Anda di halaman 1dari 21

Bab I

Pendahuluan

Hewan model adalah hewan yang digunakan sebagai model dalam penelitian
eksperimental untuk mengatasi masalah pada praktek klinik dan untuk mengembangkan
metode dan pendekatan baru dalam meredakan dan menyembuhkan penyakit atau
kecacatan pada manusia (Chow 2008). Meskipun temuan ilmiah tentang hewan telah
diungkapkan oleh Charles Darwin ratusan tahun yang lalu, pembenaran utama untuk
penggunaan hewan dalam penelitian didasarkan pada prinsip evolusi yaitu bahwa semua
organisme memiliki kekerabatan dan kemiripan genetik karena memiliki nenek moyang
yang sama. Definisi hewan model menurut Komite Research Council Amerika yaitu
organisme hidup yang biologi normatif atau tingkah lakunya dapat dipelajari, atau yang
proses patologik spontan atau induksi dapat diteliti, dan memiliki satu atau lebih aspek
fenomena yang mirip/sama dengan fenomena yang terjadi pada manusia atau spesies lain
dari hewan.
Dalam dunia kedokteran pemanfaatan hewan model tidak hanya diperuntukkan
bagi penyembuhan penyakit atau kecacatan saja tetapi juga untuk kepentingan kosmetik.
Dengan demikian penggunaan hewan model dalam dunia kedokteran tentunya memiliki
manfaat yakni untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dengan menangani
kasus penyakit yang terjadi pada manusia melalui hewan sebagai model karena tidaklah
mungkin menggunakan manusia sebagai model khusus untuk penelitian yang
menggunakan metode yang bersifat menyiksa atau membuat menderita hingga mati. Hal
ini disebabkan karena manusia memiliki derajat yang lebih tinggi yang harus dihargai
hak asasinya yaitu tidak dikenakan siksaan atau perlakuan merendahkan yang kejam,
tidak manusiawi atau hukuman (sepenggal Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Berdasarkan definisi hewan model tersebut tentunya jenis hewan model yang
digunakan dalam penelitian adalah hewan-hewan yang memiliki karakteristik yang mirip
dengan manusia. Hewan yang sepenuhnya memiliki karakteristik yang mirip dengan
manusia adalah jenis primata nonmanusia misalnya simpanse. Manusia memiliki leluhur
yang sama dengan simpanse sekitar 6 juta tahun yang lalu sehingga dengan
menggunakan simpanse dalam penelitian dapat memberikan informasi tentang
mekanisme penyakit pada manusia (dan mungkin juga gen yang bertanggung jawab
terhadap terhadap kecerdasan manusia) namun simpanse jarang digunakan dalam
penelitian karena primata jenis ini merupakan hewan yang terbatas keberadaannya
sehingga hewan ini tidak boleh digunakan jika hewan jenis lain masih dapat digunakan.
Primata hanya boleh digunakan pada penelitian tahap akhir yaitu sesudah melalui
penelitian dengan berbagai hewan laboratorium lain.
Hewan model yang digunakan dalam penelitian mungkin memiliki penyakit
bawaan atau diinduksi dengan penyakit atau kecelakaan sehingga kondisinya sama
dengan kondisi pada manusia. Kondisi pengujian ini sering disebut sebagai hewan model
penyakit. Penggunaan hewan model memungkinkan peneliti untuk menyelidiki keadaan
penyakit dengan cara yang akan bisa dilakukan pada pasien manusia.














Bab II
Berbagai Hewan Model dan Manfaatnya bagi Dunia Kedokteran

Munculnya hewan model pada tahun 1800-an yang kemudian mulai marak pada
akhir abad tersebut. Penggunaan hewan model dalam dunia kedokteran/biomedis dapat
memberikan kontribusi terhadap kesehatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
manusia. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah mendekati karakteristik
biologis manusia yaitu mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada
manusia dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan
genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping
faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, (Tjay,T.H dan Rahardja, K, 2002).
Karakteristik hewan model seperti yang disebutkan di atas merupakan karakteristik
hewan model pada umumnya namun ada juga karakteristik khusus dalam pemilihan
hewan model untuk penelitian yaitu karakteristik yang sesuai dengan topik penelitian
yang diinginkan. Berdasarkan karakteristik di atas maka hewan-hewan model yang
sering digunakan dalam penelitian antara lain:
a. Mencit (Mus musculus)
Mencit merupakan hewan model yang paling sering digunakan dalam penelitian
karena mencit merupakan golongan mamalia yang cepat berkembang biak, interval
kelahiran pendek, jumlah anak perkelahiran tinggi, mudah beradaptasi dengan suhu
lingkungan dan tempat tinggal yang baru, sifat anatomis dan fisiologisnya
terkarakteristik dengan baik (Malole dan Pramono 1989) artinya struktur organ dan
fungsi tubuhnya mirip dengan manusia. Temuan yang mengesankan oleh Chinwalla et al
(2002) yaitu terdapat 6.000 gen yang sama (dari total kurang lebih 30.000 gen) antara
manusia dengan mencit. Dari kesamaan inilah para ilmuwan membuat model
eksperimental dan prediksi tentang penyakit pada manusia. Selain sifat di atas, faktor
ekonomis juga kadang menjadi salah satu alasan memilih mencit sebagai hewan model
dimana mencit mudah dan murah didapat, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak
serta sistem pemeliharaan dan perkandangan bukan merupakan masalah yang sulit.
Mencit bila dibandingkan dengan hewan model lainnya, ukuran tubuhnya yang
kecil menyebabkan penanganan hewan ini membutuhkan keterampilan dan pengalaman
yang lebih terutama dalam hal pengambilan sampel darah pada bagian jantung. Oleh
karena itu butuh pengalaman dan keterampilan untuk kasus ini sehingga hasil penelitian
benar-benar sesuai yang diharapkan, karena sering terjadi kegagalan pada saat
pengambilan sampel darah bahkan kematian.
Untuk memegang mencit yang akan diberi perlakuan (baik pemberian obat
maupun pengambilan darah) maka diperlukan cara-cara yang khusus sehingga
mempermudah cara perlakuannya. Secara alamiah mencit cenderung menggigit bila
mendapat sedikit perlakuan kasar. Pengambilan mencit dari kandang dilakukan dengan
mengambil ekornya kemudian mencit ditaruh pada kawat kasa dan ekornya sedikit
ditarik. Pegang kulit bagian belakang kepala dan jepit ekornya seperti terlihat pada
gambar berikut ini.

Gambar 1. Cara memegang mencit untuk keperluan percobaan

Mencit yang digunakan dalam penelitian seringkali dalam jumlah yang banyak
sehingga perlu ada penandaan agar bisa dibedakan antara jenis kontrol dan yang diberi
perlakuan. Penandaan ini dapat dilakukan secara permanen untuk penelitian jangka
panjang, sehingga tanda tersebut tidak mudah hilang yaitu dengan ear tag (anting
bernomor), tato pada ekor, melubangi daun telinga dan elektronik transponder. Berikut
ini adalah data biologik normal mencit yang perlu diketahui oleh seorang peneliti yang
menggunakan mencit sebagai hewan model.

Tabel 1 Data biologik normal mencit
- Konsumsi pakan per hari
- Konsumsi air minum per hari
- Diet protein
- Ekskresi urine per hari
- lama hidup
- Bobot badan dewasa
- Jantan
- Betina
- Bobot lahir
- Dewasa kelamin (jantan=betina)
- Siklus estrus (menstruasi)
5 g (umur 8 minggu)
6,7 ml (umur 8 minggu)
20-25%
0,5-1 ml
1,5 tahun

25-40 g
20-40 g
1-1,5 g
28-49 hari
4-5 hari (polyestrus)
- Umur sapih
- Mulai makan pakan kering
- Rasio kawin
- Jumlah kromosom
- Suhu rektal
- Laju respirasi
- Denyut jantung
- Pengambilan darah maksimum
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt)
- Kadar haemoglobin(Hb)
- Pack Cell Volume (PCV)
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte)
21 hari
10 hari
1 jantan 3 betina
40
37,5
o
C
163 x/mn
310 840 x/mn
7,7 ml/Kg
8,7 10,5 X 10
6
/ l
13,4 g/dl
44%
8,4 X 10
3
/l


Pada umumnya pengambilan darah terlalu banyak pada hewan kecil seperti mencit
dapat menyebabkan shok hipovolemik, stres dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Tetapi bila dilakukan pengambilan sedikit darah tetapi sering, juga dapat menyebabkan
anemia. Pada umumnya pengambilan darah dilakukan sekitar 10% dari total volume
darah dalam tubuh dan dalam selang waktu 2-4 minggu atau sekitar 1% dengan interval
24 jam. Total darah yang diambil sekitar 7,5% dari bobot badan. Diperkirakan pemberian
darah tambahan (exsanguination) sekitar setengah dari total volume darah. Contohnya:
Bobot 25g, total volume darah 1,875 ml, maksimum pengambilan darah 0,1875 ml, maka
pemberian exsanguination 0,9375 ml.
Pengambilan darah dapat dilakukan pada lokasi tertentu dari tubuh, yaitu: vena
lateral dari ekor, sinus orbitalis mata, vena saphena (kaki) dan langsung dari jantung.
Tempat atau lokasi untuk injeksi, volume sediaan dan ukuran jarum adalah sebagai
berikut:
Tabel 2 Lokasi injeksi, volume sediaan dan ukuran jarum pada mencit
IV IP IM SC Oral
Lokasi Lateral ekor Tidak
direkomendasi
Belakang
leher

Volume 0,2 ml 2-3 ml 2-3 ml 5-10 ml/Kg
Ukuran
jarum
<25 guage <21guage <20
guage
Jarum tumpul
22-24 guage

Untuk tindakan eutanasi yaitu dengan beberapa cara antara lain eutanasi dengan CO
2
,
injeksi barbiturat over dosis (200mg/Kg) IP atau dengan dislokasi maupun dekapitasi
tentunya perlu keahlian khusus dan bergantung pada tujuan dilakukan eutanasi.
Contoh penelitian yang menggunakan mencit sebagai hewan model yang memberi
kontribusi bagi dunia kedokteran antara lain: penelitian mengenai diabetes melitus (DM)
dengan didasarkan pada patogenesis penyakit tersebut pada manusia yang bersifat kronis
atau berlangsung menahun seperti yang dilakukan oleh Erwin dkk (2012) dengan
menginduksi streptozotosin secara berulang yang menyebabkan peningkatan persentase
nekrosis sel beta Langerhans pankreas yang menimbulkan DM yang bersifat kronis.
Dengan membuat hewan tersebut menderita DM tentunya model ini bisa dipakai untuk
uji coba obat terapi DM. Penelitian lain yang menggunakan mencit sebagai hewan model
oleh Nurcahyanti dan Munawaroh (2007) mendapatkan hasil bahwa pemberian
potassium oxanate 300 mg/kg BB secara intraperitoneal dapat meningkatkan kadar asam
urat. Tentunya ini merupakan referensi bagi peneliti lainnya yang ingin lebih detail lagi
menindaklanjuti penelitian yang berhubungan dengan gout.

b. Tikus Putih (Rattus novergicus)
Pada abad ke-18 di Eropa, tikus dimasukkan dalam gelanggang aduan bersama
anjing terrier. Pada gelanggang ini dipertontonkan kecepatan seekor anjing terrier untuk
membunuh sejumlah tikus. Seiring waktu, perkembangbiakkan tikus untuk kontes ini
dihasilkan variasi warna, terutama albino dan beberapa varietas. Pertama kali salah satu
mutan albino ini dibawa ke sebuah laboratorium untuk penelitian pada tahun 1828 dalam
percobaan puasa. Selama 30 tahun kemudian tikus digunakan untuk beberapa
eksperimen dan akhirnya tikus laboratorium menjadi binatang pertama yang dipelihara
untuk alasan-alasan ilmiah murni.
Selama bertahun-tahun, tikus telah digunakan dalam banyak penelitian eksperimen,
yang telah menambah pemahaman kita tentang genetika, penyakit, pengaruh obat-obatan,
dan topik lain dalam kesehatan dan kedokteran. Tikus Laboratorium juga terbukti
berharga dalam studi psikologi belajar dan proses mental lainnya. Pentingnya sejarah
spesies ini untuk riset ilmiah tercermin dari sekitar 50% lebih jumlah literatur tentang
tikus. Belakangan ini terdapat sebuah temuan yaitu antara manusia dan tikus memiliki
kesamaan genom lebih dari 90% (Chinwalla et al 2002).

Tabel 3 Data biologik normal tikus
- Konsumsi pakan per hari
- Konsumsi air minum per hari
- Diet protein
- Ekskresi urine per hari
5 g/100 g bb
8-11 ml/100 g bb
12%
5,5 ml/100 g bb
- lama hidup
- Bobot badan dewasa
- Jantan
- Betina
- Bobot lahir
- Dewasa kelamin (jantan=betina)
- Siklus estrus (menstruasi)
- Umur sapih
- Mulai makan pakan kering
- Rasio kawin
- Jumlah kromosom
- Suhu rektal
- Laju respirasi
- Denyut jantung
- Pengambilan darah maksimum
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt)
- Kadar haemoglobin(Hb)
- Pack Cell Volume (PCV)
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte)
2,5- 3 tahun

300-400 g
250-300 g
5-6 g
50+10 hari
5 hari (polyestrus)
21 hari, 40-50 g
12 hari
1 jantan 3 atau 4 betina
42
37,5
o
C
85 x/mn
300 500 x/mn
5,5 ml/Kg
7,2-9,6 X 10
6
/ l
15,6 g/dl
46%
14 X 10
3
/l


Tikus merupakan hewan yang lincah sehingga dalam penanganannya perlu teknik
handling sehingga tidak mencederai peneliti yaitu: pertama, ekor dipegang sampai
pangkal ekor. Kemudian telapak tangan menggenggam melalui bagian belakang tubuh
dengan jari telunjuk dan jempol secara perlahan diletakkan di samping kiri dan kanan
leher. Tangan yang lainnya membantu dengan menyangga di bawahnya, tangan lainnya
dapat digunakan untuk menyuntik.

Gambar 2. Cara memegang tikus untuk tujuan injeksi

Pengambilan darah pada tikus harus menggunakan alat yang seaseptis mungkin.
Untuk meningkatkan vasodilatasi, perlu diberi kehangatan pada hewan tersebut,
misalnya ditaruh dalam ruangan dengan suhu 40
o
C selama 10-15 menit, dengan
memasang lampu pemanas dalam ruangan tersebut atau pada pembuluh darah ekor dapat
diolesi xylol.
Pengambilan darah dapat dilakukan pada lokasi tertentu dari tubuh, yaitu: vena
lateral dari ekor, bagian ventral arteri ekor, sinus orbitalis mata, vena saphena (kaki),
anterior vena cava atau langsung dari jantung. Tempat atau lokasi untuk injeksi, volume
sediaan dan ukuran jarum adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Lokasi injeksi, volume sediaan dan ukuran jarum pada tikus

IV IP IM SC Oral
Lokasi Lateral ekor
dan vena
saphena
Otot
quadricep,
bag. Belakang
paha
Belakang
leher

Volume 0,5 ml 5-10 ml 0,1 ml 5-10 ml 5-10 ml/Kg
Ukuran
jarum
<23 guage <21gauge <21gauge <20
gauge
Jarum tumpul
18-20 guage

Untuk tindakan eutanasi dilakukan dengan beberapa cara yaitu eutanasa dengan CO
2
,
injeksi pentobarbital over dosis (40-60mg/Kg) IP atau dengan ketamin/medetomidin, 60-
75 mg/Kg IP atau dengan obat anastetika lainnya.
Tikus yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih yang memiliki
keunggulan berupa penanganan dan pemeliharaan yang mudah serta keunggulan-
keunggulan lainnya yang mirip dengan mencit karena tikus dan mencit berasal dari satu
famili yaitu famili Muridae. Hendris dan Iswahyudi (2013) menggunakan tikus sebagai
hewan model untuk menimbulkan kanker dengan menginduksi zat karsinogen DMBA
(7,12 dimethyl benz ( ) anthracene) yang mengubah jaringan normal menjadi jaringan
kanker melalui mekanisme radikal bebas. Tentunya penemuan ini merupakan modal
yang sangat berarti bagi peneliti lainnya yang tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang
kanker atau menemukan obat yang tepat untuk penyakit yang mematikan ini, dengan
demikian bisa memberikan harapan hidup bagi para penderita kanker.


Gambar 3. Tikus yang diinduksi DMBA
(Panah merah menunjukkan jaringan kanker)
Sri Murwani dkk (2011) mengembangkan diet aterogenik pada tikus putih (Rattus
novergicus strain Wistar) sebagai hewan model aterosklerosis. Para peneliti ini membuat
pakan hiperkolesterol dan menentukan tepat lama pemberian ransum sehingga terbentuk
kondisi hiperkolesterolemia dan sel busa pada aorta tikus.

Gambar 4. Kiri: Aorta normal tikus dengan pembesaan 10x40, Kanan: Sel busa tercat merah (panah putih)

Hasil penelitian yaitu bahwa tikus putih dapat digunakan sebagai hewan model untuk
penelitian-penelitian aterosklerosis. Hal ini menunjukkan betapa besar hewan ini
memberikan manfaat bagi dunia kedokteran tentang penyakit aterosklerosis yang banyak
mendapat perhatian karena tidak hanya menyerang orang dewasa tetapi mulai meyentuh
anak-anak oleh karena perubahan pola hidup.

c. Kelinci (Oryotolagus cuniculus)
Kelinci merupakan jenis herbivora yang hidupnya berkelompok dengan
kebiasaannya yang gesit, suka melompat, lari dan menyusup atau masuk ke dalam
lubang, namun sekarang kelinci sudah marak dijadikan hewan kesayangan bahkan teman
bermain anak karena hewan ini tidak berbahaya. Selain itu hewan ini mudah dipelihara
dan mudah menjadi jinak sehingga dalam penanganannya di laboratorium sebagai hewan
model tidaklah terlalu sulit. Ukuran tubuhnya yang besar juga memudahkan dalam
perlakuan dan penggunaan alat-alat penelitian. Penggunaan kelinci sebagai hewan model
dikarenakan selain kelas mamalia, kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi, yaitu
kemampuan reproduksinya yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang
pendek, prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan
lahan yang luas.
Tabel 5 Data biologik normal kelinci

- Konsumsi pakan per hari
- Konsumsi air minum per hari
- Diet protein
100-200 g
200-500ml
14%
- Ekskresi urine per hari
- lama hidup
- Bobot badan dewasa
- Jantan
- Betina
- Bobot lahir
- Dewasa kelamin:
- Jantan
- Betina
- Siklus estrus (menstruasi)
- Umur sapih
- Mulai makan pakan kering
- waktu untuk kawin kembali setelah
- Rasio kawin
- Jumlah kromosom
- Suhu rektal
- Laju respirasi
- Denyut jantung
- volume darah
- Pengambilan darah maksimum
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt)
- Kadar haemoglobin(Hb)
- Pack Cell Volume (PCV)
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte)
30- 35 ml
5-7 tahun

4-5,5 Kg
4,5-6,5 Kg (NZ)
30-100 g

5-6 bulan (4,5Kg)
6-7 bulan 4Kg
polyestrus (diinduce)
8 minggu. 1,8 Kg
16-18 hari
35-42 hari
1 jantan 6-10 betina
44
39,5
o
C
51 x/mn
200 300 x/mn
55-65 ml/Kg
7,7 ml/Kg
4-7 X 10
6
/ l
10-15 g/dl
33-48 %
5-12 X 10
3
/l


Kadang kelinci mepunyai kebiasaan untuk mencakar atau menggigit. Bila
penanganan kurang baik, kelinci sering berontak dan mencakarkan kuku dari kaki
belakang dengan sangat kuat yang kadang dapat menyakiti dirinya sendiri sehingga
kondisi tersebut dapat menyebabkan patahnya tulang belakang kelinci yang
bersangkutan. Cara handling kelinci adalah dengan menggenggam bagian belakang
kelinci sedikit ke depan dari bagian tubuh, dimana bagian tersebut kulitnya agak longgar.
Kemudian angkat kelinci dan bagian bawahnya disangga.

Gambar 5. Cara handling kelinci
Pengambilan darah dilakukan dari beberapa lokasi tubuh taitu: arteri sentral di
telinga, bagian lateral vena saphena, vena jugularis, vena cava anterior dan jantung.
Tempat atau lokasi untuk injeksi, volume sediaan dan ukuran jarum adalah sebagai
berikut:
Tabel 6 Lokasi injeksi, volume sediaan dan ukuran jarum pada kelinci

IV IP IM SC Oral
Lokasi Vena
marginal
telinga
Otot
quadricep,
bag. Belakang
paha, otot
lumbal
Belakang
leher

Volume 1-5 ml 50-100 ml 0,5-1 ml 50-100
ml
5-10 ml/Kg
Ukuran
jarum
<21 guage <2gauge <20gauge <20
gauge
Jarum tumpul
18-20 guage

Anastesi dapat dilakukan secara inhalan maupun injeksi. Anastesi inhalan
dilakukan dengan inhalan isofluran, sedangkan untuk injeksi dapat diberikan
pentobarbital 20-60 mg/Kg IV dan terjadi efek setelah 1-3 jam. Beberapa obat anastesi
umum dpat juga diberikan sesuai dengan anjuran.
Penelitian tentang aterosklerosis dan pengembangan vaksin LDL yang dioksidasi
pernah dilakukan oleh Ameli et al (1997) menggunakan New Zealand white rabbit
sebagai hewan model. Khusus untuk kejadian aterosklerosis, kelinci merupakan hewan
model yang cepat menimbulkan plak aterosklerosis di sepanjang arteri apabila diberi diet
yang mengandung kolesterol (Guyton & Hall 1997).

d. Babi
Pemanfaatan babi dalam dunia kedokteran di Indonesia mulai digalakkan sejak
adanya kesepakatan kerjasama antara Fakultas Kedokteran Hewan lnstitut Pertanian
Bogor, khususnya Bagian Bedah dan Radiologi Dapartemen Klinik Reproduksi dan
Patologi (KRP) dengan Persatuan Bedah Endolaparoskopik Indonesia (PBEI) dan
dengan Divisi Ginekologi Onkologi Departemen Ginekologi dan Obstetrik, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Kerjasama ini bertujuan untuk kesejahteraan
umat diantaranya untuk menangani kasus penyakit yang terjadi pada manusia melalui
hewan babi sebagai model.
Gunanti et el pada bulan agustus 2008 menggunakan babi dalam teknik operasi
colesistektomi dengan metode endo-laparoskopik sebagai model untuk manusia.
Penggunaan babi sebagai model untuk penanganan kasus colesistektomi pada manusia
ini dikarenakan lobus-lobus dan kantung empedu yang terdapat pada hati babi (yaitu dua
lobus besar dan dua lobus kecil) mirip sekali dengan manusia. Mustahil jika melakukan
percobaan langsung pada manusia. Pada tahun 2011 Gunanti dkk juga menggunakan
hewan babi sebagai model dalam pembiusan dengan kombinasi zoletyl, ketamin dan
xylazin (ZKX) untuk bedah laparoskopi dikarenakan anatomi babi secara umum
memiliki kesamaan dengan anatomi manusia sehingga untuk pembiusan bedah
laparoskopi pada manusia dapat digunakan kombinasi ZKX dan dipertahankan
(maintenance) dengan kombinasi ketamin xylazin.
Kulit babi terbukti memiliki kemiripan secara histologis dan fisiologis dengan kulit
manusia sehingga babi dapat digunakan sebagai model untuk masalah kulit manusia.
Kathy Zhu dkk menggunakan babi jenis Duroc merah sebagai model untuk kejadian
hipertropi jaringan parut. Para peneliti ini mempelajari ketebalan luka, penampilan kulit
dan status penyembuhan selama 3 minggu dan didapatkan hasil yakni terdapat kemiripan
penyembuhan luka dalam pada babi sama dengan kejadian hipertropi jaringan parut pada
manusia.


Gambar 6. Atas: Kemiripan antara kulit babi dan kulit manusia, bawah: lokasi pengambilan darah babi

e. Kucing (Felis catus)
Kucing merupakan hewan yang tidak kooperatif dan agresif sehingga sulit untuk
ditangani karena cakarnya yang tajam dan cenderung mencederai orang jika ingin
mengambilnya. Oleh karena itu teknik handling kucing antara lain: hindari kontak mata
dengan kucing. Jika ingin mengambilnya, angkatlah tengkuk lehernya, kucing akan
menjadi lemas. Jika kucing adalah jenis yang sangat agresif maka cara terakhir adalah
menutupnya dengan handuk atau mengikanya dengan tali.


Gambar 7. Cara handling kucing

Penggunaan kucing sebagai hewan model dalam penelitian sangat penting untuk
percobaan fisiologi karena besarnya memadai sehingga dapat digunakan untuk model
pembedahan. Selain itu kucing juga mudah dianestesi untuk jangka panjang dan tekanan
darah yang bagus biasanya dapat dipertahankan. Data fisiologis kucing yang sama
dengan manusia yaitu tekanan darah sehingga Smith & Mangkoewidjojo (1988)
menggunakan hewan ini sebagai model kejadian hipertensi. Selain itu kucing dan
manusia juga memiliki kesamaan yaitu memiliki 30 jenis penyakit herediter sehingga
hewan ini dapat digunakan sebagai model penyakit herediter seperti yang dilakukan oleh
Lyons dkk tahun 2004 pada kucing yaitu penyakit polisistik ginjal yang diakibatkan oleh
mutasi PKD1 (Polycystic Kidney Desease 1).
Schraeders dan Lathers (1983) menjadikan kucing sebagai hewan model untuk
mengetahui salah satu penyebab kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan pada
penderita epilepsi. Sembilan ekor kucing dianestesi dengan -chloralose kemudian
dilakukan trakeostomi dan torakotomi. Gallamine diberikan secara intravena untuk
melumpuhkan kucing. Tekanan darah, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan suhu
rektal terus dipantau. Pemantauan secara simultan pada postganglionik cabang simpatis
jantung dan saraf vagus. Kucing-kucing ini juga dilakukan kraniektomi bilateral.
Pentilenetetrazol diberikan secara intravena dengan interval 10 menit dengan dosis 10,
20, 50, 100, 200, dan 2000 mg/kg. Penelitian ini berhasil mengembangkan sebuah model
menghitung tingkat aktivitas epileptiform terhadap perubahan fungsi kardiovaskular dan
saraf otonom jantung. Ketidakseimbangan di antara saraf simpatis dan parasimpatis
jantung ditemukan, seperti gangguan yang signifikan antara denyut jantung dan tekanan
darah. Kelainan elektrokardiogram sering terjadi dan bervariasi. Semua perubahan di atas
terjadi selama aktivitas kejang minimum hingga kejang maksimum pada kasus
epileptogenik.

f. Domba
Domba merupakan hewan gembala dataran rendah, sehingga memiliki
kecenderungan untuk membentuk kelompok besar. Domba juga memiliki perilaku yang
cenderung mengabaikan atau menjauhi manusia. Tingkah laku ini penting untuk
diketahui dalam pemeliharaan domba di laboratorium, karena domba akan mengalami
stres jika dipelihara terpisah dari domba lain (Smith & Mangkoewidjojo 1988).
Selain dimanfaatkan daging dan wol, domba juga dapat dimanfaatkan sebagai
hewan percobaan di laboratorium. Hal ini karena pemeliharaan domba tidak terlalu
mahal, persyaratan kandang sederhana dan persyaratan pakan tidak sulit. Menurut Smith
dan Mangkoewidjojo (1988), dalam aplikasi penelitian, domba biasanya digunakan
sebagai sumber sel darah merah untuk memproduksi antibodi dan dapat diperoleh serum
dalam jumlah yang besar. Domba dapat pula digunakan dalam percobaan dasar seperti
percobaan fisiologi, farmakologi, endokrinologi, biokimia, percobaan bedah
eksperimental dan penelitian anestesi. Ukuran tubuh domba yang besar dan memiliki
bobot tubuh yang menyerupai manusia, sangat cocok dan sesuai bila digunakan dalam
aplikasi penelitian sebagai hewan model untuk manusia (Wolfensohn & Lloyd 2000).
Menurut Pearce et al. (2007), domba memiliki kelebihan dibandingkan dengan
anjing. Secara makrostruktur tulang, domba dewasa memiliki dimensi tulang panjang
yang serupa dengan manusia bila dibandingkan dengan anjing. Oleh karena itu domba
sangat cocok dan sesuai bila digunakan sebagai hewan model dalam percobaan
implantasi material tulang untuk tujuan aplikasi pada manusia. Sebelumnya Newman
dkk pada tahun 1995 mengembangkan model osteoporosis pasca menopause
menggunakan domba untuk memahami patogenesis serta mencari tahu terapi baru.
Selain jinak dan mudah untuk ditangani, domba juga memiliki kesamaan ovulasi dan
profil hormon wanita. Namun banyak hal yang berbeda yang ditemukan antara domba
dan manusia yaitu kurangnya menopaus alami, siklus estrus normal dibatasi hanya pada
musim gugur dan musim dingin serta sistem pencernaan yang berbeda. Setelah
membandingkan domba dengan hewan-hewan lain yang digunakan dalam penelitian ini
sebelumnya seperti anjing, tikus, kelinci, marmut, sang peneliti menemukan bahwa tidak
ada model yang ideal untuk studi osteoporosis postmenopaus; semua memiliki kelebihan
dan kekurangan. Para peneliti di bidang ini harus mengakui keterbatasan dari model yang
dipilih.

g. Primata nonmanusia
Primata merupakan ordo yang sangat tinggi nilainya untuk dipelajari dan
dimanfaatkan oleh manusia. Terlepas dari pandangan yang berbeda yang dianut oleh
berbagai kalangan masyarakat di dunia ini, sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi
bahwa monyet (monkey) dan kera (ape) merupakan kelompok hewan yang dari segi
anatomi, fisiologi, psikologi dan tingkah laku yang paling dekat dengan manusia. Para
ahli telah menemukan 99% genom yang sama antara manusia dengan simpanse
(Sawatzki dan Cooper 2007), 98,7% sama dengan bonobos (Prufer et al 2012).
Ketika awal munculnya penyakit menular AIDS, primata ini sering digunakan
untuk penelitian tersebut seperti yang dilakukan di pusat penelitian medis pada Akademi
Medical Science Yunnan, China (terlihat pada gambar di bawah ini).


Gambar 8. Kiri: Monyet yang diinjeksi HIV; Kanan: Monyet yang telah terinfeksi HIV selama 6 bulan
Foto: Liu Khaida

Selain penyakit AIDS, ada juga penelitian lain yang menggunakan primata sebagai
hewan model antara lain TBC, herpes, biologi reproduksi serta uji coba vaksin.
Jenis primata yang sering digunakan untuk keperluan penelitian adalah monyet
ekor panjang. Oleh karena sifat-sifat alamiahnya yang sangat mirip dengan sifat alami
manusia maka tidak mengherankan bila sudah sejak awal primata nonmanusia ini
dijadikan bahan penelitian dan model bagi berbagai investigasi medis dan nonmedis,
seperti yang dilakukan oleh Prof Matthew Rushworth yang mengeksplor tentang cara
kerja jaringan saraf antara manusia dan monyet dengan cara merusak bagian lobus
frontal otak yang mana hal ini tidak dapat dilakukan pada manusia. Hal ini
memungkinkan para ilmuwan untuk mengetahui apa yang terjadi jika jaringan saraf
tersebut dirusak. Prof Rushworth menambahkan bahwa penelitian ini memberikan kunci
mengenai kerusakan pada daerah ini akan menyebabkan gangguan psikologi seperti
depresi tetapi juga dapat berlaku juga untuk gangguan seperti autis.


Gambar 9. Kiri: Cara handling monyet, kanan: monyet-monyet yang diteliti oleh Prof Rushworth di
laboratorium hewan Oxford

Tabel 7 Data biologik normal monyet
- Konsumsi pakan per hari
- Konsumsi air minum per hari
- Diet protein
- Ekskresi urine per hari
- lama hidup
- Bobot badan dewasa
- Jantan
- Betina
- Bobot lahir
- Dewasa kelamin:
- Jantan
- Betina
- Siklus estrus (menstruasi)
- Umur sapih
- Mulai makan pakan kering
- waktu untuk kawin kembali
- Rasio kawin
- Jumlah kromosom
- Suhu tubuh
- Laju respirasi
- Denyut jantung
- volume darah
- Pengambilan darah maksimum
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt)
- Kadar haemoglobin(Hb)
- Pack Cell Volume (PCV)
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte)
2-4% dari bobot badan
2-4% dari bobot badan
-
-
12-15 tahun

12 Kg
10 Kg
500-700 g

6 tahun
5 tahun
28 hari
3-6 bulan
20-30 hari
-
1 jantan 10 betina
-
38,8
o
C
40 x/menit
192 x/mn
75 ml/Kg
-
4,6-6,5 X 10
6
/ mm
3

12,5 g/100ml
42%
15 X 10
3
/mm
3





Bab III
Penutup

Hewan-hewan yang telah disebutkan sering dijadikan pilihan hewan model sesuai
dengan tujuan penelitian untuk kesejahteraan manusia meskipun tidak dapat disangkal
bahwa masih ada hewan lain yang digunakan dalam penelitian biomedis. Karena hewan-
hewan tersebut sudah ditakdirkan manjadi korban penelitian maka penggunaannya perlu
diperhatikan segi etika dan perkemanusiaan pada waktu perlakuan maupun saat tindakan
eutanasi. Oleh karena itu Komisi Etika dan Kesejateraan Hewan turut andil dalam
menegakkan prinsip-prinsip tersebut sehingga dalam penelitian yang menggunakan
hewan coba, semua prosedur penelitian tetap mencerminkan etika dan perhatian terhadap
kesejahteraan hewan.
Dapat dibayangkan jika anggota keluarga kita dijadikan model dalam penelitian
untuk kesejahteraan manusia sejagad. Sanggupkah? Oleh karena itu hewan-hewan yang
sudah ditakdirkan untuk menjadi korban penelitian bagi kepentingan manusia selayaknya
diberi perlakuan yang pantas sesuai dengan prinsip The Five Freedom yang tentu
tujuannya juga untuk keakuratan hasil penelitian. Selain itu juga tetap memerhatikan
prinsip 3R (Refinement, Reduction dan Replacement) sehingga populasinya tetap terjaga.


















DAFTAR PUSTAKA

Ameli S, Hultgradh-Nilson A, Nilson J. 1997. Effect of Immunization with Homologous
LDL and Oxidized LDL on Early Atherosclerosis in Hipercholesterolemic Rabbits.
Atherosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology, 16(8): 1074-1079
Chow, P. 2008. The Rationale for the Use of Animal Models in Biomedical
Research. In P. K. H Chow, R. T. H. Ng, and B. E. Ogden (Eds). Using Animal
Models in Biomedical Research.
http://www.worldscibooks.com/engineering/6454.html
Erwin, Etriwati, Muttaqien, Tri Wahyu Pangestiningsih dan Sitarina Widyarini. 2012.
Ekspresi Insulin Pada Pankreas Mencit (Mus musculus) yang
Diinduksi dengan Streptozotocin Berulang. Jurnal kedokteran Hewan. ISSN: 1978-
225X Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Fergus Walsh. 2014. Why Oxford Scientists are Experimenting on Monkeys. Medical
Correspondent, News Health BBC.
Gunanti, H Suhartono, B Jasa, D Noviana, S Hasan, D Abdullah, Soesatyoratih,
MF Ulum, R Siswandi. 2008. Pemanfaatan hewan babi dalam Teknik Operasi
Colesistectomi dengan Metode Endo-Laparoskopik Sebagai Model untuk Manusia.
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Petanian Bogor
Gunanti, Riki Siswandi, Raden Harry Soehartono,
Mokhamad Fakhrul Ulum, I Gusti Ngurah Sudisma. 2011. Pembiusan Babi Model
Laparoskopi untuk Manusia dengan Zoletyl, Ketamin dan Xylazin. Jurnal Universitas
udayana
Hendris Wongso dan Iswahyudi. 2013. Induksi Kanker pada Tikus Putih Sprague dawley
sebagai Hewan Model dalam Penelitian Radiofarmaka. Pusat teknologi nuklir dan
Radiometri-Batan
Kathy Q Zhu, Loren H Engrav, Nicole S Gibran, Jana K Cole, Hajime Matsumura,
Michael Piepkorn, F.Frank Isik, Gretchen J Carrougher, Paul M Muangman, Murad Y
Yunusov, Tai-Mei Yang. 2003. The female, Red Duroc Pig as an Animal Model of
Hypertrophic Scarring and the Potential Role of the Cones of Skin. Journal
ScienceDirect Elsevier.
Leslie a. Lyons, david s. Biller, carolyn a. Erdman, Monika j. Lipinski, amy e.
Young,bruce a. Roe, Baifang qin and robert a. Grahn. 2004. Feline Polycystic Kidney
Disease Mutation Identified in PKD. American Society of Nephrology.
Malole, Sri Utami Pramono, C. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Jawa Barat: Institut Pertanian Bogor. Hal : 104 112.
Newman E, Turner A.S, Wark J.D. 1995. The Potential of Sheep for the Study of
Osteopenia: Current Status and Comparison with Other Animal Models. Journal
ScienceDirect Elsevier.
Schraeder, P.L, Lathers, C.M. 1983. Cardiac Neural Discharge and Epileptogenic
Activity in the Cat: An Animal Model for Unexplained Death. Journal ScienceDirect
Elsevier.
Smith, B. J. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis Indonesia. University Press. Jakarta.
Sri Murwani, Wisnu Wardhana. 2011. Pengaruh ekstrak air Moringa oleifera Lam,
terhadap kadar Interleukin-1 Beta (IL-1B) dan gambaran Histopatologi Pulau
Langerhans Pankreas Rattus novergicus dengan Perlakuan Diet Aterogenik.
Fakultas Kedokteran hewan Universitas Brawijaya
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-
efek Sampingnya. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.



























PAPER INSTRUMENTASI BIOMEDIS
BERBAGAI HEWAN MODEL DAN MANFAATNYA BAGI
DUNIA KEDOKTERAN






Oleh:
HENY NITBANI
B 151130021












PROGRAM STUDI ILMU FAAL DAN KHASIAT OBAT
DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

Anda mungkin juga menyukai