Desentralisasi merupakan proses transfer berbagai kekuasaan politik, keuangan dan
administrastif dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (World Bank, 2000). Perlunya desentralisasi yakni untuk meningkatkan pertanggungjaaban!akuntabilitas baik itu berhubungan dengan finansial maupun performance pemerintah daerah, untuk meningkatkan kualitas berbagai jenis pelayanan publik dan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk proses pengambilan keputusan kebijakan. "egara yang #enderung desentraslistik meliputi negara yang mempunyai ilayah yang luas dan juga keragaman budaya, agama, tingkat ekonomi dan isolasi daerah. $eformasi merupakan suatu bentuk perubahan bentuk pemerintahan yang sebelumnya sentralistik dalam menjalankan sistem pemerintahannya pada masa re%im orde baru di baah kepemimpinan Presiden soeharto ke sebuah pemerintahan yang berideologi demokrasi yang meletakan kepentingan rakyat di atas segala&galanya. Demokrasi selalu identik dengan terbukanya ruang partisipasi masyarakat yang dinilai luas dalam praktiknya. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah pusat dalam proses kemandirian serta pengembangan daerah&daerah agar lebih berpotensi dalam mengelola ilayah administratifnya sendiri. 'alah satu kebijakan pemerintah yang paling populernya adalah desentralisasi kekuasaan dengan kata lain adanya pelimpahan eenang dari pusat ke daerah dalam rangka men#iptakan stabilitas, akuntabilitas dan kemandirian ekonomi. Prof. Warsito (tomo mengatakan baha )stilah otonomi daerah juga bisa disebut demokrasi lokal atau demokrasi di daerah. Pelaksanaan demokrasi tidak hanya terjadi di tingkat nasional saja tetapi juga diharapkan dan dilaksanakan di daerah. 'eperti yang kita ketahui baha se#ara nasional, negara kita sudah memiliki enam (ndang&undang yang mengatur tentang kemandirian daerah, mulai dari (( "o.*!*+,-, (( "o.22!*+,., (( "o.*!*+-/, (( "o.*.!*+0-, (( "o.-!*+/, dan (( "o.22!*+++ yang kemudian re1isi menjadi (( "o.22!200, yang mengalami banyak keganjalan akan timbulnya re& sentralisasi kekuasaan seperti halnya pemerintah pro1insi yang mempunyai keenangan yang super power di daerah otoritasnya, sehingga pemerintah kabupaten dan kota serta DP$D di dalam membuat kebijakan di daerah yang menjadi eenangnya harus berdasarkan keputusan dari pemerintah pro1insi. )ni tentunya mun#ul suatu disharmonic kekuasaan serta bernostalgia kembali dengan pemerintahan sentralistik dengan pemerintah bertindak sebagai driver dalam menjalankan kekuasaan di daerah yang menjadi lingkupnya. Permasalahan otonomi daerah semakin hari semakin kritis dalam implementasinya, tidak ada kajian&kajian yang kuat mengenai kesiapan para pemerintah daerah dalam menerima kebijakan, sehingga pemerintah daerah yang menerima kebijakan tersebut menjadi kelabakan dalam mengatur sumber daya baik itu anggaran dan juga manusianya dalam mengintegrasikan pelayanan publik yang terpadu akibatnya terjadi asal&asalan dalam memformulasi dan pengimplementasikan suatu kebijakan yang di daerah yang menjadi otonominya dan lebih ironisnya lagi terjadinya aroganisme masing&masing daerah pro1insi, kabupaten, dan kota terhadap pemerintah pusat yang menjadi aktor kun#i dalam kebijakan desentralisasi. 3elihat akan hal itu, pemerintah pusat seharusnya melakukan silang pendapat dengan pemerintah daerah dalam hal kesiapan menerima kebijakan&kebijakan yang akan didesentralisasikan ke daerahnya demi menjaga stabilitas keper#ayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan apabila terjadi penurunan keper#ayaan masyarakat akan kinerja pemerintah daerah dapat berimplikasi pada kegiatan&kegiatan penolakan dari masyarakat dengan men#ari jalannya sendiri seperti melakukan pemekaran daerah, terjadinya amuk massa, demonstrasi dan bahkan bisa saja masyarakat mau merdeka. 'ekali lagi mari kita melihat pelaksanaan otonomi daerah sebagai suatu kebijakan yang membutuhkan input dalam proses kebijakan publik serta men#ari alternatif jalan keluar. Birokrasi pemerintahan yang ada di daerah sering menjadi 4korban5 pelampiasan amarah masyarakat terkait dengan pelayanan publik yang diberikan, mun#ul pernyataan yang menyebutkan baha kinerja birokrasi yang tidak responsif dan sangat lambat dalam pengurusan 67P, 8kte 6elahiran, dan berbagai perijinan lainnya yang sangat lama. Di samping itu, proses manajemen sumber daya manusia dimulai dari proses rekruitmen, pemberdayaan, serta pemberhentian (pensiun) belum ada kejelasan dalam pengelolaannya dalam memuaskan kebutuhan publik yang semakin kompleks. 'ekali lagi kita jangan menyalahkan kinerja birokrasi yang ada di daerah, mari kita meganalisis faktor&faktor yang menyebabkan apa yang menjadi kendala utama buruknya kinerja birokrasi, misalnya pemberian standar gaji yang kurang sehingga menyebabkan rendahnya moti1asi pegaai pemerintah dalam menjalankan tugas sebagai pelayan publik yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Desentralisasi merupakan usaha pemerintah dalam rangka melakukan reformasi birokrasi di daerah dengan mendayagunakan pemerintah daerah dalam mengelola daerah yang menjadi otoritasnya serta mengelola keuangan daerahnya. Desentralisasi juga mun#ul sebuah konsep reinventing government atau meirausahakan birokrasi yang di#etuskan oleh 9sborn dan :aebler dengan memandirikan birokrasi pemerintah pusat dan juga daerah dalam rangka perujudan suatu kerangka kepemetintahan yang baik. 6onsep reinventing government bisa juga menjadi 4pedang bermata dua5 yang berimplikasi terhadap lingkup birokrasi pemerintah dalam hal peningkatan pelayanan publik. 3emang memandirikan suatu birokrasi perlu langkah kerja yang penuh komitmen dan integritas yang total dari pemerintah untuk mendayagunakan potensi&potensi 'umber Daya 3anusia yang ada di daerahnya. 7api dalam proses pelaksanaan otonomi daerah mun#ul beberapa masalah yang menjadikan sebuah birokrasi mempunyai peran kapitalis yang terus menggembosi masyarakat dengan 4uang administrasinya5 tidak heran baha siapa yang mempunyai uang banyak, pengurusan perijinan yang diperlukan akan semakin #epat penerbitannya. 9sborn dan :aebler menekankan baha dalam menjalankan kinerja dari masing&masing lembaga pemerintah, perlu adanya kemandirian dalam mengelola keuangan yang tentunya membuat birokrasi terjerat dalam perangkap kapitalistik, sehingga membuat pandangan masyarakat akan birokrasi seperti neccesary evil (hantu yang dianggap penting) dengan demikian posisi masyarakat semakin menjadikannya sebagai objek pasif dan pada posisi bergaining position dalam berhadapan dengan birokrasi. Pada konsep ini sudah mulai memakai makna dari efisiensi (doing things right) yang berkolaborasi dengan konsep efekti1itas (doing the right things) dalam kajian mengenai birokrasi. 3engenai konsep efisiensi yang sering dipakai oleh sektor sasta atau konsep dari engineering pada sektor pri1at yang mulai dimasukan dalam birokrasi sekarang ini, jadi jangan heran kalo sekarang birokrasi dalam melakukan pelayanan publik tidak hanya berorientasi pada sektor publik melainkan agak berbau sasta!pri1at.