatkan donasi dari University of Minnesota dan bantuan finansial dari
General Mills, konglomerat makanan yang berada di Minneapolis. Sayangnya, ia
tidak mendapatkan dukungan pemerintah.
Dalam usahanya untuk mendapatkan pendanaan, ia mempersiapakan suatu
film dari burung dara yang telah dilatih mematuk suatu control dari sebuah misil dan
mengarahkannya kepada suatu target bergerak. Setelah melihat film tersebut, minat
dari petugas pemerintahan mulai muncul dan mereka pun memberikan General Mills
donasi yang cukup besar untuk mengembangkan proyek tersebut. Walaupun begitu,
kondisi yang membuat frustasi tetap ada di depan mata. Pada tahun 1944, Skinner
dengan dramatis mendemonstrasikan pada petugas pemerintahan probabilitas proyek
tersebut dengan membuat burung dara hidup mengikuti dengan akurat suatu target
yang bergerak.Walaupun demonstrasi tersebut terbilang spektakuler, tetapi beberapa
pengamat tertawa dan yang lainnya tetap bersikap skeptis. Akhirnya, setelah 4 tahun
bekerja dalam proyek tersebut, yang lebih dari 2 tahun merupakan pekerjaan penuh
waktu, Skinner diberitahu bahwa bantuan finansial yang didapatkannya tidak dapat
dilanjutkan dan proyek tersebut terhenti.
Tidak lama setelah Skinner meninggalkan Project Pigeon, dan sesaat
sebelum kelahiran anak keduanya, Debbie, ia terlibat dalam suatu eksperimen
lainnya baby tender. Baby tender ini sebetulnya adalah tempat tidur tertutup
dengan sebuah jendela besar dan asupan udara segar yang hangat yang dipasok terus-
menerus. Tempat tersebut memberikan lingkungan yang aman dan sehat secara fisik
dan psikologis untuk Debbie, yang juga membebaskan orang tuanya dari pekerjaan
yang membosankan dan tidak perlu.Pasangan Skinner secara berkala mengeluarkan
Debbie dari tempat tidurnya untuk bermain, tetapi sebagian besar waktunya
dihabiskan sendirian di dalam baby tendertersebut.Setelah Ladies Home Journal
menerbitkan sebuah artikel mengenai baby tender, Skinner mendapatkan pujian dan
hujatan untuk ciptaannya tersebut.Minat dari orang tua lainnya mendorong Skinner
untuk memasarkan alat tersebut.Akan tetapi, kesulitan dalam mematenkan alat ini
dan asosiasinya dengan partner bisnis yang tidak kompeten dan tidak berhati-hati,
membuatnya meninggalkan usaha komersilnya. Saat Debbie mulai tidak
menggunakan baby tender pada usia 2 tahun, Skinner mengubah fungsinya
menjadi kandang burung dara.
Pada saat itu, Skinner berusia 40 tahun dan masih bergantung pada ayahnya
untuk bantuan finansial, tertekan dengan ketidaberhasilannya menulis buku
mengenai perilaku verbal dan belum sepenuhnya terlepas dari tahun kegelapannya 20
tahun sebelumnya. Alan Elms (1981, 1994) yakin bahwa frustasi yang dialami
Skinner akibat Project Pigeon dan Baby Tender menyebabkan krisis identitas, kali
ini pada usia setengah baya.
Bahkan, saat Skinner telah menjadi pakar behaviorisme yang sukses dan
terkenal, ia sangat lamban dalam mengukuhkan independensi finansial dan cara
kekakank-kanakan untuk membiarkan orang tuanya membayarkan mobilnya,
liburannya, pendidikan anak-anaknya di sekolah swasta dan rumah untuk
keluarganya (Bjork, 1993; Wiener, 1996).
Satu peristiwa penting terjadi saat Skinner masih berada di University of
Minnesota. Ayahnya menawarkan untuk memberinya uang sebesar gaji mengajar di
sekolah musim panasnya, apabila ia mau meninggalkan pekerjaannya sebagai
pengajar selama musim panas serta membawa istri dan anak-anaknya ke Scranton.
Dalam biografinya, Skinner (1979, hlm. 245) mempertanyakan motif ayahnya,
dengan mengatakan bahwa ayahnya hanya ingin bertemu dengan cucu-cucunya
yang ia cintai.Walaupun begitu, Skinner menerima tawaran tersebut, pergi ke
Scranton, menyiapakan meja ruang bawah tanah (sejauh mungkin dari loteng yang
merupakan tempatnya bekerja selama tahun kegelapan), dan mulai menulis.Sekali
lagi, Scranton terbukti sebagai suatu lingkungan yang steril, dan buku yang sedang
ditulisnya tetap tidak terselesaikan sampai bertahun-tahun kemudian (Skinner, 1957).
Pada tahun 1945, Skinner meninggalkan Minnesota untuk menjadi dewan
dalam departemen psikologi di Indiana University, sebuah kepindahan yang
membawa lebih banyak frustasi. Istrinya mempunyai perasaan yang ambivalen
meninggalkan teman-temannya, tugas-tugas administrasinya terbukti merepotkan dan
ia tetap merasa berada di luar mayoritas psikologi ilmiah. Akan tetapi, krisis
pribadinya belum selesai dan karier profesionalnya akan kembali menemui
perubahan.
Padamusim panas tahun 1945, saat sedang berlibur, Skinner menulis Walden
Two, suatu novel utopis menggambarkan suatu masyarakat yang masalah-
masalahnya diselesaikan melalui rekayasa perilaku.Walaupun tidak diterbitkan
sampai tahun 1948, buku ini memberikan penulisnya terapi langsung dalam bentuk
katarsis emosional. Setidaknya Skinner telah berhasil melakukan apa yang gagal dia
capai di tahun kegelapannya, 20 tahun silam. Skinner (1967) mengakui bahwa dua
karakter utama dalam buku tersebut, Farazier dan Burris, merepresentasikan
usahanya menyatukan dua aspek terpisah dari kepribadiannya.Walden Two juga
merupakan salah satu pencapaian dalam karier professional Skinner.Ia tidak lagi
terbatas pada penelitian laboratorium dengan tikus dan burung dara, namun mulai
terlibat dalam implementasi analisis perilaku pada teknologi pembentukan perilaku
manusia. Perhatiannya pada kodisi manusia kemudian dielaborasikan dalamScience
and Human Behaviour (1953) dana mencapai suatu ekspresi filosofis dalam Beyond
Freedom and Dignity (1971).
Pada tahun 1948, Skinner kembali ke Harvard, tempatnya menghabiskan
sebagian besar wakyu mengajarnya di College of Education dan kembali melakukan
beberapa eksperimen kecil dengan burung dara. Pada tahun 1964, di usia 60 tahun, ia
pension dari pekerjaannya sebagai pengajar, namun tetap mempertahankan statusnya
di fakultas. Selama 10 tahun kemudian, ia mengambil program pendanaan karier
federal yang membuatnya dapat terus menulis dan melakukan penelitian. Pada tahun
1974, ia pensiun sebagai professor, namun tetap melanjutkan sebagai professor
emeritus dengan beberapa perubahan dalam kondisi kerjanya. Setelah pensiun
mengajar pada tahun 1964, Skinner menulis beberapa buku penting dalam perilaku
manusia, yang membantunya meraih status sebagai psikolog yang paling terkenal di
Amerika. Sebagai tambahan dari Beyond Freedom and Dignity (1971), ia
menerbitkan About Behaviourism (1974), Reflections on Behaviorism and Society
(1978), dan Upon Further Reflection (1987a). Selama periode ini, ia juga menulis
autobiografi yang terdiri dari 3 jilid, Particulars of My Life (1976a), The Shaping of
Behaviorist (1979) dan A Matter of Consequences (1983).
Pada 18 Agustus 1990, Skinner meninggal akibat leukemia. Seminggu
sebelum kematiannya, ia menyampaikan suatu pidato yang emosional dalam
konvensi American Psychological Association (APA), tempatnya terus menyuarakan
behaviorisme radikal. Dalam konvensi tersebut, ia menerima suatu penghargaan yang
belum pernah diberikan sebelumnya, Citation of Outstanding Contribution to
Psychology satu-satunya orang yang menerima penghargaan tersebut dalam sejarah
APA. Selama kariernya, Skinner menerima penghargaan dan gelar lainnya, termasuk
mengabdi sebagai William James Lecturer di Harvard, dianugerahi 1958 APA
Distinguised Scientific Award dan memenangkan Presidents Medal of Science.
Perintis dari Behaviorisme Ilmiah Skinner
Selama berabad-abad, pengamat perilaku manusia telah mengetahui bahwa
manusia pada umumnya melakukan hal-hal yang mempunyai konsekuensi yang
menyenangkan dan menghindari hal-hal yang membawa konsekuensi yang bersifat
menghukum.Akan tetapi, psikolog yang pertama kali mempelajari secara sistematis
konsekuensi dari perilaku adalah Edward L. Thorndike, yang pada awlnya bekerja
dengan binatang (Thorndike, 1898, 1913) dan kemudian dengan manusia
(Thorndike, 1913). Thorndike mengobservasi bahwa pembelajaran pada umumnya
terjadi karena adanya suatu efek yang mengikuti suatu respons, dan ia menyebut
hasil observasinya sebagai hukum akibat (law of effect). Sebagaimana pertama kali
dirumuskan oleh Thorndike, hukum dari efek ini mempunyai dua bagian. Bagian
pertama menyatakan bahwa respons terhadap suatu stimulus yang diikuti langsung
oleh pemuas cenderung akan disimpan ; bagian kedua menyatakan bahwa respons
terhadap suatu stimulus yang diikuti langsung oleh pengganggu akan dibuang.
Kemudian, Thorndike merevisi hukum ini dengan meminimalisasi signifikansi
pengganggu.Ketika penghargaan (reward) atau pemuas menguatkan hubungan antara
suatu stimulus dengan suatu respons, hukuman (punishment) atau pengganggu
biasanya tidak melemahkan hubungan tersebut. Artinya, menghukum suatu perilaku
hanya menghambat perilaku tersebut; tetapi tidak membuangnya. Skinner (1954)
menerima bahwa hukum akibat sangat krusial untuk mengontrol perilaku dan melihat
pekerjaannya adalah untuk memastikan bahwa suatu efek benar-benar terjadi dan
efek tersebut terjadi di bawah suatu kondisi optimal untuk belajar.Ia juga
setujudengan Thorndike bahwa efek dari penghargaan lebih dapat diprediksi
daripada efek dari hukuman dalam membentuk suatu perilaku.
Pengaruh kedua dan yang lebih langsung pada Skinner adalah hasil kerja
John B. Watson (J.B. Watson, 1913, 1925; J.B. Watson & Rayner, 1920).Watson
telah mempelajari binatang dan manusia, serta yakin bahwa konsep dari kesadaran
dan introspeksi tidak boleh mempunyai peranan dalam kajian ilmiah mengenai
perilaku manusia.Dalam Psychology as the Behaviorist Views It, Watson (1913)
berargumen bahwa perilaku manusia, seperti perilaku binatang dan mesin, dapat
dipelajari secara objektif.Ia berargumen tidak hanya pada konsep kesadaran dan
introspeksi, tetapi juga pandangan menngenai insting, sensasi, persepsi, motivasi,
kondisi mental, pikiran dan imagery.Ia menekankan bahwa masing-masing dari
konsep tersebut, berada di luar ranah psikologi ilmiah. Watson melanjutkan
argumennya bahwa tujuan dari psikologi adalah untuk memprediksi dan mengontrol
perilaku dan tujuan ini hanya dapat dicapai dengan membatasi psikologi pada suatu
kajian objektif mengenai kebiasaan yang terbentuk melalui hubungan stimulus-
respons.
C. Behaviorisme Ilmiah
Seperti Thorndike dan Watson, Skinner bersikeras bahwa perilaku manusia
harus dipelajari secara ilmiah. Aliran behaviorisme ilmiahnya berpendapat bahwa
perilaku dapat dipelajari dengan baik tanpa referensi mengenai kebutuhan, insting
dan motif. Mengatribusikan motivasi pada perilaku manusia sama saja dengan
mengatribusikan kemauan bebas kepada fenomena alam. Angin tidak berhembus
karena ingin memutar kincir angin; bebatuan tidak berguling menuruni bukit karena
memiliki suatu kesadaran akan gravitasi; dan burung-burung tidak bermigrasi karena
menyukai iklim yang ada dalam satu area lebih dari yang lainnya. Ilmuwan akan
dapat dengan mudah menerima gagasan mengenai perilaku dari angin, bebatuan dan
bahkan burung-burung yang dapat dipelajari tanpa suatu referensi mengenai motif
internal, namun kebanyakan psikologi kepribadian berasumsi bahwa manusia
termotivasi oleh dorongan internal dan pemahaman dari dorongan tersebut menjadi
penting.
Skinner tidak setuju. Mengapa mencoba membuat suatu fungsi mental
internal yang bersifat hipotetis ?Manusia tidak makan karena lapar.Lapar adalah
suatu kondisi internal yang tidak dapat secara lanngsung diobservasi.Apabila
psikolog ingin meningkatkan kemungkinan seseorang untuk makan, pertama-tama
mereka harus mengobservasi variabel-variabel yang berhubungan dengan perilaku
makan. Apabila kekurangan makanan akan meningkatkan kemungkinan seseorang
untuk makan, maka mereka dapat membuat seseorang kekurangan makan untuk
dapat lebih memprediksi dan mengontrol perilaku makan berikutnya.Kekurangan
makanan dan makan adalah peristiwa fisik yang dapat diobservasi dengan jelas
sehingga berada dalam ranah ilmu pengetahuan.Ilmuwan menyatakan bahwa
manusia makan karena lapar, berarti mengasumsikan mengenai suatu kondisi yang
tidak penting dan tidak dapat diobservasi, yang berada di antara fakta konkret dari
kekurangan makanan dan fakta konkret dari perilaku makan.Asumsi ini kemudian
dapat mengaburkan gagasan sebelumnya dan mereduksi psikologi ke dala ranah
filsafat yang dikenal sebagai kosmologi, atau yang berkaitan dengan suatu
penyebab.Untuk menjadi ilmiah, Skinner (1953, 1987a) menegaskan bahwa
psikologi harus menghindari faktor-faktor internal mental dan membatasi dirinya
pada peristiwa nyata yang dapat diobservasi.
Walaupun Skinner yakin bahwa kondisi internal berada di luar domain ilmu
pengetahuan, ia tidak menolak keberadaannya. Kondisi seperti rasa lapar, emosi,
nilai-nilai, kepercayaan diri, kebutuhan agresif, keyakinan religious dan kebencian
memang ada ; namun tidak menjelaskan suatu perilaku. Untuk menggunakan kondisi
internal sebagai penjelasan, tidak hanya sia-sia tetapi juga membatasi kemajuan
behaviorisme ilmiah.Ilmuwan lainnya telah membuat kemajuan yang lebih besar
karena telah lama meninggalkan praktik yang mengatribusikan motif, kebutuhan atau
kekuatan dari keinginan pada pergerakan (perilaku) dari organisme hidup dan benda-
benda mati.Aliran behaviorisme radikal Skinner mengikuti jejak mereka (Skinner,
1945).
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Behaviorisme ilmiah memberi ruang untuk interprestasi perilaku, tetapi tidak
pada penjelasan mengenai penyebabnya.Interpretasi mengijinkan ilmuwan untuk
menggeneralisasi kondisi pembelajaran yang sederhana kepada kondisi yang lebih
kompleks.Sebagai contoh, Skinner melakukan generalisasi penelitian tentang
binatang kepada anak-anak, kemudian pada orang dewasa. Ilmu pengetahuan apa
pun, termasuk mengenai perilaku manusia, dimulai dengan sesuatu yang sederhana
dan kemudian akan mengembangkan suatu prinsip yang telah digeneralisasikan,
yang mengijinkan suatu interpretasi atas sesuatu yang lebih kompleks. Skinner
(1978) menggunakan prinsip-prinsip yang diambil dari penelitian di laboratorium
untuk menginterpretasikan perilaku manusia, tetapi bersikeras bahwa interpretasi
tidak seharusnya dicampur dengan penjelasan mengapa seseorang berperilaku seperti
yang dilakukannya.
Karakteristik Ilmu Pengetahuan
Menurut Skinner (1953), ilmu pengetahuan mempunyai tiga karakteristik
utama. Pertama, ilmu pengetahuan bersifat kumulatif; kedua, merupakan suatu sikap
yang menghargai observasi empiris; dan ketiga, ilmu pengetahuan adalah suatu
pencarian atas keteraturan dan hubungan yang berdasarkan hukum-hukum.
Ilmu pengetahuan kebalikan dari seni, filsafat dan sastra memiliki
kemajuan yang bersifat kumulatif.Jumlah dan sifat dasar dari pengetahuan ilmiah
yang dimiliki seorang pelajar sekolah menengah atas mengenai fisika atau kimia,
jauh lebih maju daripada pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang paling
berpendidikan di Yunani 2.500 tahun yang lalu. Hal yang sama tidak dapat
diterapkan pada ilmu sosial. Kebijaksanaan dan kejeniusan Plato, Michelangelo dan
Shakespeare sudah jelas tidak berada di bawah kebijaksanaan dan kejeniusan dari
filsuf, seniman atau penulis modern manapun.Akan tetapi, pengetahuan kumulatif
tidak dapat disamakan dengan kemajuan teknologi.Ilmu pengetahuan bersifat unik
bukan karena teknologi tetapi karena sikapnya.
Karakteristik yang kedua dan yang paling penting dari ilmu pengetahuan
adalah sikap yang menempatkan suatu nilai pada observasi empiris di atas
segalanya.Dalam kata-kata yang diucapkan Skinner (1953), Adalah suatu disposisi
untuk berkutat dengan fakta-fakta daripada dengan apa yang seseorang telah
katakana mengenai fakta tersebut (hlm 12).Secara khusus, ada tiga komponen sikap
ilmiah.Pertama, ilmu pengetahuan menolak adanya otoritas bahkan otoritasnya
sendiri.Hanya karena seseorang yang sangat dihormati, seperti Einstein, mengatakan
sesuatu, hal tersebut tidak dengan sendirinya membuat pernyataannya menjadi
benar.Pernyataan tersebut harus dapat bertahan dalam uji observasi empiris. Ingat
kembali Bab I yang mendiskusikan mengenai keyakinan Aristoteles bahwa benda-
benda yang memiliki massa berbeda akan jatuh dengan kecepatan yang berbeda. Hal
ini diterima sebagai fakta selama sekitar 1.000 tahun, hanya karena Aristoteles yang
mengatakannya.Akan tetapi, Galileo menguji secara ilmiah gagasan tersebut dan
menemukan bahwa hal tersebut tidak benar.Kedua, ilmu pengetahuan menuntut suatu
kejujuran intelektual, dan hal tersebut menuntut ilmuwan untuk menerima suatu
fakta walaupun bertentangan dengan keinginan dan kemauan mereka. Sikap ini tidak
berarti bahwa secara otomatis ilmuwan menjadi lebih jujur daripada orang lain.
Mereka tidal.Ilmuwan dikenal sering memanipulasi data dan salah
menginterpretasikan temuan mereka. Akan tetapi, sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu
pengetahuan menempatkan harga yang tinggi atas kejujuran intelektual karena
jawaban yang benar pada akhirnya akan ditemukan. Para ilmuwan tidak mempunyai
pilihan selain melaporkan hasil atau temuan yang bertentangan dengan harapan atau
hipotesis mereka, karena apabila dilakukan, maka orang lain akan melakukannya dan
hasil terbaru akan menunjukkan bahwa ilmuwan yang telah melakukan kesalahan
dalam menginterpretasikan data tersebut, salah. Ketika benar dan salah tidak dapat
dikukuhkan dengan mudah atau cepat, maka tidak ada tekanan yang sama (Skinner,
1953, hlm. 13). Terakhir, ilmu pengetahuan menahan penilaian sampai suatu tren
yang jelas muncul.Tidak ada hal yang lebih merusak reputasi seorang ilmuwan selain
terburu-buru menerbitkan suatu temuan yang belum diverifikasi ataupun diuji dengan
cukup. Apabila laporan dari hasil temuan seorang ilmuwan tidak dapar direplikasi,
maka ilmuwan tersebut akan terlihat bodoh, di sisi baiknya dan tidak jujur di sisi
buruknya. Oleh karena itu, sikap skeptis yang sehat dan kemauan untuk menahan
suatu penilaian menjadi esensial ketika menjadi seorang ilmuwan.
Karakteristik letiga dari ilmu pengetahuan adalah pencarian untuk
keteraturan dan hubungan yang berdasarkan hukum-hukum tertentu.Semua ilmu
pengetahuan dimulai dengan observasi satu peristiwa, dan kemudian berusaha untuk
menemukan prinsip-prinsip dan hukum-hukum umum dari peristiwa-peristiwa
tersebut. Singkatnya, metode ilmiah terdiri dari prediksi, control dan deskripsi.
Seorang ilmuwan melakukan observasi yang diarahkan oleh asumsi-asumsi teoritis,
mengembangkan hipotesis (membuat prediksi), menguji hipotesis melalui
eksperimen yang dikontrol, mendeskripsikan secara akurat dan jujur hasilnya, serta
akhirnya memodifikasi teori untuk menyesuaikan dengan hasil empiris yang actual.
Hubungan bersifat sirkuler antara teori den penelitian telah didiskusikan di Bab I.
Skinner (1953) yakin bahwa prediksi, control dan deskripsi memungkinkan
untuk ada dalam behaviorisme ilmiah karena perilaku ditentukan dan berdasarkan
hukum-hukum.Perilaku manusia, yang berupa entitas biologis dan fisik, bukanlah
suatu gagasan yang tidak jelas ataupun hasil dari keinginan bebas (free will).Perilaku
manusia ditentukan oleh beberapa variabel yang dapat diidentifikasi dan mengikuti
suatu prinsip hukum yang memiliki batasan jelas, yang berpotensi untuk dapat
diketahui.Perilaku yang terlihat tidak jelas atau tidak terduga atau ditentukan secara
individual, berada di luar kapasitas ilmuwan untuk memprediksi ataupun mengontrol.
Akan tetapi, secara hipotesis, kondisi ketika hal tersebut terjadi dapat ditemukan,
mengijinkan untuk prediksi dan kontrol serta deskripsi .Skinner memberikan banyak
waktunya untuk menemukan kondisi-kondisi tersebut menggunakan suatu prosedur
yang disebut pengondisian opera.
DAFTAR REFERENSI
Feist, J. & Feist, G.J. 2010. Teori Kepribadian (Theories of Personality) Edisi 7:
Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika.