Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia mempunyai beberapa rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga hidung. Rongga rongga ini diberi nama sinus yang kemudian diberi nama
sesuai dengan letaknya : sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan
sinus ethmoidalis ( sinus paranasalis ).
1
Sinus maxillaris merupaka sinus paranasalis yang terbesar. Sinus ini sudah
ada sejak lahir dan mencapa ukuran maksimum ( + 15 ml ) pada saat dewasa. Dari
segi klinis yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah :
1. Dasar sinus maxillaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2
2. Ostium sinus maxillaris lebih tinggi dari dasarnya
Sinus Frontalis mulai berkembang dari sinus ethmoidalis anterior pada
usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.
1
Sinus ethmoidalis merupakan kelompok dari sel ethmoidalis anterior dan
posterior yang saling berhubungan dan kemudian bermuara dalam rongga hidung.
Sinus ini sudah ada sejak anak lahir. Sinus ini dianggap paling penting karena
dapat menjadi fokus infeksi bagi sinus paranasalis yang lainnya.
1
Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun.
Sinus paranasalis ini mempunyai fungsi
1. Pengatur kondisi udara
2. Thermal insulators
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mucus
Peradangan pada sinus sinus tersebut dapat menyebabkan gangguan dengan gejala
klinis tertentu.
1



2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL


Gambar 1. Anatomi sinus paranasal
(Graaf VD. Human anatomy. 6th ed. USA: McGraw-Hill; 2001.)

Sinus membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama
sesuai dengan letaknya, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis
dan sinus etmoidalis. Ada dua golongan besar sinus paranasalis, yaitu golongan
anterior sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, dan
sinus maksilaris. Serta golongan posterior sinus paranasalis, yaitu sinus etmoidalis
posterior dan sinus sfenoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran
pernafasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan
3

bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat sinus
terutama berisi udara.
1,2


Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris (Antrum of Highmore) adalah sinus yang pertama
berkembang. Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran.
Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun
dan 7-12 tahun. Sepanjang pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang
rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya
dapat sangat luas sampai akar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan
halus yang mencakup mereka.
1,2
Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai
volume kira-kira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida ini adalah dinding
nasal dengan puncak yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding
anterior mempunyai foramen intraorbital yang berada pada bagian midsuperior
dimana nervus intraorbital berjalan di atas atap sinus dan keluar melalui foramen
ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fossa canina. Atap
dibentuk oleh dasar orbita dan di transeksi oleh n.infraorbita. dinding posterior
tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris
dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina
mayor dan foramen rotundum. Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak
lahir sampai umur 9 tahun dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada
umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum sama dengan dasar nasal. Dasar sinus
berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris. Oleh karena itu berhubungan
dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitu premolar dan molar.
3
Cabang dari a.maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk
infraorbita, cabang a.sfenopalatina, a.palatina mayor, v.aksilaris dan v.jugularis
system dural sinus. Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari N.V.2
yaitu n.palatina mayor dan cabang dari n.infraorbita.
Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial
sinus. Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum
4

etmoid, atau disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-
rata 2,4 mm tapi dapat bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi
di belakang processus uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.
Dari segi klinis yang penting diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
permolar (P1 dan P2), molar (M1, M2 dan M3), dan caninus (C), bahkan
akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi
gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Ostium sinus maksila terletk lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia. Drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum yaitu bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.
1


Sinus Etmoidalis

Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru
dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel
posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidak
dapat dilihat dengan sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-
angsur menipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi
dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah
anterior diatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka
bullosa.
1,4
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x
14 mm). Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi sel multipel oleh
sekat yang tipis. Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting.
Sebelah anterior posterior agak miring (15
o
). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk
oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral
5

dan sebelah medial agak miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan
berat antara atap medial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
1,2


Gambar 2. Sinus Paranasal
(Graaf VD. Human anatomy. 6th ed. USA: McGraw-Hill; 2001.)

Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna
dimana a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya
mengikuti arterinya. Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi
bagian superior sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. persarafan parasimpatis
melalui n.vidianus, sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal.
1,2
Sel di bagian anterior menuju lamela basal. Pengalirannya ke meatus
media melalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke meatus
superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya
lebih sedikit dalam jumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan dengan
sel bagian anterior.
2
Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral
inferiornya, dan tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris.
Ini merupakan sel etmoid anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid
perkembanganya mendahului sinus. Dinding anterior dibentuk oleh prosesus
6

uncinatus, dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila dan lamina
papyracea.
1

Sinus Frontalis

Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian
besar sel-sel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saat
kelahiran dan mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai
usia 5 tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun.
2
Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). anatomi sinus frontalis
sangat bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong.
dinding posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium
anterior lebih tipis dan dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap
rongga mata.
1,2
Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui
a.supraorbita dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica
superior menuju sinus kavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding
posterior yang mengalir ke sinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n
V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang supraorbita dan
supratrochlear.
1,2

Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong rongga
hidung. Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak
berkembang sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela
turcica. Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.
1
Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan
volume 7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis,
sangat bervariasi. Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak
posterosuperior dari rongga hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi
ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm).
dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya
7

tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke
recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm) dan letaknya 10
mm di atas dasar sinus.
1,2
Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian
lainnya mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui
v.maksilaris ke v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh
cabang n V.1 dan V.2. n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan
mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar
sinus.
1,2

Mukosa Sinus Paranasal

Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
berkesinambunagn dengan mukosa di rongga hidung. Epitel sinus ini lebih tipis
dari epitel hidung. Ada 4 tipe sel dasar, yaitu epitel torak bersilia, epitel torak
tidak bersilia, sel basal dan sel goblet. Sel-sel bersilia memiliki 50-200 silia per
sel. Data penelitian menunjukan sel ini berdetak 700-800 kali per menit, dan
pergerakan mukosa pada suatu tingkat 9 mm per menit.
3
Sel tidak bersilia ditandai oleh mikrovili yang menutupi daerah apikal sel
dan berfungsi untuk meningkatkan area permukaan. Ini penting untuk
meningkatkan konsentrasi dari ostium sinus. Fungsi sel basal belum diketahui.
Beberapa teori menjelaskan bahwa sel basal dapat bertindak sebagai suatu sel
stem. Sel goblet memproduksi glikoprotein yang berfungsi untuk viskositas dan
elastisitas mukosa. Sel goblet dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis
dimana rangsangan saraf parasimpatis menhasilkan mukus yang kental dan
rangsangan saraf simpatis bekerja sebaliknya. Lapisan epitel disokong oleh suatu
dasar membran yang tipis, lamina propia, dan periosteum.
1,2

Kompleks Osteo-Meatal (KOM)

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang
8

terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.
1,2

Gambar 3. Kompleks Osteo-Meatal
(Probes Rudolf, Grevers Gerhard, Iro Heinrich. Basic Otorhinolaryngology. Verlag:
Thieme; 2006)

2.2 FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan fungsi dari sinus
paranasal. Teori ini meliputi fungsi dari kelembaban udara inspirasi, membantu
pengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan
imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak,
membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan
muka.
3
A. Mengatur Kelembaban Udara Inspirasi
Menurut beberapa teori walaupun mukosa hidung telah beradaptasi
untuk melakukan fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan
mukosa dan kemampuannya untuk menghangatkan. Beberapa peneliti
memperlihatkan bahwa bernafas dengan mulut dapat menurunkan volume
9

akhir CO2 yang dapat meningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada
sleep apnea.
3
Meskipun sinus dianggap dapat berfungsi sebagai ruang tambahan
untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori
ini memiliki kelemahan karena tidak didapati pertukaran udara yang
definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus. Selain itu mukosa sinus juga tidak memiliki vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
3,4
B. Penyaringan Udara
Oleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada
pertahanan imun atau penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung.
Hidung dan mukosa sinus terdiri dari sel silia yang berfungsi untuk
menggerakan mukosa ke koana. Penelitian yang paling terbaru pada fungsi
sinus berfokus pada molekul Nitrous Oxide (NO). studi menunjukkan
bahwa produksi NO intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah kita
ketahui bahwa NO bersifat racun terhadap bakteri, jamur dan virus pada
tingkatan sama rendah 100 ppb. Konsentrasi ini dapat menjangkau 30.000
ppb dimana beberapa peneliti sudah berteori tentang Mukus yang
dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel
yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari
meatus medius, merupakan tempat yang paling strategis.
3,4
C. Fungsi Sinus Lainnya
Sinus diyakini dapat membantu keseimbangan kepala karena
mengurangi berat tulang muka, namun bila udara dalam sinus digantikan
dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebanyak 1%
dari berat kepala, sehingga dianggap tidak bermakna. Sinus juga dianggap
berfungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara apabila ada
10

perubahan tekanan yang besar dan mendadak seperti pada saat bersin atau
membuang ingus.
3
Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa
peneliti mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebgai indra
penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama
sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Namun menurut penelitian lainnya,
etmokonka manusia telah menghilang selama proses evolusi. Sinus
mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang menyatakan bahwa
posisi sinus dan dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
sebagai resonator yang efektif.
1,2

2.3 SINUSITIS
Definisi
Secara klinis sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus
paranasal dengan karakteristik memiliki dua gejala atau lebih dengan salah satu
gejalanya berupa sumbatan pada hidung atau adanya discharge nasal (anterior atau
posterior nasal drip) dengan gejala tambahan yang bisa ada maupun tidak berupa :
a) Nyeri pada wajah
b) Penurunan atau hilangnya kemampuan penghidu
c) Pada anak biasanya disertai dengan keluhan batuk
Tanda yang didapat dari endoskopi adalah ditemukannya :
a) Polip hidung
b) Sekret mukopurulen yang keluar dari meatus medius
c) Edema mukosa terutama mukosa di meatus medius
Dari gambaran radiologis akan terlihat adanya perubahan pada mukosa kompleks
osteomeatal maupun mukosa sinus itu sendiri.
3



11

Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi untuk terjadinya sinusitis antara
lain ISPA akibat virus, bermacam-macam rhinitis terutaa rhinitis alergi, rhinitis
hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi
septum atau hipertrofi konka, sumbata kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi
tonsil, infeksi gigi, kelianan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma
katagner, serta penyakit fibrosis kistik.
6
Pada anak hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya.
Faktor lain yang juga berperan adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering, serta merokok yang secara keseluhan akan menyebabkan perubahan
pada mukosa dan merusak silia.
6,7

Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
7
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi yang mulanya berbentuk serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
8
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjdi
purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan
terapi antibiotik.
8
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena faktor predisposisi), inflamasi
akan berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin
12

membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya
mukosa menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip atau kista. Pada
keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
9


Mikrobiologi
Sinusitis dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, maupun jamur. Virus
yang paling banyak menyebabkan terjadinya sinusitis adalah Rhinovirus dan
Corona Virus. Virus lain yang biasanya dapat menyebabkan sinusitis adalah virus
influenza, virus parainflurnza, adenovirus, respiratory syncytial virus, dan
enterovirus. Infeksi virus pada nasal dan sinus akan menyebabkan perubahan
multipel pada sel-sel epitelial berupa peningkatan jumlah sel goblet, dan
mengurangi silia yang menyebabkan obstruksi pada ostium sinus sehingga
meningkatkan tekanan pada ruang sinus yang mengakibatkan akumulasi mukus
sehingga akan memudahkan adhesi bakteri sehingga meningkatkan faktor risiko
untuk terjadinya sinusitis bakterial.
9

Dalam kadaan normal epitel akan mencegah bakteri untuk bermultiplikasi di
dalmnya. Namun, karena beberapa hal seperti gangguan dalam klirens mukosiliar,
alergi, laringifaringeal reflux, pemasangan endotraceal tube dan nasogastric tube,
serta infeksi virus akan menyebabkan bakteri mudah bermultiplikasi di epitel
nasal dan sinus. Bakteri yang paling banyak menyebabkan sinusitis adalah S.
pneumoniae, Hemophilus influenza, dan M. catarhalis yang ketiganya dikenal
dengan sebutan infernal trio serta S. aureus.
9,10
Satu lagi miroorganisme penyebab sinusitis selain virus dan bakteri adalah
jamur. Sinusitis jamur paling sering disebabkan oleh spesies candida dan
aspergilus. Kejadian sinusitis jamur timbul akibat adanya faktor predisposisi
antara lain pemakain antibiotik, kortikosteroid, diabetes melitus, neutropenia,
AIDS, dan perawatan yang lama di rumah sakit.
9




13

Gejala Klinis
1. Sinusitis akut ( beberapa hari sampai 4 minggu. Subakut : 4 minggu sampai 3
bulan)
Sinusitis maksillaris
a) Demam, malaise
b) Nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian aspirin.
Sakit dirasa mulai dari pipi ( di bawah kelopak mata ) dan menjalar ke
dahi atau gigi. Sakit bertambah saat menunduk.
c) Wajah terasa bengkak dan penuh
d) Nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada palpasi dan
perkusi.
e) Kadang ada batuk iritatif non-produktif
f) Sekret mukopurulen yang dapat keluar dari hidung dan kadang berbau
busuk
g) Adanya pus atau sekret mukopurulen di dalam hidung, yang berasal dari
metus media, dan nasofaring.
11


Sinusitis ethmoidalis
a) Sering bersama dengan sinusitis maksilaris dan sinusitis frontalis
b) Nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung
menjalar ke arah temporal
c) Nyeri sering dirasakan di belakang bola mata dan bertambah apabila mata
digerakkan
d) Sumbatan pada hidung
e) Pada anak sering bermanifestasi sebagai selulitis orbita karena lamina
papiracea anak seringkali merekah
f) Mukosa hidung hiperemis dan udem
g) Adanya pus dalam rongga hidung yang berasal dari meatus media.
11




14

Sinusitis frontalis
a) Hampir selalu bersamaan dengan sinusitis ethmoidalis anterior
b) Nyeri kepala yang khas di atas alis mata. Nyeri biasanya pada pagi hari,
memburuk pada tengah hari dan berangsur angsur hilang pada malam hari.
c) Pembengkakan derah supraorbita
d) Nyeri hebat pada palpasi atau perkusi daerah sinus yang terinfeksi.
11


Sinusitis sphenoidalis
a) Nyeri kepala dan retro orbita yang menjalar ke verteks atau oksipital.
11


2. Sinusitis kronis (lebih dari 3 bulan)
a) Postnasal drip
b) Rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
c) Pendengaran terganggu karena oklusi tuba eustachii
d) Nyeri atau sakit kepala
e) Infeksi pada mata yang menjalar dari duktus nasolakrimalis
f) Gastroenteritis ringan pada anak akibat mukopus yang tertelan.
11



Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maksila , etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
etmoid posterior dan sfenoid).
12
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering
ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
12



15

Pemeriksaan penunjang
a. Rontgen sinus paranasalis
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa
1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
dilihat pada foto waters.
Bagaimanapun juga, harus diingat bhwa foto SPN 3 posisi (Waters,
PA, Lateral) ini memiliki kekurangan dimana kadang kadang bayangan bibir
dapat dikacaukan dengan penebalan mukosa sinus.
12

b. Transiluminasi
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya
Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis
(sinus penuh dengan cairan).
12

c. CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang
paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya yang
relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut.
Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT Scan menggunakan dosis
radiasi yang sangat besar yang berbahaya bagi mata.
12

d. Sinuscopy
Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi
akurat tentang perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam
sinus, dan letak dan keadaan dari ostium sinus.
Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu
keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.
12


16

e. Pemeriksaan mikrobiologi
Biakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya
lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian
anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih
sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan menapirasi pus
dari ingus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik yang sesuai
untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.
12

Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akuat atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut.
11
Komplikasi yang dapat terjadi ialah :
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis
akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita
dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
11,12
Terdapat lima tahapan:
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata
17

yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses
orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk
suatu tromboflebitis septik.
11,12

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
1. Oftalmoplegia.
2. Kemosis konjungtiva.
3. Gangguan penglihatan yang berat.
4. Kelemahan pasien.
5. Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus
yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI,
serta berdekatan juga dengan otak.

2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul
dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris,
sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak
berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat
membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya.
Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau
fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus
sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan
penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama
dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk
mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase
yang baik atau obliterasi sinus.
11,12

18

3. Komplikasi Intra Kranial
A. Meningitis akut
Salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti
lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
B. Abses dura,
adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul
lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan
sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan
intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan
arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama
dengan abses dura.
C. Abses otak
Setelah sistem vena, mukoperiosteum sinus dapat terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke
dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang
intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami
abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
11,12

4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat
sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan
menggigil.
11,12


19

5. Kelainan paru
Seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang
sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
11,12

Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan Primer
Dan Dokter Spesialis Non-THT
Diagnosis
- Berdasarkan gejala, pemeriksaan radiologis tidak diperlukan
(foto polos sinus paranasal tidak direkomendasikan)
- Gejala kurang dari 12 minggu
- Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/ posterior)
- Ada atau tidak nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Ada atau tidak penurunan/ hilangnya penghidu dengan interval
bebas gejala bila terjadi rekurensi dengan anamnesis tentang
gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal
dan mata gatal serta berair.
- Common cold/ rinosinusitis viral akut yaitu lamanya gejala < 10
hari
- Rinosinusitis non-viral akut yaitu perburukan gejala setelah 5
hari atau gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit < 12
minggu.
12



20


Gambar 4. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk
Pelayanan Kesehatan Primer
(Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012)






21

2. Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis
THT
Diagnosis
Gejala
- Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satu termasuk
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/ posterior)
- Ada atau tidak nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Ada atau tidak penurunan/ hilangnya penghidu
Pemeriksaan
- pemeriksaan hidung (edema, hiperemis, pus)
- pemeriksaan mulut (post nasal drip)
- singkirkan infeksi gigi Pemeriksaan THT termasuk
Nasoendoskopi
Pencitraan (Foto polos sinus paranasal tidak direkomendasikan)
Tomografi komputer juga tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:
- penyakit sangat berat
- pasien imunokompromais (penurunan imunitas)
- tanda komplikasi.
12











22


Gambar 5. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk
Dokter Spesialis THT
(Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012)

3. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa Polip Hidung
Pada Dewasa Untuk Pelayanan Primer Dan Dokter Spesialis Non-THT
Diagnosis
- Gejala lebih dari 12 minggu
- Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/ posterior)
- Ada atau tidak nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Ada atau tidak penurunan/ hilangnya penghidu dengan anamnesis
tentang gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata gatal
dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan
23

alergi. (Foto polos sinus paranasal/ tomografi komputer tidak
direkomendasikan).
12



Gambar 6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa
Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer Dan Dokter
Spesialis Non THT
(Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012)







24

4. Terapi Bedah Untuk Rinosinusitis
Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena
operasi diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon
yang adekuat terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah
khusus dalam melaksanakan studi operatif, karena operasi sangat sulit
untuk diprediksi atau distandarisasi, terutama pada penelitian multisenter,
dan tipe penatalaksanaan sulit dibuat. Meskipun demikian diindikasikan
pada:
a) Rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat dan
komplikasi yang berhubungan.
b) Pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat yang
manfaat dari operasi sinus
c) Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi
dilaksanakan kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun
d) Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan
medikamentosa yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi
operasi sinus seharusnya dicadangkan untuk pasien yang tidak
memberikan respon memuaskan terhadap pengobatan
medikamentosa. (level Ib)
e) Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan
prosedur konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum
(Level Ib), tetapi superioritas terhadap antrostomi meatus inferior
atau sfenoetmoidektomi belum terbukti
f) Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi,
operasi yang lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan prosedur operasi yang terbatas (level Ib). Walaupun
bukan berbasis bukti, perluasan operasi biasanya disesuaikan
terhadap perluasan penyakit, yang merupakan pendekatan secara
rasional. Pada bedah sinus paranasal primer, direkomendasikan
bedah secara konservatif.
25

g) Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan
medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum
diobservasi pada pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan
tanpa polip, walaupun perbaikannya kurang dibandingkan setelah
operasi primer. Angka komplikasi dan terutama resiko rekurensi
penyakit lebih tinggi dibandingkan operasi primer.
12


5. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada
Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT
Diagnosis
- Gejala lebih dari 12 minggu
- Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior):
- Ada atau tidak nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Ada atau tidak penurunan/ hilangnya penghidu
Pemeriksaan
- Nasoendoskopi, tidak terlihat adanya polip di meatus medius, jika
diperlukan setelah pemberian dekongestan. (Definisi ini menerima bahwa
terdapat spektrum dari rinosinusitis kronik termasuk perubahan polipoid
pada sinus dan/ atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit
polipoid yang terdapat pada rongga hidung untuk menghindari tumpang
tindih).
- melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan
kesehatan primer
- mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila
belum dilakukan
- Penatalaksanaan harus berdasarkan keparahan gejala
- Tentukan tingkat keparahan gejala menggunakan VAS.
12


26


Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada
Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT
(Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012)


5. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung Pada
Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT
Diagnosis
- Gejala selama lebih dari 12 minggu
- Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior)
- Ada atau tidak nyeri wajah / rasa tertekan di wajah
- Ada atau tidak penurunan/ hilangnya penghidu
27

Pemeriksaan
- Nasoendoskopi polip bilateral yang terlihat dari meatus
medius dengan menggunakan endoskopi
- Melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari
pelayanan kesehatan primer
- Mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes
alergi bila belum dilakukan
- Tingkat Keparahan Gejala (dinilai berdasar skor VAS)
ringan/ sedang/ berat.
12


Gambar 8. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip
Hidung Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT
(Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012)

28

7. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Anak
Diagnosis
Gejala
- Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/ posterior)
- Ada atau tidak nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Ada atau tidak penurunan/ hilangnya penghidu
Pemeriksaan (jika dapat dilakukan)
- pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus
- pemeriksaan mulut: post nasal drip
- singkirkan infeksi gigi geligi Pemeriksaan THT termasuk
nasoendoskopi
Pencitraan (foto polos sinus paranasal tidak disarankan) Tomografi
komputer juga tidak disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini:
- Penyakit parah
- Pasien imunokompromais
- Tanda komplikasi berat (orbita & intrakranial).
12














29


Gambar 9. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak
(Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012)





30



8. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Pada Anak
Diagnosis
- Gejala selama lebih dari 12 minggu
- Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/
posterior)
- Ada atau tidak nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Ada atau tidak penurunan/ hilangnya penghidu
Informasi diagnostik tambahan
- pertanyaan tentang alergi harus ditambahkan, tes alergi harus
dilakukan
- faktor predisposisi lain harus dipertimbangkan: defisiensi imun
(dapatan, innate, GERD)
Pemeriksaan
- pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus
- pemeriksaan mulut: post nasal drip
- singkirkan infeksi gigi geligi Pemeriksaan THT termasuk
nasoendoskopi
Pencitraan
(foto polos sinus paranasal tidak disarankan) Tomografi komputer juga
tidak disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini:
- penyakit parah
- pasien imunokompromais
- tanda komplikasi berat (orbita & intrakranial) Pengobatan
haruslah berdasarkan tingkat keparahan sakitnya.
12


31



Gambar 10. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak
(Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012)








32

BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis merupakan inflamasi pada hidung dan sinus paranasal dengan
karakteristik memiliki dua gejala atau lebih dengan salah satu gejalanya berupa
sumbatan pada hidung atau adanya discharge nasal (anterior atau posterior nasal
drip) dengan gejala tambahan yang bisa ada maupun tidak berupa nyeri pada
wajah, penurunan atau hilangnya kemampuan penghidu, pada anak biasanya
disertai dengan keluhan batuk. Sinus maksilaris merupakan tempat utama yang
mudah terkena sinusitis terutama karena letak anatomis dan bentuknya. Kesehatan
sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Gejala klinis sinusitis
beragam sesuai dengan letak sinus yang terkana. Penatalaksanaanya disesuaikan
dengan onset, derajat keparahan dan dokter yang menangani nya baik dokter
umum maupun dokter spesialis THT-KL.
















33

DAFTAR PUSTAKA

1. Probes Rudolf, Grevers Gerhard, Iro Heinrich. Basic Otorhinolaryngology.
Verlag: Thieme; 2006
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, & Leher. Edisi VI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2007
3. Sherwood L. Telinga : Pendengaran dan Keseimbangan. Dalam : Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC. 2006.
4. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 1997.
5. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic otorhinolaryngology: a step-by-step
learning guide. New York: Thieme; 2006.
6. Graaf VD. Human anatomy. 6th ed. USA: McGraw-Hill; 2001.
7. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di
RSUP H. Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala,
dan Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. 2006.
8. Mehra P, Murad H. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic Origin.
Otolaryngologic Clinic of North America. 2004.
9. Saragih AR. Rinosinusitis Dentogen. Dept. THT FK USU. Odentika Dental
Jurnal Vol.12 No.1; 2007.
10. Becker W, Naumann HH, Pfalfz CR. A Pocket Reference Ear, Nose, and
Throat Disease. Second Revised Edition. New York : Thiemes; 2004.
11. Soetirto I, Hendamin H, Bashiruddin J. Ganguan Pendengaran. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidunng, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
ke-6. Editor : Soepardi EA, Iskandar N. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007.
12. Lund Fokkens WJ, Bachert Mullol J, et al.European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinologic Society; 2012

Anda mungkin juga menyukai