Anda di halaman 1dari 23

Struktur dan Mekanisme Pernapasan pada Sinus Paranasalis

HENDRICUS NOVALDO WIDODO PUTRA


102013262
F2
Email: hendricus.2013fk262@civitas.ukrida.ac.id
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731

Abstrak
Pernapasan atau respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup (organisme)
dengan lingkungannya. Secara umum, pernapasan dapat diartikan sebagai proses menghirup
oksigen dari udara serta mengeluarkan karbon dioksida dan uap air. Udara akan melalui rongga
hidung. Sinus paranasales adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os frontale,
os sphenoidale, dan os ethmoidales. Sinus-sinus ini dilapisi oleh mucoperiosteum dan berisi
udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui aperture yang relative kecil. Dalam proses
pernapasan, oksigen merupakan zat kebutuhan utama. Oksigen untuk pernapasan diperoleh
dari udara di lingkungan sekitar. Manusia bernapas secara tidak langsung. Artinya, udara untuk
pernapasan tidak berdifusi secara langsung melalui permukaan kulit. Difusi udara untuk
pernapasan pada manusia terjadi di bagian dalam tubuh, yaitu gelembung paru-paru (alveolus).
Kata kunci : Pernapasan, cavum nasi, sinus paranasales, alveolus.










Abstract
Breathing or respiration is the exchange of gases between living things (organisms) with
its environment. In general, breathing can be defined as the process of inhaling oxygen from the
air and give off carbon dioxide and water vapor. Will air through the nasal cavity. Paranasales
sinuses are cavities contained in the maxillary os, os frontale, sphenoidale os and os
ethmoidales. The sinuses are covered with mucoperiosteum and filled with air, associated with
rice cavity through a relatively small aperture. In the process of respiration, oxygen is the main
requirement substance. Oxygen for breathing air obtained from the surrounding environment.
Humans breathe indirectly. That is, not breathing air to diffuse directly through the skin surface.
Diffusion of air for breathing in humans occurs on the inside of the body, ie bubble lungs
(alveoli).
Keywords: Breathing, rice cavity, sinuses paranasales, alveoli.

Pendahuluan
Setiap makhluk hidup termasuk manusia perlu bernapas untuk kelanjutan hidupnya.
Dengan bernapas, manusia memperoleh oksigen yang berguna bagi tubunya dan membuang
karbondioksida yang dihasilkan dari metabolisme tubuhnya. Oksigen memegang peranan
penting dalam semua proses tubuh secara fungsional. Bila ada gangguan pada salah satu organ
sistem respirasi, maka kebutuhan oksigen akan mengalami gangguan. Banyak kondisi yang
menyebabkan seseorang mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen, seperti
adanya sumbatan pada saluran pernapasan, gangguan mekanisme pernapasan dan kelainan
struktur tulang belakang. Pada kondisi ini, individu merasakan pentingnya oksigen.

Pembahasan
Hidung
Hidung terdiri atas nasus externus ( hidung luar ) dan cavum nasi.
1

Nasus Externus
Nasus externus mempunyai ujung bebas, yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi atau
jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua nares atau lubang hidung. Setiap naris
dibatasi dilateral oleh ala nasi dan di medial septum nasi. Rangka nasus externus dibentuk di


atas oleh os nasals, processus frontalis ossis maxillaries, dan pars nasalis ossis frontalis.
Dibawah, rangka ini dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu cartilage nasi superior
dan inferior, dan cartilage septi nasi. Otot-otot nasus externus terdiri dari ; otot sphincter
adalah m. compressor naris dan otot dilator adalah m. dilator naris. Fungsinya untuk menekan
cartilage nasi dan memperlebar aperture nasi.
1,4


Gambar 1. Nasus Externus.
5

Cavum Nasi
Cavum nasi terletak dari nares didepan sampai choanae di belakang. Rongga ini dibagi
oleh septum nasi atas belahan kiri dan kanan. Setiap belahan mempunyai dasar, atap, dinding
lateral dan dinding medial. Dasar dibentuk oleh procesus palatinus maxillae dan lamina
horizontal ossis palatine, yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian atap sempit dan
dibentuk dari belakang ke depan oleh corpus ossis sphenoidalis, lamina cribosa ossis
ethmoidalis, os frontales, os nasals, dan cartilagines nasi. Dinding lateral ditandai dengan tiga
tonjolan disebut concha nasalis superior, media, dan inferior. Dan area di bawah setiap concha
disebut meatus.
1



Recessus sphenoethoidalis adalah daerah kecil yang terletak di atas concha nasalis
superior dan didepan corpus ossis sphenoidalis. Didaerah ini terdapat muara sinus sphenoidalis.
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral concha nasalis superior. Disini terdapat
muara sinus ethmoidalis posterior. Meatus nasi media terletak dibawah dan lateral concha
media. Pada dinding lateralnya terdapat prominentia bulat, bulla ethmoidalis, yang disebabkan
penonjolan sinus ethmoidales medii yang terletak dibawahnya. Sinus ini bermuara pada pinggir
atas meatus. Sebuah celah melengkung disebut hiatus semilunaris, terletak tepat dibawah
bulla. Ujung anterior hiatus masuk kedalam saluran berbentuk corong disebut infundibulum.
Sinus maxilaris bermuara pada meatus nasi media melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis
bermuara dan dilanjutkan oleh infundibulum. Sinus ethmoidalis anterior juga bermuara pada
infundibulum.
1,2

Meatus nasi media dilanjutkan kedepan oleh sebuah lekukan disebut atrium. Atrium ini
dibatasi diatas sebuah rigi, disebut agger nasi. Di bawah dan di depan atrium, dan sedikit di
dalam naris, terdapat vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang telah bermodifikasi dan
mempunyai rambut-rambut melengkung dan pendek, atau vibrissae. Meatus nasi inferior
terletak dibawah dan lateral concha inferior dan padanya terdapat muara ductus
nasolacrimalis. Sebuah lipatan membrane mucosa membentuk katup yang tidak sempurna,
yang melindungi muara ductus.
3

Dinding medial atau septum nasi adalah sekat osteocartilago yang ditutupi membrane
mucosa. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis ethmoidalis dan bagian
posteriornya dibentuk os vomer. Bagian anterior dibentuk oleh cartilage septi. Septum ini
jarang sekali terletak pada bidang median. Membrane mucosa melapisi cavum nasi, kecuali
vestibulum, yang dilapisi oleh kulit yang telah mengalami modifikasi. Terdapat dua jenis
membrane mucosa, yaitu mucosa olfaktorius dan respiratorius.
3

Membrane mucosa olfaktorius melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan
recessus sphenoethmoidales; juga melapisi daerah septum nasi yang berdekatan dan atap.
Fungsinya adalah menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mucosa memiliki sel-sel
penghidu khusus. Akson sel-sel ini ( serabut n. olfaktorius ) berjalan melalui lubang-lubang pada


lamina cribosa ossis ethmoidales dan berakhir pada bulbus olfaktorius. Permukaan membrane
mucosa tetap basah oleh secret kelenjar serosa yang berjumlah banyak.
1,3

Membrane mucosa respiratorius melapisi bagian bawah cavum nasi. Fungsinya adalah
menghangatkan, melembabkan, dan membersihkan udara inspirasi. Proses menghangatkan
terjadi oleh adanya plexus venosus didalam jaringan submucosa. Proses melembabkan berasal
dari banyaknya mucus yang diproduksi oleh kelenjar-kelenjar dan sel-sel goblet. Partikel debu
yang terinspirasi akan menempel pada permukaan mucosa yang basah dan lengket. Mucus
yang tercemar ini terus menerus didorong ke belakang oleh kerja cilia dari sel-sel silindris
bercilia yang meliputi permukaan. Sesampainya di pharynx mucus ini ditelan.
3,4

Gambar 2. Cavum Nasi Lateral View.
5





Struktur Mikroskopik Sistem Pernafasan
- Epitel respiratorik
Bagian besar bagian konduksi di lapisi epitel bertingkat silindir bersilia yang dikenal sebagai
epitel respiratorik. Epitel ini sedikitnya memiliki lima jenis sel, yang ke semuanya
menyentuh membrane basal yang tebal:
6
a. Sel silindir bersilia adalah sel yang terbanyak. Setiap sel memiliki lebih kurang 300 silia
pada permukaan apikalnya.
b. Sel goblet mukosa juga banyak dijumpai di sejumlah area epitel respiratorik, yang berisi
bagian apikalnya dengan granula glikoprotein musin.
c. Sel sikat ( brush cell) adalah tipe sel silindir yang lebih jarang tersebut dan lebih sulit
ditemukan dengan permukaan nm. Seperti sel sikat, sel-sel ini membentuk sekitar 3%
total sel dan merupakan bagian sistem neuroendokrin.
d. Sel basal, yaitu sel bulat kecil pada membrane basal tetapi tidak meluas sampai
permukaan lumen epite, merupakan sel punca yang membentuk jenis sel lain.
- Rongga Hidung
Rongga hidung kiri dan kanan terdiri atas dua struktur vestibulum di luar dan rongga
hidung (atau fossa nasalis) di dalam. Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling
lebar di setiap rongga hidung. Kulit hidung memasuki neres (cuping hidung) yang berlanjut
ke dalam vestibulum dan memiliki kelenjar keringat, kelenjar subasea, dan vibrissa (bulu
hidung) yang menyaring partikel-partikel besar dari udara inspirasi.di dalam vestibulum,
epitelnya tidak berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi epitel respiratorik sebelum
memasuki fossa nasalis. Rongga hidung ada didalam tengkorak berupa dua bilik karvenosa
yang dipisahkan oleh septum nasi oseosa. Dari setiap dinding lateral, terdapat tiga tonjolan
tulang yang di sebut conchae. Concha media dan conchae inferior dilapisi oleh epitel
respiratorik, conchae superior ditutupi oleh epitel penghidu khusus. Celah-celah sempit di
antara conchae memudahkan luar area epitel respiratorik yang hangat dan lembab dan
dengan melambatkan serta menambah tuberensi aliran udara. Hasilnya adalah
bertambahnya kontak antara aliran udara dan lapisan mukosa. Di dalam lamina propria
concha terdapat pleksus vena besar yang dikenal dengan badan pengembang (swell bodies).


Setiap 20-30 menit, badan pengembang pada satu sisi akan penuh terisi darah sehingga
mukosa concha membengkak dan mengurangi aliran udara. Selama masa tersebut,
sebagian besar uadara diarahkan melalui fossa nasalis lain sehingga epitel respiratorik dapat
pulih dari dehidrasi.
6

- Faring
Faring dimulai dari koana dan berlanjutsampai pada batas laring. Bagian faring terbagi
menjadi nasofaring, orofaring dan laryngofaring. Nasofaring adalah bagian pertama dari
faring, yang berlanjut sebagai orofaring kearah kaudal, yaitu bagian posterior rongga mulut.
Nasofaring dilapisi oleh epitel respiratorik yaitu epitel bertingkat torak bersillia bersel
goblet, dan memiliki tonsila pharyngealis dimedia dan muara bilateral tuba auditorius
untuk setiap telinga tengah. Orofaring selanjutnya orofaring dilapisi oleh epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk dan pada orofaring terdapat tonsila palatine. Pada
laryngofaring dilapisi epitel yang bervariasi, sebagian besar epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.
6
- Laring
Laring adalah saluran kaku yang pendek (4cmx4cm) untuk aliran uadara antara faring
dengan trakea. Dindingnya memiliki otot rangka dan bagian kartilago, yang membuat laring
di khususkan untuk produksi pernafasan. Micrograf berdaya rendah mem[perlihatkan
vestibulum laring di atas, yang dikelilingi oleh kelenjar seromukosa dan jaringan areolar
dengan MALT, sering dengan nodul limfoid dan sebagian besar dilapisi oleh epitel
respiratorik, dengan region di dekat epiglotis yang memiliki epitel skuamosa berlapis.
Dibawah setiap plica vestibularis terdapat celah sempit atau ventrikel, dan di bawahnya
terdapat pasangan plica lateral lainnya, yaitu plica vocalis atau plica suara. .plica vocalis
dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis dan menonjol lebih kedalam lumen, yang membatasi
tepi lubang laring sendiri. Setiap pita suara memiliki otot rangka m. vocalis yang besar dan
di dekat permukaan, suatu ligament kecil, yang terpotong transversal sehingga sulit dilihat.
Bagian tegangan ligament tersebut di atas lipatan ini membelah resonansi suara dan
membantu fonasi.
6



- Trakea
Dinding trakea dilapisi oleh epitel respiratorik khas yang terletak dibawah jaringan ikat
dan kelenjar seromukosa pada lamina propia. Submukosa memiliki cincin kartilago hialin
berbentuk huruf C yang dilapisi oleh perikondrium. Caira mukosa encer yang dihasilkan sel
goblet dan kelenjar mendorong partikel asing secara kontinu keluar dari sistem pernafasan
di escalator mukosilliar. Pintu masuk pada cincin kartilago berada pada permukaan
posterior, yang berhadapan dengan esophagus, dan memiliki otot polos dan jaringan elastis.
Hal ini memungkinkan distensi lumen trakea ketika sebagian makanan melawati esofagus.
M. trachealis di pintu masuk kartilago C juga berkontraksi selama refleks bentuk untuk
menyempitkan lumen trakea dan menghasilkan dorongan udara dengan kuat dan
mengeluarkan dari saluran nafas.
6
- Percabangan bronkus dan paru-paru
Trakea terbagi menjadi dua yaitu bronkus primer yang memasuki paru di hilus berserta
arteri, vena, dan pembuluh limfe. Setelah memasuki paru, bronkus primer menyusur
kebawah dank e luar dan membentuk tiga bronkus sekunder (lobaris) dalam paru kanan dan
dua buah di paru kiri, dan masing-masing memasuk sebuah lobus paru. Bronkus lobaris ini
terus bercabang dan membentuk bronkus tersier. Bronkus tersier membentuk bronkus yang
semakin kecil dengan cabang terminal yang disebut bronkiolus. Setiap bronkiolus memasuki
sebuah lobus paru tempat bronkiolus tersebut bercabang menjadi lima hingga tujuh
bronkiolus terminalis.
6
a. Bronkus
Mukosa bronkus secara struktural mirip dengan mukosa trakea, dengan lamina propria
yang mengandung kelenjar serosa , serat elastin, limfosit dan sel otot polos. Tulang
rawan pada bronkus lebih tidak teratur dibandingkan pada trakea; pada bagian bronkus
yang lebih besar, cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen, dan sejalan dengan
mengecilnya garis tengah bronkus, cincin tulang rawan digantikan oleh pulau-pulau
tulang rawan hialin.
6



Gambar 3. Epitel bronkus
8
b. Bronkiolus
Bronkiolus tidak memiliki tulang rawan dan kelenjar pada mukosanya. Lamina propria
mengandung otot polos dan serat elastin. Pada segmen awal hanya terdapat sebaran sel
goblet dalam epitel. Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya adalah epitel bertingkat
silindris bersilia, yang makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi epitel
selapis silindris bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus terminalis yang lebih kecil.
Terdapat sel Clara pada epitel bronkiolus terminalis, yaitu sel tidak bersilia
yang memiliki granul sekretori dan mensekresikan protein yang bersifat protektif.
Terdapat juga badan neuroepitel yang kemungkinan berfungsi sebagai kemoreseptor.
7

Gambar 4. Epitel bronkiolus terminalis, tidak ditemukan adanya tulang rawan dan kelenjar
campur pada lamina propria
6



c. Bronkiolus respiratorius
Mukosa bronkiolus respiratorius secara strukturalidentik mirip dengan mukosa
bronkiolus terminalis, kecuali dindingnya yang diselingi dengan banyak alveolus. Bagian
bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kubis bersilia tanpa sel goblet dan sel Clara,
tetapi pada tepi muara alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel alveolus tipe 1.
Semakin ke distalalveolusnya semakin bertambah banyak dan silia semakin jarang/tidak
dijumpai. Terdapatotot polos dan jaringan ikat elastis di bawah epitel bronkiolus
respiratorius.
6,7


Gambar 5. Bronkiolus respitatorius
3


Persarafan Cavum Nasi
N. olfactorius berasal dari sel-sel olfactorius khusus yang terdapat pada membrane
mucosa yang telah dibicarakan sebelumnya. Saraf ini naik ke atas melalui lamina cribosa dan
mencapai bulbus olfactorius. Saraf-saraf sensasi umum berasal dari divisi ophthalmica dan
maxillaris n. trigeminus. Persarafan bagian anterior cavum nasi berasal dari n. ethmoidalis


anterior. Persarafan bagian posterior cavum nasi berasal dari ramus nasalis, ramus
nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum.
4

Perdarahan Cavum Nasi
Suplai arteri untuk cavum nasi terutama berasal dari cabang-cabang a. maxillaris.
Cabang yang terpenting adalah a. sphenopalatina. A. sphenopalatina beranastomosis dengan
cabang dari a. facialis didaerah vestibulum. Daerah ini sering terjadi perdarahan (epitaxis).
Vena-vena membentuk plexus yang luas di dalam submucosa. Plexus ini dialirkan oleh vena-
vena yang menyerupai arteri.
4


Gambar 3. Perdarahan Cavum Nasi.
5

Aliran Limfe Cavum Nasi
Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain
dari cavum nasi mengalirkan limfenya ke nodi cervicales profundi superior.
3



Sinus Paranasales
Sinus paranasales adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla, os frontale,
os sphenoidale, dan os ethmoidales. Sinus-sinus ini dilapisi oleh mucoperiosteum dan berisi
udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui aperture yang relative kecil. Sinus maxillaris
dan sphenoidales pada waktu lahir terdapat dalam bentuk yang rudimenter, setelah usia
delapan tahun menjadi cukup besar, dan pada masa remaja telah terbentuk sempurna.
3
Sekret yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar di dalam membrane mukosa didorong
kedalam hidung oleh gerakan silia sel-sel silindris. Aliran dari secret juga dibantu oleh tenaga
menyedot yang terjadi pada waktu membuang ingus. Sinus berfungsi sebagai resonator suara;
sinus juga mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus tersumbat atau sinus terisi cairan,
kualitas suara jelas berubah.
1,3
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk pyramid dengan
basis membentuk dinding lateral hidung dan apex dibentuk dalam processus zygomaticus
maxillae. Atap di bentuk dasar orbita, sedangkan dasar dibentuk oleh processus alveolaris. Akar
premolar pertama dan kedua serta molar ketiga, dan kadang-kadang akar caninus menonjol ke
dalam sinus. Ekstraksi sebuah gigi dapat mengakibatkan fistula, atau infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis.
3
Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris.
Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke dalam infundibulum,
kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi dari sinus-sinus ini ke sinus
maxillaris adalah besar. Membrana mucosa sinus maxillaris dipersarafi oleh n. alveolaris
superior dan n. infraorbitalis. Sinus maxillaris tempat drainase nya di meatus nasi medius lewat
hiatus semilunaris.
3
Sinus frontalis ada dua buah, terdapat di dalam os frontales, dan dipisahkan satu dengan
yang lain oleh septum tulang, yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus
berbentuk segitiga, meluas keatas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang ke bagian
medial atap orbita.
3


Masing-masing sinus frontalis bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui
infundibulum. Membrane mucosa dipersarafi oleh n. supraorbitalis. Sinus frontalis tempat
drainasenya di meatus nasi media lewat infundibulum.
3,4
Sinus sphenoidalis, ada dua buah, terletak didalam corpus ossis sphenoidalis. Setiap
sinus bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis diatas concha nasalis superior.
Membrane mucosa di persarafi oleh n. ethmoidalis posterior. Sinus sphenoidales tempat
drainasenya di recessus sphenoethmoidalis.
4
Sinus ethmoidalis terdapat didalam os ethmoidalis, di antara hidung dan orbita. Sinus ini
terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah menjalar dari sinus
ke dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga kelompok : anterior, media, posterior. Kelompok
anterior bermuara ke dalam infundibulum ; kelompok media bermuara kedalam meatus nasi
medius, pada atau di atas bulla ethmoidalis; dan kelompok posterior bermuara meatus nasi
superior. Membrane mucosa dipersarafi oleh n. ethmoidalis anterior dan posterior. sinus
ethmoidales tempat drainasenya terdiri dari ; kelompok anterior terdapat di infundibulum dan
kedalam meatus nasi media , kelompok media terdapat di meatus nasi media pada atau diatas
bulla ethmoidales, kelompok posterior terdapat di meatus nasi superior.
3,4

Gambar 6. Sinus Paranasalis.
5


Mekanisme Pernapasan (Respirasi)

Pernapasan (respirasi) merupakan peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi) serta mengeluarkan udara yang mengandung
karbondioksida sisa oksidasi ke luar tubuh (ekspirasi). Proses respirasi terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru. Proses pernapasan tersebut terdiri atas tiga
bagian, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas.
9

Ventilasi Paru-Paru

Ventilasi paru-paru merupakan peristiwa masuk dan keluarnya udara pernapasan antara
atmosfer dan paru-paru yang melibatkan organ tubuh yang sangat penting dalam pernapasan.
Organ tersebut adalah hidung, faring, laring, trakhea, bronkhus, bronkiolus, alveolus, dan paru.
Udara yang masuk dari atmosfer ke dalam rongga hidung mengalami tiga proses penting
yaitu menyaring (filtrasi), menghangatkan (heating), dan melembapkan (humidifikasi). Pada
proses filtrasi partikel-partikel yang ada dalam udara pernapasan akan disaring oleh silia
khususnya partikel-partikel yang berdiameter > 2 mm. Proses heating terhadap udara
pernapasan dilakukan oleh pembuluh darah yang ada di lapisan mukosa hidung. Humidifikasi
udara pernapasan dilakukan oleh mukosa hidung terhadap udara yang kering dengan tujuan
agar tidak mengiritasi saluran pernapasan. Setelah melewati cavum nasal (rongga hidung)
kemudian udara menuju ke faring.
Efektivitas mekanisme ventilasi paru-paru dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
a. Konsentrasi oksigen atmosfer
Konsentrasi oksigen atmosfer di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan dengan
konsentrasi oksigen di bawah permukaan laut. Kurangnya konsentrasi oksigen di dalam
tubuh seseorang akan memunculkan tanda-tanda hipoksia.
b. Kondisi jalan napas
Udara pernapasan keluar masuk tubuh melalui organ-organ respirasi yang merupakan
jalan napas. Kondisi jalan napas ini sangat menentukan terhadap efektivitas ventilasi.
Penyebab ketidakpatenan jalan napas antara lain disebabkan oleh obstruksi mekanik
seperti benda asing pada trakheobronkhial, mukus yang tertahan, lidah yang menutupi
jalan napas, dan reaksi alergi yang menyebabkan bronkospasme seperti pada asma.
c. Kemampuan compliance dan recoil paru-paru


Kemampuan paru-paru mengembang disebut compliance. Kembalinya paru-paru ke
posisi semula setelah compliance disebut recoil. Kemampuan compliance dan recoil ini
sangat berpengaruh dalam menentukan efektif tidaknya proses ventilasi. Kemampuan ini
bisa tidak sempurna disebabkan antara lain oleh kerusakan jaringan paru seperti edema,
tumor, parase/paralise, serta kifosis.
d. Pengaturan pernapasan
Banyak sedikitnya oksigen yang masuk dan karbondioksida yang keluar dari paru-paru
dalam proses ventilasi dipengaruhi pula oleh irama, kedalaman, dan frekuensi pernapasan.
Irama pernapasan yang teratur menyebabkan terjadinya keseimbangan antara jumlah
oksigen yang dihirup dengan karbondioksida yang dikeluarkan dari paru-paru. Namun bila
sebaliknya, misalnya pada orang yang lari ketakutan, irama napasnya menjadi tidak teratur
sehingga mengakibatkan oksigen yang dihirup sedikit. Kedalaman pernapasan juga
mempengaruhi terhadap ventilasi paru-paru. Kedalaman pernapasan ini mengindikasikan
kemampuan inspirasi paru-paru. Frekuensi pernapasan merupakan jumlah compliance dan
recoil paru-paru dalam satu menit. Pada seseorang yang frekuensi pernapasannya di
bawah frekuensi normal, maka oksigen yang dihirup juga akan sedikit sehingga tubuh
kekurangan oksigen.

Melalui proses ventilasi tersebut dapat diketahui bagaimana volume dan kapasitas paru-
paru dalam menerima maupun mengeluarkan udara pernapasan. Alat yang digunakan untuk
mengukur kemampuan tersebut adalah spirometer. Spirometer akan menghasilkan gambaran
volume dan kapasitas paru-paru.
a. Volume paru-paru
1) Volume tidal (tidal volume TV), yaitu volume udara yang diinspirasi atau ekspirasi
setiap kali bernapas normal. Jumlahnya + 500 ml.
2) Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume IRV), yaitu volume udara ekstra
yang dapat diinspirasi di atas volume tidal. Jumlahnya + 3.000 ml.
3) Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume ERV), yaitu volume udara
ekstra yang masih dapat dikeluarkan dengan ekspirasi kuat setelah akhir suatu ekspirasi
yang normal. Jumlahnya + 1.100 ml.
4) Volume sisa (residual volume RV), yaitu volume udara yang masih tetap dalam paru-
paru setelah ekspirasi maksimal. Jumlahnya + 1.200 ml.


b. Kapasitas paru-paru
1) Kapasitas inspirasi = TV + IRV, yaitu jumlah udara yang dapat diinspirasi setelah akhir
ekspirasi biasa. Jumlahnya + 3.500 ml.
2) Kapasitas residu fungsional = ERV + RV, yaitu jumlah udara yang tersisa dalam paru-paru
pada akhir ekspirasi normal. Jumlahnya + 2.300 ml.
3) Kapasitas vital = IRV + TV + ERV, yaitu volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan
dengan ekspirasi maksimal setelah suatu inspirasi maksimal. Jumlahnya + 4.000 ml.
4) Kapasitas paru-paru total, yaitu volume udara total di dalam paru-paru setelah inspirasi
maksimal. Jumlahnya + 6.000 ml.

Ruang Rugi
Tidak semua udara yang dihirup sampai ke tempat pertukaran gas di alveolus.Sebagian
tetap berada di saluran napas penghantar, di mana tidak terjadi pertukaran gas.Volume saluran
napas penghantar pada orang dewasa rerata adalah 150 ml. volume ini dianggap sebagai ruang
rugi anatomic, karena udara di dalam saluran penghantar ini tidak berguna untuk
pertukaran.Ruang rugi anatomic sangat mempengaruhi efisiensi ventilasi paru. Pada efeknya
meskipun 500 ml udara masuk dan keluar setiap kali bernapas namun hanya 350 ml yang
benar-benar dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus karena 150 ml menempati ruang rugi
anatomic.
1
Pemadanan antara udara dan darah tidak selalau sempurna, karena tidak semua
alveolus mendapat ventilasi udara dan aliran darah yang sama. Setiap alveolus yang mendapat
ventilasi namun tidak ikut serta dalam pertukaran gas dianggap sebagai ruang rugi
alveolus.Pada orang sehat, ruang rugi alveolus cukup kecil dan tidak bermakna, namun ruang ini
dapat bertambah bahkan hingga ke tingkat mematikan pada beberapa jenis penyakit paru.
1


Difusi Gas

Untuk memenuhi kebutuhan oksigen di jaringan, proses difusi gas pada saat respirasi
haruslah optimal. Difusi gas merupakan bergeraknya gas oksigen dan karbondioksida atau
partikel lain dari area yang bertekanan tinggi ke arah yang bertekanan rendah. Didalam aleoli,
O
2
melintasi membran alveoli-kapiler dari arah alveoli ke darah karena adanya perbedaan
tekanan PO
2
yang tinggi di alveoli (100 mmHg) dan tekanan pada kapiler yang lebih rendah (PO2


40 mmHg), CO2

berdifusi dengan arah berlawanan akibat perbedaan tekanan PCO
2
darag 45
mmHg dan di alveoli 40 mmHg.
9

Proses difusi dipengaruhi oleh faktor ketebalan, luas permukaan, dan komposisi
membran; koefisien difusi O
2
dan CO
2
; serta perbedaan tekanan gas O
2
dan CO
2
. Dalam difusi
gas ini, organ pernapasan yang berperan penting adalah alveoli dan darah. Adanya perbedaan
tekanan parsial dan difusi pada sistem kapiler dan cairan interstisial akan menyebabkan
pergerakan O
2
dan CO2 yang kemudian akan masuk pada zona respirasi untuk melakukan difusi
respirasi.
9



Transpor Oksigen dan Karbondioksida

Apabila oksigen telah berdifusi dari alveolus ke dalam darah paru, maka oksigen di
transpor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin (HbO
2
) ke kapiler jaringan, di mana
oksigen dilepaskan untuk digunakan di sel. Dalam sel, oksigen bereaksi dengan berbagai bahan
makanan (reaksi metabolisme) dan menghasilkan karbondioksida yang selanjutnya masuk ke
dalam kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru-paru, selanjutnya dibuang melalui napas.
Dengan demikian, pengangkutan/transpor oksigen dilakukan oleh hemoglobin (Hb) di mana 1
gr Hb dapat mengangkut 1,4 ml oksigen. Hal ini terjadi karena hemoglobin mempunyai daya
afinitas terhadap oksigen. Faktor yang mempengaruhi afinitas Hb dengan oksigen tersebut,
antara lain :
10

a. pH darah, nilai pH darah menunjukkan tingkat keasaman darah dalam tubuh. Nilai normal
pH darah adalah 7,35 7,45. Nilai pH darah ini berkaitan erat dengan keseimbangan asam
basa dalam tubuh.
b. Kadar CO
2
darah, kadar karbondioksida dalam darah erat kaitannya dengan
kesinambungan asam basa. Kondisi keseimbangan tersebut kemudian berhubungan
dengan afinitas Hb terhadap oksigen.
c. Kadar 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG), kadar 2,3 DPG merupakan zat yang hanya
ditemukan di dalam sel eritrosit. Kadar 2,3 DPG yang banyak dalam sel eritrosit
menyebabkan afinitas Hb terhadap oksigen menurun. Kondisi ini dapat terjadi pada
seseorang yang menderita anemia. Sebaliknya, apabila kadar 2,3 DPG menurun
mengakibatkan afinitas Hb meningkat terhadap oksigen.
d. Temperatur tubuh, peningkatan temperatur tubuh menyebabkan pelepasan oksigen
karena peningkatan kebutuhan oksigen untuk proses metabolisme. Sebaliknya, penurunan
temperatur tubuh (hipotermi) menyebabkan gangguan pelepasan oksigen dari Hb. Namun,


terkompensasi dengan penurunan kebutuhan oksigen pada jaringan yang mengalami
hipotermi serta peningkatan kelarutan oksigen plasma darah.

Inspirasi

Inspirasi atau menarik napas merupakan proses aktif yang diselenggarakan kerja otot.
Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai ke bawah, yaitu ventrikal.
Penarikan iga-iga dan sternum, yang ditimbulkan kontraksi otot intrekostalis, meluaskan rongga
dada ke kedua sisi dan dari belakang ke depan. Paru-paru yang bersifat elastis mengembang
untuk mengisi ruang yang membesar itu dan udara ditarik masuk kedalam saluran udara. Otot
interkostal eksterna diberi peran sebagai otot tambahan, hanya bila inspirasi menjadi gerak
sadar.
9

Inspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal (intra-alveoli) lebih rendah dari tekanan
udara luar. Pada inspirasi biasa tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3mmHg.
Pada inspirasi dalam, tekanan intra alveoli mencapai -30 mmHg.
9


Kontraksi otot diafragma dan interkostalis

Volume thoraks membesar

Tekanan intrapleura menurun

Paru mengembang

Tekanan intra alveoli menurun

Proses terjadinya inspirasi dimulai dari kontraksi dari otot diafragma sampai dengan masuknya
udara ke dalam paru

Ekspirasi

Pada ekspirasi, udara dipaksa keluar oleh pengenduran otot dan karena paru-paru
kempis kembali yang disebabkan sifat elastis paru-paru itu. Gerak ini adalah proses pasif. Ketika
pernafasan sangat kuat, gerakan dada bertambah. Otot leher dan bahu membantu menarik iga-
iga dan sternum ke atas. Otot sebelah belakang dan abdomen juga dibawa bergerak, dan alae
nasi (cuping hidung) dapat berkembang kempis.
9

Ekspirasi berlangsung bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi dari pada tekanan udara
luar, sehingga udara bergerak ke luar paru. Meningkatnya tekanan dalam rongga paru terjadi


bila volume rongga paru mengecil akibat proses penguncupan yang disebabkan daya elastisitas
jaringan paru. Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi mulai berelaksasi. Pada proses
ekspirasi biasa tekanan intra alveoli sekitar +1 cmHg sampai +3 cmHg.
9


Otot inspirasi relaksasi
Volume thoraks paru mengecil
Tekanan intrapleura meningkat
Volume paru mengecil
Tekanan intrapleura meningkat
Udara bergerak ke luar paru

Proses terjadinya ekspirasi, dimulai dari relaksasi dari otot diafragma hingga keluarnya udara
dari paru.

Keseimbangan Asam-Basa Tubuh

Pengaturan asam-basa tubuh merupakan salah satu mekanisme penting tubuh untuk
mempertahankan tingkat keasaman (pH) cairan tubuh. Secara umum, keasaman cairan tubuh
ditentukan berdasarkan pengaturan kadar H
+
dalam tubuh sebab kadar H
+
merupakan faktor
utama yang mempengaruhi pH tubuh. Ada tiga faktor utama yang mengatur konsentrasi ion
hidrogen dalam tubuh guna mencegah terjadinya asidosis atau alkalosis. Ketiga faktor tersebut
antara lain sistem penyangga asam-basa (sistem buffer), pusat pernapasan, dan ginjal.
Mekanisme tubuh dalam menjaga keseimbangan pH tubuh melalui tiga mekanisme di atas
berlangsung secara berurutan. Saat terjadi gangguan keseimbangan asam-basa, sistem buffer
langsung diaktifkan sebagai bentuk pertahanan tahap pertama. Apabila gangguan tidak dapat
dikompensasi, selanjutnya tubuh mengaktifkan pertahanan tahap kedua melalui mekanisme
pernapasan, dan terakhir melalui mekanisme ginjal.
11
Pada pengaturan respiratorik terhadap pH, melibatkan pengubahan ventilasi pulmonar
untuk mengeluarkan CO
2
dan untuk membatasi jumlah asam karbonat yang terbentuk.
Pengaturan respiratorik memerlukan waktu satu sampai tiga menit untuk mulai bekerja dan
fungsinya setelah bufer asam basa yaitu sebagai garis pertahanan kedua terhadap perubahan
pH. Karbondioksida secara terus menerus ditambahkan dalam darah vena akibat metabolisme
sel dan ditranspor ke paru-paru. Saat CO
2
terurai dalam plasma, maka akan terbentuk asam
karbonat yang kemudian akan terurai untuk membentuk ion hidrogen dan ion karbonat.
11



CO
2
+ H
2
O H
2
CO
3
H
+
+ HCO
3
-
Karbon dioksida dikeluarkan pada paru-paru sehingga reaksi bergerak ke kiri dan plasma
tidak menjadi terlalu asam. Dalam kondisi normal, produksi karbon dioksida diimbangi dengan
pengeluarannya seperti fungsi sistem pernapasan dalam pengaturan asam-basa. Jika aktivitas
metabolik meningkat karena olahraga, akan terjadi peningkatan tekanan parsial karbon
dioksida arteri (pCO
2
), peningkatan kadar asam karbonat plasma, penurunan pH
plasma(asidosis). Pernapasan disesuaikan untuk mengeluarkan lebih banayk karbon dioksida.
Molekul karbon dioksida berlebih dalam darah berdifusi ke dalam SSP untuk mencapai
kemoreseptor sentral.CO
2
berdifusi ke dalam neuron dan membentuk asam karbonat yang
kemudian terurai untuk melepas ion hidrogen. Ion hidrogen menstimulasi kemoreseptor
sentral dan mengakibatkan peningkatan frekuensi dan kedalaman ventilasi.Peningkatan
frekuensi pengeluaran CO
2
respiratorik mengurangi asam karbonat dan meningkatkan pH.
Sebaliknya, jika pH plasma meningkat atau alkalosis, frekuensi respiratorik berkurang untuk
mengurangi pengeluaran CO
2
. Kadar CO
2
yang sedikit dalam plasma menyebabkan reaksi di atas
bergerak ke kanan dan menurunkan pH.
1,11

Keseimbangan Asam-Basa, untuk fungsi optimal dari sel-sel,proses metabolik
mempertahankan keseimbangan yang pas diantara asam dan basa. pH arteri adalah
pengukuran tak langsung terhadap konsentrasi ion hidrogen, misalnya makin besar konsentrasi,
makin asam larutan dan makin rendah pH. Makin rendah konsentrasi, makin basa larutan dan
makin tinggi pH dan mencerminkan keseimbangan antara CO
2
yang diatur oleh paru-paru, dan
bikarbonat (HCO
3
), basa diatur oleh ginjal. CO
2
terlarut dalam larutan untuk membentuk asam
karbonat (H
2
CO
3
), yang merupakan kunci komponen asam dalam keseimbangan asam-
basa.Karena H
2
CO
3
sulit untuk diukur secara langsung dan CO
2
serta H
2
CO
3
dalam
keseimbangan, maka komponen asam ditunjukkan sebagai CO
2
daripada H
2
CO
3
.
11

Rasio asam-basa normal adalah 1:20, menunjukkan satu bagian CO
2
(potensial H
2
CO
3
)
terhadap 20 bagian HCO
3
-
.Jika keseimbangan ini berubah, maka terjadi kekacauan pH. Jika
terdapat ekstra asam atau kehilangan basa dan pH < 7,40 maka terjadi asidosis, bila terdapat
ekstra basa atau terjadi kehilangan asam dan pH >7,40 maka terjadi alkalosis. Mekanisme ini
sangat sensitif terhadap perubahan pH yang sangat kecil dan tubuh biasanya mampu
mempertahankan pH tanpa intervensi dari luar, bila tidak mampu pada kadar normal,
sedikitnya dalam batasn yang dapat menopang kelangsungan hidup.
11
Sistem Buffer merespon hal tersebut .Buffer terdapat pada semua cairan tubuh dan
bekerja dengan segera (dalam 1 detik) setelah terjadi pH abnormal.Buffer ini berkaitan dengan
kelebihan asam atau basa untuk membentuk substansi yang tidak mempengaruhi pH.Namun
demikian efeknya terbatas.
1


Bikarbonat, buffer yang paling penting. Buffer ini terdapat dalam jumlah yang paling
besar dalam cairan tubuh. Dihasilkan oleh ginjal dan membantu dalam mengsekresi H
+
.
11
Fosfat, membantu dalam sekresi H
+
dalam tubulus ginjal.
Amonium, setelah kelebihan asam, amonia (NH
3
) dihasilkan oleh sel tubulus ginjal dan
berikatan dengan H
+
dalam tubulus ginjal untuk membentuk amonium NH
4
+
. Proses ini
memungkinkan sekresi H
+
ginjal lebih besar.
11

Protein, terdapat dalam sel-sel, darah, plasma. Hemoglobin adalah buffer protein yang
paling penting. Ion-ion hidrogen menimbulkan kerja langsung pada pusat pernapasan di otak.
Asidemia meningkatkan ventilasi alveolar sampai 4-5 kali kadar normal, sedangkan alkalemia
menurunkan ventilasi alveolar sampai 50%-75% dari tingkat normal. Respons terjadi dengan
cepat dalam 1-2 menit, selama masa di mana paru-paru mengeluarkan atau menahan karbon
dioksida dalam hubungan langsung pada pH arteri. Meskipun sistem pernapasan tidak dapat
memperbaiki ketidakseimbanagn dengan sempurna, namun efektif 50%-75%.
12
Beberapa gangguan keseimbangan asam basa, yaitu :
13
1. Asidosis respiratorik merupakan keadaan turunnya pH darah yang disebabkan oleh proses
abnormal pada paru. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi asidosis respiratorik akut atau
asidosis respiratorik kronik. Jika kejadiannya baru berlangsung beberapa jam dan belum
terjadi kompensasi oleh ginjal, keadaan ini disebut asidosis respiratorik akut. Karena belum
terdapat hasil upaya kompensasi ginjal, perubahan konsentrasi ion H (pH) masih sesuai
dengan perubahan tekanan parsial CO
2
(PaCO
2
). Asidosis respiratorik kronik biasanya
telah terjadi lebih dari 12 jam sampai 5 hari, dan upaya kompensasi oleh ginjal telah terjadi.
Karena sudah terdapat kompensasi ginjal, pH aktual tidak sesuai dengan pH sebelum
kompensasi. Setelah terjadi kompensasi, nilai pH tidak lagi besar. Jika pengeluaran CO
2

dari paru ke atmosfer menurun, PaCO
2
akan meningkat akan terjadi asidosis respiratorik
akut atau kronik. Pada respiratorik akut, peningkatan konsentrasi HCO
3
-
hanya sedikit,
sedangkan pada yang kronik konsentrasi HCO
3
-
meningkat lebih banyak.










2. Asidosis metabolik disebabkan karena adanya akumulasi asam selain asam karbonat.
Penyebab asidosis metabolik, antara lain adalah pemberian asam yang berlebihan,
produksi asam yang berlebihan (asidosis laktat ketika shock atau henti jantung),
berkurangnya ekskresi asam oleh ginjal, dan hilangnya bikarbonat, baik melalui usus
maupun ginjal. Asidosis metabolik ditandai oleh turunnya HCO
3
-
. Penderita akan bernapas
dengan cepat (hiperventilasi) agar CO
2
dapat cepat dikeluarkan.
3. Alkalosis respiratorik merupakan suatu kelainan klinis yang menyebabkan peningkatan
keasaman darah (pH) karena hiperventilasi alveolar (hipokapnia). Hipokapnia terjadi karena
eliminasi CO
2
melebihi produksi CO
2
pada jaringan. Penyebab alkalosis respiratorik meliputi
pnemonia, penyakit paru interstisial, penyakit vaskular paru dan asma akut. Penyebab di
luar paru meliputi gangguan cemas (alkalosis sendiri sering menyebabkan gangguan
cemas), demam, keracunan salisilat, asidosis metabolik (sebagai kompensasi), radang otak
atau tumor, gagal hati. Pada alkalosis respiratorik akut, PaCO
2
berada di batas bawah nilai
normal dan serum berada dalam keadaan alkalemia, sedangkan pada alkalosis respiratorik
kronik, PaCO
2
juga dibatas bawah nilai normal tetapi pH tidak terlalu jauh dari batas
normal. Alkalosis respiratorik banyak terdapat pada pasien yang menderita penyakit yang
berat dan sering ditemui pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik.
4. Alkalosis metabolik, penyebab primer adalah konsentrasi serum HCO
3
-
. Kejadian in
diakibatkan oleh hilangnya ion H
+
. Sebagai upaya kompensasi, paru akan berusaha
menciptakan keadaan hipoventilasi sehingga CO
2
tertimbun dan PaCO
2
naik, dengan
demikian pH akan naik kembali. PaCO
2
akan meningkat sebesar 0,5-0,7 mmHg setiap ada
peningkatan konsentrasi HCO
3
-
sebanyak 1 mEq/L. Peningkatan HCO
3
-
lebih dari 35 mEq/L
selalu disebabkan oleh alkalosis metabolik.

Kesimpulan
Pernapasan merupakan system tubuh kita untuk mengambil udara yang penuh dengan
oksigen yang nantinya oksigen tersebut akan digunakan untuk metabolisme tubuh. Hidung
merupakan saluran pernapasan pertama yang dilalui udara sebelum masuk ke paru-paru.
Hidung terdiri dari nasus externus dan cavum nasi. Didalam hidung terdapat rongga-rongga
yang disebut dengan sinus paranasales yang berisi cairan-cairan.



Daftar Pustaka

1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012. h. 517
2. Isnaeni W. Fisiologi hewan. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Kanisius; 2006. h. 191
3. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Cetakan ke-1. Jakarta: EGC; 2004. h. 266-
75
4. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama;
2009. h. 211-23
5. Gambar diunduh dari
https://www.google.co.id/search?q=sinus+paranasalis&hl=id&tbm=isch&source=lnms&
sa=X&ei=tAN3U77dJsO0uASZ84LoBA&ved=0CAgQ_AUoAQ&biw=1024&bih=466&dpr=1
#facrc=_&imgdii=_&imgrc=SpOI0XTO1bpiNM%253A%3BlDYU06ZoYWRG6M%3Bhttp%2
53A%252F%252Fpracticalhospital.com%252Fwp-
content%252Fuploads%252F2011%252F07%252Ftax_HN_5_lg.gif%3Bhttp%253A%252F
%252Fwww.practicalhospital.com%252Ftumors-of-the-head-and-neck%252Fnasal-
cavity-and-paranasal-sinuses%3B600%3B410 pada tanggal 17 Mei 2014, 18.01
6. Mescher AL. Histologi dasar junqueira.Teks dan atlas. Edisi ke12. Jakarta: EGC.2009.h.
293-7.
7. Junqueira, Luis C,Carneiro J. Histologi dasar, teks dan atlas. Edisi ke-10. Jakarta: EGC.
2007.h.102-4
8. Gunardi S. Anantomi sistem pernafasan. Jakarta: Fakulatas Kedokteran Universitas
Indonesia.2007.h. 1-78,
9. Muttaqin A. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernafasan. Jakarta :
Salemba Medika;2008.h.24-31
10. Asmadi. teknik prosedural keperawatan : konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien.
Jakarta : Salemba Medika;2008.h.14-21
11. Tamsuri A. Klien gangguan keseimbangan cairan & elektrolit. Jakarta : EGC;2008.h.14.
12. Horne M. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2004.h.134-5.
13. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta : EGC;2009.h.41-4.

Anda mungkin juga menyukai