Anda di halaman 1dari 2

BUNG SJAHRIR: PEMIKIR YANG TERSINGKIR

SJAHRIR adalah a man of paradox dalam berbagai arti. Tubuhnya kecil dengan tinggi tidak mencapai satu
setengah meter, 145 sentimeter, dan berat badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan energi
dahsyat. Inteligensinya mengagumkan.

Namun atau sebenarnya justru karena inteligensinya yang besar itu dia meninggalkan studinya di
Leiden, Belanda, tanpa berminat sedikit pun untuk menyelesaikannya, sebagaimana Hatta dan kawan-
kawannya yang lain. Tentang ini, dengan enteng dia hanya berkata bahwa seorang pemegang titel itu
hanya pemegang titel sahadja, tidak lebih dari itu.

Namun pandangan Sjahrir jauh melampaui masalah sepele ijazah. Sjahrir menukik tajam ke dalam soal
ilmu dan keilmuan ketika dia memberikan jawaban yang paling serius dalam Indonesische
Overpeinzingen (IO): Lama-kelamaan saya tahu bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu
resmi (de slavernij van de offici le wetenschap). Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin.
Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tidak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun
tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang
atau membantai semua kegiatan orisinalku. Yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada
kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya (IO, 29 Desember 1936). Secara utiliter seolah-olah dia
katakan: pengetahuan tidak berguna kalau tidak menjadi kebenaran yang bisa diserap dan diolah
masing-masing orang. Di luar itu, ilmu hanya sekadar kumpulan kaidah dan abstraksi yang tak
bermanfaat.

(DANIEL DHAKIDAE)

*************************************

SJAHRIR adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh orang ini--Soekarno, Hatta, Sjahrir,
Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution--dalam kadar berbeda menentukan arah
dan produk revolusi. Republik Indonesia pada zaman revolusi, dengan demikian, bukan merupakan
akibat dari proses sosial yang impersonal dan tak terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan
organisasi, kelompok angkatan bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal, idealisme
dan oportunisme, patriotisme dan banditisme, pahlawan dan pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir
dengan ajaib: pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.

Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi. Setelah
revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan
berbeda.

(HARRY POEZE)

*************************************

DALAM sejarah Indonesia, Sutan Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut
perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan tokoh
gerakan buruh yang andal pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar terhadap masalah
pendidikan rakyat. Liberalismenya terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar pula terhadap
masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. Tak mengherankan bila ia menjadi musuh
besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.

Tidaklah mengejutkan bahwa ideologi yang diperjuangkan Sutan Sjahrir mengalami rintangan pada masa
Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru yang otoriter. Tetapi, Indonesia sekarang adalah negara
demokrasi, bahkan negara demokrasi yang paling tegak di seluruh Asia Tenggara mengingat beberapa
perkembangan anti-demokratis di Filipina, dan terutama Thailand, belakangan ini. Sebagai negara
demokrasi, barangkali kita berharap menemukan para ahli waris garis ideologi yang diperjuangkan oleh
Sutan Sjahrir di antara berbagai kekuatan politik yang sekarang bersaing secara bebas dan terbuka untuk
memimpin Indonesia.

(VEDI R. HADIZ)

*************************************

M. CHATIB BASRI menyatakan: SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi zamannya. Mungkin ia
terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah tungku yang memanggang anak-anak muda
dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru datang dengan sesuatu yang mendinginkan. Bagi Sjahrir,
kemerdekaan nasional tidak final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi
rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya dalam kebebasan. Tanpa halangan. Bagi
Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap
nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi.

Dalam sebuah esai yang penting, Sjahrir menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari
perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Pikiran
dan tindakan hendaknya tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak
yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan. Tampaknya ada dialektik antara
Sjahrir dan kebudayaan masyarakatnya, dan tuntutan Sjahrir mungkin hanya separuh benar. Dia lupa
bahwa akal harus memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas
menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak
lain dari diri Sjahrir sendiri, dengan meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu.

(IGNAS KLEDEN)

Anda mungkin juga menyukai