Disampaikan oleh Drs. Ahmad Thobroni Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Ponorogo
METHODOLOGI KITAB SUNAN ABI DAUD PENDAHULUAN Sebagai salah satu elemen penting yang menjadi sumber hukum setelah al-Quran, Hadis juga membutuhkan perhatian khusus dalam pemeliharaan keabsahan dan keasliannya. Oleh karena itu, menuliskannya merupakan hal urgen yang perlu diperhatikan untuk memelihara otentitas Hadis Rasulullah Saw. yang begitu banyak. Ibnu Mubarak pernah ditanya tentang penulisan Hadis dan beliau berkata, Kalaulah tidak ditulis, kita tak dapat menghafalnya. Begitu juga Ahmad bin Hanbal, beliau berkata, Sebagian kaum membenci penulisan Hadis dengan takwil. Padahal mereka akan melakukan kesalahan jika meninggalkan penulisan Hadis. Telah sampai kepada kami Hadis dari kaum yang menghafalnya dan kaum yang menuliskannya. Adapun kaum yang menuliskannya lebih meyakinkan 1
RIWAYAT HIDUP Namanya Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asyas Ibn Ishak Ibn Basyir Ibn Syidad Ibn Amr Ibn Amran al-Azdiy al-Sijistaniy. Ia dilahirkan di Sijistan (salah satu wilayah dalam kota Bashrah) pada 202 H/ 817 M. dan meninggal di Bashrah tanggal 15 Syawal 275 H/ 888 M. Abu Daud adalah seorang ulama yang hafizd al-Quran dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan keislaman, terutama ilmu fikih dan hadis. Pendidikannya dimulai dengan belajar bahasa arab, al-Quran dan pengetahuan agama lainnya. Sampai usia 21 tahun ia bermukim di Bagdad. Setelah itu ia melanjutkan belajarnya keluar daerah seperti Hijaz, Syam (Syuriah), Mesir, Khurasan, Ray (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, dan Basrah. Dalam perjalanannya itu ia berjumpa dan berguru kepada para pakar hadis, seperti Ibn Amr al-Darir, Ahmad Ibn Hanbal, al-Qanabiy, Muslim bin Ibrahim, Abdullah Ibn Raja, Abu Walid al-Tayalisiy dan lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman Ibn Syaibah, dan Qutaibah Ibn Said.
1 As-Sijistani, Abu Daud al-Azdi, Sunan Abu Daud, (Kairo: Dr al-Hadits, 1999,hal 12 KEUTAMAAN BELIAU Maslamah bin Qsim berkata, Beliau adalah orang yang tsiqah, zhid, dan mengetahui sangat banyak tentang Hadis, beliau adalah imam Hadis pada masanya. Sedangkan menurut ar-Razi, beliau berkata, Aku melihatnya di Baghdad dan beliau datang ke ayah saya, beliau dapat dipercaya 2
GURU-GURU ABU DAUD Abu Daud adalah seorang pembelajar sejati dan tekun. Untuk bisa meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah beliau terbang dan hinggap dari satu kota ke kota yang lain untuk belajar dari para ulama ternama kala itu. Cukup banyak ulama-ulama yang pernah menjadi guru-gurunya di antaranya; al-Qanab dan Sulaimn bin Harb dari Mekah, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raj, Abu al-Wald ath-Thaylis dan Mus bin Isml di Basrh, al-Hasan bin al-Rab al-Brn dan Ahmad bin Ynus al-Yarb dari Kfah, Abu Taubah al-Rab bin Nfi dari Halb, Abu Jafar al-Nafl dan Ahmad bin Abi Syuaib di Harrn, Hwah bin Syuraih, Yazd bin Abdu Rabah di Himsha, Shafwn bin Shlih dan Hisym bin mir di Damaskus, Ishq bin Rhawiyah di Khursn, Ahmad bin Hanbl di Baghdad, Qutaibah bin Sad di Balkh, Ahmad bin Shalh dari Mesir, dan lain sebagainya. 3
Madzhabnya Al-Dawwud menyebutkan dalam Thabaqt al-Mufassirn bahwa al-Qhad Husain bin al- Farr memasukkannya ke dalam salah satu generasi pertama dari madzhab Hanabilah. Sedangkan akidahnya bermadzhab Salaf dalam mengikuti sunnah dan penerimaannya. 4
2 Ibid, hal 32 3 Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman ad-Dzahabi, Siyaru Alm wa an-Nubal, vol. 10, Dar al-Hadist, Kairo, 2006, hal. 332-333. 4 Ibid, hal 27 METODOLOGI ABU DAUD DALAAM PENULISAN HADITS 1. Dalam penulisan kitab Sunan, beliau tidak sekedar mengeluarkan hadis-hadis shahih saja, namun hadis shahih, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi dan hadis-hadis yang disepakati ulama untuk tidak meninggalkannya. Apabila terdapat kelemahan dalam hadis-hadis tersebut beliau pasti menjelaskannya dan mewaspadainya. Sedangkan apa yang tidak beliau komentari maka hadis itu adalah shalih. 2. Hadis-hadis tersebut disusun sesuai dengan bab fikih yang mencakup seluruh permasalahan dan hukum-hukum baik akidah, ibadah, muamalah, nikah, jihad, dan juga tentang akhlak dan sulukiyah. 3. Beliau memulai setiap bab dengan hadis-hadis yang dibutuhkan. 4. Kitab Sunan memiliki kelebihan dalam memeperinci hadis dan pemabagiannya dalam bab-bab, dan juga profil periwayah hadis. 5. Belaiu tidak cukup menyebutkan lafzh riwayah. 5
PERANAN KITAB SUNAN ABU DAUD DALAM PEMIKIRAN ISLAM Imam Abu Daud melalui perjalanan pencarian ilmu yang panjang sebelum beliau membukukan hadis-hadis dalam kitab Sunannya. Beliau menuliskan Hadis dari ulam-ulama Hadis di Irak, Kursan, Syam, Mesir dan beberapa kota lain. Imam Abu Daud telah menuliskan Hadis Rasulullah Saw. sebanyak 500.000 hadis, akan tetapi yang beliau pilih dan kumpulkan dalam kitab Sunan sejumlah 4.800 hadis yang semuanya adalah shahih, yang menyerupai shahih ataupun yang mendekati shahih. Ketika beliau membacakan kitab ini di hadapan khalayak, kitab ini menjadi seperti mushaf, mereka tidak menentangnya bahkan sebagian orang di zamannya menghafalnya dan menjadikannya sebagai rujukan. 6
5 Dr. Kautsar Mahmud al-Muslimi, Min al-Muhaditsin, thabaqat, manahij, marwiyat. hal. 250. 6 Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman ad-Dzahabi, Siyaru Alm wa an-Nubal, vol. 10, Dar al-Hadist, Kairo, 2006, hal.335 Beliau menulis kitab Sunan di Baghdad dan mendapat pujian ketika ia menunjukkannya kepada Imam Ahmad. Beliau juga mendapatkan pujian dari ulama lain semasanya perihal pembukuan kitab Sunan. Ibrahim al-Harby berkata, Ketika Abu Daud menuliskan kitab ini, seakan-akan Hadis dilembutkan bagi Abu Daud sebagaimana dilembutkannya besi bagi Nabi Daus As. Diriwayatkan juga ketika kitab Sunan dibacakan di hadapan Ibnu al-Arabi, dan beliau meminta kepadanya untuk me-nuskhah-nya, Ibnu Arabi berkata, Kalaulah seandainya seseorang hanya memiliki ilmu dari mushaf (al-Quran) kemudian dari kitab ini, maka dia tidak membutuhkan kepada ilmu selain itu 7
Tingkatan-tingkatan Sunan Abi Daud Abu Dawud dalam menyusun kitab Sunannya tidak hanya memfokuskan hadits-hadits shahih, tetapi juga memasukkan hadits dhaif. Tingkatan hadits dalam kitab Sunan Abu Dawud tersebut dapat diketahui dari surat beliau ke penduduk Makkah ketika menjelaskan isi kitab Sunan-nya. Penjelasan Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya secara garis besar membagi hadits kedalam lima tingkatan, yaitu: 1. Hadits Shahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak pula janggal. Hadits ini disebut hadits shahih li zatihi, karena tingkat ke-shahihan-nya tanpa dukungan hadits lain yang menguatkannya. 2. Ma Yusyabbihahu (yang menyerupai shahih) Para muhadditsin mengutarakan perbandingan istilah yang digunakan Abu Dawud tersebut dengan istilah yang berlaku bagi para muhadditsin. Yang dimaksud Abu Dawud istilah ma yusyabbahahu adalah hadits shahih li ghairihi, karena hadits tersebut menyerupai shahih li zatihi, tetapi martabatnya di bawah shahih li zatihi.
7 Abu al-Fid Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. 12, Dr al-Manr, Kairo, 2001, hal 55. 3. Ma Yuqoribuhu (yang mendekati shahih) Istilah yang digunakan oleh Abu Dawud tersebut menurut sebagian muhadditsin adalah hadits hasan li zatihi, karena hadits hasan li zatihi bisa naik menjadi hadits shahih li ghairihi apabila didukung oleh hadits yang lain. Ibnu Shalah dan Imam al-Nawawi memberikan defenisi hadits hasan menurut istilah Abu Dawud sebagai Hadits yang disebutkan secara mutlak dan tidak ada dalam salah satu kitab shahih (Bukhari dan Muslim) dan tidak ada di antara ulama yang menetapkan ke-shahih-annya, bagi yang membedakan antara hadits shahih dan hasan, maka hadits tersebut adalah hadits hasan menurut Abu Dawud. Ibnu Shalah menyatakan bahwa dalam kitab Sunan Abu Dawud tesebut mengandung banyak hadits hasan. Sebagaimana penjelasan yang diberikan Abu Dawud sendiri ketika menjelaskan isi kitabnya. 4. Wahnun Syadidun (sangat lemah) Istilah hadits tersebut menurut istilah yang berlaku bagi para muhadditsin berarti hadits yang sangat dhaif. Namun terhadap hadits ini Abu Dawud memberikan sejumlah penjelasan mengenai letak ke-dhaifan-nya dan menurut beliau hadits dhaif tersebut lebih kuat bila dibandingkan dengan pendapat ulama. Pencantuman hadits dhaif yang disertai keterangan letak ke-dhaifan- nya dibolehkan. 5. Shalih (yang tidak dijelaskan) Para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari istilah yang dipakai Abu Dawud. Imam al-Nawawi dan Ibnu Shalah menjelaskan bahwa jika hadits tersebut diriwayatkan dalam salah satu kitab shahih (Bukhari dan Muslim) maka hadits tersebut adalah shahih, dan jika tidak diriwayatkan dalam salah satu kitab shahih dan tidak ada ulama yang menerangkan tentang derajat hadits tersebut, maka hadits tersebut adalah hadits hasan menurut Abu Dawud. Pendapat tersebut menunjukkan kehati-hatian agar tidak menetapkan keshahihan suatu hadits tersebut karena tidak tercantum dalam salah satu kitab shahih dan tidak ada seorang pun di antara para imam hadits yang menetapkan keshahihannya. 8
Kelebihan dan Kekurangannya Di antara pandangan positif para ulama terhadap Sunan Abu Dawud tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. Al-Khattabi berkata: ketahuilah, kitab Sunan Abu Dawud adalah sebuah kitab yang mulia yang belum pernah disusun sesuatu kitab yang menerangkan haidts-hadits hukum sepertinya. Para ulama menerima baik kitab Sunan tersebut, karenanya dia menjadi hakim antara ualam dan para fuqaha yang berlainan mazhab. Kitab itu menjadi pegangan ulam Irak, Mesir, Maroko,dan negeri lain. 2. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, mengemukakan: Kitab Sunan Abu Dawud memiliki kedudukan tinggi dalam dunia Islam dan pemberi keputusan bagi perselisihan pendapat. Kepada kitab itulah oarang-orang jujur mengharapkan keputusan. Mereka merasa puas atas keputusan dari kitab itu. Abu Dawud telah menghimpun segala macam hadits hhukum dan menyusunnya dengan sistematika yamg baik dan indah, serta membuang hadits yang lemah. 3. Ibnu al-Arabi, mengatakan: Apabila seseorang sudah memiliki kitabullah dan kitab Sunan Abu Dawud, maka tidak lagi memerlukan kaitab lainnya. 4. Imam al-Ghazali berkata: Kitab Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits hukum. Di samping ulama-ulama tersebut yang memberikan penilaian baik atas kelebihan kitab Sunan Abu Dawud, ada juga ulama hadits yang mengkritik kelemahan yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud tesebut.
Di antara para ulama yang mengkritik itu adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam al-Nawawi dan Ibnu Taimiyah. Kritik tersebut meliputi: Tidak adanya penjelasan tentang kualitas suatu hadits dan kualitas sanad (sumber, silsilah dalam haditsnya), sementara yang lainnya disertai dengan penjelasan.
8 Suryadi, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003, cet. I Adanya kemiripan Abu Dawud dengan Imam Hambali dalam hal mentoleransi hadits yang oleh sementara kalangan dinilai dhaif. Kritik juga dilakukan oleh Ibnu al-Jauzi, seorang tokoh ahli hadits bermazhab Hambali yang telah melakukan penelitian terhadap kitab Sunan Abu Dawud, dan beliau menemukan hadits yang maudhu (palsu) sebanyak sembilan hadits. Namun kritikan tesebut telah dibahas kembali oleh Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya al-laali al-Masnuah fi Ahadits al-Maudhuah dan Ali bin Muhammad bin Iraq al-Kunani daalam kitabnya Tanjih al-Syariah al- Maudhuah. Dalam kitab tersebut dijelaskan kembali hadits-hadits yang dikritik oleh Ibnu al-Jauzi. 9
Penutup Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam benar-benar membutuhkan literatur keilmuan yang tersisa dari ulama-ulama Islam terdahulu dari perjalanan panjang mereka menuntut ilmu untuk menjadikanya sebuah wawasan, perbandingan, atau untuk menyingkap keutamaan keutamaannya. Pada masa ini telah muncul para ilmuwan yang berusaha untuk kembali memunculkan kitab-kitab terdahulu ke permukaan, sehingga tidak hanya menjadi penghias sejarah keilmuan Islam. Dengan banyak cara mereka berusaha untuk menemukan kelebihan, kekurangan, pemikiran-pemikiran, dan lain sebagainya dalam kitab-kitab tersebut.