Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia dalam arti umum adalah peradangan parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit. Namun, pneumonia juga dapat
disebabkan oleh bahan kimia atau karena paparan fisik seperti suhu atau radiasi.
Peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh penyebab selain
mikroorganisme (fisik, kimiawi, alergi) sering disebut sebagai pneumonitis
.(1)

Badan kesehatan dunia (WHO atau word health organization) tahun 2005
menyatakan, kematian balita akibat pneumonia di seluruh dunia sekitar 19% atau
berkisar 1,6 - 2,2 juta dari seluruh kematian dan sekitar 70% terjadi di negara-
negara berkembang, terutama di afrika dan asia tenggara.
(2)

Di Indonesia, laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) nasional
tahun 2013 menunjukan bahwa period prevalence tahun 2013 sebesar 1,8 % dan
4,5 %. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia
tertinggi untuk balita adalah Nusa Tenggara Timur (38,5), Aceh (35,6),
Bangka Belitung (34,8), Sulawesi Barat (34,8), dan Kalimantan Tengah
(32,7). Insiden tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23
bulan (21,7).
(3)


KONVERSI ANGKA KEMATIAN BALITA PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
TAHUN 2008 2012

Sumber : Profil Kabupaten/Kota tahun 2012
(4)


Sementara data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Belu Kota Atambua,
pada tahun 2013 untuk 33 puskesmas 174 untuk kasus pneumonia dan pneumonia
berat di daerah Kabupaten Belu dan Malakka tetapi untuk Kabupaten Belu itu
sendiri yang terbanyak terdapat pada Puskesmas Haekesak dengan golongan < 1
tahun dan 1 - 4 tahun jumlah kasusnya 22,46% dan Puskesmas kota Atambua
dengan golongan < 1 tahun dan 1 - 4 tahun jumlah kasusnya 11,69%.
(5)
Anak-anak dari ibu yang kurang berpendidikan umumnya memiliki angka
kematian yang lebih tinggi dari pada mereka yang lahir dari ibu yang lebih
berpendidikan. Selama kurun waktu 1998-2007, angka kematian bayi pada anak-
anak dari ibu yang tidak berpendidikan adalah 73 per 1.000 kelahiran hidup,
0
5
10
15
20
2008
2009
2010
2011
2012
Series 1
Series 1
sedangkan angka kematian bayi pada anak-anak dari ibu yang berpendidikan
menengah atau lebih tinggi adalah 24 per 1.000 kelahiran hidup. Perbedaan ini
disebabkan oleh perilaku dan pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik di
antara perempuan-perempuan yang berpendidikan.
(6)

Tingginya angka kejadian penyakit pneumonia di Puskesmas Haekesak
bisa disebabkan antara lain karena tingkat pengetahuan yang rendah dari ibu-ibu
yang mempunyai balita dengan penyakit pneumonia di Puskesmas Haekesak
tersebut. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa tingginya angka kejadian
penyakit pneumonia dikarenakan kurangnya gambaran pengetahuan ibu tentang
penyakit pneumonia. Apabila seorang ibu mempunyai pengetahuan yang baik
maka jika balitanya mengalami penyakit pneumonia akan mudah untuk mengatasi
permasalahan dan menanganinya dan begitupun sebaliknya apabila ibu dengan
pengetahuannya yang rendah akan sulit mengatasi permasalahan dan
penanganannya apabila balitanya mengalami penyakit pneumonia.
Dan berdasarkan penelitian sebelumnya yang berjudul Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Ibu Balita Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Pneumonia
Di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Tahun 2013. dan hasil penelitiannya
menunjukan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu balita tentang pencegahan
penyakit pneumonia dalam perilaku mencegah penyakit pneumonia dalam wilayah
kerja tersebut.
(7)

Studi pendahuluan telah dilakukan oleh peneliti menggunakan kuesioner,
pada ibu yang membawa balitanya pada bulan Februari 2010 ke Puskesmas
Bangetayu Semarang. Dari 20 ibu yang membawa anaknya ke Puskesmas terdapat
3 orang ibu yaitu 15% yang mempunyai pengetahuan baik mengenai ISPA
pneumonia, 7 orang ibu yaitu 35% yang mempunyai pengetahuan cukup serta 10
orang ibu yaitu 50% yang mempunyai pengetahuan yang kurang tentang ISPA
pneumonia.
(8)

Sehubungan dengan beberapa uraian tersebut, penulis tertarik mengadakan
peneliti untuk memberikan informasi lebih lanjut mengenai hubungan antara
tingkat pengetahuan ibu dengan angka kejadian pneumonia pada balita di
Puskesmas Haekesak kota Atambua tahun 2014
1.2 Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah Adakah
Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Angka Kejadian
Penyakit Pneumonia pada Balita di Puskesmas Haekesak Kota Atambua
Tahun 2014?
1.3 Batasan masalah
Ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti adalah mencari Hubungan
antara tingkat pengetahuan ibu dengan Angka Kejadian Penyakit
Pneumonia pada Balita di Puskesmas Haekesak Kota Atambua Tahun
2014.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan ibu dengan angka kejadian penyakit pneumonia pada
balita di Puskesmas Haekesak Kota Atambua tahun 2014.


1.4.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit
pneumonia pada balita ( 1 - 4 tahun ) di Puskesmas Haekesak
Kabupeten Belu tahun 2014.
2. Mengetahui insiden dan prevalensi penyakit pneumonia pada balita
( 1 - 4 tahun ) di Puskesmas Haekesak Kabupeten Belu tahun 2014.
3. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan angka
kejadian penyakit pneumonia pada balita ( 1-4 tahun ) di Puskesmas
Haekesak Kabupeten Belu tahun 2014.
4. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA
pneumonia berdasarkan tingkat pendidikan, berdasarkan tingkat
umur dan berdasarkan tingkat sosial ekonomi
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Universitas Nusa Cendana khususnya Fakultas Kedokteran
Dapat memberikan sumbangan pikiran dan memberikan literature
tambahan bagi instansi pendidikan khususnya instansi kesehatan
terutama untuk materi perkuliahan dan memberikan gambaran serta
informasinya bagi penelitian selanjutnya.
1.5.2 Responden
Diharapkan hasil penelitian ini dapat mengetahui pemahaman ibu
tentang penyakit ISPA pneumonia pada balita melalui kuisioner,
yang kita berikan kepada ibu yang membawa balitanya ke
Puskesmas-puskesmas terdekat khususnya puskesmas Haekesak.
1.5.3 Puskesmas
Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas, mengenai tingkat
pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA pneumonia Puskesmas
Haekesak Kabupaten Belu. Diharapkan Puskesmas Haekesak dapat
memberikan promosi kesehatan pada ibu yang membawa balitanya
periksa.
1.5.4 Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Belu
dalam mengimplementasikan suatu kebijakan khususnya kebijakan
penanganan penyakit pneumonnia di puskesmas dalam upaya
pengendalian penyakit pneumonnia khususnya pada balita, dengan
harapan dapat menurunkan incidencerate kasus pneumonia di masa
mendatang.










BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Pneumonia sering kali dipercaya
diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri.
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dan pneumonia
viral. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan
perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia
bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan
perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.
(9)
2.1.2 Etiologi Pneumonia
Sebagian besar penyebab utama Pneumonia adalah bakteri yang di dapat
dari masyarakat dan nasokomial Price. Kemudian timbul secara primer atau
sekunder setelah infeksi virus. Adapun penyebab terjadinya Pneumonia dari
masyarakat antara lain adalah: Streptococus pneumonia, mycoplasma pneumonia,
haemophilus influenza, legionella pneumophilia, clhamydia pneumonia, anaerob
oral (aspirasi), influenza tipe A dan B, dan sedangkan dari nasokomial antara lain
adalah: basil usus geram negatif (misal: escherichia coli, klobsiella pneumonia),
pseudomonas aeruginosa, staphylococus, dan anaerob oral (aspirasi).
(10)

2.1.3 Klasifikasi Pneumonia
Berdasarkan umur :
1) Kelompok umur < 2 bulan
a. Pneumonia : bila ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak
napas. Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
b. Bukan pneumonia : tidak ada napas cepat atau sesak napas, tidak perlu
dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.
(9)

2) Kelompok Umur 2 bulan sampai < 5 tahun
a. Pneumonia berat : bila ada sesak nafas, harus dirawat, dan diberikan
antibiotik.
b. Pneumoni : bila tidak ada sesak nafas, ada nafas cepat dengan
laju pernafasan > 50 kali per menit untuk anak usia 2 bulan 1 tahun atau
> 40 kali permenit untuk anak > 1 5 tahun. Tidak perlu dirawat,
diberikan antibiotik oral.
c. bukan pneumoni : bila tidak ada napas cepat dan sesak napas. Tidak
perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan
simptomatis seperti penurun panas.
(9)





2.1.4 Penularan Pneumonia
2.1.4.1 Mekanisme Pertahanan Paru
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran respiratori. Mula mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian
paru yang terkena mengalami konsolidasi yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,
eritrosit, cairan edema dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah,
terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadinya proses fagositosis yang
cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. Infeksi Streptococcus
pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak bercak konsolidasi merata
di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia) dan pada anak besar atau remaja
dapat berupa konsolidasi pada suatu lobus (pneumonia lobaris)
(9)
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan unit unit
yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas. Kurang lebih 80% sel
yang membatasi jalan napas bagian tengah merupakan sel epitel bersilia,
bertingkat, kolumner dengan jumlahnya yang semakin berkurang pada jalan napas
bagian perifer. Gerakan silia terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga
setiap gelombang disebarkan ke arah orofaring. Silia terbungkus oleh sebuah
lapisan film cair yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan luar atau gel bersifat
lengket dan dapat menjerat partikel masuk, sedangkan lapisan dalam yang kurang
lengket atau sol. Sel bersilia diselingi oleh sel pensekresi mukus di dalam trakea
dan bronkus tetapi tidak di dalam bronkiolus.
(11)

Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun
bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati orofaring
dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara yang dihirup.
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa permukaan hidung
sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat bersin, sementara partikel yang
terkumpul pada permukaan bersilia yang lebih proksimal akan disapukan ke
sebelah posterior ke lapisan mukus nasofaring, saat partikel tersebut akan ditelan
atau dibatukkan.
(11)

2.1.4.2 Gejala klinis
2.1.4.2.1 Gejala umum
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului infeksi saluran nafas atas
akut selama beberapa hari, selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, nyeri dada, dan batuk dengan dahak
kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita
juga menemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, sakit kepala,
nyeri otot, kelelahan, muntah-muntah, tekanan atau stres, dan mengeluarkan bunyi
yang abnormal ketika bernafas.
(10)





2.1.4.2.2 Gejala khusus
a. Pneumonia Sedang
Tanda klinisnya adalah batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum dan disertai penarikan dinding dada sebelah
bawah ke dalam.
b. Pneumonia Berat
Tanda klinisnya adalah berhenti menyusui, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit
bangun, batuk adanya stridor. Demam yang rendah penarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu balita menarik nafas.
c. Pneumonia
Tanda klinisnya adalah batuk atau kesulitan benafas tanpa penarikan dinding dada
dan disertai pernafasan cepat. Batas nafas cepat adalah untuk usia kurang dari 1
tahun adalah 50 kali permenit atau lebih dan usia 1 - 4 tahun adalah 40 kali
permenit atau lebih.
d. Bukan Pneumonia (batuk atau filek biasa)
Tanda klinisnya adalah batuk atau kesulitan bernafas tanpa bernafas cepat atau
tanpa penarikan dinding dada dan tidak terdapat tanda-tanda Pneumonia.
(10)





2.1.5 Manifestasi Klinik
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-
ringannya infeksi, tetapi secara umum pneumonia memberikan gejala sebagai
berikut :
1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastro intestinal, seperti mual, muntah
atau diare. Kadang-kandang ditemukan infeksi ekstra pulmoner
2. Gejala gangguan pernafasan yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hanger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
nafas melemah, dan ronki paru.
(9)
2.1.6 Diagnosis
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,
maka dalam upaya penanggulangan, WHO mengembangkan pedoman diagnosis
dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk pelayanan
kesehatan primer, dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara
berkembang. Tujuannya adalah meyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan
gejala klinis yang dapat langsung dideteksi; menetapkan klasifikasi penyakit, dan
menentukan dasar pemakaian antibiotik. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi
nafas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke
pelayanan kesehatan. Nafas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi napas
selama satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak nafas dinilai
dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika
menarik napas. Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan di bawah 5 tahun
adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk;
tanda bahaya untuk bayi berusia di bawah 2 bulan adalah malas minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin.
(9)
2.1.7 Pemeriksaan penunjang

Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan
foto polos dada perlu dibuat untuk menunjang diagnosis. Disamping untuk
melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat, foto polos anteroposterior
(AP ) dan lateral (L) diperlukan untuk menentukan luasnya lokasi anatomik dalam
paru, luasnya kelainan dan kemungkinan adanya komplikasi seperti
pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumatokel, abses paru dan efusi pleura.
Infiltrat paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pembesaran kelenjar
hilus sering terjadi pada pneumonia karena Haemophillus influenza dan
Streptococcus pneumonia. Kecurigaan ke arah infeksi staphylococcus aureus
apabila paada foto polos dada dijumpai adanya gambaran pneumatokel, abses
paru, epiema dan piopneumotoraks serta usia pasien dibawah 1 tahun. Foto polos
dada umumnya akan normal kembali 3 4 minggu. Pemeriksaan radiologis tidak
perlu diulang secara rutin kecuali jika ada pneumotokel, abses paru dan efusi
pleura, empiema, pneumotoraks atau komplikasi lain. Sebagaimana manifestasi
klinis, pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukan perbedaan nyata antara
infeksi virus dan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukan gambaran
infiltrat interstitial difus, hiperinflasi atau atelektasis. Pada sindrom aspirasi,
infiltrat akan tampak di lobus superior kanan pada bayi, tetapi pada anak yang
lebih besar akan tampak pada bagian posterior atau basal paru
.(13)

2.1.8 Pengobatan
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap keseimbangan asam
basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama
keberhasilan pengobatan dan harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia
yang diduga disebabkan oleh bakteri.
(9)

Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan
adalah antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa klavulanat. Pada kasus yang lebih
berat diberikan beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru
intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau
keadaan sudah stabil, antibiotik oral dan berobat jalan.
(9)
2.1.8 Faktor Faktor Risiko yang mempengaruhi Kejadian Pneumonia
2.1.8.1 Faktor Risiko Karakteristik
1. Usia
ISPA/Pneumonia dapat ditemukan pada 50% anak berumur di bawah 5
tahun dan 30% anak berusia 5 12 tahun. World Health Organization melaporkan
bahwa di negara berkembang, ISPA termasuk infeksi saluran pernafasan bawah
(pneumonia, bronkiolitis, dll) adalah penyebab utama dari empat penyebab
terbanyak kematian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di
bawah 1 tahun.
(9)
2. Jenis Kelamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insiden ISPA/pneumonia akibat virus
atau bakteri pada laki laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insiden lebih tinggi pada
anak laki laki berusia di atas 6 tahun.
(9)

3. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan
antara asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh
tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan,
aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainya), Status gizi adalah tanda - tanda
atau penampilan yang di akibatkan dari nutrisi yang dilihat melalui variabel
tertentu (indikator status gizi) seperti berat, tinggi badan dll.
(14)
Kekurangan
nutrisi pada anak mempunyai risiko tinggi terhadap kematian pada anak usia 0-4
tahun dan salah satu faktor terjadinya penyakit pneumonia, hal ini disebabkan
karena lemahnya system kekebalan tubuh karena asupan protein dan energi
berkurang, dan kekurangan gizi dapat melemahkan otot pernafasan.
(15)

4. Vitamin A
Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Peneliti
sebelumnya melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan
mengalami ISPA dua kavli lebih banyak dari pada anak yang tidak mengalami
defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan pemberian ASI,
harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah
ISPA.
(9)

5. Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan bayi lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat
ISPA/pneumonia. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia
berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia
diperkirakan terjadi pada BBLR.
(9)
Dari hasil penelitian sebelumnya memperoleh
ada hubungan antara ISPA cenderung terjadi pada balita BBLR dibandingkan
dengan balita tidak BBLR. Hal ini disebabkan bayi BBLR memiliki sistem
pertahanan tubuh yang belum sempurna yang mengakibatkan bayi BBLR
mempunyai daya tahan tubuh yang rendah. Bayi BBLR memiliki pusat
pengaturan pernapasan belum sempurna, surfaktan paru-paru masih kurang, otot
pernapasan dan tulang iga lemah.
(16)

2.1.8.2 Faktor Risiko Perilaku
1. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara
pemberian ASI dengan terjadinya ISPA/pneumonia. Air susu ibu mempunyai nilai
proteksi terhadap pneumonia, terutama selama 1 bulan pertama. Peneliti
sebelumnya mendapatkan bahwa prevalensi ISPA berhubungan dengan lamanya
pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan.
(9)
Dari
hasil penelitian sebelumnya memperoleh ada hubungan yang bermakna pemberian
ASI eksklusif dengan kejadian penyakit Pneumonia pada Balita. Dari hasil
analisis diperoleh nilai OR=5,184 yang artinya bahwa Balita yang tidak diberikan
ASI eksklusif memiliki risiko 5,2 kali untuk terkena penyakit Pneumonia
dibandingan dengan Balita yang diberikan ASI eksklusif, dengan 95% CI (tingkat
kepercayaan) 2,084 12,892
.(17)
2. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko
terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat
dicegah. Di India, anak yang baru sembuh dari campak selama 6 bulan berikutnya
dapat mengelami ISPA enam kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena
campak. Campak, pertusis dan difteri bersama sama dapat menyebabkan 15 25
% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin campak cukup
efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%. Usaha global dalam
meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka
kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin pneumokokus dan H.influenzae
tipe B saat ini sudah diberikan pada anak anak dengan efektivitas yang cukup
baik.
(9)

3. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara angka kejadian dengan kematian ISPA/pneumonia. Tingkat pendidikan ini
berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi dan juga berkaitan dengan
pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus
ISPA/pneumonia tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.
(9)

4. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor
faktor lain seperti nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan kesehatan. Anak
yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko
lebih besar mengalami episode ISPA/pneumonia. Peneliti sebelumnya
menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi pada anak
dengan status sosial ekonomi rendah.
(9)

2.1.8.3 Faktor Risiko Lingkungan
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi
udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan beberapa
penyakit termasuk ISPA/pneumonia. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi
polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukos saluran pernafasan.
(9)

1. Polusi udara dalam rumah
Merokok juga dapat menimbulkan kerusakan lokal saluran pernafasan,
antara lain hilangnya fungsi bulu getar untuk menghalangi benda asing, sehingga
debu atau bahan-bahan polutan lainnya akan mudah masuk kedalam paru-paru.
Selain itu harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang yang
tergolong miskin, sehingga dana kesehjatraan dan kesehatan keluarganya sering
dialihkan untuk membeli rokok.
(18)

Menurut penelitian sebelumnya bahwa bayi yang lahir dari ibu yang
perokok menunjukan pertumbuhan paru-paru yang buruk dan peningkatan risiko
asma dan infeksi saluran pernafasan. Hal ini terjadi karena struktur paru-paru dan
sistem kekebalan tubuh masih berkembang dan mekanisme pertahanan relatif
lemah.
(18)

Selain itu juga sumber energi kayu dan minyak tanah sangat mencemari
udara dan mengganggu kesehatan manusia, karena hasil pembakarannya
mengandung partikel (PM
10
dan PM
2,5
). Penggunaan bahan bakar kayu sama
dengan menghisap 20 batang rokok setiap hari sehingga berpotensi menyebabkan
risiko infeksi saluran pernafasan. Polutan asap dalam rumah, berpotensi sebagai
iritan yang dapat menimbulkan fibrosis ( kekakuan jaringan paru ), sesak nafas,
alergi sampai penyakit kanker. Dan apabila sarana ventilasi pada rumah tidak baik
dan dapurnya tidak dilengkapi dengan cerobong asap, maka asap dari dapur akan
memenuhi ruangan dan menyebabkan sirkulasi udara dalam ruangan kurang baik.
Dan berdasarkan penelitian di negara berkembang dilaporkan bahwa ada
hubungan antara keterpaparan polusi udara dalam rungan terhadap kejadian
ISPA.
(18)

2. Iklim
Pajanan terhadap suhu dingin juga merupakan salah satu faktor risiko
pneumonia. Selain itu, musim juga dapat mempengaruhi ISPA, misalnya pada
bronkiolitis, karena pada musim dingin terlalu banyak orang berada di dalam satu
ruangan.
(9)
3. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian sangat berpengaruh dengan jumlah koloni kuman
penyebab penyakit menular, seperti gangguan saluran pernafasan dan diare. Selain
itu kepadatan hunian juga dapat mempengaruhi kualitas di dalam rumah. Standar
minimal yang dibutuhkan dalam menentukan luas lantai bangunan, yaitu 14 m
2
untuk orang pertama dan 9 m
2
untuk setiap penambahan 1 orang. Dimana semakin
banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami
pencemaran karena kadar Co
2
dalam rumah akan cepat meningkat dan
menurunkan kadar O
2
yang ada di udara.
(19)

4. Ventilasi Rumah
Rumah harus menjamin kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah
sehat adalah memenuhi kebutuhan fisiologis. Secara fisik kebutuhan fisiologis
meliputi kebutuhan suhu yang optimal, perlindungan terhadap kebisingan,
ventilasi yang memadai, dan tersedianya ruang yang sesuai dengan keadaan dalam
rumahnya seperti ruang kamar tamu, kamar tidur, dapur, ruang bermain anak,
kamar mandi, dan kakus.
(19)

2.2 Pengetahuan
2.2.1 Definis
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt
behavior).
(10)

2.2.2 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai intensitas atau tingkat
yang berbeda-beda. Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu :


1. Tahu (know)
Merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. atau diartikan sebagai
pengikat materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk mengingat
kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Untuk mengukur tingkat pengetahuan ini
digunakan kata seperti menyebutkan, menguraikan, menyatakan, dan
sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Merupakan kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan
secara benar tentang obyek yang diketahuinya, dalam hal ini mencakup
kemampuan menangkap makna dan arti bahan yang diajarjkan, yang
ditunjukan dalam bentuk kemampuan menguraikan inti pokok dari suatu
bacaan misalnya menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap materi atau substansi yang
dipelajari.
3. Aplikasi ( application )
Merupakan kemampuan menggunakan materi yang dipelajari berupa
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya ada kondisi nyata.
Mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah metode bekerja
pada suatu kasus dan masalah yang nyata misalnya mengerjakan,
memanfaatkan, menggunakan, dan mendemonstrasikan.



4. Analisis (analysis )
Merupakan kemampuan menggabungkan komponen-komponen yang
terpisah-pisah sehingga membentuk suatu keseluruhan, misalnya
menggabungkan, menyusun, kembali, dan mendiskusikannya.
5. Sintesis ( synthesis )
Sintesis menunjukan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi ( evaluation )
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
(10)
2.2.3 Cara memperoleh pengetahuan

Cara memperoleh pengetahuan menurut yaitu:
a. Cara tradisional atau non alamiah
Cara kuno ini dipakai untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum
diketemukan metode penemuan secara sistematis atau logis. Cara-cara
penemuan pengetahuan pada priode ini antara lain meliputi:
1) Cara coba-coba (trial)
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan bahkan mungkin
sebelum adanya peradapan. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi
persoalan atau masalah upaya pemecahannya dilakukan dengann coba-
coba.

2) Cara kekuatan (otoriter)
Dalam kehidupan menusian sehari-hari, banyak sekali kebiasaan kebiasaan
atau tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang tanpa melakukan penalaran.
Apakah yang dilakukan oleh orang tersebut baik atau tidak. Kebiasan itu
biasanya diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya dalam memperoleh
pengetahuan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
pada masa lalu.
4) Melalui jalan pikiran
Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan
jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun dedukasi.
(10)

b. Cara modern atau ilmiah
Merupakan penggabungan antara proses berfikir deduktif dan induktif
yang dijadikan dasar untuk mengembangkan metode penelitian yang lebih
praktis.
(10)

2.2.4 Pengetahuan kesehatan
Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui
seseorang terhadap cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara
memelihara kesehatan ini meliputi:
1) Pengetahuan tentang penyakit (jenis penyakit dan tanda-tandanya atau
gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara mencegahnya, cara
mengatasi atau menangani sementara).
2) Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan atau mempengaruhi
kesehatan, antara lain gizi makanan, pembuangan sampah, perumahan sehat,
dan lain-lain.
3) Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan.
4) Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan
(20)
2.2.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan
yaitu:
1. Faktor Internal
1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan tertentu sehingga sasaran
pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,
makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk
menerima informasi. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak
pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan
pendidikan dimana diharapkan semakin tinggi pendidikan sesorang akan
semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang
yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah
pula.
(20)

2. Pengalaman
Pengalaman ialah hasil persentuhan alam dengan panca indra
manusia. Berasal dari kata peng-alam-an. Pengalaman memungkinkan
seseorang menjadi tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan.
Dalam dunia kerja istilah pengalaman juga digunakan untuk merujuk pada
pengetahuan dan ketrampilan tentang sesuatu yang diperoleh lewat
keterlibatan atau berkaitan dengannya selama periode tertentu. Secara
umum, pengalaman menunjuk kepada mengetahui bagaimana atau
pengetahuan prosedural, dari pada pengetahuan proposisional.
(21)
3. Umur
Umur dapat mempengaruhi seseorang, semakin cukup umur,
tingkat kemampuan dan kematangan seseorang akan lebih tinggi dalam
berpikir dan menerima informasi. Namun perlu ditekankan bahwa seorang
yang berumur lebih tua tidak mutlak memiliki pengetahuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan seseorang yang lebih muda.
(20)

4. Tempat tinggal
Tempat tinggal adalah tempat menetap responden sehari-hari.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis demam berdarah lebih sering
menemukan kasus demam berdarah di sekitar lingkungan tempat
tinggalnya, sehingga masyarakat di daerah tersebut seharusnya memiliki
tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah non endemis.
Hal ini juga berhubungan dengan informasi yang didapat dari orang yang
tinggal di daerah endemis demam berdarah akan lebih sering mendapatkan
penyuluhan kesehatan bila dibandingkan dengan daerah non endemis.
(20)


5. Pekerjaan
Pekerjaan memiliki pengaruh pada pengetahuan seseorang.
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Contohnya, seseorang yang mempunyai pekerjaan di bidang
kesehatan lingkungan tentunya akan lebih memahami bagaimana cara
menjaga kesehatan di lingkungannya, termasuk cara memberantas sarang
nyamuk demam berdarah jika dibandingan dengan orang yang bekerja di
luar bidang kesehatan.
(20)

6. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkah laku
seseorang. Balita yang hidup dalam dalam keluarga dengan status sosial
dan ekonomi yang rendah cendrung kurang mendapatkan asupan makanan
yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit.
(20)

2. Faktor Eksternal
1. Faktor lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu,
baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh
terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada
dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal
balik yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
Pemerintah memegang peranan penting dalam mempengaruhi
pengetahuan seseorang mengenai demam berdarah baik itu melalui
penyuluhan kesehatan maupun program- program yang diadakan untuk
mencegah DBD, misalnya program PSN Plus, pembentukan unit Pokja
(kelompok kerja), Pokjanal (kelompok kerja fungsional) di tingkat desa/
kelurahan maupun jumantik.
(20)

2. Informasi/media massa
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non
formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Sebagai
sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio,
surat kabar, majalah, termasuk penyuluhan kesehatan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan pengetahuan seseorang.
(20)
3. Sosial Budaya
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Sosial termasuk di
dalamnya pandangan agama, kelompok etnis dapat mempengaruhi proses
pengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai keagaman untuk
memperkuat kepribadiannya.
(20)




2.2.6 Kategori pengetahuan

Pengetahuan dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Pengetahuan baik bila responden dapat menjawab pertanyan dengan
benar 76 - 100 % dari pertanyan yang diajukan.
b. Pengetahuan kurang bila responden dapat menjawab <55% dan
pertanyan yang diajukan.
( 10)

2.3 Balita
Masa balita merupakan kehidupan yang sangat penting dan
diperlukan perhatian yang lebih dan khusus. Di masa ini proses tumbuh
kembang sangat pesat di antaranya pertumbuhan fisik, perkembangan
psikomotorik, mental, dan sosial. Pertumbuhan sangat dipengaruhi
beberapa hal di antaranya jumlah dan mutu makanan, kesehatan balita,
tingkat ekonomi, pendidikan, dan perilaku orang tua.
Kelompok balita merupakan salah satu kelompok yang rawan
terkena penyakit. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan balita rawan
terkena penyakit antara lain :
a. Anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi
ke makanan dewasa.
b. Anak balita mempunyai ibu yang bekerja sehingga perhatian
ibu sudah berkurang.
c. Anak balita sudah mulai main di tanah atau lingkungan yang
kotor sehingga mungkin untuk terjadi infeksi.
d. Anak balita belum bisa memilih makanannya, peran perilaku
orang tua yang didasari pengetahuan sangatlah penting.
(22)






















2.4 Kerangka teori






kesehatan lingkungan















balita pneumonia
Agent
(bakteri,virus,jamur)
Lingkungan :
Ventilasi rumah
Kepadatan hunian
Iklim
Polusi udara dalam
rumah atau pun luar
lingkungan rumah


Host/Penjamu :
Pengetahuan orang tua
Usia
Jenis Kelamin
Status Gizi
Vitamin A
BBLR
ASI
Imunisasi
Pendidikan orang tua
Social ekonomi


Gejala klinis
diagnosis
penatalaksanaan
batuk
sputum
Nafas pendek
demam
Nyeri dada
tindakan suportif

pengobatan
kausal

Foto rontgen
BAB III

3.1 kerangka konsep














Keterangan :
: variabel kontrol
: Variabel perancu
: Yang akan diteliti
: yang tidak diteliti
Pengetahuan ibu Angka kejadian
pneumonia pada
balita

a. Perilaku
b. Lingkungan
c. Status sosial ekonomi
d. Media massa
e. Sosial budaya
f. Gizi
g. Nutrisi



1.6 Identifikasi Masalah
Variabel terikat (dependen ) : Pneumonia balita
Variabel bebas ( independent ) : Pengetahuan ibu
1.7 Definisi operasional
Variabel Definisi
Operasional
Cara pengukan Kriteria
objektif
Skala
Pneumonia
balita
. Bila diagnosa dokter
terkena pneumonia
dan tercatat di
register
Format
pengumpulan
data (rekamedis
dari puskesmas)
0 = bukan
Pneumonia
1 = pneumonia
Ordinal
Pengetahuan
ibu
Pengetahuan adalah
merupakan hasil
tahu dari kejadian
pneumonia yang
meliputi pengetahaun
ibu tentang kejadian
pneumonia, gejala
pneumonia, dan
penyebab pneumonia
Observasi
dengan
pengumpulan
kuesioner
Format
pengumpulan
data (kuesioner
tertutup)
0 : Baik bila
pertanyaan
dijawab benar
76%-100%
1 : Kurang bila
pertanyaan
dijawab benar
<55%
Nominal




1.8 Jenis Penelitian dan rancangan penelitian
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian analitik
observasional dengan desain kasus kontrol (case-control study) Penelitian
case-control adalah suatu penelitian yang menyangkut bagaimana faktor
risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan rectrospective. Dengan
kata lain, efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi pada saat ini,
kemudian faktor risiko diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang
lalu.
(23)

Rancangan penelitian case control ini dapat digambarkan sebagai berikut :
pengetahuan ibu +
Retrospektif (kasus) pneumonia +

Pengetahuan ibu -
Pengetahuan ibu+ Retrospektif (kontrol) pneumonia -
Pengetahuan ibu -

Skema 1.1
Rancangan penelitian case control












1.9 Waktu dan lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 di Puskesmas
Haekesak Kabupaten Belu, Kota Atambua tahun 2014.

1.10 Populasi dan Sampel
1.10.1 Populasi kasus
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien/wali dari seluruh ibu balita di
wilayah kerja Puskesmas Haekesak bulan januari-desember tahun 2013
berjumlah 27 balita.
1.10.2 Populasi control
Populasi dalam penelitian ini adalah wali/ibu dari seluruh ibu balita yang
tidak terkena pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Haekesak bulan
januari-desember tahun 2013 berjumlah 27 balita
1.10.3 Sampel
Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
sampling. Pengambilan sampel secara total sampling maksudnya adalah
semua balita yang menderita pneumoni dijadikan sampel dan semua balita
yang tidak menderita pneumonia dijadikan kontrol.



1.11 Adapun kriteria inklusi dan ekslusi pada penelitian ini adalah:
3.7.1 Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
1. Kelompok kasus :
- semua penderita yang terdiagnosis gejala pneumonia yang
mengunjungi puskesmas Haekesak pada bulan Januari-
Desember 2013
- Bersedia menjadi subjek penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan setelah penjelasan.
- Bertempat tinggal di wilayah Puskesmas Haekesak
minimal 1 tahun atau lebih
- Pendidikan akhir orang tua maksimal sekolah menengah
atas/sekolah menengah kejuruan
2. Kelompok kontrol :
- Bertempat tinggal di wilayah puskesmas yang sama dengan
kelompok kasus.
- Dinyatakan bebas menderita pneumonia
- Tidak tinggal serumah dengan kelompok kasus.
- Berusia setara atau selisih usia maksimal lima tahun
dengan kelompok kasus.
- Mempunyai kemungkinan terpajan terhadap faktor resiko
yang sama dengan kelompok kasus.
- Pendidikan akhir orang tua maksimal sekolah menengah
atas/sekolah menengah kejuruan.
1.7.2 kriteria eksklusi pada penelitian adalah
- menderita penyakit lain
1.8 Alur penelitian dan cara kerja
3.8.1 alur penelitian














Penentuan populasi Pemilihan sampel
sesuai kriteria
inklusi
Permintaan
persetujuan menjadi
responden
Pengisian data
umum
Pengisian kuisoner
pengetahuan ibu
tentang pneumonia pada
balita
Pencatatan hasil
pengisian kuisoner
Analisis data Pengisian data dalam
laporan hasil
penelitian
3.8.2 cara kerja
pra penelitian
1. Permohonan izin pelaksanaan penelitian yang didapatkan dari
institusi pendidikan.
2. Mengajukan surat permohonan izin penelitian ke lokasi penelitian
Saat Penelitian
1. Peneliti memberikan penjelasan kepada calon responden tentang
tujuan penelitian, manfaat, dan prosedur pengumpulan data.
2. Peneliti meminta calon responden menandatangani informed
consent sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.
3. Peneliti melakukan pengumpulan data.
Setelah Penelitian
Setelah mendapatkan data mengenai tingkat pengetahuan ibu terhadap
pneumonia pada balita, peneliti kemudian melakukan analisis
hubungan dua variabel menggunakan program komputer (SPSS 16.0).
Agar analisis menghasilkan hasil yang benar, maka analisis ini melalui
empat tahapan, yaitu editing, coding, tabulasi, Entry data.
Tahapan pengolahan data yaitu:
a. Editing
Dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan data yang terkumpul
apakah telah sesuai dengan yang diharapkan. Data yang sudah
dikumpulkan di periksa apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan
atau belum. Apakah semua pertanyan sudah dijawab atau belum, hal
ini dapat dikerjakan dengan menilai lembaran kuesioner yang telah
disebarkan.
b. Coding
Pemberian kode dan skor terhadap jawaban responden, hal ini
dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data
c. Tabulasi
Melakukan tabulasi data yang dikelompokan dan menyusun data ke
dalam tabel.
d. Entry data
Memasukkan data-data ke dalam program komputer
3.9 Analisis Data
3.9.1 Identifikasi data
a. Data Primer
Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara terstruktur terhadap
responden dengan menggunakan kuisioner, data yang diambil meliputi
pengetahuan ibu terhadap kejadia pneumonia
b. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi yang berkaitan dengan penelitian
seperti Puskesmas Haekesak tahun 2013 Kota Atambua Kabupaten Belu.


3.10 Jenis pengelolahan data
Data yang dikumpulkan akan diolah, dianalisis dan diinterpretasi untuk
menguji hipotesis menggunakan program analisis statistik dengan metode
sebagai berikut :
a) Analisis Univariat
Dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel
independen (pengetahuan ibu) dan variabel dependen
(Pneumonia), sehingga dapat diketahui variasi dari masing-
masing variabel.
b) Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan
asosiasi factor risiko utama dengan kejadian pneumonia pada
balita dengan menggunakan uji Chi-square dan untuk
menginterpretasikan hubungan risiko pada penelitian ini
digunakan Odds Ratio (OR).








3.11 Jadwal Kegiatan Penelitian
Kegiatan 2014
Bulan
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Usulan
penelitian

Seminar
proposal

Persiapan
penelitian

Pengumpulan
data

Pengelolaan
data

Seminar hasil
penelitian

Persiapan
ujian skripsi

Ujian skripsi



3.12 Rencana Anggaran
Perihal Satuan Jumlah Biaya satuan
(Rp)
Total (Rp)
transportasi 2 kali Rp. 120.000 Rp 240.000
Biaya makan
minum
2 kali Rp 100.000 Rp 200.000
kertas rem 2 Rem Rp 52.000 Rp 104.000
Tinta Print 2 Rp 36.000 Rp 72.000

Anda mungkin juga menyukai