Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

HIPERTERMIA MALIGNA
Disusun oleh :
Ines Prestisia (071200001!"
Pen#u$i:
%r& Hori& H' ()&An
*e)aniteraan Il+u Anastesi
(iloa+ Hos)itals Li))o ,illa#e
Perio%e 2 A)ril 201-. 1 /uni 201-
LATAR 0ELA*ANG
Hipertermia maligna adalah suatu sindrom yang mengancam nyawa oleh
karena hipermetabolisme dari otot skeletal. Biasanya dipicu oleh inhalasi dari gas
volatile ataupun pelemas otot seperti suksinilkolin yang dipakai pada saat anastesi.
Pada orang yang menderita hipertermia maligna, reseptor ryanodin pada otot skeletal
menjadi abnormal. Reseptor yang berfungsi untuk mengontrol pelepasan kalsium
kedalam sel otot ini apabila mengalami kerusakan maka akan terjadi penumpukan
kalsium pada otot skeletal yang menyebabkan hipermetabolisme.
Hipermetabolisme yang terjadi akan menyebabkan beberapa kondisi seperti
peningkatan produksi C!, asidosis metabolic dan respiratorik, peningkatan
konsumsi oksigen, produksi panas, aktivasi dari sistem saraf simpatis, hiperkalemia,
gangguan koagulasi, dan kerusakan multi organ. "ejala klinis yang pertama kali
muncul adalah peningkatan end#tidal C! , takikardia, kaku otot, takipneu, dan
hiperkalemia. $elanjutnya bisa terjadi demam, myoglobinuria, dan kerusakan
multiorgan.
bat anastesi tidak selalu memicu hipertermia maligna. %da beberapa
penderita hipertermia maligna yang mendapatkan obat anastesi namun tidak
menimbulkan reaksi apapun. &amun sebaliknya hipertermia maligna juga dapat
terjadi pada pemakaian obat anastesi yang aman.

EPIDEMI1L1GI
'nsiden terjadinya H( selama proses anastesi berkisar )*+,,, atau )*+,.,,,#
),,.,,,. -alaupun H( dinyatakan dapat terjadi pada paparan pertama oleh .at
anastesi pemicu, namun kebanyakan pasien membutuhkan tiga kali anastesi sebelum
terpicu terjadinya H(. Reaksi umumnya terjadi lebih banyak pada pria dibandingkan
wanita /!*)0. $eluruh grup etnik dapat terkena. 'nsiden tertinggi pada individu usia
muda sekitar )1 tahun. &amun H( pernah ditemukan pada usia 2 bulan dan tertuanya
pada usia 31 tahun.
$ecara genetic, H( merupakan kelainan autosomal dominan. 4elainan genetic
ini dapat terjadi pada )*5,,, individu. Banyak factor yang dapat mempengaruhi H(
seperti usia, tipe anastesi, suhu lingkungan, tingkat stress. H( tidak hanya terjadi
pada manusia, namun bisa terjadi pada spesies lain seperti babi yang sampai saat ini
menjadi obyek penelitian.
PAT1FI(I1L1GI
Hipertermia maligna adalah suatu myopati dimana kalsium keluar dari
sarcoplasmic reticulum dan menyebabkan reaksi hipermetabolisme apabila terpapar
dengan .at pemicunya. Peningkatan konsentrasi kalsium menyebabkan efek yang
multiple pada otot dengan menstimulasi kontraksi dan hipermetabolisme, yang terlihat
pada kekakuan otot dan demam. %pabila system homeostasis pada tubuh untuk
mempertahankan konsentrasi kalsium agar tetap stabil sudah tidak berfungsi dan
metabolisme tubuh sudah tidak lagi mampu menghasilkan %6P maka membrane sel
tidak bisa dipertahankan serta permeabilitasnya akan meningkat. Hal ini
menyebabkan hilangnya fosfat, H7, 47, serta (g77, dan selanjutnya myoglobin serta
cretinin kinase.
Peningkatan kalsium menstimulasi metabolism glikolitik aerob dan anaerob,
sehingga mengakibatkan terbentuknya laktat. %sidosis yang terjadi menstimulasi
system saraf simpatis /takikardia, peningkatan tekanan darah, vasokonstriksi0.
Hiperkalemia dapat menimbulkan aritmia.
Pada hipertermia maligna, PaC! bisa mencapai ),, mmHg dan pH darah
kurang dari 3. 6anda pertama yang terlihat adalah peningkatan end#tidal karbon
dioksida. 6erjadi juga peningkatan konsumsi oksigen serta laktat. Hipermetabolisme
yang terjadi menstimulasi respons e8otermik sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.
Rhabdomyolisis mengakibatkan peningkatan potassium, myoglobin, kreatinin kinase
serta terjadinya edema.
4erusakan ginjal dapat pula terjadi oleh karena peningkatan myoglobin. 6anpa
penanganan yang tepat maka kondisi dapat memburuk sampai terjadinya kegagalan
multi organ bahkan kematian.
ETI1L1GI
Hipertermia maligna adalah suatu sindrom dengan etiologi yang belum jelas.
Hal tersebut dikarenakan oleh banyaknya jenis .at pemicu, variasi onset terjadinya
rigiditas otot yang berhubungan dengan respon terhadap suksinilkolin, kurangnya
riwayat keluarga, dan kejadiannya pada beberapa pasien yang sebelumnya sudah
pernah mendapatkan normal general anastesi.
Bukti eksperimental dari berbagai sumber, in vitro, in vivo, sel yang terisolasi,
tikus dimana 9&%nya sudah diubah untuk mengungkapkan salah satu mutasi
penyebab Hipertermia maligna jelas menunjukan bahwa terjadinya H( terkait dengan
pelepasan kalsium intraselular yang tidak terkontrol dari sarcoplasmic reticulum otot
rangka. Pada babi dan tikus yang rentan H(, berbagai kondisi lingkungan dapat
memicu pelepasan kalsium seperti panas lingkungan, olahraga, dan stress. $edangkan
pada manusia, H( terjadi paling sering oleh karena paparan anastesi inhalasi yang
kuat serta suksinilkolin.
9alam hampir semua kasus, pasien yang rentan H( memiliki kerusakan pada
chanel kalsium yang berlokasi pada membran sarcoplasmic reticulum. Chanel ini
memiliki reseptor yaitu reseptor Ryanodin /R:R0, reseptor ini berhubungan erat
dengan protein dan struktur lain seperti chanel kalsium dihidropiridin. &amun, mutasi
yang berhubungan dengan H( ditemukan terutama pada gen dari reseptor ryanodine.
(eskipun mutasi pada reseptor ryanodine tidak diragukan lagi pada patofisiologi
terjadinya H(, namun tidak semua keluarga berkaitan dengan gen ini. %da gen lain
seperti C%C&;)%5 pada reseptor dihidropiridin yang terbukti diubah oleh mutasi
dari H(.
2at )e+i3u Hi)erter+ia Mali#na
). bat anastesi inhalasi
-alaupun H( belum diketahui sebelum munculnya halothane, namun obat
anastesi inhalasi klasik seperti eter dan kloroform terhitung sebagai penyebab
dari H(. Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa eter dan kloroform
menyebabkan kontraktur otot pada penderita H(, dan reaksi ini mungkin
tidak diketahui karena kurangnya system monitoring dan kematian dibawah
anastesi pada saat itu cukup sering terjadi. $aat ini halothane tetap paling
poten dalam menyebabkan kontraksi otot pada pasien H(. $aat ini isoflurane
yang paling sering menyebabkan H(, namun sevoflurane dan desflurane pun
telah dilaporkan sebagai penyebab dalam beberapa kasus H(.
2. Neuromuscular blocking drugs
$pasme otot maseter setelah penggunaan suksinilkolin paling sering
digunakan sebagai indicator pertama untuk pasien H(. Penelitian in vitro
menunjukan bahwa suksinilkolin menyebabkan peningkatan konsentrasi
kalsium intraselular pada otot normal sehingga pada otot pasien H(,
konsentrasi kalsium akan lebih meningkat lagi. tot maseter lebih rentan
karena mengandung fiber tipe ) dimana fiber tipe ini lebih sensitive terhadap
kalsium dibandingkan fiber tipe !. Peningkatan kalsium pada fiber tipe ) akan
menghasilkan kontraktilitas lebih besar dibandingkan dengan fiber tipe !.
Penggunaan suksinilkolin bersamaan dengan obat anastesi inhalasi lebih
sering menyebabkan spasme maseter dan menghasilkan reaksi H( yang lebih
cepat. Non-depolarizing neuromuscular blocking drugs telah dinyatakan aman
pada penderita H(.
5. bat anastesi '<
6erdapat beberapa obat yang terbukti aman bagi pasien yang rentan terhadap
H(, diantaranya yaitu 5 obat yang cukup sering digunakan seperti thiopental,
etomidate, dan propofol. $ebelumnya ketamine dianggap sebagai obat yang
dapat memicu H(, namun sebenarnya takikardia dan hipertensi yang
ditimbulkan pada pasien H( setelah menerima obat ini merupakan respon
simpatomimetik dari ketamine itu sendiri. %da penelitian yang menyatakan
bahwa ketamine sebenarnya dapat menurunkan pelepasan kalsium pada otot
rangka.
=. bat anastesi local
bat anastesi local dari golongan amida seperti lidokain terbukti dapat
menyebabkan kontraktur pada otot rangka sehingga pemakaiannya menjadi
kontraindikasi bagi pasien yang rentan H(. $ekarang penggunaan lidokain
digantikan dengan obat anastesi local golongan ester seperti prilocain dengan
dosin +mg>kgBB. 9alam penelitian, dengan dosis tersebut prilocain tidak
pernah memicu terjadinya H(. bat ini memiliki efek yang baik bagi pasien
yang rentan H( karena kemampuannya dalam menurunkan pelepasan kalsium
dari sarcoplasmic reticulum kedalam otot rangka.
+. bat lain
$eperti yang telah diapaparkan diatas, obat antikolirnegik dapat memicu
pyre8ia karena efek anti#diaforesis. Hal ini membuat pengobatan dari H(
yang dipicu obat anastesi inhalasi lebih sulit, namun sebaiknya obat ini tetap
digunakan pada pasien yang rentan terhadap H(. Belum ada kepastian
mengenai penggunaan obat simpatomimetic.
bat lain yang dapat memicu H( adalah obat dengan struktur yang mirip
dengan kafein. $ecara in vitro 6eofilin dan aminofilin dapat menyebabkan
kontraktur otot, dan pada individu yang menderita H( bahkan dengan
konsentrasi yang lebih rendah. &amun konsentrasi ini beberapa kali lebih
tinggi dibandingkan dosis yang dipakai dalam terapi.
4afein dan methyl8antine adalah posphodiesterase inhibitor yang tidak
spesifik, dan sangatlah mungkin bahwa efek ini berkontribusi terhadap
sensitivitas otot penderita H( terhadap kafein. Phospodiesterase inhibitor tipe
5 sudah banyak dipakai untuk managemen gangguan jantung, contohnya
eno8imone yang dapat menyebabkan kontraktur otot. &amun konsentrasi
minimum yang dapat menyebabkan kontraksi otot, tetaplah ),,8 lebih tinggi
disbanding yang digunakan secara klinik.
GE/ALA *LINI(
1& Dia#nosis Preo)erati4
H( adalah suatu manifestasi yang terjadi karena paparan .at pemicu
terhadap pasien rentan H(. 6anpa adanya paparan, sangat tidak mungkin
dilakukan identifikasi pasien H( kecuali ada riwayat keluarga
sebelumnya. Pada tahun )?11, Brownell menyimpulkan bahwa kelainan
otot yang terkait dengan H( hanya central core diseases.
2& Dia#nosis Intrao)erati4
6idak ada gejala klinis yang spesifik untuk H(. 9iagnosis bergantung
pada pola yang terjadi saat reaksi H(.
Ti+in# 5lini3al si#n 5han#es in
+onitore%
6aria7les
0io3he+i3al
3han#es
@arly $ustained jaw
rigidity after
succinylcholine
Rapid
e8haustion of
soda lime
Rising end#tidal
carbon dio8ide
'ncreased PaC!
6achypnea 'ncreased minute
ventilation and
rising end tidal
carbon dio8ide
'ncreased PaC!
High pulse rate 6achycardia 9ecreased pH
'rregular pulse <entricular
ectopics or
peaked 6 wave
on @C"
'ncreased 4
7
$ucceeding Patient hot to
touch
Rising core body
temperature
Cyanosis Aalling $p! 9ecreased Pa!
9ark blood in
wound
'rregular pulse <entricular
ectopics or
peaked 6waves
'ncreased 4
7
;ate "enerali.ed
muscle rigidity
Prolonged
bleeding
9ark urine 'ncrease creatine
kinase,
myoglobinuria
ligouria
'rregular pulse <entricular
ectopics or
peaked 6 waves
death
- spasme otot masseter
%pabila tidak ada riwayat keluarga, maka indikasi pertama bahwa
seseorang rentan terhadap H( adalah spasme otot maseter dalam
respon terhadap suksinilkolin. Hal ini akan lebih terlihat pada anak#
anak. 4etika kekakuan rahang bertambah parah dan memanjang, maka
kondisi ini yang disebut spasme otot maseter.
- Hipermetabolisme
H( terjadi karena paparan .at pemicu yang menyebabkan
ketidakseimbangan homeostasis kalsium dalam sel otot rangka.
Peningkatan konsentrasi kalsium intraselular menstimulasi
metabolisme langsung /aktivasi fosforilase untuk meningkatkan
glikolisis0 dan metabolisme tidak langsung /peningkatan kebutuhan
%6P0. %6Pase adalah komponen penting untuk relaksasi myofilamen.
Hipermetabolisme mengakibatkan peningkatan karbon dioksida
/tachypnea dan peningkatan end#tidal konsentrasi karbon dioksida0
serta asidosis laktat. "abungan dari asidosis respiratori dan metabolic
menstimulasi saraf simpatis sehingga menyebabkan takikardi.
Peningkatan suhu tubuh merupakan indicator akhir untuk respon
hipermetabolisme. Hipertermia dapat terlihat dengan peningkatan suhu
tubuh sebesar )#!
,
C setiap lima menit. Hipertermia berat /suhu tubuh
lebih dari ==
,
C0 dapat terjadi dan mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen, produksi karbon dioksida, disfungsi organ#organ
vital, dan gangguan koagulasi.
- rigiditas otot
-& Dia#nosis Posto)erati4
nset terjadinya H( sangat bervariasi. Pada beberapa kasus, H( terjadi
kurang lebih ), menit setelah pemberian anastesi inhalasi, namun pada
sebagian kasus H( baru akan muncul setelah beberapa jam. 4ecepatan
onset merefleksikan peningkatan konsentrasi kalsium intraselular, yang
bergantung pada penggunaan jenis obat, konsentrasi obat di otot dan
beberapa factor fisiologis lain yang menentukan efisiensi dari proses
keseimbangan calcium pada suatu individu. Beberapa factor seperti durasi
dari suatu prosedur surgical, perbedaan pada onset dan perkembangan dari
H( menunjukan bahwa suatu operasi dapat selesai sebelum gejala dari
H( nampak.
9alam kondisi ini, reaksi terus berlangsung sementara konsentrasi obat
yang memicu di otot, berada di atas ambang batas. $angatlah mungkin
bahwa konsentrasi obat pemicu yang lebih rendah sudah dibutuhkan, untuk
mempertahankan reaksi dibandingkan dengan memicu terjadinya reaksi
karena kadar calcium intrasel yang meningkat dapat menstimulasi
dilepaskannya lebih banyak Calsium.
Badi apabila kadar ca intrasel yang tinggi tercapai, maka mekanisme
calcium memicu dilepaskannya calcium lain dapat mempertahankan
terjadinya H( bahkan setelah obat memicu telah disingkirkan terutama
apabila penggumpalan Calsium terganggug karena turunnya produksi
%6P.
Reaksi H( yang dimulai sebelum atau saat operasi selesai, memiliki fitur
yang sama dengan H( yang terjadi saat operasi berlangsung. Hal ini
penting karena, pyre8ia pos operatif, tanpa tachypnea, peningkatan
karbondioksida dan tachycardia bukan merupakan H(. Perlu ditekankan
bahwa diagnosis H( pada kasus pyre8ia pos#op tidak bisa disingkirkan
apabila tidak ada data yang menunjukan tidak adanya hipermetabolism.
&amun seringkali gejala metabolic pada H( tidak dapat diidentifikasi
saat periode perioperative sehingga sering didiagnosis sebagai sepsis.
9an pasien akan datang !#= hari kemudian dengan %4' yang disebabkan
rhabdomyolisis.
DIAGN1(I(
C"old standardD untuk diagnosis H( adalah in vitro contracture test /'<C60,
berdasarkan kontraktur otot akibat paparan dari halothane atau kafein. Pasien akan
disuntikkan obat anastesi local lalu sedikit otot akan diambil biasanya dari kaki untuk
kemudian diperiksa di laboratorium dengan cara memasukkan otot tersebut kedalam
wadah yang sudah berisi kafein dan halothane lalu lihat reaksi yang terjadi pada otot
tersebut. %da dua jenis pemeriksaan yang telah berkembang yaitu yang dibuat oleh
@uropean (alignant Hyperthermia "roup /@(H"0 dan &orth %merican (alignant
Hyperhermia "roup /&%(H"0. Persamaan keduanya terletak pada cara
pengujiannya sedangkan interpretasinya berbeda. 9engan menggunakan @(H",
suatu individu dianggap rentan terhadap H( apabila tes halothane dan kafein
keduanya positif. 9iagnosis dianggap normal apabila kedua testnya negative.
$edangkan jika menggunakan &%(H", suatu individu didiagnosis H( apabila salah
satu test baik halothane maupun kafein positif. 9iagnosis dianggap normal apabila
kedua testnya negative. Protocol @(H" sebenarnya mengurangi resiko
didapatkannya hasil positif palsu namun apabila dibandingkan dengan &%(H",
keduanya akan menghasilkan hasil yang serupa. $ensitivitas ??E dan spesifikasi ?=E
pada @(H", sensitivitas ?3E dan spesifikasi 31E pada &%(H".
$elain menggunakan tes '<C6 yang cukup mahal dan membutuhkan prosedur bedah,
analisis 9&% dapat digunakan sebagai tes alternative karena hanya membutuhkan
specimen darah. &amun karena adanya keberagaman dari mutasi gen maka hasil
negative pada analisis 9&% tidak bisa menyingkirkan kemungkinan menderita H(.
%da beberapa metode tes non invasive yang sedang dikembangkan seperti
menggunakan resonansi magnetic dan penggunaan kateter microdialysis pada otot
lalu menyuntikan sejumlah kecil kafein untuk melihat peningkatan karbon dioksida
yang akan terlihat pada capnograph.
PENATALA*(ANAAN
). %cute (H crisis
Poin penting dalam penatalaksanaan H( pada fase akut yaitu menghentikan
semua .at yang dapat memicu H(, hiperventilasi, administrasi dantrolene
dengan dosis !.+ mg>kg dapat diulang, pendinginan suhu tubuh, penanganan
hyperkalemia. Calcium blockers tidak boleh digunakan bersamaan dengan
dantrolene karena dapat menyebabkan hyperkalemia. 6ahap penanganan H(
fase akut yaitu *
- menghentikan .at inhalasi poten dan suksinilkolin
- meningkatkan ventilasi untuk menurunkan @6C! dengan cara
memberikan ),,E oksigen ), ;>menit
- minta bantuan
- siapkan dan berikan dantrolene *
!.+ mg>kg untuk dosis awal lalu dapat diulang setiap + menit
sampai gejala berkurang
titrasi dantrolene untuk pasien dengan takikardia dan
hipercarbia
), mg>kg apabila dibutuhkan
- mulai pendinginan suhu tubuh
apabila terjadi hipertermia, gunakan Cice packsD pada ketiak,
leher, serta lipatan paha
pemberian cairan dingin lewat &"6 untuk menurunkan suhu
tubuh namun hindari hipotermia. Hentikan pendinginan apabila
suhu tubuh sudah mencapai 51
,
C
- tangani aritmia dengan pemberian procainamide !,, mg '<. Bangan
menggunakan calcium channel blocker
- cek gas darah, elektrolit, creatinin kinase, darah, dan urine
- lanjutkan dantrolene )mg>kg setiap =#1 jam sampai !=#=1 jam
- pastikan urine output ! ml>kg> jam dengan manitol ,,!+g>kg '<,
furosemide ) mg>kg '<, dan cairan apabila dibutuhkan
- evaluasi untuk penggunaan ventilasi mekanik
- observasi pasien di 'CF minimal 52 jam
- rujuk pasien untuk menjalankan pemeriksaan '<C6 ataupun analisis
9&%
!. Pencegahan
- harus mengetahui riwayat anastesi sebelumnya dan riwayat anastesi
pada keluarga. %pabila dicurigai H(, maka volatile agent seperti
halothane, sevoflurane, desflurane, isoflurane, dan suksinilkolin harus
dihindari
- suksinilkolin dihindari pada pasien dengan riwayat myotonia
- monitor suhu tubuh pada semua pasien yang menerima general
anastesi
5. Penatalaksanaan anastesi pada penderita H(
- pasien dengan H( sebaiknya diberikan anastesi local atau regional
anastesi. %pabila sedasi atau general anastesi dibutuhkan, maka
volatile agent dan suksinilkolin harus dihindari pemakaiannya
- semua obat '< dan non depolari.ing muscle rela8ant aman bagi pasien
H(
- mesin anastesi harus disiapkan untuk pengaliran ),,E oksigen ),
;>menit setidaknya dalam !, menit
REFEREN(I
). ;arach (", ;ocalio %R, %llen "C, 9enborough (%, @llis AR, "ronert "%,
4aplan RA, (uldoon $(, &elson 6@, rding H, et al.* A 3lini3al #ra%in#
s3ale to )re%i3t +ali#nant h8)erther+ia sus3e)ti7ilit8& Anesthesiology
)??=, 90/=0:33)#33?.
!. (aurit. -, Hackl -, -inkler (, $porn P, $teinbereithner 4* Anesthesia in
+ali#nant h8)erther+ia sus3e)ti7le )atients& Acta Anaesthesiol Belg )??,,
!1 /!0* 13#?=.
5. Britt B%* Mali#nant h8)erther+ia& Can Anaesth Soc j )?1+, -2 /20* 222#
231.
=. Hopkins P(* Mali#nant h8)erther+ia: a%6an3es in 3lini3al +ana#e+ent
an% %ia#nosis& Br Anaesth !,,,, 9: /)0* ))1#)!1.
+. $chwart. ;, Rockoff (%, 4oka B<* Masseter s)as+ ;ith anesthesia:
in3i%en3e an% i+)li3ations& Anesthesiology )?1=, <1/20:33!#33+.
2. (cCarthy 6<, Guane 4%, ;ynch PB* R8ano%ine re3e)tor +utations in
+ali#nant h8)erther+ia an% 3entral 3ore %isease& !um "utat !,,,,
1:/+0:=),#=)3.
3. ;arach ("* (tan%ar%i=ation o4 the 3a44eine halothane +us3le 3ontra3ture
test& North A+eri3an Mali#nant H8)erther+ia Grou)& Anesth Analg )?1?,
</=0:+))#+)+
1. Hopkins P(, Halsall PB, @llis AR. Dia#nosin# +ali#nant h8)erther+ia
sus3e)ti7ilit8. Anaesthesia )??=H !* 535
?. Burns %P, Hopkins P(, Hall ", Pusey C9. Rha7%o+8ol8sis an% a3ute
renal 4ailure in unsus)e3te% +ali#nant h8)er)8re>ia. # "ed )??5H 9<*
=5)
),. Britt B%. Preanestheti3 %ia#nosis o4 +ali#nant h8)erther+ia. $nt
Anesthesiol Clin )?3?, 17* 25I?2
Burns %P, Hopkins P(, Hall ", Pusey C9. Rha7%o+8ol8sis an% a3ute
renal 4ailure in unsus)e3te% +ali#nant h8)er)8re>ia& # "ed )??5, 9<*
=5)

Anda mungkin juga menyukai