Anda di halaman 1dari 8

METODOLOGI

SUNAN ABI DAUD




Mata Kuliah Studi Metodologi Hadits






Dosen Pengampu
DR. LUTHFI HADI AMINUDIN, M.Ag


Disampaikan oleh Drs. Ahmad Thobroni
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Ponorogo


METHODOLOGI KITAB SUNAN ABI DAUD
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu elemen penting yang menjadi sumber hukum setelah al-Quran,
Hadis juga membutuhkan perhatian khusus dalam pemeliharaan keabsahan dan keasliannya.
Oleh karena itu, menuliskannya merupakan hal urgen yang perlu diperhatikan untuk
memelihara otentitas Hadis Rasulullah Saw. yang begitu banyak.
Ibnu Mubarak pernah ditanya tentang penulisan Hadis dan beliau berkata, Kalaulah
tidak ditulis, kita tak dapat menghafalnya. Begitu juga Ahmad bin Hanbal, beliau berkata,
Sebagian kaum membenci penulisan Hadis dengan takwil. Padahal mereka akan melakukan
kesalahan jika meninggalkan penulisan Hadis. Telah sampai kepada kami Hadis dari kaum
yang menghafalnya dan kaum yang menuliskannya. Adapun kaum yang menuliskannya lebih
meyakinkan
1

RIWAYAT HIDUP
Namanya Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asyas Ibn Ishak Ibn Basyir Ibn Syidad Ibn
Amr Ibn Amran al-Azdiy al-Sijistaniy. Ia dilahirkan di Sijistan (salah satu wilayah dalam
kota Bashrah) pada 202 H/ 817 M. dan meninggal di Bashrah tanggal 15 Syawal 275 H/ 888
M.
Abu Daud adalah seorang ulama yang hafizd al-Quran dan ahli dalam berbagai ilmu
pengetahuan keislaman, terutama ilmu fikih dan hadis. Pendidikannya dimulai dengan belajar
bahasa arab, al-Quran dan pengetahuan agama lainnya. Sampai usia 21 tahun ia bermukim di
Bagdad. Setelah itu ia melanjutkan belajarnya keluar daerah seperti Hijaz, Syam (Syuriah),
Mesir, Khurasan, Ray (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, dan Basrah.
Dalam perjalanannya itu ia berjumpa dan berguru kepada para pakar hadis, seperti Ibn
Amr al-Darir, Ahmad Ibn Hanbal, al-Qanabiy, Muslim bin Ibrahim, Abdullah Ibn Raja,
Abu Walid al-Tayalisiy dan lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam
Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman Ibn Syaibah, dan Qutaibah Ibn
Said.


1
As-Sijistani, Abu Daud al-Azdi, Sunan Abu Daud, (Kairo: Dr al-Hadits, 1999,hal 12
KEUTAMAAN BELIAU
Maslamah bin Qsim berkata, Beliau adalah orang yang tsiqah, zhid, dan mengetahui
sangat banyak tentang Hadis, beliau adalah imam Hadis pada masanya. Sedangkan menurut
ar-Razi, beliau berkata, Aku melihatnya di Baghdad dan beliau datang ke ayah saya, beliau
dapat dipercaya
2

GURU-GURU ABU DAUD
Abu Daud adalah seorang pembelajar sejati dan tekun. Untuk bisa meriwayatkan hadis-hadis
Rasulullah beliau terbang dan hinggap dari satu kota ke kota yang lain untuk belajar dari
para ulama ternama kala itu. Cukup banyak ulama-ulama yang pernah menjadi guru-gurunya
di antaranya; al-Qanab dan Sulaimn bin Harb dari Mekah, Muslim bin Ibrahim, Abdullah
bin Raj, Abu al-Wald ath-Thaylis dan Mus bin Isml di Basrh, al-Hasan bin al-Rab
al-Brn dan Ahmad bin Ynus al-Yarb dari Kfah, Abu Taubah al-Rab bin Nfi dari
Halb, Abu Jafar al-Nafl dan Ahmad bin Abi Syuaib di Harrn, Hwah bin Syuraih, Yazd
bin Abdu Rabah di Himsha, Shafwn bin Shlih dan Hisym bin mir di Damaskus, Ishq
bin Rhawiyah di Khursn, Ahmad bin Hanbl di Baghdad, Qutaibah bin Sad di Balkh,
Ahmad bin Shalh dari Mesir, dan lain sebagainya.
3


Madzhabnya
Al-Dawwud menyebutkan dalam Thabaqt al-Mufassirn bahwa al-Qhad Husain bin al-
Farr memasukkannya ke dalam salah satu generasi pertama dari madzhab Hanabilah.
Sedangkan akidahnya bermadzhab Salaf dalam mengikuti sunnah dan penerimaannya.
4




2
Ibid, hal 32
3
Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman ad-Dzahabi, Siyaru Alm wa an-Nubal, vol. 10,
Dar al-Hadist, Kairo, 2006, hal. 332-333.
4
Ibid, hal 27
METODOLOGI ABU DAUD DALAAM PENULISAN HADITS
1. Dalam penulisan kitab Sunan, beliau tidak sekedar mengeluarkan hadis-hadis shahih
saja, namun hadis shahih, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi dan hadis-hadis yang
disepakati ulama untuk tidak meninggalkannya. Apabila terdapat kelemahan dalam
hadis-hadis tersebut beliau pasti menjelaskannya dan mewaspadainya. Sedangkan apa
yang tidak beliau komentari maka hadis itu adalah shalih.
2. Hadis-hadis tersebut disusun sesuai dengan bab fikih yang mencakup seluruh
permasalahan dan hukum-hukum baik akidah, ibadah, muamalah, nikah, jihad, dan
juga tentang akhlak dan sulukiyah.
3. Beliau memulai setiap bab dengan hadis-hadis yang dibutuhkan.
4. Kitab Sunan memiliki kelebihan dalam memeperinci hadis dan pemabagiannya dalam
bab-bab, dan juga profil periwayah hadis.
5. Belaiu tidak cukup menyebutkan lafzh riwayah.
5

PERANAN KITAB SUNAN ABU DAUD DALAM PEMIKIRAN ISLAM
Imam Abu Daud melalui perjalanan pencarian ilmu yang panjang sebelum beliau
membukukan hadis-hadis dalam kitab Sunannya. Beliau menuliskan Hadis dari ulam-ulama
Hadis di Irak, Kursan, Syam, Mesir dan beberapa kota lain.
Imam Abu Daud telah menuliskan Hadis Rasulullah Saw. sebanyak 500.000 hadis, akan
tetapi yang beliau pilih dan kumpulkan dalam kitab Sunan sejumlah 4.800 hadis yang
semuanya adalah shahih, yang menyerupai shahih ataupun yang mendekati shahih. Ketika
beliau membacakan kitab ini di hadapan khalayak, kitab ini menjadi seperti mushaf, mereka
tidak menentangnya bahkan sebagian orang di zamannya menghafalnya dan menjadikannya
sebagai rujukan.
6




5
Dr. Kautsar Mahmud al-Muslimi, Min al-Muhaditsin, thabaqat, manahij, marwiyat. hal. 250.
6
Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman ad-Dzahabi, Siyaru Alm wa an-Nubal, vol. 10,
Dar al-Hadist, Kairo, 2006, hal.335
Beliau menulis kitab Sunan di Baghdad dan mendapat pujian ketika ia
menunjukkannya kepada Imam Ahmad. Beliau juga mendapatkan pujian dari ulama lain
semasanya perihal pembukuan kitab Sunan. Ibrahim al-Harby berkata, Ketika Abu Daud
menuliskan kitab ini, seakan-akan Hadis dilembutkan bagi Abu Daud sebagaimana
dilembutkannya besi bagi Nabi Daus As.
Diriwayatkan juga ketika kitab Sunan dibacakan di hadapan Ibnu al-Arabi, dan beliau
meminta kepadanya untuk me-nuskhah-nya, Ibnu Arabi berkata, Kalaulah seandainya
seseorang hanya memiliki ilmu dari mushaf (al-Quran) kemudian dari kitab ini, maka dia
tidak membutuhkan kepada ilmu selain itu
7

Tingkatan-tingkatan Sunan Abi Daud
Abu Dawud dalam menyusun kitab Sunannya tidak hanya memfokuskan hadits-hadits
shahih, tetapi juga memasukkan hadits dhaif. Tingkatan hadits dalam kitab Sunan Abu
Dawud tersebut dapat diketahui dari surat beliau ke penduduk Makkah ketika menjelaskan isi
kitab Sunan-nya. Penjelasan Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya secara garis besar membagi
hadits kedalam lima tingkatan, yaitu:
1. Hadits Shahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna
ingatannya, sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak pula janggal. Hadits ini
disebut hadits shahih li zatihi, karena tingkat ke-shahihan-nya tanpa dukungan hadits
lain yang menguatkannya.
2. Ma Yusyabbihahu (yang menyerupai shahih)
Para muhadditsin mengutarakan perbandingan istilah yang digunakan Abu
Dawud tersebut dengan istilah yang berlaku bagi para muhadditsin. Yang
dimaksud Abu Dawud istilah ma yusyabbahahu adalah hadits shahih li
ghairihi, karena hadits tersebut menyerupai shahih li zatihi, tetapi martabatnya
di bawah shahih li zatihi.


7
Abu al-Fid Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. 12, Dr al-Manr, Kairo, 2001, hal 55.
3. Ma Yuqoribuhu (yang mendekati shahih)
Istilah yang digunakan oleh Abu Dawud tersebut menurut sebagian
muhadditsin adalah hadits hasan li zatihi, karena hadits hasan li zatihi bisa
naik menjadi hadits shahih li ghairihi apabila didukung oleh hadits yang lain.
Ibnu Shalah dan Imam al-Nawawi memberikan defenisi hadits hasan menurut
istilah Abu Dawud sebagai Hadits yang disebutkan secara mutlak dan tidak
ada dalam salah satu kitab shahih (Bukhari dan Muslim) dan tidak ada di
antara ulama yang menetapkan ke-shahih-annya, bagi yang membedakan
antara hadits shahih dan hasan, maka hadits tersebut adalah hadits hasan
menurut Abu Dawud. Ibnu Shalah menyatakan bahwa dalam kitab Sunan
Abu Dawud tesebut mengandung banyak hadits hasan. Sebagaimana
penjelasan yang diberikan Abu Dawud sendiri ketika menjelaskan isi kitabnya.
4. Wahnun Syadidun (sangat lemah)
Istilah hadits tersebut menurut istilah yang berlaku bagi para muhadditsin
berarti hadits yang sangat dhaif. Namun terhadap hadits ini Abu Dawud
memberikan sejumlah penjelasan mengenai letak ke-dhaifan-nya dan menurut
beliau hadits dhaif tersebut lebih kuat bila dibandingkan dengan pendapat
ulama. Pencantuman hadits dhaif yang disertai keterangan letak ke-dhaifan-
nya dibolehkan.
5. Shalih (yang tidak dijelaskan)
Para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari istilah yang dipakai Abu
Dawud. Imam al-Nawawi dan Ibnu Shalah menjelaskan bahwa jika hadits
tersebut diriwayatkan dalam salah satu kitab shahih (Bukhari dan Muslim)
maka hadits tersebut adalah shahih, dan jika tidak diriwayatkan dalam salah
satu kitab shahih dan tidak ada ulama yang menerangkan tentang derajat
hadits tersebut, maka hadits tersebut adalah hadits hasan menurut Abu Dawud.
Pendapat tersebut menunjukkan kehati-hatian agar tidak menetapkan
keshahihan suatu hadits tersebut karena tidak tercantum dalam salah satu kitab
shahih dan tidak ada seorang pun di antara para imam hadits yang menetapkan
keshahihannya.
8


Kelebihan dan Kekurangannya
Di antara pandangan positif para ulama terhadap Sunan Abu Dawud tersebut, antara lain
sebagai berikut:
1. Al-Khattabi berkata: ketahuilah, kitab Sunan Abu Dawud adalah sebuah kitab yang
mulia yang belum pernah disusun sesuatu kitab yang menerangkan haidts-hadits
hukum sepertinya. Para ulama menerima baik kitab Sunan tersebut, karenanya dia
menjadi hakim antara ualam dan para fuqaha yang berlainan mazhab. Kitab itu
menjadi pegangan ulam Irak, Mesir, Maroko,dan negeri lain.
2. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, mengemukakan: Kitab Sunan Abu Dawud memiliki
kedudukan tinggi dalam dunia Islam dan pemberi keputusan bagi perselisihan
pendapat. Kepada kitab itulah oarang-orang jujur mengharapkan keputusan. Mereka
merasa puas atas keputusan dari kitab itu. Abu Dawud telah menghimpun segala
macam hadits hhukum dan menyusunnya dengan sistematika yamg baik dan indah,
serta membuang hadits yang lemah.
3. Ibnu al-Arabi, mengatakan: Apabila seseorang sudah memiliki kitabullah dan kitab
Sunan Abu Dawud, maka tidak lagi memerlukan kaitab lainnya.
4. Imam al-Ghazali berkata: Kitab Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid
untuk mengetahui hadits-hadits hukum.
Di samping ulama-ulama tersebut yang memberikan penilaian baik atas kelebihan kitab
Sunan Abu Dawud, ada juga ulama hadits yang mengkritik kelemahan yang terdapat dalam
kitab Sunan Abu Dawud tesebut.

Di antara para ulama yang mengkritik itu adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam al-Nawawi
dan Ibnu Taimiyah. Kritik tersebut meliputi:
Tidak adanya penjelasan tentang kualitas suatu hadits dan kualitas sanad (sumber,
silsilah dalam haditsnya), sementara yang lainnya disertai dengan penjelasan.

8
Suryadi, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003, cet. I
Adanya kemiripan Abu Dawud dengan Imam Hambali dalam hal mentoleransi hadits
yang oleh sementara kalangan dinilai dhaif.
Kritik juga dilakukan oleh Ibnu al-Jauzi, seorang tokoh ahli hadits bermazhab
Hambali yang telah melakukan penelitian terhadap kitab Sunan Abu Dawud,
dan beliau menemukan hadits yang maudhu (palsu) sebanyak sembilan
hadits. Namun kritikan tesebut telah dibahas kembali oleh Jalaluddin al-Suyuti
dalam kitabnya al-laali al-Masnuah fi Ahadits al-Maudhuah dan Ali bin
Muhammad bin Iraq al-Kunani daalam kitabnya Tanjih al-Syariah al-
Maudhuah. Dalam kitab tersebut dijelaskan kembali hadits-hadits yang
dikritik oleh Ibnu al-Jauzi.
9



Penutup
Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam benar-benar membutuhkan literatur keilmuan yang
tersisa dari ulama-ulama Islam terdahulu dari perjalanan panjang mereka menuntut ilmu
untuk menjadikanya sebuah wawasan, perbandingan, atau untuk menyingkap keutamaan
keutamaannya. Pada masa ini telah muncul para ilmuwan yang berusaha untuk kembali
memunculkan kitab-kitab terdahulu ke permukaan, sehingga tidak hanya menjadi penghias
sejarah keilmuan Islam. Dengan banyak cara mereka berusaha untuk menemukan kelebihan,
kekurangan, pemikiran-pemikiran, dan lain sebagainya dalam kitab-kitab tersebut.

9
www.islam2pedia.com/2011/04/kitab-sunan-abu-daud.

Anda mungkin juga menyukai