Anda di halaman 1dari 26

1

Morbus Hansen

Andry Susanto
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Tahun 2012 Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
NIM: 102012371, Email: andry_ssss@yahoo.com

Pendahuluan
Makalah PBL blok 15 kali ini akan membahas tentang morbus hansen sehingga
diharapkan menambah pengetahuan penulis tentang topik morbus hansen ( lepra ) yang menjadi
topik perkuliahan di blok 15 ini.

Latar Belakang
Permasalahan penyakit morbus hansen ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya
dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam
keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari
masalahmasalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan
negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna
sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau
gangguan di lingkungan masyarakat.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian
besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan
kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.




2

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah proses tanya jawab untuk mendapatkan data pasien beserta keadaan
dan keluhan-keluhan yang dialami pasien. Anamnesis dapat dibagi menjadi dua, yaitu auto
anamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan pasien
sendiri. Sedangkan alloanamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan orang lain yang
dianggap mengetahui keadaan penderita.
1
Anamnesis umum: dalam anamnesis ini berisi identitas pasien, dari anamnesis ini bukan
hanya dapat diketahui siapa pasien, namun juga dapat diketahui bagaimana pasien tersebut dan
permasalahan pasien. Identitas pasien terdiri dari nama pasien, umur, jenis, kelamin, alamat,
agama dan pekerjaan pasien.
1
Anamnesis khusus:
1
1. Auto anamnesa
a. Keluhan utama: keluhan yang disampaikan oleh pasien mengapa dia datang ke dokter
b. Riwayat penyakit sekarang: bisa ditanyakan kapan fraktur, mekanisme terjadinya
fraktur, pengobatan yang telah didapat, bagaimana cara penanganannya dan
bagaimana hasilnya.
c. Riwayat penyakit dahulu: ditanyakan apakah pasien dulu pernah mempunyai penyakit
yang sama ,serius, trauma, pembedahan.
d. Riwayat keluarga: Penyakit herediter atau menular contohnya apakah keluarga pasien
ada yang mempunyai penyakit Diabetes Melitus, jantung
e. Riwayat pribadi: menggambarkan hobi, olahraga, pola makan, minum alcohol,
kondisi lingkungan baik di rumah, sekolah atau tempat kerja yang mungkin ada
hubungannya dengan kondisi pasien.
1

2. Allo anamnesis
Pada dasarnya sama dengan auto anamnesis, bedanya yang menceritakan adalah
orang lain. Hal ini penting bila kita berhadapan dengan anak kecil/ orang tua yang sudah
mulai demensia (pikun).
1


3

Pemeriksaan
a. Fisik
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan
alat-alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba,tabung reaksi masing-
masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit,sangat sukar untuk menentukannya.
2
Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus,N.radialis, N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi
dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran
reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak.
Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe
tuberkoloidter lokalisasi mengikuti tempat lesinya.
2

Cara pemeriksaan saraf tepi adalah sebagai berikut :
3

N. Aurukularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga seringkali sudah bisa terlihat bila
saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama
akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan
antara yang kiri dan yang kanan.
2,3

N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas
satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku
(sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu
4

dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbedaan atau
tidak.
2,3

N. Peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum
fibulae, biasanya sedikit ke posterior.
2,3

Tes Fungsi Saraf

Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan
rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada
waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa
disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan
jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa
pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus
diperiksa pada bagian tengahnya
4

- Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam
dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang
tajam dan mana yang tumpul
4

- Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas(sebaiknya
400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutupatau menoleh ke
tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan padadaerah kulit yang dicurigai.
Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bilapada daerah tersebut pasien salah
menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkansensasi suhu di daerah tersebut terganggu.
4



5


2. Tes otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
Tes dengan pensil tinta
Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus
sampai ke daerah kulit normal.
2,4

Tes pilokarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin
subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat,
sedangkan daerah lesi tetap kering.
2,4

3. Tes motoris
4

Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan
jari kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas
diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas
tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk
mengetahui ketahanan ototnya.
2,4

Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien
mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke
atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau
dorong ibu jari pada bagian telapaknya.
2,4

Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna
pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan
gerakan tersebut.
2,4

Periksa fungsi saraf peroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan
fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke
lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.

2,4


6

b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang diagnosis atau penunjang pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
pada penderita kusta adalah pemeriksaan bakterioskopik (menggunakan kerokan jaringan kulit),
pemeriksaan histopatologik, pemeriksaan serologik.
5
- Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama-tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagianbawah dan 2-4lesi
lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena
pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
5

- Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu
daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat
berkembang biak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
5
- Pemeriksaan serologic
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan
alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA danML dipstick.
5



7


- Tes lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap Mycobacterium
leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita
bereaksi terhadap Mycobacterium leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (
PPD) pada tuberkolosis.
1,4,5

- Reaksi Mitsuda bernilai :
- 0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
- + 1 Papul berdiameter 4 6 mm
- + 2 Papul berdiameter 7 10 mm
- + 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

Diagnosis
a. Working diagnosis
Morbus Hansen atau lepra atau yang paling terkenal dengan kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik karena pada penderita ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat
penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Penyakit ini di sebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini
sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional.
2
Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan symptom. Lesi
kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit
dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna
tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar),
papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit
mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus.
2,3
8

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan
histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling sederhana.
Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan klinik
(pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis klinis
penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut
yaitu :
6

Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan
(hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi)
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat peradangan saraf
(neuritis perifer) , bisa berupa :
1). Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)
2). Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, kelumpuhan
3). Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak
Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA positif).

b. Differensial diagnosis
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena menyebabkan deformitas atau cacat
tubuh. Kelainan kulit lain yang dapat menjadi diagnosis banding dari lepra atau morbus Hansen
atau yang lebih dikenal sebagai kusta yaitu tinea versikolor, psoriasis, pitiriasis alba.
6
Tinea versikolor Psoriasis Pitiriasis alba
Lokasi Badan,ketiak,lipat
paha,lengan,tungkai
atas,leher,muka,kulit kepala
berambut
Scalp,ekstensor
terutama siku serta lutut,
daerah lumbosakral.
Ektermitas dan
bdan, bokong, paha
atas, punggung,
ekstensor lengan.

Gejala
klinis
Bercak berwarna warni,
bentuk tidak teratur,batas
jelas sampai difus,
asimptomatik.
Bercak-bercak,eritema
sirkumskrip dan merata.
Bercak multiple,
eritema,
depigmentasi.

Tabel 1: Diagnosis banding Lepra
6

9

Vitiligo
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling
sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada
mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi
bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia
eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
7

Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi
tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo
segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan
mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga
yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan
muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula
yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang
menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
7


Ptiriasis Vesikolor
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malazessia furfur. Patogenesisnya adalah terdpat
flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare
bulat atau Pitysporum oval. Malazessia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor
predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah
akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan
udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat
yang diprosuksi oleh Malazessia furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
7

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi
jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti
and meat ball).
7



10

Tinea korporis

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) .
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel
di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya
bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
7


Psoriasis

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya
bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan
transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak
ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak
bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan
merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler,
plakat, lentikulerdan dapat konfluen.
7


Etiologi
Mycobacterium leprae merupakan bakteria yang telah diketahui menyebabkan
penyakit lepra ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai
sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media atrifisial. Mycobacterium leprae
merupakan bakteri aerob obligat, tahan asam, tidak dapat dimasukkan sebagai gram positif
ataupun negatif, dan tumbuh intraselular. Untuk melihatnya dalam preparat, dibutuhkan
pewarnaan Ziehl-Neelsen yang khusus untuk bakteri tahan asam. Genom Mycobacterium
leprae diketahui lebih pendek daripada genom Mycobacterium tuberculosis. Dari
keseluruhan genon yang Mycobacterium leprae miliki, yang berfungsi hanya setengahnya
sehingga enzim pernafasan yang dihasilkan hanya sedikit. Oleh sebab itulah bakteri ini
tidak dapat hidup diluar sel, karena tidak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri sebagai
bakteri aerob obligat jika berdiri sendiri.
7,8
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh,
bentuk pecah pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan
11

bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna
merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana
dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak
merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus
atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau
granulated mengandung ikatan atau berkelompok kelompok. Kelompok kecil adalah
kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok
yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular
membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA.
8


Patogenesis

M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat
sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.
9


Gejala Klinis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis,
dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta
perlu dilakukan agar dapat menentukan terapi yang sesuai.
9

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Yang
termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+.
9

12

Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat
persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus
didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya
didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, bisa saja ada kemungkinan diagnosis di bagian
wajah berbeda dengan di bagian tubuh lainnya. Bahkan pada satu lesi pun dapat berbeda tipenya,
tergantung dari tempat biopsinya diambil. Untuk membandingkan gejala klinis yang
ditimbulkan, berikut ada 2 tabel dibawah ini yang akan menjelaskan jenis multibasilar dan pausi
basilar:
9























13


Tabel 1: Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasilar (MB)
9




SIFAT
LEPROMATOSA
(LL)
BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)
MID BORDERLINE
(BB)
Lesi
- Bentuk



- Jumlah


- Distribusi
- Permukaan

- Batas

- Anestesia

BTA
- Lesi kulit
- Sekret hidung
Tes Lepromin



Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis tidak ada kulit
sehat
Simetris
Halus berkilat

Tidak jelas

Tidak ada sampai
tidak jelas

Banyak (ada globus)
Banyak (ada globus)
Negatif


Makula
Plakat
Papul

Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat

Hampir simetris
Halus berkilat

Agak jelas

Tak jelas


Banyak
Biasanya negatif
Negatif

Plakat
Dome-shaped (kubah)
Punched-out

Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada

Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas

Lebih jelas


Agak banyak
Negatif
Biasanya negatif
14

SIFAT TUBERKULOID
(TT)
BORDERLINE
TUBERCULOID
(BT)
INDETERMINATE
(I)
Lesi
- Bentuk

- Jumlah

- Distribusi
- Permukaan
- Batas

- Anestesia

BTA
- Lesi kulit
Tes Lepromin


Makula saja; makula
dibatasi infaltrat
Satu, dapat beberapa

Asimetris
Kering bersisik
Jelas

Jelas


Hampir selalu negatif
Positif kuat (3+)

Makula dibatasi
infiltrat; infiltrat saja
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas

Jelas


Negatif atau hanya 1+
Positif lemah

Hanya makula
Satu atau beberapa


Variasi
Halus, agak berkilat
Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Tak ada sampai tidak
jelas

Biasanya negatif
Dapat negatif lemah
atau negative
Tabel 2: Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta Pausibasilar (PB)
9

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh.
Orang awam pun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting bagi kita
sebagai dokter yang ahli kesehatan lainnya, bahkan barangkali para ahli kecantikan dapat
menduga ke arah penyakit kusta, terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa makula
hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja,
infiltrat saja, atau keduanya. Buatlah diagnosis banding dengan banyak penyakit kulit lainnya
yang hampir serupa, sebab penyakit kusta ini mendapat julukan the greatest imitator dalam Ilmu
Penyakit Kulit. Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain
tinea vesicolor, psoriasis vulgaris, vitiligo dan ptiriasis alba. Kalau secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun
15

tidak selalu jelas. Hal ini denga mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa
nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah
pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin menggunakan 2 tabung reaksi.
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya dehidrasi
di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal, bila ada
gangguan maka akan terbentuk goresan pada kulit normal akan lebih tebal daripada kulit yang
terkena lesi, serta adanya alopesia pada kulit yang sedikit berambut.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, ada/ tidaknya
nyeri spontan dan / atau nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu
diperiksa, yaitu N.fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi memerlukan latihan dan
kebiasaan untuk memeriksanya. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral
dan menyeluruh, sedang bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya.
Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan sesuai dengan patofisiologisnya, dapat dibagi
dalam deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma
yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat
sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik,
motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.
Kerusakan pada mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbicularis palpebarum
sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
kerusakan-kerusakan bagian-bagian mata yang lain. Secara sendiri-sendiri atau bergabung
akhirnya dapat mengakibatkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit,
dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat
16

timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis.
9


Epidemiologi
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering,
diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya
harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini
bukanlah merupakan faktor yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai
penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakitpenyaki terinfeksi
lainnya.
10
Menurut Cocrane, terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit
dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan
Mycobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang
berperan dalam penularan ini adalah :
10

- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial
ekonomi rendah
- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
17

mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
1,4,7,10
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh
bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea,
muntah, sakit kepala, dan vertigo.
1,4,7,10

Lamprene atau klofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Klofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA
+
/K
+
ATPase. Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman (warna kulit akan
kembali normal bila obat tersebut dihentikan), diare, nyeri lambung.
1,10

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada
subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
1,4,7,10

Prednison, untuk penanganan reaksi lepra. Sulfas Ferrosus untuk penderita lepra
dengan anemia berat. VitaminA, untuk penderita lepra dengan kekeringan kulit dan bersisik
(ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita lepra tipe PB I.
1,4,7,10

Regimen pengobatan lepra disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI. Untuk itu klasifikasi lepra disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB) = BI negatif
2. Multi Basiler (MB) = BI positif
Dengan memakai regimen pengobatan MDT = multi drug treatment. Kegunaan MDT
untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan
penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi
Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
1,4,7,10

PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin).
Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di
depan petugas. Anak-anak dan ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum
tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal
dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
1,4,7,10

18

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
1,4,7,10

Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum di
rumah
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
1,4,7,10

Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari diminum
di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
19

Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari diminum
di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah
Pengobatan reaksi lepra. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot ,
claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan
Prinsip pengobatan Reaksi Lepra yaitu immobilisasi/istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

1,4,7,10

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-
obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan
MDT (obat lepra) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
1,4,7,10

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan
sedative, MDT (obat lepra) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti
reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison. Obat-obat anti reaksi,
aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x
150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml
secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh
karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama pada wanita (teratogenik ).Dosis
400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
1,4,7,10

Pemberian kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering
off) setelah terjadi respon maksimal.
1,4,7,10

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert
committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
20

Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta
atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:
Lama
Pengobatan
Jenis Obat Dosis
6 Bulan Klofazimin
Ofloksasin
Minosiklin
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg.hari
Diikuti dengan 18
bulan
Klofazimin
dengan Ofloksasin
atau Minosiklin
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg/hari
Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan
klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di
atas.
1,4,7,10

Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu
klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
1,4,7,10

Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga
regimen MDT-MB alternatif selama 24 bulan:
Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun
MB, obat ini harus dihentikan.
1,4,7,10

Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:
Rifampisin Klofazimin
21

Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksikronik
sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering
terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus
difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
dan menyebabkan meningkatnya mortalitas.Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada
penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
10

Pencegahan Lepra
11

a. Pencegahan primer (primary Prevention)
Adalah Upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit belum mulai (pd periode pre-
patogenesis) dengan tujuan agar tidak terjadi proses penyakit
Tujuan: mengurangi insiden penyakit dengan cara mengendalikan penyebab penyakit dan faktor
risikonya
Upaya yang dilakukan adalah untuk memutus mata rantai infeksi agent host - environment
Terdiri dari:
1. Health promotion (promosi kesehatan)
Pendidikan kesehatan, penyuluhan
Gizi yang cukup sesuai dengan perkembangan
Penyediaan perumahan yg sehat
Rekreasi yg cukup
Pekerjaan yg sesuai
Konseling perkawinan
Genetika
22

Pemeriksaan kesehatan berkala
2. Specific protection (perlindungan khusus)
Kebersihan perorangan
Imunisasi
Sanitasi lingkungan
Perlindungan thdp kecelakaan akibat kerja
Penggunaan gizi tertentu
Perlindungan terhadap zat yang dapat menimbulkan kanker
Menghindari zat-zat alergenik
b. Pencegahan sekunder (Secondary Prevention)
Adalah Upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit sudah berlangsung namun belum
timbul tanda/gejala sakit (patogenesis awal) dengan tujuan proses penyakit tidak berlanjut
Tujuan: menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi
Terdiri dari :
Deteksi dini
Penemuan kasus (individu atau masal)
Skrining
Pemberian pengobatan (yang tepat
Pengobatan yang cukup untuk menghentikan proses penyakit
mencegah komplikasi dan sekuele yg lebih parah
Penyediaan fasilitas khusus untuk membatasi ketidakmampuan dan mencegah
kematian
c. Pencegahan Tersier (tertiary Prevention)
Adalah Pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut (akhir periode patogenesis)
dengan tujuan untuk mencegah cacad dan mengembalikan penderita ke status sehat
23

Tujuan: menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu
penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi
1. Disability limitation
Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar tidak terjadi
komplikasi.
Pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah sembuh.
Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk pengobatan dan
perawatan yang lebih intensif.
mengusahakan pengurangan beban beban non medis ( sosial ) pada penderita
untuk memungkinkan meneruskan pengobatan dan perawatannya.
2. Rehabilitasi
Penempatan secara selektif
Mempekerjakan sepenuh mungkin
penyediaan fasilitas untuk pelatihan hingga fungsi tubuh dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya
Pendidikan pada masyarakat dan industriawan agar menggunakan mereka
yang telah direhabilitasi
Penyuluhan dan usaha usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang
setelah ia sembuh.
Peningkatan terapi kerja untuk memungkinkan pengrmbangan kehidupan
sosial setelah ia sembuh.
Mengusahakan suatu perkampungan rehabilitasi sosial.
Penyadaran masyarakat untuk menerima mereka dalam fase rehabilitasi.
Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi

Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalahmanajemen
dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Inimembutuhkan tenaga
24

ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi.

Kesimpulan
Lepra atau morbus Hanses merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Bakteri tersebut terutama menyerang sistim saraf perifer sehingga
dapat mengakibatkan paralisis saraf yang diserangnya. Manifestasi pada kulit salah
satunya merupakan hasil dari inflamasi yang disebabkan oleh reaksi imun tubuh.
Diagnosis diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang teliti. Jika
tidak mendapatkan terapi yang adekuat, maka dapat terjadi komplikasi seperti kebutaan
sampai deformitas.

Daftar Referensi
1. Zulkifli. Penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkannya. Medan: USU Digitized
Library; 2003
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
FKUI; 2011.h.73-88
3. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI;
2011.h.633-5
4. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Buku-1. Jakarta: Salemba
Medika;2005.h.467-8
5. Vitiligo. Diunduh dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11Vitiligo117.pdf/11Vitiligo117.html, pada 14
April 2012
6. Partogi D. Pityriasis versikolor dan diagnosis bandingnya. Medan: FK USU; 2008

DAFTAR PUSTAKA
1. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi V.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2008; hal.64-7
2. Juanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed VI, FKUI. Jakarta: 2005; hal 73-88
25

3. Amirudin D. Penyakit kusta di Indonesia. Suplement vol. 26 no. 3, 2005; hal 572-68
4. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi Edisi VI. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC:2006; 1580-98
5. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
Kusta. Cetakan XVIII. Jakarta : 2006
6. Farmakologi dan terapi. Depertemen farmakologi dan terapiutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2007;633-37
Daftar Pustaka

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor.Ilmu penyakit kulit dan kelamin.Edisi 6. Jakarta:
Badan penerbit FKUI;2010. Hal. 73-88.
2. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit Airlangga; 2005. Hal. 118-25.
3. Swartz MH. Textbook of physical diagnosis. Edisi 5. USA: Saunders-Elsevier; 2006. Hal.
137-54.
4. Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, et al, editor. Fitzpatricks dermatology in
general medicine. Edisi 7.USA: The Mcgraw-Hill Company;2008. Hal.1787-96.
5. Price SA, Wilson LM.Patofisiologi.Edisi 6.Jakarta:EGC;2006.Hal.1365-73.
6. Brooks GF, Carroll KC, Morse SA, Mietznei TA, Butel JS. Medical microbiology. Edisi
25. USA: The Mcgraw-Hill Company;2004. Hal 289-99.
7. Isselbacher KJ, Braunwald E, et al, editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Volume 1. Edisi 13. Jakarta:EGC;200. Hal 325.
8. Bratawijaya KG, Rengganis I. Imunologi dasar. Edisi 8. Jakarta:Penerbit FKUI;2009.
Hal. 399-450.
9. Kasus lepra Indonesia peringkat tiga dunia. 25 Juni 2009. Diunduh dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/25/brk,20090625-183778,id.html. 26
April 2011.
10. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.Hal.633-37.
Daftar pustaka
26

1. CDC. (2003). Hansens's Disease (Leprosy), retrieved December 2003
fromhttp://cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/hansen-a.htm.htm. Last update: February
11, 2004 Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.
2. Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. (1997). Kusta : diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
3. Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin.Jakarta: Balai Penrbit FKUI
4. Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.
5. Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit.

Anda mungkin juga menyukai