MODUL 3
HUJAN (PRESIPITASI)
Tujuan Instruksional Khusus modul ini adalah mahasiswa dapat menghitung
data untuk melengkapi data hujan yang tidak kontinyu, data hujan yang mengalami
perubahan dengan metode analisa double mass curve, hujan rata-rata dengan metoda :
arithmatic, Thiessen, Isohyet, hubungan antara intensitas dan tinggi hujan, hubungan
antara intensitasa dan waktu hujan dengan metoda : Talbot, Sherman, Ishiguro,
MonoNobe, hubungan antara tinggi dan waktu hujan dengan metoda Haspers dan
lain-lain.
Bila udara lembab bergerak ke atas kemudian menjadi dingin sampai melalui
titik embun, maka uap air didalamnya mengkondensir sampai membentuk butir-butir
air. Bila proses pendinginan ini terjadi secara besar-besaran, maka butir-butir air akan
jatuh sebagai Hujan (Presipitasi). Sebenarnya presipitasi yang terjadi dapat juga
berupa salju, es, dan sebagainya. Derasnya hujan tergantung dari banyaknya uap air di
dalam udara. Pada umumnya semakin deras hujannya, semakin pendek waktunya,
oleh karena itu setelah sebagian uap air mengkondensir udara semakin kering maka
derasnya hujan berubah dengan waktu.
3.1.Type Hujan
Hujan dibagi atas tiga type sesuai dengan cara udara naik ke daerah yang lebih dingin.
Tiga type tersebut adalah :
a. Hujan Siklonik : yaitu berasal dari naiknya udara yang dipusatkan di daerah
dengan tekanan rendah.
b. Hujan Konvektif : yaitu berasal dari naiknya udara ketempat yang lebih dingin.
Umboro Lasminto III - 2
c. Hujan Orografik : yaitu berasal dari naiknya udara karena adanya rintangan
berupa pegunungan.
Hujan sangat dipengaruhi oleh iklim dan keadaan topografi daerah, sehingga
keadaannya sangat berbeda untuk masing-masing daerah. Hujan yang terjadi disuatu
daerah kadang-kadang sangat sulit ditentukan typenya sehingga data yang demikian
jarang disebutkan.
3.2. Data Hujan
Data hujan yang diperlukan dalam analisa hidrologi biasa meliputi data :
Curah hujan : adalah tinggi hujan dalam satu hari, bulan atau tahun
dinyatakan dalam mm, cm atau inchi, misal : 124 mm per hari; 462 mm per
bulan dan 2158 mm per tahun.
Waktu hujan : adalah lama terjadinya satu kali hujan (duration of one
rainstorm), missal : 12 menit; 42 menit; 2 jam pada satu kejadian hujan.
Intensitas hujan : adalah banyaknya hujan yang jatuh dalam periode tertentu,
misal : 48 mm/jam, dalam 15 menit; 72 mm/jam dalam 30 menit.
Frekwensi hujan : adalah kemungkinan terjadinya atau dilampauinya suatu
tinggi hujan tertentu. Misal curah hujan 115 mm per hari akan terjadi atau
dilampaui sekali dalam 20 tahun; curah hujan 2500 mm per tahun akan
terjadi atau dilampaui dalam 10 tahun.
Data tersebut di atas dapat diperoleh dengan memasang alat-alat penakar hujan (rain
gauge) di daerah pengaliran di tempat-tempat yang memerlukan data.
Umboro Lasminto III - 3
3.3. Network Stasiun Hujan
Tempat dimana alat penakar hujan dipasang disebut sebagai Stasiun Hujan,
yang dapat dipasang tersebar diseluruh daerah aliran. Banyaknya stasiun hujan pada
suatu daerah aliran tergantung dari kebutuhan dan ketelitian data yang diperlukan,
demikian juga dengan type penakar hujan yang dipasang. Sebagai perkiraan
banyaknya alat penakar hujan yang dipasang terhadap luas daerah yang diwakili
seperti Table 3.1.
Table 3.1. J umlah Penakar Hujan pada suatu daerah yang diwakilinya
Luas
(Km
2
)
J umlah stasiun penakar hujan
26
260
1300
2600
3200
7800
2
6
12
15
20
40
Sumber : Wilson, engineering Hidrologi, Macmilan, 1974 hal 17
Di Indonesia jaringan stasiun hujan dibangun oleh Direktorat Meteorologi
yang juga mengumpulkan, mengolah dan juga menyajikan data hujan secara periodik.
J aringan stasiun hujan nasional jumlahnya 4000 buah tersebar di seluruh Indonesia
(Table 3.2).
Table 3.2. Network stasiun Hujan di Indonesia
Daerah J umlah stasiun Km
2
/stasiun
Indonesia
J awa
Sumatra
Kalimantan
sulawesi
4339
3000
600
120
250
440
44
790
4500
760
Sumber : Sri Murni D, Ir, Hidrologi I, Fak. Tek. U.I., 1976, hal. 6
Umboro Lasminto III - 4
Pada proyek-proyek pengembangan sumber-sumber air di Indonesia sering
kali diperlukan data tambahan dan ketelitian data dengan memasang alat penakar
hujan tambahan di sekitar daerah proyek.
3.4. Alat Penakar Hujan
Besarnya tinggi hujan yang jatuh dan dinyatakan dalam satuan mm, cm atau
inchi pada suatu daerah dapat diketahui dengan cara memasang atau mengoperasikan
alat penakar hujan di daerah tersebut. Ada dua jenis alat penakar hujan, yaitu
pencatatan secara manual dan pencatatan secara automatik.
a) Pencatatan manual
Alat penakar hujan dengan pencatatan manual ini terdiri dari suatu tabung dengan
diameter 8 inchi (20,3 cm) yang dilengkapi dengan corong penerima, tabung
pengukur yang mempunyai luas penampang 1/10 atau 1/100 kali dari luas
penampang corong penerima (Gambar 3.1). Perbandingan ini penting artinya
guna memudahkan ketelitian baca hasil pengukuran. Air hujan yang masuk
corong penerima terus masuk ketabung
pengukur. Bila hujan masuk setinggi 0,1
inchi maka didalam tabung pengukur akan
terlihat air setinggi 1 inchi. Atau bila
hujan yang jatuh 0,01 inchi (0,25 mm)
maka di dalam tabung pengukur akan
terlihat air setinggi 1 inchi.
Gambar 3.1. Alat Penakar hujan 8
Umboro Lasminto III - 5
Data hujan ini akan sulit terbaca kalau tidak digunakan tabung pengukur dengan
perbandingan luas penampang yang lebih kecil. Pengukuran tinggi air hujan di
dalam tabung pengukur, dipakai tongkat pengukur atau skala bacaan yang ada
yang ada pada tabung. Hasil bacaan tinggi air hujan di dalam tabung pengukur
masih harus dikalikan dengan faktor perbandingan antara luas penampang tabung
pengukur dan luas corong pengumpul, baru didapat data tinggi hujan yang terjadi.
Data yang didapat dari pencatatan hujan dengan alat penakar jenis ini adalah data
hujan harian yaitu tinggi hujan yang terjadi dalam 24 jam (etmal), karena
pengukuran dilakukan satu kali dalam sehari semalam, biasanya pagi hari. Kalau
dilakukan pengukuran dua kali pagi dan sore, datanya dicatat sebagai hujan
harian,yaitu dengan menjumlahkan dua data pengukuran tersebut.
b) Penakar automatik
Alat penakar hujan automatik atau Automatic Rain Gauge adalah alat yang dapat
mencatat hasil pengukuran hujan secara automatik dalam setiap kejadian hujan.
Pengoperasian alat ini bisa satu mingguan dengan mengganti kertas grafik
pencatat yang dipakai.
Ada tiga type automatic rain gauge yang banyak dipakai yaitu, Weighing Bucket
Rain Gauge, Tipping Bucket Rain Gauge, Syphon Automatic Rainfall Recorder.
1. Weighing Bucket Rain Gauge
Hujan yang jatuh di atas corong akan diteruskan masuk ke dalam bucket yang
ber alaskan plat form. Penambahan air hujan yang masuk ke dalam bucket
akan menambah berat sehingga weighing mekanik akan bekerja
menggerakkan lengan pena pencatat yang akan terlihat hasilnya pada kertas
grafik yang berputar sesuai dengan waktu. Hasil pencatatan yang ditunjukkan
merupakan hujan kumulatif terhadap waktu dalam kurva massa hujan.
Umboro Lasminto III - 6
2. Tipping Bucket Rain Gauge
Hujan yang jatuh di atas corong akan diteruskan masuk ke dalam bucket yang
terdiri dari dua sisi menyerupai timbangan. Air hujan mengisi timbangan sisi
sebelah kiri, maka akan terjadi gerakan pada bucket ini akibat berat air hujan.
Bila bucket sisi sebelah kiri terisi penuh maka air akan mengalir keluar dari
bucket dan ganti bucket sisi kanan yang terisi air hujan dari corong. Proses ini
berjalan terus selama terjadi hujan dan gerakan bucket ini dimonitor oleh
instrument pencatat elektrik yang hasilnya merupakan data grafik pencatatan
hujan komulatif terhadap waktu.
3. Syphon Automatic Rainfall Recorder
Alat type ini sering disebut juga dengan Float Recording Gauge, dimana
pencatatan yang dilakukan pada kertas grafik didasarkan atas naik turunnya
pelampung dalam bak pengumpul. Hujan yang jatuh di atas corong akan
diteruskan ke dalam bak pengumpul. Bila hujan bertambah terus maka
pelampung dalam bak akan naik karena air dalam bak naik. Gerakan
pelampung ini diikuti oleh goresan pena pencatat pada kertas grafik yang
berputar sesuai dengan waktu. Bila muka air dalam bak pengumpul sama
dengan bengkokan pipa siphon maka air dalam bak pengumpul akan tersedot
keluar melalui pipa siphon dan terjadi pengosongan dalam bak pengumpul.
Peritiwa pengosongan ini akan akan diikuti oleh penurunan pelampung yang
berlangsung sangat cepat, terlihat dalam kertas grafik pencatat garis pencatat
garis vertikal ke bawah.
Bila hujan masih berlangsung bak pengumpul terisi air hujan lagi dan
pelampung juga akan naik, proses pencatatan berlangsung kembali sampai
hujan berhenti.
Umboro Lasminto III - 7
Pada gambar 3.5 ditunjukkan grafik hasil pencatatan alat penakar hujan
automatis tipe siphon. Terlihat sampai jam 07.00 hari senin garis pencatatan
mendatar pada skala 2,5 cm, ini berarti pada bak penampung tidak terjadi
penambahan air akibat hujan, sehingga pelampung tidak bergerak naik. J am
07.00 sampai jam 08.00 terlihat garis pencatatan naik mulai skala 2,5 cm dan
berhenti pada skala 4,2 cm kemudian mendatar lagi. Pada saat garis pencatatan
naik berarti ada penambahan air pada bak penampung yang berarti terjadi
hujan. Tinggi hujan yang tercatat adalah 17 mm dengan lama hujan (duration)
1 jam.
Pada hari selasa jam 04.30 terlihat garis pencatatan naik mulai dari skala 8,5
cm sampai skala 10 cm pada jam 05.10 kemudian turun hampir vertical,
selanjutnya naik lagi sampai skala 5,4 cm pada jam 08.10 lalu garisnya
mendatar. Terlihat bahwa pada jam 05.10 muka air pada bak penampung
mencapai bengkokan pipa siphon sehingga terjadi pengosongan air pada bak
penampung, ini ditunjukkan dengan turunnya garis pencatatan sampai skala 0
cm, karena hujan masih berlangsung maka garis pencatatan naik lagi sampai
hujan berhenti, maka garis pencatatan mendatar lagi.
Gambar 3.5. Grafik curah hujan otomatis
Umboro Lasminto III - 8
Dapat disimpulkan bahwa bila garis pencatatan mendatar berarti tidak
terjadi hujan, sedang bila garis pencatatan naik berarti terjadi hujan dimana
kemiringan garis pencatatan ini menunjukkan besarnya intensitas hujan dan
kalau terjadi garis pencatatan menurun berarti pada saat itu terjadi
pengosongan bak penampung. Data hujan yang diperoleh dari analisa grafik
pencatatan adalah berupa data hujan jam-jaman dan pola hujan.
Alat penakar hujan otomatik lain yang ada adalah Aerodynamic Rain Gauge
dan Penakar Hujan Mekanik seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 3.6. Alat Penakar Hujan mekanik dan pemasangannya
Umboro Lasminto III - 9
3.5. Penyajian Data Hujan
Data yang diperoleh dari stasiun penakar hujan adalah tabel data tinggi hujan
harian atau grafik akumulasi tinggi hujan dari penakar hujan automatis. Data tersebut
dapat diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan grafik.
1. Penyajian dalam bentuk tabel
Tinggi hujan maupun akumulasi tinggi hujan dari suatu stasiun dapat disajikan
dalam bentuk tabel, tergantung dari keperluannya. Unit waktu dapat diambil tiap
jam, tiap hari, tiap 10 harian, tiap bulan, tiap tahun bahkan kadang-kadang tiap 5
tahunan. Contoh tabel hujan seperti pada Tabel 3.3. dan Tabel 3.4.
Tabel 3.3. Tabel Hujan Harian Maksimum
Tahun R (mm) Tahun R (mm)
1970
1971
1972
1973
1974
133
117
75
150
154
1975
1976
1977
1978
1979
161
220
129
160
120
Data hujan pada stasiun Bantaran, G. Kelud J atim
Tabel 3.4. Tabel Hujan Rata-rata Bulanan (mm)
tahun J P N A M J J A S O N D Tahunan
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
97
50
84
127
46
119
27
160
40
92
33
132
62
54
123
47
90
145
147
72
131
150
136
175
98
138
226
198
204
155
72
106
96
144
230
162
250
122
47
106
372
57
172
67
27
126
46
16
-
183
22
65
86
3
114
-
173
44
9
108
48
9
-
156
61
0
97
11
124
-
52
144
-
60
96
75
-
67
68
155
107
166
87
-
1699
1084
-
1140
1035
1420
-
Rata
2
max
min
79
127
27
82
160
33
115
181
47
160
226
98
144
230
72
159
372
47
76
172
16
79
183
3
65
173
9
73
156
0
85
144
52
108
156
67
1227 1)
2290 2)
471 3)
Sumber : data hujan pada stasiun Baraka Sulsel
- Tidak ada data
1) Total rata-rata bulanan 2) Hujan tahunan maksimum 3) Hujan tahunan minimum
Umboro Lasminto III - 10
2. Penyajian dalam bentuk diagram
Tinggi hujan dari suatu stasiun juga dapat disajikan dalam bentuk diagram yang
unit waktunya tergantung dari keperluannya. Lengkung massa hujan biasanya
tidak disajikan dalam bentuk diagram. Gambar 3.6 adalah contoh diagram tinggi
hujan jam-jaman pada stasiun J rengek pada daerah aliran KLI Klampis, data untuk
tanggal 18 J anuari 1977.
Gambar 3.7. Diagram Hujan Bulanan
Gambar 3.8. Diagram hujan jam-jaman
Umboro Lasminto III - 11
3. Penyajian dalam bentuk grafik
Bila pada diagram tinggi hujan ditarik garis ratanya, maka didapat grafik tinggi
hujan. Pada umumnya grafik tinggi hujan dibuat langsung dengan
menggambarkan titik-titik tersebut. Dengan cara yang sama lengkung massa hujan
dapat juga dibuat. Gambar 3.8 adalah contoh grafik tinggi hujan rata-rata bulanan
dan Gambar 3.9 adalah contoh grafik/lengkung massa dari hujan jam-jaman dari
Gambar 3.7.
Gambar 3.9. Grafik hujan rata-rata bulanan
Gambar 3.10. Grafik massa hujan
Umboro Lasminto III - 12
3.6. Cukupnya Jumlah Penakar Hujan
Hasil pencatatan tinggi hujan dari penakar hujan adalah merupakan data dasar
yang digunakan dalam analisa hidrologi. J umlah penakar hujan dalam suatu daerah
aliran tergantung dari kebutuhan dan besarnya presentase kesalahan yang tertentu
untuk hujan rata-rata di daerah aliran. Untuk menentukan cukup tidaknya jumlah
penakar hujan pada suatu daerah aliran dengan prresentase kesalahan hujan rata-
ratanya adalah ditentukan, maka dapat ditempuh prosedur sebagai berikut :
a. Hitung total hujan untuk n penakar hujan (stasiun) :
R
tot
=R
1
+R
2
+..+R
n
(3.1)
b. Hitung rata-rata aritmatika hujan di daerah aliran :
R
m
=
tot
R
n
1
(3.2)
c. Hitung jumlah dari kuadrat untuk n data hujan :
R
s
=R
1
2
+R
2
2
+.+R
n
2
(3.3)
d. Hitung variannya :
S
2
=
1
1
2
n
R
n
R tot
s
(3.4)
e. Hitung koefisien variasinya :
C
v
=
m
R
S
2
100
(3.5)
f. J umlah penakar hujan yang optimum N yang diperlukan untuk
memperkirakan hujan rata-rata dengan presentase kesalahan (p) adalah :
N =
2
p
C
v
(p dalam presen) (3.6)
g. J umlah penakar hujan yang harus ditambahkan adalah : N n
Umboro Lasminto III - 13
Dalam suatu daerah aliran terdapat empat stasiun penakar hujan dengan data
hujan normal tahunan adalah 800, 520, 440 dan 400 mm. Hitung jumlah
stasiun penakar hujan yang harus ditambahkan dengan batas kesalahan
untuk hujan rata-rata daerah aliran adalah 12 %.
Contoh 3.1.
Penyelesaian :
R
tot
=800 +520 +440 +400 =2160 mm
R
m
= x 2160 =540 mm
R
s
=(800)
2
+(520)
2
+(440)
2
+(400)
2
=126000
( ) 1166400 2160
4
1 1
2 2
= = tot R
n
533 , 32
3
97600
1 4
1166400 1264000
2
= =
= S
4 , 33
540
533 , 32 100
= =
v
C
8 , 7
12
4 , 33
2
=
= N 8
jadi jumlah stasiun penakar hujan yang harus ditambahkan di daerah aliran
adalah : 8 4 =4 stasiun.
3.7. Melengkapi Data Hujan yang tidak Kontinyu
Sering dijumpai dalam data hujan yang disajikan terdapat data yang tidak
kontinyu dalam tahun pencatatannya. Ketidak-kontinyuan ini kemungkinan
disebabkan oleh data tidak tercatat atau memang datanya hilang, dimana didalam
table penyajian data diberi tanda (-).
Umboro Lasminto III - 14
Ada beberapa cara untuk memperkirakan/melengkapi data hujan yang hilang
diantaranya:
1. Cara rata-rata aritmatik :
Cara ini dapat digunakan bila selisih hujan rata-rata tahunannya untuk stasiun
yang datanya hilang dengan stasiun yang datanya komplit (stasiun index)
kurang dari 10 %. Misalnya X adalah stasiun yang datanya hilang, dan A, B, C
adalah stasiun index. Maka besarnya data yang harus diisikan untuk
melengkapi data pada stasiun X adalah :
( )
C B A x
R R R R + + =
3
1
(3.7)
dimana : R
x
=tinggi hujan yang diisikan untuk melengkapi data stasiun
X.
R
A
, R
B
, R
C
=tinggi hujan pada stasiun A, B, dan C.
2. Cara rasio normal :
Bila selisih hujan rata-rata tahunannya untuk stasiun yang datanya hilang
dengan stasiun index lebih dari 10 %, maka besarnya data yang harus diisikan
untuk melengkapi data pada stasiun X adalah :
+ + =
C
C
X
B
B
X
A
A
X
x
R
N
N
R
N
N
R
N
N
R
3
1
(3.8)
dimana :
N
x
=tinggi hujan rata-rata tahunan stasiun X
N
A
, N
B
, N
C
=tinggi hujan rata-rata tahunan stasiun A, B dan C.
3. Cara korelasi :
Cara ini hanya dipakai untuk analisa hujan tahunan dengan menggambarkan
korelasi tinggi hujan yang bersamaan waktunya (tahun) dari stasiun index
dengan stasiun yang datanya hilang. Bila didapat korelasi yang baik maka
Umboro Lasminto III - 15
tinggi hujan yang diperkirakan untuk mengisi data yang hilang diperoleh. Bila
tidak didapat korelasi yang baik, sulit memperkirakan tinggi hujan untuk
mengisi data yang hilang.
0
50
100
150
200
250
300
0 50 100 150 200 250 300
Tinggi hujan st asiun index
T
i
n
g
g
i
h
u
j
a
n
s
t
a
s
i
u
n
y
a
n
g
h
i
l
a
n
g
d
a
t
a
n
y
a
Gambar 3.11. Contoh metode korelasi
Dari Gambar 3.10 di atas data mempunyai korelasi baik, untuk mengisi data
hujan yang hilang tinggal melihat besarnya tinggi hujan pada stasiun index
pada waktu yang sama dengan data yang harus dilengkapi, kemudian ditarik
ke garis korelasinya maka didapat tinggi hujan yang diperkirakan untuk
melengkapi data yang hilang.
3.8. Mengecek Data Hujan akan Perubahan-perubahan
Bila sudah tidak ada data hujan yang hilang dari periode pengamatan yang
ditentukan, maka harus dicek akan kemungkinan stasiun dipindah tempatnya, penakar
hujan diganti typenya atau lain-lain hal yang akan berpengaruh terhadap hasil
pencatatannya. Cara yang dipakai untuk mengecek data hujan akan perubahan-
perubahan adalah Analisa Double Mass Curve.
Umboro Lasminto III - 16
Analisa tersebut dailakukan dengan menggambarkan korelasi antara akumulasi tinggi
hujan tahunan dari stasiun yang dicek dengan stasiun index, dan menarik garis
melalui titik-titik tersebut yang disebut garis korelasi massa hujan. Perubahan
kemiringan dari garis korelasi memberikan indikasi adanya suatu perubahan (Gambar
3.12).
Gambar 3.12. Double Mass Curve
Pada Gambar 3.12 terlihat bahwa lengkung korelasi berubah secara mendadak ditahun
1978. J ika yang berubah keadaan meteorologinya, maka stasiun index juga akan
mengalami perubahan sehingga kemiringan garis korelasi tidak mengalami
perubahan. Dengan adanya perubahan kemiringan, maka data lama sebelum 1978
harus disesuaikan dengan data sesudah 1979 dengan perumusan sebagai berikut :
A
O
O A
I
I
R R =
dimana :
R
A
=hujan yang didapat penyesuaiannya.
R
O
=hujan yang harus disesuaikan.
Umboro Lasminto III - 17
I
A
=kemiringan lengkung massa dari data sesudah 1978.
I
O
=kemiringan lengkung massa dari data sebelum 1978.
3.9. Variasi Hujan
Tinggi hujan di suatu tempat tiap tahunnya tidak sama. Disamping variasi
tahunan juga terjadi variasi bulanan, bahkan mungkin terdapat variasi harian.
a. Variasi tahunan
Variasi tahunan dari tinggi hujan dapat dilihat dengan membandingkan
lengkung massa hujan tahunan dan lengkung massa hujan rata-rata tahunan,
yaitu massa hujan jika tiap-tiap tahunnya adalah tahun normal.
Gambar 3.13. Mass Curve tahunan
Dari Gambar 3.13 terlihat bahwa lengkung massa hujan tahun 1961 dan 1962
mempunyai kemiringan lebih kecil dari kemiringan lengkung massa hujan
rata-rata hujan yang berarti tahun 1961 dan 1962 tinggi hujannya lebih rendah
dari tinggi hujan rata-rata tahunan dan disebut tahun kering.
Sedang dari tahun 1963 sampai 1965 terlihat bahwa kemiringan lengkung
massa hujannya lebih besar dari kemiringan lengkung massa hujan rata-rata
Umboro Lasminto III - 18
tahunannya, yang berarti tahun 1963 sampai 1965 tinggi hujannya lebih besar
dari tinggi hujan rata-rata tahunannya, dan disebut tahun basah.
Variasi tahun kering dan tahun basah ini sangatlah tergantung dari cara
mendapatkan lengkung massa hujan rata-rata tahunnya. Sangatlah berbahaya
untuk menghitung hujan rata-rata tahunan dari periode pengamatan yang
terlalu pendek, kemungkinan akan didapat harga rata-rata yang terlalu tinggi
atau terlalu rendah. Kurang adanya variasi tahunan pada data hujan, maka
perhitungan-perhitungan diambil harga rata-ratanya, padahal dengan data
hujan yang periode pengamatannya pendek tidak mungkin ditentukan suatu
harga rata-rata yang tepat. Untuk mendapatkan harga rata-rata tahunan yang
tidak jauh berbeda dengan harga rata-rata sejati maka data pengamatan hujan
tahunan paling sedikit 30 tahun, karena penyimpangan rata-ratanya 2 % dari
harga rata-rata sejati, dan ini cukup teliti untuk keperluan-keperluan praktis.
b. Variasi bulanan
Untuk keperluan pertanian Mohr telah menentukan adanya bulan basah dan
bulan kering sebagai variasi hujan bulanan. Menurut Mohr variasi bulanan
adalah sebagai berikut :
1. Bulan Basah, tinggi hujan lebih banyak dari tinggi air yang diuapkan
sehingga di dalam tanah masih tersedia air untuk tanaman. Batasannya
bila tinggi hujan dalam satu bulan lebih besar dari 100 mm.
2. Bulan Kering, tinggi hujan kurang dari tinggi air yang mungkin dapat
diuapkan. Batasannya bila tinggi hujan dalam satu bulan kurang dari
60 mm.
Umboro Lasminto III - 19
3. Bulan Normal, tinggi hujan dalam satu bulan lebih dari 60 mm tetapi
kurang dari 100 mm. Bulan normal disebut juga sebagai Bulan
Lembab.
c. Variasi harian
Di Indonesia terlihat juga adanya variasi yang teratur dalam satu hari dengan
terjadinya konsentrasi hujan yang berbeda-beda tiap jamnya. Variasi teratur
dalam satu hari yang berlangsung tiap-tiap hari hujan terjadi di daerah-daerah
lereng gunung yang dapat terjadi hujan karena perbedaan temperatur di atas
darat dan laut, yang disebabkan oleh penyinaran matahari.
3.10. Hujan Rata-rata Daerah Aliran
Data hujan yang tercatat disetiap stasiun penakar hujan adalah tinggi hujan
disekitar stasiun tersebut atau disebut sebagai Point Rainfall. Karena stasiun penakar
hujan tersebar di daerah aliran maka akan banyak data tinggi hujan yang diperoleh
yang besarnya tidak sama. Didalam analisa hidrologi diperlukan data hujan rata-rata
di daerah aliran (Catchment Area) yang kadang-kadang dihubungkan dengan
besarnya aliran yang terjadi.
Ada tiga cara untuk menghitung hujan rata-rata daerah aliran atau disebut Area
rainfall dari data Point Rainfall yaitu :
a. Cara Arithmatic Mean :
Biasanya cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun penakar
hujannya dan dengan anggapan, bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya
adalah merata atau uniform.
Cara perhitungannya sebagai berikut :
( )
n
R R R R
n
R + + + + = .....
1
3 2 1
(3.9)
Umboro Lasminto III - 20
atau
=
=
n
i
i
R
n
R
1
1
(3.10)
dimana :
R = tinggi hujan rata-rata daerah aliran (area
rainfall)
R
1
, R
2,
R
3
..R
n
=tinggi hujan masing stasiun (point rainfall
n =banyaknya stasiun penakar hujan
b. Cara Thiessen Polygon
Cara ini memasukkan factor pengaruh daerah yang diwakili oleh stasiun
penakar hujan yang disebut sebagai faktor pembobot (weighing factor) atau
disebut juga sebagai Koefisien Thiessen. Besarnya faktor pembobot,
tergantung dari luas daerah pengaruh yang diwakili oleh stasiun yang dibatasi
oleh polygon-polygon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis
penghubung dua stasiun. Dengan demikian setiap stasiun akan terletak
didalam suatu poligon yang tertutup. J elasnya poligon-poligon tersebut dapat
diperoleh sebagai berikut :
1. Hubungkan masing-masing stasiun dengan garis lurus sehingga
membentuk polygon segitiga.
2. Buat sumbu-sumbu pada polygon segitiga tersebut sehingga titik
potong sumbu akan membentuk polygon baru.
3. Polygon baru inilah merupakan batas daerah pengaruh masing-masing
stasiun penakar hujan.
Umboro Lasminto III - 21
Gambar 3.14. Thiessen Polygon
Dengan menggunakan planimeter, luas daerah pengaruh masing-masing
stasiun (A
n
) dan luas daerah aliran (A) dapat dihitung. Hujan rata-rata daerah
aliran dapat dihitung sebagai berikut :
n
n
3
3
2
2
1
1
R
A
A
........ R
A
A
R
A
A
R
A
A
R + + + + = (3.11)
atau :
=
=
n
1 i
i i
R A
A
1
R (3.12)
dimana : A =luas daerah aliran
A
i
=luas daerah pengaruh stasiun i
R
i
=tinggi hujan pada stasiun i
c. Cara Isohyet :
Isohyet adalah garis yang menunjukkan tempat kedudukan dari harga tinggi
hujan yang sama. Isohyet ini diperoleh dengan cara interpolasi harga-harga
tinggi hujan local (Point rainfall). Polygon Thiessen adalah tetap tidak
tergantung dari harga-harga Point Rainfall, tetapi pola Isohyet berubah dengan
Umboro Lasminto III - 22
harga-harga Point Rainfall yang tidak tetap, walaupun letak stasiun penakar
hujannya tetap.
Gambar 3.15. Isohyet
Misalkan besarnya Isohyet sudah diperkirakan, maka besarnya hujan antara
dua Isohyet adalah :
( )
2 1 2 , 1
2
1
I I R + =
Sedang dengan menggunakan planimeter luas antara dua Isohyet (A
1,2
) dan
luas daerah aliran (A) dapat dihitung. Hujan rata-rata daerah aliran dapat
dihitung sebagai berikut :
1 n n,
1 n n,
2,3
2,3
1,2
1,2
R
A
A
...... R
A
A
R
A
A
R
+
+
+ + + = (3.13)
atau :
=
+ +
=
n
1 i
1 i i, 1 i i,
R A
A
1
R (3.14)
dimana :
A
i, i+1
=luas antara Isohyet I
i
dan I
i+1
Umboro Lasminto III - 23
R
i, i+1
=tinggi hujan rata-rata antara Isohyet I
i
dan I
i+1
Sebenarnya masih ada cara lain menghitung Area Rainfall dari Point Rainfall
seperti yang dikemukakan oleh Melchior, Weduwen dan Haspers yang sering
dipakai di Indonesia, yaitu dengan menghitung factor reduksi dari suatu
daerah aliranya terlebih dahulu.
3.11. Intensitas dan Tinggi Hujan
Data hujan harian, harian maksiimum, biasanya dipublikasikan tidak dalam
pola intensitasnya, tetapi hanya dalam bentuk tabel. Pola intensitas suatu hujan dapat
dianalisa dari kemiringan lengkung massa hujan atau lengkung yang didapatkan
dalam pengukuran hujan otomatis. Kalau hujan dibagi dalam interval waktu, maka
intensitas tiap-tiap interval dapat dibaca dari kemiringan masing-masing interval
(Gambar 3.16)
Gambar 3.16. Grafik pencatatan hujan otomatis
Umboro Lasminto III - 24
Dari Gambar 3.16 diberikan contoh menganalisa pola intensitas hujan dari grafik
pencatatan hujan otomatis. Terlihat hujan terjadi mulai jam 16
11
dan berhenti jam 17
00
dengan pola seperti pada Tabel 3.5 kolom 1, 2 dan 3.
Tabel 3.5.Perhitungan Intensitas Hujan
J am Interval waktu
(menit)
Hujan selama
Interval (mm)
Intensitas hujan selama
Interval (mm/jam)
16
11
16
23
16
29
16
39
16
44
16
50
17
00
12
6
10
5
6
10
1,8
2,4
0,8
2,0
3,6
1,5
9
24
4,8
24
36
9
49 12,1
Intensitas adalah kemiringan dari grafik pencatatan hujan otomatis yang tidak lain
adalah harga tangen, yaitu :
t
R
I = (3.15)
dimana : I =intensitas hujan dalam (mm/jam)
R =hujan selama interval (mm)
t =interval watktu (jam)
Dalam Tabel 3.5 pada kolom 4 baris 1, mm/jam 9
menit 12
mm 1,8
1
= = I
Dari hasil perhitungan intensitas hujan seperti pada Table 3.5 dapat digambarkan
diagram pola intensitasnya yang disebut Hyetograp (Gambar 3.17). Melihat pola
Umboro Lasminto III - 25
Hyetograpnya hujan dibedakan menjadi empat macam yaitu, Uniform pattern,
Advanced pattern, Intermediate pattern dan Deleyed pattern (Gambar 3.18).
Gambar 3.17. hyetograph hujan
Gambar 3.18 Pola Hyetograp
Umboro Lasminto III - 26
3.12. Intensitas dan Waktu Hujan
Hujan dengan intensitas besar umumnya terjadi dalam waktu yang pendek.
Hubungan intensitas dan waktu hujan banyak dirumuskan yang pada umumnya
tergantung dari parameter kondisi setempat.
Besarnya intensitas curah hujan itu berbeda-beda dan disebabkan oleh waktu
curah hujan dan frekwensi kejadiannya. Beberapa rumus intensitas hujan yang
berhubungan dengan hal ini disusun sebagai rumus-rumus empiris yang dapat
dituliskan sebagai berikut :
a. Untuk hujan dengan waktu kurang dari dua jam Prof. Talbot (1881)
menuliskan perumusan :
b t
a
I
+
= (3.16)
dimana :
I =intensitas hujan (mm/jam)
t =waktu hujan (jam)
a, b =konstanta yang tergantung keadaan setempat
b. Untuk hujan dengan waktu lebih dari dua jam Prof. Sherman (1905)
menuliskan perumusan :
n
t
c
I = (3.17)
dimana :
c, n =konstanta yang tergantung keadaan setempat
I =Intensitas hujan (mm/jam)
t =waktu hujan (jam)
c. Perkembangan perumusan ini dikemukakan pula oleh Dr. Ishigoro (1953)
yang ditulis sebagai berikut :
Umboro Lasminto III - 27
b t
a
I
+
= (3.18)
dimana :
I, t, a, b =sama dengan persamaan 3.16
Analisa dari perumusan pada persamaan (3.16); (3.17) dan (3.18) memerlukan
data hujan dengan waktu mulai dari pendek sampai kurang dari 24 jam (hujan
jam-jaman). Untuk data hujan harian perumusan di atas tidak bisa digunakan.
d. Mononobe menuliskan perumusan intensitas untuk hujan harian sebagai
berikut :
m
24
t
24
24
R
I
= (3.19)
dimana :
I =intensitas hujan (mm/jam)
R
24
=tinggi hujan maximum dalam 24 jam (mm)
t =waktu hujan (jam)
m =konstanta (=2/3)
Besarnya tinggi hujan yang dipakai dalam perumusan persamaan di atas selalu
dihubungkan dengan frekwensinya. Dari persamaan- persamaan di atas untuk
data tinggi hujan dengan frekwensi tertentu dapat digambarkan grafiknya.
3.13. Tinggi Hujan dan Waktu
Di Indonesia sebagian besar data hujan yang dipublikasikan adalah tinggi
hujan harian, sedangkan untuk perhitungan analisa hidrologi sering diperlukan tinggi
hujan dalam waktu kurang dari atau lebih dari satu hari. Di Indonesia dipergunakan
tiga macam perumusan untuk hujan dengan waktu lebih dari satu hari, kurang dari
satu hari dan kurang dari satu jam.
Umboro Lasminto III - 28
a. Tinggi hujan untuk hujan 1 10 hari
Haspers telah menyusun suatu rumus yang menggambarkan hubungan antara
tinggi dan waktu hujan untuk hujan 1 hari sampai 10 hari sebagai berikut :
( ) 206 6 t log 362
R
R 100
24
+ =
(3.20)
dimana :
t =banyaknya hari hujan
R =tinggi hujan (mm)
R
24
=tinggi hujan dalam 24 jam (mm)
24
R
R 100
=dalam prosen
Contoh 3.2.
Perkirakan besarnya hujan selama 4 hari dari data hujan R
24
=180 mm.
Penyelesaian :
hendak diperkirakan besarnya hujan dalam 4 hari maka dapat dituliskan
sebagai berikut :
Untuk t =4 hari, maka
24
R
R 100
=156 %
J adi : R
4
=R
24
x 1,56 =280,8 mm
b. Tinggi hujan untuk 1 24 jam
Rumus yang dipakai di Indonesia adalah :
3,12 t
t 11300
R
R 100
2
24
+
=
(3.21)
dimana :
R, R
24
=dalam mm
Umboro Lasminto III - 29
t =dalam jam
24
R
R 100
=dalam persen
Contoh 3.3.
Perkirakan tinggi hujan dalam 4 jam dari data hujan R
24
=240 mm.
Penyelesaian :
Tinggi hujan dalam 4 jam diperkirakan sebagai berikut :
untuk t =4 jam, maka :
24
R
R 100
=97,7 %
jadi R
4
=R
24
x 0,797 =191 mm
perumusan lain juga sering dipakai di Indonesia, adalah untuk menentukan
distribusi hujan tiap jamnya (methode rasional) dari data hujan harian.
Perumusannya dapat dituliskan sebagai berikut :
1. Perhitungan rata-rata hujan sampai jam ke t
3
2
24
t
t
5
5
R
R
= (3.22)
2. Perhitungan tinggi hujan pada jam ke t
( )
( ) 1 - t t
'
R 1 - t R t R = t (3.23)
dimana :
R
t
=rata-rata hujan sampai jam ke t (mm)
R
24
=tinggi hujan dalam 24 jam (mm)
R
t
=tinggi hujan pada jam ke t (mm)
t =waktu hujan (jam)
Umboro Lasminto III - 30
Contoh 3.4.
Perkirakan distribusi tinggi hujan untuk t =4 jam dari contoh 3.2,
Penyelesaian :
Pada jam ke 1 :
3
2
t
1
5
5
240
R
= =140.4 mm
( ) 0 * 1 - 1 140.4 * 1 R
'
= t =140.4 mm
Pada jam ke 2
3
2
t
2
5
5
240
R
= =88.4 mm
( ) 140.4 * 1 - 2 88.4 * 2 R
'
= t =36.4 mm
Pada jam ke 3
3
2
t
3
5
5
240
R
= =67.5 mm
( ) 88.4 * 1 - 3 67.5 * 3 R
'
= t =25.7 mm
Pada jam ke 4
3
2
t
4
5
5
240
R
= =55.7 mm
( ) 67.5 * 1 - 4 55.7 * 4 R
'
= t =20.3 mm
Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Perhitungan distribusi tinggi hujan
t (jam) R
t
(mm) R
t
(mm)
1
2
3
4
140.4
88.4
67.5
55.7
140.4
36.4
25.7
20.3
Umboro Lasminto III - 31
c. Tinggi hujan untuk hujan 0 1 jam
Rumus yang dipakai di Indonesia adalah sebagai berikut :
b R
R a
R
24
24
+
= (3.24)
dimana :
R, R
24
=dalam mm
a, b =konstanta yang untuk hujan dengan waktu tertentu besarnya
seperti pada Table 3.7.
Tabel 3.7 Harga a, b dalam persamaan 3.24
t(menit) a b t (menit) a b
1
5
10
15
20
25
30
5,85
29,1
73,8
138
228
351
524
21,6
116
254
424
636
909
1272
35
40
45
50
55
59
774
1159
1811
3131
7119
39083
1781
2544
3816
6360
13990
75048
Contoh 3.5.
Perkirakan besarnya hujan dengan waktu 30 menit dari data hujan harian R
24
=140 mm.
Penyelesaian :
Untuk t =30 menit, maka dari Tabel 3.7. diperoleh : a =524 dan b =1272
J adi : mm 52
1272 140
140 * 524
R =
+
=
Umboro Lasminto III - 32
Bila harga-harga tinggi hujan harian yang dipakai dalam rumusan hubungan
antara tinggi hujan dan lama hujan adalah tinggi hujan maximum dengan
bermacam-macam frekwensi, atau periode ulang (T), maka hubungan-
hubungan ini dapat digambarkan grafiknya. Selain dari pada itu hubungan
antara tinggi hujan dan waktu hujan masih dapat juga dikaitkan hubungannya
dengan luas daerah aliran.
3.14. Frekwensi Hujan
Frekwensi hujan adalah kemungkinan terjadi atau dilampainya suatu tinggi
hujan tertentu dalam massa tertentu pula, yang juga disebut sebagai massa ulang
(return periode).
Hujan dengan tinggi tertentu disamai atau dilampaui 5 kali dalam pengamatan
data selama 50 tahun, ini berarti tinggi hujan tersebut rata-rata mempunyai frekwensi
atau periode ulang sekali dalam 10 tahun. Bukan berarti setiap 10 tahun sekali
(interval 10 tahun) akan terjadi tinggi hujan yang sama atau dilampaui, tetapi rata-rata
dalam 50 tahun terjadi 5 kali peristiwa disamai atau dilampaui. Frekwensi hujan ini
dapat berupa harga-harga tinggi hujan maksimum atau tinggi hujan minimum.
Biasanya tinggi hujan yang maksimum dan minimum yang pernah terjadi
selama pengamatan atau pengukuran bukanlah merupakan tinggi hujan ekstrim
maksimum ataupun minimum. Lebih-lebih kalau periode pengamatan pendek, hingga
tidak didapatkan harga-harga tinggi hujan maksimum atau minimum yang
sebenarnya. Bahkan dengan periode pengamatan yang lamapun harga-harga extrim
yang sebenarnya tidak juga dapat terukur. Tinggi hujan ekstrim maksimum dan
minimum ini dapat didekati dengan analisa statistik dari data pengamatan yang
terkumpul.
Umboro Lasminto III - 33
3.15. Tinggi Hujan Rencana
Dalam merencanakan suatu bangunan air atau merancang proyek-proyek
Pengembangan Sumber-sumber Air (PSA) dipakai suatu tinggi hujan tertentu sebagai
dasar untuk menentukan dimensi suatu bangunan. Hal ini dilakukan karena hujan
akan menyebabkan aliran permukaan yang nantinya lewat bangunan yang
direncanakan, misalnya gorong-gorong pada jalan raya, weir pada daerah irigasi,
spillway pada dam reservoir air dan lain sebagainya. Hujan yang dipakai dasar design
bangunan seperti di atas disebut sebagai Tinggi Hujan Rencana.
Harga tinggi hujan rencana tergantung dari besar kecilnya bahaya dan
kerugian yang dapat ditimbulkan oleh suatu kegagalan bangunan sehingga resiko
yang diambil berbeda-beda. Bila kegagalan bangunan akan menyebabkan kerugian
yang besar maka untuk perencanaan biasanya diambil tinggi hujan rencana yang
mendekati harga extrim maximum, karena resiko yang kita ambil adalah kecil.
Sedang kalau kegagalan bangunan hanya menimbulkan kerugian yang tidak begitu
besar, maka diambil resiko yang lebih besar dengan mengambil tinggi curah hujan
rencana yang lebuh kecil dari harga ekstrim maksimum.
Umboro Lasminto III - 34
3.16. Latihan
1. Dalam suatu daerah aliran terdapat lima stasiun penakar hujan dengan data hujan
normal tahunan adalah 700, 620, 430 dan 340 mm. Hitung jumlah stasiun
penakar hujan yang harus ditambahkan dengan batas kesalahan untuk hujan rata-
rata daerah aliran adalah 10 %.
2. Hitunglah perkiraan besarnya hujan selama 3 hari dari sebuah data hujan harian
R
24
=130 mm.
3. Perkirakan distribusi tinggi hujan untuk t =5 jam dari harian R
24
=130 mm
4. Perkirakan besarnya hujan dengan waktu 20 dan 45 menit dari data hujan harian
R
24
=130 mm.