Anda di halaman 1dari 5

(Penggiat CIIA Divisi Kajian Parenting)

(Arrahmah.com) - Tak seorangpun anak manusia menginginkan hidup sengsara. Semua orang
menghendaki untuk bahagia dunia akhirat. Pun dengan makhluk bernama pria dan wanita saat
keduanya sepakat untuk menikah dan membangun maghligai rumah tangga. Sepasang pengantin
baru saling berharap, pasangannya bisa menjadi teman hidup yang ideal, bisa ikhlas menerima
keterbatasan dan kelemahan masing-masing, serta dapat saling membahagiakan. Kedua
mempelai saling menaruh harapan, pasangannya adalah orang shaleh, yang istiqomah menetapi
kebenaran, selalu bersama dalam menaatiNya, dan senantiasa ada untuk berbagi.
Sang pengantin pasti menginginkan pernikahan yang penuh keberkahan, sakinah mawaddah
warahmah, tak terpisahkan sampai kakek nenek. Sang istri menaruh harapan besar, bahwa suami
pilihan akan menjadi imam, qowwam yang baik sesuai yang Allah tuntunkan. Demikian juga
sang suami, sangat mendamba istrinya adalah wanita shalihah yang selalu menaati suami,
menyenangkan kala dipandang dan meneduhkan kala bersua.
Tak ada seorangpun wanita yang mau memiliki suami yang ternyata laksana raja lalim. Tak ada
yang menginginkan menjadi seperti Asiyah yang bersuamikan Firaun lelaki angkuh,
pembangkang terhadap Tuhannya. Begitu juga lelaki, tak ada satupun yang menghendaki jika
ternyata sang istri seperti istri nabi Nuh. Istri yang tak menaati suaminya, dan berani melanggar
aturan Allah.
Namun inilah hidup, selalu saja ada perkecualian. Karena hidup terus berputar, ada pendosa yang
kemudian bertobat. Ada pula orang shaleh yang berubah haluan dan memilih berteman dengan
makhluk terkutuk bernama syetan. Ada ujian hidup bagi setiap manusia, baik ujian nikmat
maupun musibah, untuk menyeleksi mana manusia sungguh-sungguh beriman dan mana yang
hanya di dalam ucapan.
Memang ada wanita-wanita yang ditaqdirkan Allah untuk menjalani episode hidup layaknya
Asiyah. Kasus-kasus pemurtadan bisa menjadi contoh paling mudah dalam fakta di masyarakat.
Banyak wanita yang setelah beberapa waktu menikah, ternyata sang suami berubah 180 derajat.
Menyuruh istri murtad dan membangkang Allah dengan ancaman dari suami yang amat
merugikan dan mendhalimi istri. Sekalipun sang istri adalah wanita shalihah dan awalnya si
suami pun tampak seperti pria baik yang sungguh-sungguh berislam.
Demikian juga, ada lelaki pilihan yang Allah taqdirkan untuk memiliki istri yang ternyata jauh
dari kriteria istri shalihah. Sekalipun awalnya sang istri didapati dalam majelis taklim, sempurna
berhijab bahkan aktifis dakwah pula. Ada lelaki yang harus menjalani episode hidup seperti nabi
Nuh.
Ia bukan lelaki sembarangan, tapi lelaki shaleh pilihan Allah untuk menikmati ujian musibah
mempunyai istri yang tak menaatinya. Hanya lelaki kuat dan tangguh yang Allah pilih. Sebab
cintaNya yang teramat besar pada hambaNya, tak mungkin membebani sang hamba dengan ujian
yang melebihi batas kemampuannya. Allah memilih seorang pria untuk menjalani hidup seperti
nabi Nuh karena ingin mengangkat derajatnya di hadapanNya.
Bukan karena ia lelaki tak baik-baik sehingga memiliki istri tak baik dan berani melakukan
pelanggaran syara berulang. Bukan karena ia lelaki tak shaleh sehingga Allah memberinya
seorang istri yang bahkan memilih berada pada titik tak peduli dengan dosa, persis seperti istri
nabi Nuh kala mendapat untaian nasihat dari sang suami. Bukan. Tapi semata taqdir Allah lah
yang menetapkan demikian.
Kasus yang dialami salah seorang sahabat saya bisa diambil ibrohnya. Agar kita tidak mudah
memvonis kala di sekitar kita mungkin ada lelaki baik yang memiliki istri jahat atau sebaliknya,
istri shalehah tapi mempunyai suami durhaka pada Allah.
Tak ada yang salah saat sahabat saya itu memilih seorang wanita menjadi istrinya. Hati lelaki
shaleh itu putih, tak mungkin ada suudzon di hatinya. Apalagi wanita pilihannya adalah aktifis
dakwah, yang rutin mengaji minimal setiap pekan sekali. Auratnya pun tertutup sempurna. Siapa
pun tak akan menyangka jika ternyata si wanita memiliki hati dan perilaku seperti istri Abu
Lahab.
Setelah menikah beberapa waktu, baru ketahuan siapa sesungguhnya sang istri. Ternyata sang
istri memiliki mulut yang benar-benar tidak terjaga. Suka mencaci maki orang lain, menjuluki
orang lain dengan kata-kata buruk, bahkan tetap tak bisa menahan diri untuk tidak menuduh dan
melaknat orang lain dengan kalimat yang amat tidak pantas diucapkan oleh wanita muslimah.
Ternyata wanita dengan tutur kata lembut tidak menjamin baik juga kalimat yang terucap
lisannya, bisa jadi sangat kasar dan mendholimi. Sebagai pengemban dakwah, sang istri pasti
tahu bahwa Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-
olok kaum yang lain (karena) bisa jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena)
bisa jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-
gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (al-Hujuraat: 11)
Rasulullah SAW juga bersabda: Mencaci maki pada seorang Muslim berarti fasik(melanggar
agama) dan memerangi orang Muslim berarti kafir (HR. Bukhori danMuslim).
Dalam hadits yang lain, riwayat Bukhori dan Abu Dzar ra. Rasulullah SAW bersabda: Tiada
seorang yang memaki orang lain dengan kata fasik atau kafir, melainkan kalimat itu kembali
pada dirinya sendiri, jika tidak benar demikian keadaan orang yang dimaki.
Atau kasus lain yang menimpa seorang wanita shalehah. Tak pernah menyangka ia bahwa
suaminya tak jujur saat taaruf. Ternyata rumah dan harta yang dimiliki sang suami jauh hari
sebelum menikah adalah dari hasil aqad riba. Hutang menumpuk di bank. Tak dikira sama sekali
karena sang suami pun aktif mengaji dan beramar maruf nahi munkar. Ketika diingatkan dengan
baik-baik bukannya berubah, tapi justru semakin hobi menambah kekayaan dengan aqad yang
sama. Mobil pun dibeli dengan hutang riba. Suami bukan tak tahu bahwa Allah telah berfirman,
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. (QS Al-Baqarah: 275).
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. (QS Al-Baqarah: 276).
Dari Jabir ra, ia berkata. Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua
saksinya dan penulisnya. Dan Beliau bersabda, Mereka semua sama. (Shahih: Mukhtasar
Muslim no: 955, Shahihul Jamius Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Masud ra bahwa Nabi saw bersabda, Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu,
yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya. (Shahih: Shahihul
Jamius Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).
Kedua kasus di atas hanyalah sebuah contoh. Fenomena yang terjadi di masyarakat lebih
memprihatinkan lagi. Banyak wanita dan pria yang merasa telah salah memilih, ada yang karena
ternyata pasangan berperangai kasar dan hobi selingkuh. Sebab ternyata sang suami atau istri
amat keras hati saat nasihat taqwa diberikan, bahkan sangat keras kepala dan menantang saat
diingatkan kebenaran. Bukannya berubah menjadi lebih baik, tapi justru semakin buruk.
Sebagai manusia beriman, tentu tak ada satupun yang ingin mengalami seperti kasus di atas.
Oleh karena itu, sangat bijak bila memilih pasangan hidup dengan hati-hati. Apalagi kelak ia
yang akan menjadi ibu atau bapak anak-anak kita. Baik laki-laki maupun wanita sama saja, yaitu
menjadikan panduan untuk memilih pasangan karena agamanya sebagai pertimbangan utama.
Rasulullah bersabda, Dinikahi wanita karena empat perkara, hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah karena ketaatannya dalam beragama, niscaya akan
beruntung,(Muttafaqalaih).
Namun demikian agama seseorang, tidak bisa dilihat dari tampilan luar saja. Hanya atribut fisik
bisa saja menipu. Carilah informasi dari orang-orang yang netral seperti tetangga atau teman
kerja. Bukan dari kawan ngajinya saja karena biasanya hanya yang baik-baik saja yang terlihat.
Tapi kumpulkanlah yang dhahir sebanyak mungkin, agar tidak seperti membeli kucing dalam
karung yang sangat indah. Yang akan menjadi pasangan kita adalah orangnya, bukan majelis
taklim atau ormas yang diikutinya. Ormas tempatnya biasa berkiprah bisa jadi bagus, tapi belum
tentu dengan para pengembannya. Dua contoh kasus di atas telah membuktikan itu.
Berikut beberapa tips yang bisa dijadikan sedikit patokan saat memilih pasangan agar benar-
benar terjamin agamanya bagus, untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan di kemudian
hari :
1. Carilah informasi bagaimana seseorang bersikap dan berbakti kepada kedua orang tuanya,
terutama ibunya. Seorang lelaki yang biasa berbuat baik kepada kedua orangtuanya, maka ia pun
cenderung memperlakukan istri dengan baik, mengasihi seperti ia mengasihi ibunya. Seorang
wanita yang berbakti pada ibu bapaknya, ia akan juga mudah untuk menaati suaminya. Begitu
juga sebaliknya. Logikanya adalah bagaimana ia akan menaati suaminya, sedangkan pada ibu
yang melahirkannya saja tidak memuliakan bahkan menyakitinya.

Wahai kaum Mukmin taatlah kalian kepada Allah. Janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan
siapapun. Berbuat baiklah kalian kedua ibu bapak. (QS. An Nisa : 36).


Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada ibu bapaknya. Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah dan menyapihnya ketika usia dua
tahun Hendaklah kamu taat kepada-Ku dalam menggunakan nikmat dari-Ku dan taatlah
kepada ibu bapakmu. Kepada-Kulah kalian akan kembali. (QS. Luqman : 14).
2. Bila calon pasangan telah memiliki harta benda, carilah informasi dengan cara elegan
darimana dan bagaimana cara memperolehnya. Apakah dengan cara halal atau haram. Jangan
sampai terjadi seperti contoh kasus di atas. Sebab seseorang ketika telah berani melakukan
perbuatan dosa, bahkan sekecil apapun ia berani menyelisihi Allah dan Rasulullah, maka di
masa datang ia berpotensi melakukan pelanggaran syara yang lain jika tidak segera bertaubat.
Apalagi bagi seorang wanita, jangan sampai ia salah pilih suami yang menafkahi dari harta yang
diperoleh dengan cara bathil, misalnya memberi makan, pakaian, dan menaungi anak istri di
rumah yang diperoleh dengan cara riba, korupsi, suap, mencuri atau cara haram lainnya.
Menikah dengan lelaki miskin jauh lebih baik daripada menikah dengan pria kaya tapi
berani melawan perintah Allah.
Nabi shallalahu alai wa sallam bersabda, Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan
ditanya tentang empat perkara (yaitu):(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan? (2) Tentang
ilmunya untuk apa ia amalkan? (3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia
belanjakan? dan (4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan? (HR.At-Tirmidz).
3. Lihatlah bagaimana pergaulannya dengan teman-temannya dan lawan jenisnya. Apakah ia
termasuk orang yang menjaga kesucian diri atau justru sebaliknya sekalipun di dunia maya.
Apakah ia termasuk yang biasa hidup campur baur dengan lawan jenis tanpa menggunakan
batasan agama atau tidak. Orang yang biasa gaul bebas, di masa datang akan mudah
berselingkuh apalagi ada setan Harut Marut yang selalu berusaha memisahkan suami istri
melalui pelanggaran hukum Allah, oleh satu orang atau keduanya.
4. Lihatlah bagaimana hubungannya dengan saudara-saudaranya dan kawan-kawannya. Apakah
rukun atau sering bermasalah. Apakah di mata mereka dinilai sebagai orang yang mudah
berbagi, dermawan, suka menolong atau sebaliknya, pelit, egois dan lebih mementingkan diri
sendiri. Apalagi menikah tidak hanya menyatukan dua manusia, tapi juga dua keluarga dengan
karakter yang bisa jadi sangat berbeda.
5. Pertimbangkan juga sifat utama yang dimiliki. Apakah bijaksana, dewasa, penyabar, lembut
hati, keras hati, angkuh atau kekanak-kanakan dan suka memperturutkan hawa nafsu serta
kesenangan sendiri. Orang yang bijaksana dan dewasa lebih tenang saat menghadapi
permasalahan. Memikirkan secara matang sebelum berbuat sesuatu, tentang segala resiko dan
konsekuensinya. Sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain atas pilihan perbuatan sendiri.
Ini penting karena dalam rumah tangga, tidak akan luput dari berbagai permasalahan. Mengingat
suami istri adalah dua orang yang mungkin banyak berbeda. Perbedaan yang seharusnya tak jadi
masalah kala menyandarkan segala hal pada aturan Islam. Mengingat juga manusia adalah
makhluk sosial, yang pasti akan bertetangga dan berhubungan dengan orang lain.
6. Cari tahu bagaimana ketangguhannya dalam menghadapi ujian hidup. Agar iman tidak
sekedar dalam ucapan. Misalnya bagaimana sikapnya ketika diuji Allah kehilangan barang
berharga, diuji Allah dengan kepergian / kematian orang-orang yang dicintai (orang tua,
saudara). Ini adalah bekal penting, sebab hidup pasti penuh ujian baik nikmat atau musibah.
7. Namun bila kita yakin seyakin-yakinnya, percaya, tanpa sedikitpun keraguan bahwa
keshalehannya, ketaatannya pada Allah adalah telah pasti, tak mungkin sang calon di masa yang
akan datang memilih perbuatan melakukan pelanggaran syara dengan sengaja, maka hanya
tinggal mengadu dan memohon pertolongan Allah. Dia lah sang Pemilik Hati, yang membolak-
balikkan hati manusia. Dia lah yang Maha Menakdirkan. Maha Pemberi yang terbaik. Tawakaltu
alallah.
Namun bila ternyata, setelah upaya maksimal ditempuh namun tetap saja kecolongan, sebagai
orang beriman harus ikhlas dengan taqdirNya. Menjalani episode seperti nabi Nuh dan Asiyah
bukanlah kesalahan. Justru sebagai tanda Allah sayang pada hambaNya. Akan ditambah
kemuliaannya di hadapan Allah kala sabar menjalani. Tenanglah dan tetap berusaha
memperbaiki, serta menasihati pasangan untuk menetapi jalanNya. Belajar untuk menerima
pasangan, sekelam apapun masa lalunya. Yang penting, pasangan mau berubah menjadi lebih
baik. Yang tadinya bergelimang dosa dan pelanggaran syara mau memperbaiki diri dan bertaubat
serta tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Sebab Allah sangat senang dengan
hambaNya yang bertaubat. Tempat seseorang kelak ditentukan oleh akhir hidupnya. Seseorang
yang kurang sejengkal saja tempatnya di syurga, tapi ia melakukan perbuatan ahli neraka di akhir
hidupnya, maka tempatnya di neraka. Sebaliknya, kurang sejengkal saja ia nyaris di neraka, tapi
karena di akhir hidupnya melakukan perbuatan ahli syurga, maka syurgalah tempatnya.
Tetapi bila setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tak berhasil, pasangan tak kunjung
juga mau berubah, tetap saja dengan perilaku yang menentang Allah dan rasulNya,
sesungguhnya Allah Maha Tahu batas kemampuan seseorang untuk terus bertahan hidup
bersama dengan pasangan yang tak takut pada Allah dan tak mau menaatiNya. Telah
dipersiapkan sebuah aturan sempurna untuk menjadi solusi kala suami istri tak lagi bisa
beriringan. Kala pelanggaran syara oleh pasangan tetap saja dilakukan dan semakin menjadi.
Ada jalan indah yang telah Allah bentangkan bernama cerai dan talaq. Rasulullah pun pernah
mengambil jalan ini pada istri-istrinya.
Semoga setiap hamba mau memilih jalan taqwa. Bertobat atas segala dosa dan pelanggaran syara
di masa lalu. Tak akan pernah sekalipun mengulanginya lagi dan benar-benar dibuktikan dalam
tindakan nyata. Mengisi sisa hidup untuk senantiasa menaatiNya karena manusia tak pernah tahu
kapan Izrail menjemput. Wallahualam.
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/11/04/episode-nabi-nuh-
asiyah.html#sthash.fF0IwlEF.dpuf

Anda mungkin juga menyukai