Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setiap musim kemarau sejumlah kota di Riau disergap asap. Jarak pandang
terganggu, aktivitas sosial dan ekonomi pun terganggu. Dua negara tetangga kita Malaysia
dan Singapura terkena dampak yang sama. Masalah itu selalu berulang setiap tahunnya, tak
kunjung ada penyelesaian yang permanen. Padahal penyebabnya sudah jelas yaitu kebakaran
hutan.
Kabut asap di Riau yang menjadi polemik di setiap tahun disebabkan oleh kebakaran
hutan gambut dan pembakaran hutan yang dilakukan oleh Pemilik Hak Pengusahaan Hutan
(HPH). Kebakaran Hutan Gambut terjadi sendirinya karena suhu udara yang tinggi akibat
intensitas matahari yang tinggi pada musim kemarau. Kandungan karbon yang sangati tinggi
di dalam tanah gambut menyebabkan terjadinya reaksi anaerob yang menghasilkan metan
yang sifatnya mudah terbakar dan mudah meluas dengan sendirinya. Namun, kabut asap
yang terjadi di Riau kebanyakan disebabkan oleh pembakaran lahan yang dilakukan oleh
pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) maupun oleh petani tradisional bermotif untuk
membuka lahan perkebunan baru maupun untuk lahan pertanian baru. Membuka lahan baru
dengan membakar adalah cara yang paling hemat dan cepat.
Tentunya hal tersebut menjadi kasus pencemaran udara yang pantas dianggap serius,
karena kasus pencemaran tersebut terjadi di setiap tahunnya dan menyebabkan banyak
kerugian. Pada Juni 2012 lalu, sejumlah media massa memberitakan hebatnya kabut asap
hingga menyelimuti gedung kembar pencakar langit Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia.
Salah satu gedung tertinggi di dunia dengan 88 lantai ini menjadi fokus pemberitaan
sejumlah media terkait fenomena buruknya kondisi lingkungan yang berkembang sejak
sebulan terakhir karena polusi asap yang disinyalir berasal dari Indonesia. Namun, tak
diragukan fenomena kedatangan kabut asap tidak absen pada tahun ini, hal ini tampak dari
tidak terjadinya perubahan kualitas lingkungan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi dan
menanggulangi kebakaran hutan dan penyebaran kabut asap pun sangat minim. Pencemaran
udara di Riau yang disebabkan oleh kabut asap seharusnya bisa ditangani lebih cermat,
karena hal ini terjadi di setiap tahunnya pada musim kemarau.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kabut Asap sebagai Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup
Menurut UU No. 32 tahun 2009, pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.
Menurut Salim yang dikutip oleh Utami (2005) pencemaran udara diartikan sebagai
keadaan atmosfir, dimana satu atau lebih bahan-bahan polusi yang jumlah dan
konsentrasinya dapat membahayakan kesehatan mahluk hidup, merusak properti, mengurangi
kenyamanan di udara. Berdasarkan definisi ini maka segala bahan padat, gas dan cair yang
ada di udara yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman disebut polutan udara.
Sedangkan menurut Mukono (2006), yang dimaksud pencemaran udara adalah
bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang
mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung
dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material
karena ulah manusia (man made).
Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam
udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya
(Wisnu, Dampak pencemaran lingkungan : 27)
Umumnya, polutan yang mencemari udara berupa gas dan asap. Gas dan asap
tersebut berasal dari hasil proses pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna, yang
dihasilkan oleh mesin-mesin pabrik, pembangkit listrik dan kendaraan bermotor. Selain itu,
gas dan asap tersebut merupakan hasil oksidasi dari berbagai unsur penyusun bahan bakar,
yaitu: CO2 (karbondioksida), CO (karbonmonoksida), SOx (belerang oksida) dan NOx
(nitrogen oksida).
Kabut asap yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor antara lain
kebakaran hutan, polusi kendaraan bermotor, pabrik, letusan gunung berapi, pembakaran
sampah rumah tangga, dan lain sebagainya. Akan tetapi yang paling dominan dalam
menyebabkan kabut asap adalah kebakaran hutan. Seperti yang kita ketahui, penyebab
bencana asap ini adalah pembukaan semak belukar dan lahan gambut untuk pertanian dengan
cara pembakaran. Sebagian lagi, seperti yang juga terjadi di beberapa wilayah di Sumatera,
pembakaran lahan dilakukan oleh perusahaan yang membersihkan lahan untuk perkebunan.
Membersihkan lahan dengan cara membakar memang gampang dan murah. Untuk
mendeteksi luasnya kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, biasanya digunakan sistem
pemantauan lewat satelit North Oceanic Atmospheric and Administration (NOAA).
Kebakaran hutan dan lahan yang terdeteksi oleh satelit dinamai Hot Spot (titik panas).
Di Riau khususnya kasus pencemaran udara sudah menjadi tamu setiap tahun ketika
pertengahan musim kemarau. Curah hujan yang rendah menyebabkan kebakaran hutan
semakin mudah merebak dan asap yang ditimbulkan semakin cepat terdispersi. Indeksnya
yang sudah sangat tidak sehat telah membahayakan kesehatan masyarakat dan menyebabkan
infeksi saluran pernapasan. Namun tindakan protektif yang tampak nyata hingga saat ini
belum terlihat. Padahal Riau telah diselimuti asap kurang lebih selama 1 bulan. Keadaan
ironis ini tentu akan merusak daur lingkungan dan mengganggu keseimbangan lingkungan.
Faktanya Riau merupakan daerah yang sama seperti provinsi lainnya di Indonesia
yang memiliki dua musim, yakni hujan dan kemarau. Namun sejak 1997, cuaca di daerah
tersebut mengalami kekacauan, ketika hujan maka terjadi banjir, dan diwaktu kemarau akan
disertai kabut asap yang merupakan dampak dari kebakaran lahan. Sekitar tahun 1997/1998
kabut asap hebat menjadi bencana nasional yang turut mengusik perhatian serius dunia
internasional dan buah dari kondisi ini dimana Indonesia malah mendapat penilaian sebagai
negara pengekspor asap.
Sejak zaman purbakala manusia telah memanfaatkan api untuk kenyamanan dan
kemudahan hidup. Namun kemudahan tersebut berlanjut pada pencemaran yang mudah kita
temukan saat ini. Pembakaran yang menjadi penyebab timbulnya asap merupakan reaksi
kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi, cahaya atau panas.
Kegiatan pembakaran berdampak meningkatkan kadar CO
2
di lapisan atmosfer
sehingga dapat menghalangi pantulan panas dari bumi ke atmosfer sehingga permukaan bumi
menjadi lebih panas. Peristiwa ini disebut dengan efek rumah kaca (green house effect). Efek
rumah kaca ini mempengaruhi terjadinya kenaikan suhu udara di bumi (pemanasan global).
Karbon dioksida adalah zat gas yang mampu meningkatkan suhu pada lingkungan. Hal ini
disebabkan karena CO
2
akan berkonsentrasi dengan jasad renik, debu, dan titik-titik air yang
membentuk awan yang dapat ditembus cahaya matahari namun tidak dapat melepaskan
panas ke luar awan tersebut. Keadaan seperti itu mirip dengan kondisi rumah kaca tanpa AC
dan ventilasi udara yang cukup.
Pemanasan global juga menimbulkan dampak berupa berubahnya pola iklim. Efek
rumah kaca yang disebabkan oleh keberadaan CO
2
, CFC, metana, ozon, dan N
2
O
dilapisan troposfer yang menyerap radiasi panas matahari yang dipantulkan oleh permukaan
bumi. Tak diragukan lagi problema ini juga turut mempercepat penipisan lapisan ozon (O
3
).
Selain itu kebakaran hutan di Riau tentu menyebabkan kayu-kayu hutan menjadi bahan bakar
dan penyulut api, padahal bahan-bahan alam tersebut mengandung karbon. Kabut asap sisa
kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti sejumlah wilayah di Riau ini mengandung
Particulate Matter (PM-10) berlebih, sangat berbahaya untuk kesehatan paru-paru. Particulate
Matter adalah istilah untuk partikel padat atau cair yang ditemukan di udara. Partikel dengan
ukuran besar atau cukup gelap dapat dilihat sebagai jelaga atau asap. PM-10 merupakan
partikel kecil yang berbahaya. Paparan PM-10 mampu mencapai daerah yang lebih dalam
pada saluran pernapasan.
2.2 Kabut asap dan Hukum
Hal menarik lainnya adalah fenomena kabut asap yang selama ini cenderung
dianggap sebagai hal yang biasa. Oleh karena dianggap hal yang biasa, respon reaktif
masyarakat tidak terlalu terlihat memaksa pihak terkait bertanggung jawab. Demikian juga
negara melalui pemerintah, terkesan menilai fenomena kabut asap sebagai suatu yang biasa-
biasa pula. Bila terus berlarut seperti ini, maka kondisi demikian tentu tidak akan pernah
menguntungkan bagi upaya pemajuan penegakan hukum dan pemulihan lingkungan yang
bebas dari kabut asap. Berbeda dengan negara tetangga, pemerintah setempat selalu aktif
memberikan respon terutama berkenaan dengan kiriman asap yang disinyalir berasal dari
Indonesia. Terlepas dari aspek politis, komplain dunia internasional melalui pemerintah
negara setempat dapat dipahami sebagai bentuk tanggungjawab sosial suatu rezim memberi
perlindungan bagi warganya dari potensi situasi lingkungan yang buruk akibat polusi di
atmosfer. Pada sisi aspek pemenuhan hak dasar (HAM), rasa keberatan yang dilakukan
dapat dipahami sebagai bentuk tanggungjawab kemanusiaan. Respon dunia internasional
tentu tidak mesti dinilai negatif. Sebaliknya mestinya dapat direspon secara bijak, sekaligus
boleh dijadikan refleksi dan pelajaran berharga untuk berbenah guna menumbuhkan
komitmen maupun sinergi bersama agar negeri ini dipulihkan dari (sebagai) sumber dan
bencana kabut asap.
Realitanya sejumlah kasus dan kejadian pembakaran lahan yang berkontribusi
menyebabkan kabut asap di areal perkebunan skala besar ini nyaris tak tersentuh hukum.
Pada tataran inilah kemudian benang kusut kabut asap menjadi fenomena. Terjadinya
kebakaran lahan di perkebunan menjelaskan bahwa memang hukum masih belum menjadi
panglima yang dapat diandalkan untuk memberikan efek jera atas pembakar lahan penyebab
kabut asap. Peran pemerintah untuk melakukan antisipasi hingga pada proses penanganan
kebakaran lahan bersifat pasif. Fenomena ini juga sebagai bukti masih lemahnya komitmen
pihak perusahaan mengelola managemen yang baik khususnya dalam upaya antisipasi
kebakaran lahan. Lemahnya penegakan hukum atas pelaku kebakaran lahan adalah wujud
dari tidak optimalnya peran negara. Hal ini pula menjadi indikasi bahwa upaya maupun
komitmen proteksi untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran masih sangat lemah dalam
managemen pengelolaan perusahaan.
Kabut asap memang sering membuat sejumlah pihak kalang kabut, bahkan saling
lempar tanggungjawab. Sinergisitas antar berbagai pihak memang sangat penting, demikian
pula komitmen maupun upaya hukum untuk menghentikan bencana asap dengan menindak
pelaku pembakaran lahan mesti menjadi perhatian bersama semua pihak. Semoga saja ke
depan Indonesia tidak lagi di cap sebagai negeri pengekspor asap, namun bijak dan santun
dalam mengelola lingkungannya dengan penegakan hukum terkait.
2.2 Kabut Asap dan Kesehatan
Kabut asap dengan kadar pencemar yang tinggi tentu menimbulkan dampak yang
luar biasa dari segi kesehatan, sebab kabut asap yang dihirup membawa racun yang bisa
merusak sel-sel organ tubuh. Dalam jangka pendek racun tersebut menyebabkan penyakit
ISPA (Infeksi Pernapasan Akut), sakit tenggorkan dan berbagai penyakit lainnya.
Sedangkan dalam jangka panjang bisa menyebabkan penyakit paru-paru, bronkitis dan
penyakit kronis lainnya. Selain itu, kabut asap juga menimbulkan stress, sebab ruang
lingkup manusia dibatasi, karena harus lebih banyak berdiam diri di rumah untuk
mengurangi udara yang terkena kabut asap. Diskes Riau mencatat, hingga 3 Maret kemarin
setidaknya 27.587 masyarakat terkena ISPA. Selain ISPA, kabut asap menyebabkan
sejumlah penyakit lainnya, yakni 528 penderita pneumonia, 1.031 penderita asma, 757
penderita iritasi mata dan 1.368 penderita iritasi kulit.
2.3 Kabut Asap dan Ekonomi
Wakil ketua Umum Bidang Ekonomi dan Kerja sama Internasional, Kadin Provinsi
Riau, Viator Butar Butar mengatakan kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan telah
mengakibatkan Riau rugi secara ekonomi sebesar Rp 10 triliun lebih. Kerugian sebesar
tersebut muncul antara lain akibat menurunnya produktivitas usaha, mobilisasi barang dan
orang melalui transportasi darat, udara dan laut tertunda dan terganggu akibat kabut asap itu.
Dampak asap tidak hanya membuat penjualan menurun, Dia memperkirakan akan
menimbulkan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Menurutnya, akibat gangguan
distribusi, harga barang barang retail akan naik 15-20%.
Akibat kabut asap jarak pandang di Jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan
Sumatera Barat dan Riau hanya berkisar 500 meter, Kamis 27 Februari 2014. Padahal, jalan
itu merupakan infrastruktur utama penghubung pusat-pusat perekonomian kawasan itu.
Kabut asap ini juga mengganggu transportasi udara yang berdampak pula pada
keefektifan ekonomi masyarakat. Bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru, Riau, sejak
pukul 10.00 WIB, Kamis 27 Februari 2014, tidak dapat melayani penerbangan atau pun
pendaratan pesawat karena kabut asap. Kabut asap ini menyebabkan jarak pandang
berkurang, sehingga landasan tidak aman untuk digunakan. Dengan tertundanya jalur
penerbangan baik kedatangan dan kepergian, kata Kudus, banyak maskapai yang mengalami
kerugian akibat tertundanya penerbangan. Bahkan dibeberapa provinsi tetangga bahkan
sampai menutup bandara. Tentu akibat kabut asap ini banyak maskapai yang mengalami
kerugian hingga puluhan juta bahkan ratusan juta.
2.4 Upaya Mengurangi Kabut Asap dan Bidang Keteknikan Lingkungan
Kebakaran hutan yang terjadi di Riau bersumber dari titik-titik api yang berlokasi di
lahan gambut. Maka pendekatan daya dukung lingkungan perlu sekali diperhatikan dan
diterapkan untuk melindungi lahan-lahan gambut yang tersebar di Riau. Hal ini mengingat
bahwa wilayah Riau banyak didominasi oleh tanah gambut yang rawan (Fragile) terhadap
gangguan manusia. Pengkarakteristikan jenis gambut juga perlu dilakukan. Terkait lahan
gambut memiliki 2 golongan berdasarkan kemudahan lahan untuk terbakar. Golongan
tersebut adalah lahan yang mudah terbakar, dan sulit terbakar. Berdasarkan ilmu keteknikan
lingkungan diharapkan dapat memetakan lahan gambut sesuai dengan karakteristiknya.
Sehingga upaya pencegahan lebih maksimal dan pemerintah dengan kekuatan hukum
membuat regulasi untuk perlindungan lahan gambut yang sejatinya adalah kawasan lindung.
Pengembangan lahan gambut untuk kegiatan budidaya pada dasarnya adalah gangguan
terhadap kesetimbangan gambut yang telah berlangsung sejak ribuan tahun. Pengembangan
lahan gambut dengan cara pembakaran lahan menyebabkan kabut asap yang menyelimuti
Riau dengan kadar polutan yang tinggi. Pembakaran lahan gambut dapat menyebabkan
kondisi lahan gambut menjadi kering tak balik. Karena sifatnya yang peka (fragile) dan
kering tak balik, serta proses pembentukannya yang sangat lama, maka pengembangan
lahan gambut harus dilakukan secara bijaksana sebagaimana layaknya jenis sumber daya
lainnya yang tak dapat diperbaharui (non renewable resources) dan menjaga keseimbangan
di dalamnya.
Ada dua fungsi utama kawasan lindung gambut yang harus diperhatikan dan
dijaga. Fungsi pertama berkaitan dengan peran kawasan lindung gambut sebagai reservoir
alam dan yang kedua berkaitan dengan kemampuan gambut dalam memendam karbon guna
menjaga iklim global. Menurut penelitian, setiap satu hektar lahan gambut ketebalan satu
meter diperkirakan mampu mendam sekitar 0,74 ton karbon per tahun. Angka ini menjadi
jauh lebih besar lagi pada kawasan lindung gambut yang memiliki ketebalan lebih dari 3
meter. Dengan demikian, rusaknya kawasan lindung gambut akan menyebabkan terjadinya
pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfir dan berpengaruh terhadap perubahan
iklim global maupun pembentukan egek gas rumah kaca (green house effect).
Besarnya dampak yang ditimbulkan akibat bencana kabut asap yang terjadi perlu
penanganan yang serius. Hal ini dilakukan agar bencana ini tidak terulang dikemudian hari.
Sehingga dampak yang ditimbulkan tidak lagi menimpa masyarakat. Beberapa langakah
penanggulangan kabut asap yang dapat dilakukan antara lain :
1. Komitmen dari pemerintah
Masalah kabut asap tak terlepas dari masalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang
terjadi merupakan dampak dari izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan
kepada pengusaha. Pemerintah diharapkan dapat lebih selektif dalam memberikan
izin HPH kepada pengusaha. Pengusaha yang diberikan izin diwajibkan untuk tidak
membuka lahan dengan membakar hutan. Komitmen pemerintah dapat dilihat dari
adanya alokasi dana yang jelas untuk penanggulangan kabut asap ini. Selain itu
kebijakan atas pelanggaran pembakaran hutan harus lebih tegas. Undang-undang
tentang sanksi bagi pembakar lahan harus lebih tegas dan konsisiten untuk dijalankan.
Jangan hanya karena takut kehilangan devisa pemerintah takut menindak pengusaha
nakal yang masih membakar hutan sehingga masyarakat yang jadi korban.
Jika sudah ada komitmen yang kuat dari pemerintah dalam menaggulangi bencana
kabut asap yang disebabkan dari pembakaran hutan ini maka kabut asap yang selama
ini menjadi agenda tahunan di negara kita akan segara teratasi.
2. Kesadaran masyarakat
Masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan hendaknya memiliki kesadaran yang kuat
untuk tidak membuka lahan pertanian dengan membakar hutan. Masyarakat petani
berpindah memiliki kebiasaan untuk membakar hutan setiap kali hendak memulai
musim tanam. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat ini perlu dilakukan
penyuluhan tentang bahaya kebakaran hutan kepada masyarakat. Masyarakat yang
membakar hutan hendaknya diingatkan untuk menjaga lahan yang dibakarnya agar
tidak merambat ke hutan yang berada disekitarnya. Kesadaran masyarakat juga
diharapkan dalam hal melaporkan jika terjadi kebakaran hutan. Jika segera dilaporkan
diharapkan kebakaran tidak meluas dan dapat dipadamkan.
3. Pengawasan bersama
Pengawasan bersama perlu dilakukan antara pemerintah dengan masyarakat. Perlu
bentuk sistem kewaspadaan kebakaran hutan yang selalau siap mengawasi setiap
hutan yang terbakar. Pemerintah dapat mengoptimalkan peran polisi kehutanan dalam
mengawasi hutan.







BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut Mukono (2006), yang dimaksud pencemaran udara adalah bertambahnya
bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai
sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung dan
diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material karena
ulah manusia (man made).
Pencemaran udara merupakan masuknya, atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya
ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, gangguan
pada kesehatan manusia secara umum serta menurunkan kualitas lingkungan akibat
perubahan komposisi atau susunan udara dari keadaan normalnya.
Di Riau khususnya kasus pencemaran udara sudah menjadi tamu setiap tahun ketika
pertengahan musim kemarau akibat aktifitas pembakaran lahan dilakukan oleh perusahaan
yang membersihkan lahan untuk perkebunan. Membersihkan lahan dengan cara membakar
memang gampang dan murah. Curah hujan yang rendah menyebabkan kebakaran hutan
semakin mudah merebak dan asap yang ditimbulkan semakin cepat terdispersi. Indeksnya
yang sudah sangat tidak sehat telah membahayakan kesehatan masyarakat dan menyebabkan
infeksi saluran pernapasan.
Kabut asap telah mengganggu keseimbangan lingkungan dengan menurunkan
kualitas udara dan meningkatkan suhu permukaan akibat terperangkapnya sinar matahari.
Selain itu kabut asap menyebabkan gangguan pada kesehatan dan juga berdampak pada
sistem transportasi dan ekonomi. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dan perlindungan
melalui hukum dan perundang-undangan.
3.2 Saran
Langkah-langkah penanggulangan kabut asap sebagai bentuk pencemaran udara:
1. Komitmen dari pemerintah
2. Kesadaran masyarakat
3. Pengawasan bersama dari segala bidang ilmu terkait

DAFTAR PUSTAKA
A. Tresna Sastrawijaya. 2000 Pencemaran Lingkungan Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Adam, Hendrikus. 2012 Kabut Asap Kompasiana
Anonim. 2014 Kabut Asap Riau Beracun
http://riaustar.com/index.php/berita/detail/4070/2014/03/04/kabut-asap-riau-beracun.
Diakses pada : 8 Maret 2014
Anonim. 2014 Kasus Kabut Asap Riau Merupakan Pencemaran Udara
http://www.riaustar.com/index.php/berita/detail/4070/2014/03/04/kabut-asap-riau-
beracun#.UxyjI86xtkc. Diakses pada : 8 Maret 2014
Anonim. 2014 25.438 Warga Riau Sakit Akibat Asap
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/26/n1lpzk-25438-warga-riau-
sakit-akibat-asap Diakses pada : 8 Maret 2014
Bappeda Kabupaten Bengkalis, Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bengkalis tahun 2002-2012
Frislidia. 2014 Riau rugi Rp10 triliun akibat kabut asap
http://www.antaranews.com/berita/421207/riau-rugi-rp10-triliun-akibat-kabut-asap
Diakses pada : 8 Maret 2014









TUGAS
PENCEMARAN UDARA

PAPER ANALISA
KABUT ASAP RIAU




Oleh :

HERFI RAHMI
1207113629



PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2014

Anda mungkin juga menyukai